“Kalau mau naik pangkat, ‘wakil’-nya dibuang, kan?” Begitulah kira-kira sepotong kalimat di sebuah iklan yang kini sedang sering ditayangkan di televisi. Iklan itu secara karikaturis menggambarkan betapa senjangnya keistimewaan kehidupan yang dialami para ‘wakil rakyat’ dibandingkan dengan kesulitan hidup yang dihadapi kebanyakan rakyat. Karena itu, adegan setelah kalimat tadi memperlihatkan keengganan para ‘wakil rakyat’ untuk naik pangkat dengan menanggalkan gelar ‘wakil’.
Kendati bukan hal baru, tayangan iklan itu tetap memiliki greget. Apa yang diangkat oleh iklan itu masih relevan dengan situasi kekinian. Siapa sesungguhnya dari keduanya yang lebih tinggi hirarkinya, rakyat atau sekelompok orang yang biasa disebut sebagai ‘wakil rakyat’? Jika rakyat yang berdaulat dalam demokrasi, bukankah janggal jika pemangku kedaulatan itu menyampaikan aduan dan permintaan tolong justru kepada ‘wakil’-nya? Jika demokrasi berarti pemerintahan rakyat, mengapa nikmatnya lebih dirasakan oleh ‘wakil rakyat’?
Kita menempatkan ‘wakil rakyat’ pada posisi yang istimewa, padahal istilah ‘wakil rakyat’ tidak begitu umum dijumpai di dalam literatur demokrasi. Merujuk pada apa yang dimaksudkannya, ada dua istilah yang lazim digunakan yaitu ‘anggota parlemen’ dan ‘representative’ (representatif). Anggota parlemen memiliki makna yang sama dengan ‘wakil rakyat’ yang biasa kita gunakan, yaitu orang-orang yang terpilih melalui pemilu untuk duduk di dalam parlemen. Akan tetapi, ketika pemilu tidak lagi dilakukan sebatas untuk memilih anggota parlemen, mereka yang terpilih melalui proses demokratis itu secara umum disebut sebagai representatif. Presiden, gubernur dan bupati/walikota sama-sama tergolong sebagai representatif seperti halnya para anggota parlemen. Dengan demikian, representatif berarti orang-orang yang dipilih oleh rakyat – pemegang kekuasaan – dalam tempo tertentu untuk mengelola urusan-urusan publik atas nama rakyat.
Proses pemilu dan hasil-hasilnya, karena itu, tidak dapat disederhanakan begitu saja sebagai proses pengalihan hak dari rakyat kepada mereka yang terpilih, para representatif itu. Sesuai dengan asal kata pembentuknya, representatif memiliki fungsi untuk menghadirkan kembali (re-present) atau bertindak selayaknya rakyat yang memilihnya demi memenuhi prinsip demokrasi yang menetapkan rakyat sebagai penguasa. Dengan logika matematis, representatif boleh jadi tidak mencerminkan sepenuh-penuhnya fungsi kekuasaan rakyat, tetapi jelas mereka tidak memiliki fungsi kekuasaan yang lebih besar daripada apa yang dimiliki seluruh rakyat.
Lalu, mengapa pengalaman demokrasi kita justru memperlihatkan ada keistimewaan bagi para representatif, sebagaimana misalnya disindir oleh iklan televisi itu?
Menarik untuk menelusuri asal istilah representatif (kata benda: representasi) dan keterkaitannya dengan demokrasi. Istilah representatif sesungguhnya tidak memiliki akar sejarah yang sama dengan demokrasi bahkan berasal dari tradisi yang saling bertolak belakang. Pitkin (2004) menggambarkan demokrasi dan representasi adalah aliansi yang menegangkan.
Demokrasi merupakan hasil perjuangan dari bawah, dan praktiknya dapat ditelusuri hingga ke jaman Yunani kuno, yaitu di dalam komunitas-komunitas kecil di Athena. Kendati ada banyak perbedaan antara demokrasi jaman itu dengan yang kita kenal sekarang, prinsip bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan sudah lama diterima dan dijalankan. Sedangkan istilah representasi baru dikenal jauh berabad-abad setelahnya. Ia tidak lahir di tengah tradisi demokrasi melainkan justru di dalam tradisi pemerintahan kerajaan di Eropa, yaitu ketika para raja secara periodik memerintahkan agar setiap wilayah yang dikuasainya mengirimkan seorang utusan – representatif – ke istana. Para utusan itu datang bukan untuk menyampaikan kepentingan daerahnya, tetapi lebih melambangkan komitmen daerah untuk tunduk pada kekuasaan raja. Mereka menyerahkan sejumlah upeti dan pajak tambahan untuk kepentingan kerajaan.
Proses yang berlangsung secara berulang dan terus-menerus itu lambat laun menjadikan kehadiran utusan dari daerah itu terlembaga. Mereka pun mulai memperoleh titipan pesan dari warga di daerahnya, saling berdiskusi dan berkomunikasi dengan para utusan dari daerah lain, dan menyampaikan pesan-pesan yang dititipkan kepada mereka secara kolektif kepada raja.
Secara berangsur sifat representatif itu berubah dari kewajiban menjadi hak. Namun begitu, proses representasi daerah ke istana tidak berlangsung secara demokratis, bahkan tidak melalui pemilihan. Para pengemban fungsi representatif itu menjelma sebagai sebuah kelompok elit sendiri, memiliki keistimewaan sebagai ‘orang istana’ dibandingkan warga biasa daerahnya.
