Rabu, 21 November 2012

Lagi, Soal Demokrasi Elitis

Oleh: Willy Purna Samadhi 

Tak sampai enam bulan lagi, usia demokrasi Indonesia mencapai 15 tahun. Dalam usia itu, wajah demokrasi Indonesia masih tak menentu. Sekali waktu ia ditandai oleh merebaknya kebebasan media, perkembangannya kemudian menjadi penguasaan media oleh kekuatan politik. Kebebasan politik dan berpartai pernah menjadi ciri kuat, tetapi belakangan muncul gagasan untuk penyederhanaan partai. Penyelenggaraan pemerintahan kelihatannya semakin transparan dan terbuka, tetapi semakin terungkap pula perilaku korup para pejabat. Pamor partai yang sempat memuncak seiring pengaturan pelaksanaan pemilu yang semakin baik, belakangan meredup dan boleh jadi akan terus memudar seiring munculnya fenomena “Jokowi-Ahok” yang jauh melampaui kapasitas partai mewakili harapan masyarakat.

Satu-satunya yang barangkali tidak mengalami perubahan signifikan adalah kehidupan masyarakat. Memang ada ruang kebebasan yang lebih luas, tetapi masih terbatasnya daya ekonomi membuat sebagian orang tak paham benar untuk apa sesungguhnya kebebasan itu. Secara politik situasinya tak jauh berbeda dari jaman Orde Baru. Masyarakat kita masih saja terpinggirkan baik dari proses demokratisasi maupun dari kenikmatan kehidupan demokrasi.

Karena itu perubahan wajah demokrasi yang terus-menerus sesungguhnya hanya merefleksikan dinamika di kalangan elit. Semakin hari semakin banyak yang meyakini bahwa demokrasi Indonesia berwatak oligarkis. Demokrasi hanya menjadi mainan kelompok elit.

Monopoli elit atas demokrasi bukan hanya pada praktik, tetapi juga pada tafsir atas demokrasi. Tertutupnya ruang-ruang representasi dari partisipasi dan kontrol publik menyebabkan kebijakan-kebijakan atas nama demokrasi disusun dan ditetapkan secara terbatas oleh kalangan elit. Tak ada jaminan proses seperti itu untuk tidak memberi keistimewaan pada kemapanan dan kenyamanan kelompok elit, dan tidak ada pula jaminan terhadap berbagai kepentingan dan hak-hak masyarakat yang tidak tergolong dalam kelompok elit. Akibatnya, prosedur-prosedur demokrasi malah akan mendorong terciptanya kondisi ketergantungan masyarakat pada kelompok elit.

Kelompok elit sendiri tidaklah homogen. Selain ada konsensus yang mengikat kepentingan bersama intra-elit, di dalamnya selalu berlangsung konflik dan kompetisi berdasarkan kepentingan yang berbeda-beda. Kemapanan dan kenyamanan selaku kelompok elit senantiasa bersandar pada perimbangan kekuatan dan kekuasaan di antara mereka. Manakala berlangsung gejolak, kelompok elit akan mencari titik keseimbangan baru agar kemapanan dan kenyamanan mereka tidak terganggu. Dalam upaya itu segala biaya akan dipertaruhkan, termasuk mendepak kawan lama menjadi lawan baru dan menggaet lawan lama menjadi kawan baru. Diktum bahwa “tidak ada kawan abadi melainkan kepentingan” berlaku di sana. 

Dalam proses menjaga kemapanan dan kenyamanan itu, kelompok elit memanfaatkan ketergantungan masyarakat pada mereka. Klaim yang paling lazim digunakan dalam pertarungan intra-elit itu adalah posisi sebagai perwakilan dari kelompok-kelompok masyarakat. Semakin besar dan luas basis yang dapat diklaim, semakin mungkin kelompok intra-elit memenangkan kompetisi di antara mereka sendiri. Ketergantungan masyarakat pada elit menyebabkan proses mobilisasi kekuatan massa dapat dengan mudah dilakukan para elit untuk membuktikan klaim-klaim mereka. Maka sesungguhnya bukan para elit yang mewakili kepentingan masyarakat, justru sebaliknya masyarakatlah yang menjadi alat untuk mewakili kepentingan kelompok-kelompok elit. 

Kondisi seperti itu jelas jauh dari gagasan demokrasi. Dalam pengertiannya yang sangat umum, demokrasi adalah sebuah kondisi yang memungkinkan terselenggaranya kontrol masyarakat terhadap kepentingan bersama yang disepakati sebagai urusan publik berdasarkan atas prinsip kesetaraan warga negara. Demokrasi justru menghindarkan terjadinya penumpukan apalagi monopoli kekuasaan pada segolongan orang yang menyebabkan kelompok lain di luar itu tidak dapat melakukan kontrol yang efektif. Demokrasi juga menghindarkan pemusatan agenda dan kepentingan sekelompok orang yang menyebabkan agenda dan kepentingan kelompok lain terbengkalai. Benar bahwa demokrasi membuka jalan bagi sekelompok orang untuk berkuasa, tetapi sebaliknya juga, kekuasaan demokratis harus membuka jalan bagi masyarakat yang tak berkuasa untuk melakukan kontrol, termasuk mengakomodasi agenda dan kepentingan yang berbeda. Kekuasaan demokratis adalah kekuasaan untuk mengelola berbagai agenda dan kepentingan yang disepakati sebagai urusan publik. Karena itu, demokrasi tidak terbatas apalagi berhenti ketika proses pemilihan pemegang kekuasaan selesai. Demokrasi adalah cara sekaligus juga tujuan. 

Ketimpangan relasi kuasa antara sekelompok elit yang menguasai sumber-sumber kekuasaan dan sebagian besar anggota masyarakat yang kehilangan efektivitas untuk mengontrol urusan publik merupakan ancaman serius terhadap keberlangsungan demokrasi, bahkan ketika kondisi itu disempurnakan melalui prosedur-prosedur yang demokratis. Lebih daripada sebatas prosedur demokratis, demokrasi membutuhkan "prosedur-berbasis-demokrasi". Prosedur-berbasis-demokrasi adalah cara-cara yang melindungi sekaligus menjamin kesetaraan distribusi sumber-sumber kekuasaan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan demokrasi, alias menggunakan demokrasi untuk mencapai demokrasi. Hanya dengan sumber-sumber kekuasaan yang terdistribusi secara merata kontrol publik dapat berlangsung efektif. Kesetaraan sumber kekuasaan juga akan menghindarkan tafsir sepihak mengenai hal-hal yang dianggap sebagai urusan publik.∎

Yogyakarta, 21 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar