Demokrasi Kita Dimakan Benalu
Sepanjang tiga-empat tahun terakhir, halaman-halaman media massa di berbagai daerah silih berganti diisi berita menyangkut kasus korupsi yang melibatkan segerombolan anggota DPRD jika tidak pejabat daerah. Demikian banyaknya kasus seperti itu, hingga sebuah proses kreatif menggelari praktek korupsi massal itu sebagai “korupsi berjamaah”.
Serentetan kasus yang nyaris berlangsung merata di semua daerah itu lumayan membuat dada terasa sesak. Mereka, para wakil rakyat itu, adalah hasil pemilu 1999 yang sering disebut-sebut sebagai pemilu demokratis kali pertama di negeri ini sejak pemilu 1955. Karena itu, pemilu 1999 selayaknya menumbuhkan harapan adanya lompatan besar negeri ini ke jalur demokrasi. Pada kenyataannya, momentum itu tak serta-merta mengikis peluang korupsi.
Pekan-pekan terakhir ini, headline media massa kembali getol menyiarkan kasus korupsi. Ada korupsi di KPU. Kasus ini terasa lebih menyesakkan dada. Betapa tidak, di lembaga yang memfasilitasi proses pemilu di tengah-tengah derasnya arus demokratisasi itu -- jika kelak akhirnya terbukti – rupanya telah berlangsung pula praktek korupsi alias aksi tilep uang publik.
Tak pelak, sebagian orang, banyak warga biasa, menaruh syak wasangka: semakin korupkah negeri ini jika semakin demokratis? Sebuah kecurigaan yang membuat dada semakin terasa sesak lagi. Sebuah kecurigaan yang tentu saja harus ditepis. Jika tidak, sekelompok orang yang cenderung antidemokrasi akan tersenyum: lihatlah, demokrasi memang omong kosong.
Jika demokrasi dipercaya sebagai cara paling luhung bagi publik untuk ikut dalam proses politik dan pemerintahan, jelas kasus-kasus korupsi di DPRD dan KPU itu, sebagaimana juga kasus korupsi lainnya, baik yang melibatkan kalangan politisi, pejabat publik, maupun swasta, tidak boleh dipandang sebagai pertanda kesalahan demokrasi. Korupsi juga sama sekali bukan efek samping demokratisasi. Korupsi, lebih dari semua itu, adalah benalu demokrasi.
Di atas kertas, benar, kemungkinan berlangsungnya praktek korupsi dalam proses demokratisasi memang terbuka. Sejamaknya sebuah “proyek”, demokratisasi pun membutuhkan uang. Semakin besar proyek demokratisasi, semakin kompleks prosesnya, niscaya semakin tinggi pula pembiayaannya. Selanjutnya, seharusnya, semakin terjamin pula dana publik yang mengongkosi keseluruhan prosesnya. Tapi justru di sini letak celahnya. Ketika demokratisasi masih berproses, kontrol publik belum lagi efektif, korupsi adalah ‘barang lama’ yang kapan saja bisa menggerogotinya.
Kasus korupsi para gerombolan anggota DPRD di hampir semua daerah menggambarkan betapa demokrasi bukan sekadar soal cara pemilu. Pemilu yang demokratis bukan pula sekadar soal adanya jaminan bagi siapa saja untuk bebas menentukan pilihannya, atau untuk bebas mencalonkan diri menjadi pejabat publik. Demokrasi adalah soal terjaminnya keterwakilan kepentingan publik, serta keefektifan kontrol publik terhadap jalannya kegiatan-kegiatan pembuatan kebijakan publik. Demokratisasi seharusnya memang tidak berhenti pada persoalan prosedur dan pembentukan lembaga-lembaga fisik dengan nomenklatur demokrasi.
Riset Demos sepanjang dua tahun terakhir (2003-2004) merangkum penilaian para pegiat demokrasi di seluruh Indonesia terhadap proses demokratisasi pasca-1999. Di antara mereka terdapat 46 aktivis gerakan antikorupsi, di samping ratusan aktivis yang menjadi pegiat demokrasi pada bidang lainnya. Secara umum, para informan riset itu sepakat menilai demokratisasi Indonesia masih jalan di tempat. Sebagian besar indikator demokrasi, termasuk pemberantasan praktek korupsi, masih dianggap buruk kondisinya, kalaulah tidak sangat buruk. Yang dianggap baik dan membaik boleh dikatakan melulu adalah kebebasan sipil dan politik semacam kebebasan berbicara, kebebasan berpartai, berorganisasi, juga kebebasan pers.
Jika dirata-rata, tiga dari empat informan menilai kinerja dan cakupan kebebasan untuk melakukan pemberantasan korupsi masih buruk. Kalangan informan yang berlatarbelakang gerakan antikorupsi bahkan nyaris semuanya menilai kinerja indikator ini buruk. Sekalipun begitu, mereka relatif lebih mengakui kebebasan untuk melawan praktek korupsi sudah mulai merata secara geografis, dari pusat hingga ke daerah, sekalipun sifatnya masih formalitas belaka.
Buruknya kinerja pemberantasan korupsi tak lepas dari lemahnya kontrol publik, yang menjadi salah satu kunci demokrasi. Hal ini diakui oleh para informan. Mereka menilai bahwa kemampuan publik untuk melakukan kontrol tergolong rendah. Bukan hanya tak mampu, akses untuk melakukan kontrol pun amat terbatas jika tak ingin menyebutnya nihil. Dalam konteks yang lebih besar, tidak terwakilinya kepentingan publik adalah masalah yang ada di balik itu semua. Proses demokratisasi selama lima tahun terakhir rupanya hanya melahirkan pola dan tingkah laku kekuasaan baru di kalangan elit lama, atau menciptakan aliansi baru di antara elit-elit politik lama dan baru. Kondisi inilah yang tampaknya membiarkan pintu bagi praktek korupsi tetap terbuka.
Data Demos pun memperlihatkan hal itu. Para aktivis gerakan antikorupsi menyatakan tantangan terberat justru datang dari kalangan anggota legislatif dan pejabat eksekutif, baik di tingkat pusat maupun lokal. Kedua lembaga itu sangat dominan, baik dalam hal peran maupun kekuatan, untuk menghambat upaya pemberantasan korupsi. Selain itu, kekuatan mereka semakin mantap lantaran ditopang oleh perkongsian mereka dengan kalangan polisi dan militer, serta berlangsungnya simbiosis mutualisma dengan kalangan pemodal dan pelaku bisnis. (Lihat Tabel 1).
Jika pengakuan para informan riset Demos itu benar adanya, tentu saja titik terang menuju demokrasi sejati masih jauh dicapainya. Bagaimana berharap kontrol publik bisa efektif apabila pihak yang seharusnya dikontrol justru lebih dominan kekuatan dan kekuasaannya dalam menghadapi berbagai upaya kontrol.
Tabel 1
Aktor dominan antikorupsi
AKTOR DOMINAN
|
F
|
Politisi dan anggota legislatif
|
27%
|
Pemerintah dan aparatnya di tingkat lokal
|
26%
|
Organ negara, termasuk lembaga peradilan
|
26%
|
Polisi, militer
|
9%
|
Pemodal, BUMN
|
9%
|
Presiden, Aparat pemerintah tingkat pusat
|
4%
|
Karena itu sulit membayangkan gerakan antikorupsi bisa menekan apalagi berhasil menghilangkan sama sekali praktek korupsi, jika persoalan korupsi tidak diletakkan sebagai salah satu faktor penting dalam proses demokratisasi. Meletakkannya sebagai bagian dari proses demokratisasi berarti tidak menjadikan persoalan korupsi sebagai semata-mata upaya pengungkapan berbagai kasus, tetapi lebih penting dari itu adalah bagaimana membuat efektif kontrol publik terhadap kekuasaan.
Sulitnya, sebagaimana diperlihatkan oleh riset yang sama, kelompok aktivis pro-demokrasi termasuk aktivis gerakan antikorupsi praktis selama ini berada pada posisi mengambang dan tidak berkonstituen. Absennya gerakan pro-demokrasi, termasuk kelompok-kelompok antikorupsi, di wilayah politik juga menyulitkan upaya mengurai dan memutus rantai kusut praktek korupsi. Tak cukup kekuatan mereka untuk menandingi aktor-aktor yang mendominasi kekuasaan.
Maka, tidaklah benar jika kemudian ada yang menuding kasus dugaan korupsi di KPU maupun di lembaga-lembaga lainnya, sebagai sekadar sebuah efek samping demokrasi. Sangat tidak benar pula menuding demokrasi sebagai biang maraknya praktek korupsi. Demokrasi justru potensial menjadi busuk lantaran korupsi. Demokratisasi justru bisa mandeg gara-gara korupsi. Dan ketika korupsi menjadi semakin biasa, tanda-tanda kegagalan demokrasi menjadi semakin terang.
Setidaknya hingga riset Demos berakhir awal tahun ini, gambaran pertarungan antara demokrasi dan korupsi memang masih diwarnai dengan keunggulan korupsi. Bahkan ketika semua perhatian kini ditujukan pada upaya membongkar kasus korupsi di tubuh KPU, tidak serta-merta bisa dikatakan sebagai adanya secercah harapan untuk tumbuhnya demokrasi secara sehat. Terpana hanya pada satu-dua gebrakan simbolik malah bisa menjebak publik bahwa benalu itu telah hilang begitu kasusnya terungkap dan pelakunya dihukum. Kebanyakan pucuk benalu, padahal, tumbuh merayap dan tak menarik perhatian… ☐
Tidak ada komentar:
Posting Komentar