Demokrasi dan representasi saling berkelindan pertama kali di Eropa berlangsung revolusi perlawanan rakyat pada akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18. Revolusi itu didorong oleh meluasnya kesadaran tentang persamaan dan kesetaraan manusia, meruntuhkan doktrin kuno yang menyatakan setiap manusia dilahirkan dalam hirarki yang berbeda. Reclaiming atas tanah kerajaan terjadi di mana-mana, memunculkan teritori-teritori baru di bawah pemerintahan yang demokratis. Gagasan demokrasi, yang dahulu hanya muncul di komunitas-komunitas kecil, muncul kembali secara meluas, namun segera berhadapan dengan kesulitan untuk mengundang partisipasi seluruh warga ketika ia dipraktikkan di dalam negara yang luas. Di situlah praktik representasi hadir sebagai jawaban atas kesulitan itu. Representasi dapat menjawab kesulitan pelaksanaan demokrasi langsung, “karena, seperti dikatakan John Selden, 'ruangan tidak akan menampung semua', rakyat akan memerintah diri mereka sendiri secara tidak langsung, melalui representatif mereka” [Arendt, 1972]. Dari proses itulah kemudian demokrasi modern berkembang hingga mencapai bentuknya seperti yang sekarang kita kenal, yaitu demokrasi tidak langsung, atau demokrasi representatif.
Kendati mekanisme representasi dimaksudkan sebagai instrumen semata untuk menjalankan prinsip demokrasi, tradisi elitis representatif ternyata tidak hilang sama sekali. Mereka yang terpilih secara demokratis, entah sebagai anggota parlemen maupun pejabat-pejabat eksekutif, bagaimanapun memiliki keistimewaan sebagai penentu keputusan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Mereka bukan saja bergelut dengan proses pemecahan masalah tetapi memiliki akses sangat luas terhadap berbagai sumber daya. Di tangan mereka nasib rakyat dipertaruhkan. Lebih dari itu, perilaku para representatif sangat mempengaruhi wajah dan bentuk demokrasi.
Kembali ke persoalan demokrasi kita, situasinya menjadi sedikit lebih rumit ketika kita terbiasa mengasosiasikan ‘wakil rakyat’ hanya sebatas anggota DPR, DPRD dan DPD. Amat jarang terlintas di pikiran kita bahwa presiden, gubernur dan walikota/bupati adalah juga para representatif itu. Dengan pemilahan itu, kita seperti sedang mempraktikkan sistem representasi dalam suasana kerajaan-kerajaan Eropa abad pertengahan ketimbang dalam konteks pemerintahan demokratis. Akibatnya, memang, para ‘wakil rakyat’ cenderung merasa berada dalam posisi tawar yang tinggi.
Pemilahan seperti itu juga mengaburkan esensi sistem demokrasi yang kita jalankan. Yang menjadi ;wakil rakyat’, dalam sistem demokrasi, bukan semata-mata mencakup anggota parlemen, tetapi mereka yang menjalankan pemerintahan karena dipilih oleh warga, atas dasar kesetaraan dan persamaan derajat. Membatasi istilah representatif hanya untuk anggota parlemen, berhadap-hadapan dengan pemerintah, justru bertolak belakang dari prinsip dasar demokrasi yaitu pemerintahan oleh rakyat. Seolah-olah, hanya merekalah satu-satunya pihak yang mewakili rakyat – atau bahkan merekalah rakyat itu sendiri – sedangkan pihak lainnya tidak.
Istilah ‘wakil rakyat’ itu juga mengacaukan konstruksi pemikiran kita tentang demokrasi, khususnya mengenai ruang politik publik (rakyat). Dengan menyebut para anggota DPR, DPRD dan DPD sebagai ‘wakil rakyat’, kita seakan-akan menyerahkan segala urusan politik dan kepentingan publik (rakyat) kepada mereka, tak ada urusan politik apa pun yang tersisa bagi rakyat. Akibatnya, muncul anggapan yang semakin umum diterima bahwa satu-satunya ruang politik publik yang terbuka bagi rakyat adalah sebuah bilik suara tertutup pada saat pemilu. Selangkah dari sana, rakyat tereksklusi dari ruang politik, perannya digantikan oleh para ‘wakil rakyat’. Padahal di samping melalui representatif, rakyat tetap berhak menggunakan mekanisme-mekanisme demokrasi langsung.
Karena itu, barangkali kita perlu menghentikan kebiasaan menyebut istilah ‘wakil rakyat’ ini. Makna yang berada di balik istilah itu, betapapun terdengar populis, sangat elitis ketimbang mengesankan kesetaraan. Sepotong cuplikan iklan di televisi itu cukup menyadarkan kita betapa istilah ‘wakil rakyat’ itu tidak melakukan pemihakan pada rakyat.
Kendati persoalan demokrasi kita tidak sesederhana sebatas kekacauan istilah, sebagaimana interaksi dalam bidang lainnya, dunia politik adalah dunia penuh simbol. Aktivitas politik adalah penggunaan simbol-simbol untuk keperluan politik. Istilah juga merupakan simbol yang punya makna tertentu dalam interaksi politik dan akan mendatangkan implikasi tertentu sesuai dengan harapan penggunanya. Demokrasi, karena itu, adalah ajang kontestasi wacana, bukan sekadar penentuan siapa melakukan apa. Sepanjang rakyat masih dikuasai oleh wacana elitisme, selama itu pula rakyat tak punya kedaulatan, di dalam sistem paling demokratis sekalipun.∎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar