Senin, 23 Juli 2012

Koalisi dan Distorsi Suara Publik

Oleh: Willy Purna Samadhi

Putaran kedua Pemilukada DKI Jakarta akan dilaksanakan 20 September. Suara warga Jakarta akan menentukan apakah pasangan Jokowi-Basuki atau Foke-Nara yang akan menjadi gubernur ibukota periode 2012-2017. Para pengamat, analis, lembaga survei, dan media massa kini meletakkan perhatian pada strategi dan peluang kedua pasangan itu untuk memenangkan pemilihan pada 20 September mendatang.

Analisis paling sederhana mengaitkan hasil perolehan suara pada putaran pertama dengan kemungkinan pembentukan koalisi untuk putaran kedua. Cara penglihatan semacam ini menempatkan PKS dan PAN sebagai faktor kunci, khususnya bagi pasangan Jokowi-Basuki yang dicalonkan PDIP dan Gerindra. Dengan perolehan suara sekitar 42 persen pada pemilukada 11 Juni yang lalu, Jokowi-Basuki hampir dapat dipastikan menjadi pemenang jika berkoalisi dengan PKS-PAN. Kedua partai ini pada putaran terdahulu mencalonkan pasangan Hidayat-Didik yang berhasil meraih sekitar 12 persen suara pemilih.

Posisi PKS-PAN juga dianggap strategis bagi pasangan Foke-Nara dari Demokrat dan PPP. Kendati penggabungan suara dengan Hidayat-Didik tidak mencapai 50 persen – sekitar 45-46 persen – koalisi dengan PKS-PAN setidaknya akan membuat peluang Foke-Nara tetap terbuka. Apalagi, meskipun belum ada sikap resmi dari Golkar dan PPP, Alex-Nono secara terbuka sempat menyatakan memberikan dukungan mereka kepada Foke-Nara. Tetapi sekalipun PDIP-Gerindra mendekati Golkar dan PPP, hasil penggabungan suara yang dimiliki Jokowi-Basuki kurang lebih akan menjadi sama , yaitu 46-47 persen.

Kemungkinan PKS-PAN berkoalisi dengan Demokrat kelihatannya lebih mungkin terwujud daripada membayangkan PKS-PAN bergabung dengan PDIP-Gerindra. Meskipun tidak ada pola koalisi yang ajeg yang dapat dicermati dari pelaksanaan pilkada di daerah-daerah lain, situasi politik Jakarta kelihatannya sulit akan bergeser terlalu jauh dari pola koalisi yang berlaku di tingkat nasional. PKS dan PAN, juga Golkar dan PPP, tergabung dalam sekretariat gabungan koalisi bersama Demokrat. Sedangkan PDIP dan Gerindra bukan anggota koalisi nasional. Itu sebabnya, peluang Foke-Nara untuk menang di putaran kedua masih tetap terbuka jika dilihat dari peta kekuatan antarpartai. Apalagi jika kemudian Golkar serta PPP memutuskan untuk ikut mendukung pasangan incumbent itu.

Mengikuti reka-rekaan semacam itu memang menarik. Salah satu topik yang barangkali paling ditunggu-tunggu saat ini, karena itu, adalah keputusan resmi dari para petinggi partai politik menyangkut pasangan kandidat mana yang akan didukung. Seakan-akan begitulah gambaran peta koalisi, begitu pulalah kemungkinan hasil pemilu. Padahal, banyak kasus di berbagai daerah yang membuktikan bahwa hasil pilkada tidak selalu bersesuaian dengan “kekuatan” partai pendukung kandidat.

Perkiraan seperti itu juga sesungguhnya rendah akurasinya karena mengasumsikan peta suara yang diperlihatkan dari hasil putaran pertama tidak akan berubah. Perlu dicatat pula bahwa prediksi seperti itu nyaris mengabaikan faktor perolehan suara pasangan kandidat non-partai, baik Faisal-Biem maupun Hendardji-Reza. Padahal, jumlah suara yang diperoleh kedua pasangan ini lumayan, yaitu sekitar 7 persen suara pemilih. Suara pemilih untuk Faisal-Biem bahkan melebihi yang bisa didapat Alex-Nono. Pada titik inilah sebuah pertanyaan perlu dimunculkan: untuk siapakah pemilukada dilakukan?


Distorsi suara publik
Kita sering mengartikan secara sederhana (meskipun tidak tepat benar) demokrasi sebagai “pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat”. Jelas bahwa rakyat (warga, atau publik) adalah unsur terpenting dalam demokrasi. Pemilu (pemilukada, pilkada – apa pun istilahnya) adalah salah satu mekanisme demokratis yang dilembagakan sebagai pengakuan atas hak kedaulatan warga. Melalui pemilu itulah setiap warga menyatakan sikap politiknya mengenai siapa yang paling tepat menjalankan kekuasaan atas namanya, berdasarkan keyakinannya atas kesesuaian aspirasi dirinya dengan program-program pengelolaan berbagai urusan publik yang dijanjikan oleh kandidat dalam kampanye.

Dalam rangkaian prosedur pemilu, kampanye diidealkan sebagai forum komunikasi antara para kandidat dan warga. Jika kita mempercayai mekanisme itu, maka selayaknya kita juga meyakini bahwa setiap suara warga pemilih bagi setiap pasangan kandidat merupakan tanda kontrak kepercayaan publik, bukan semata-mata terhadap kandidat yang dipilihnya tetapi juga mengikat seluruh kandidat. Sebaliknya, jargon “siap menang dan siap kalah” bukan semata-mata berlaku bagi setiap kandidat, tetapi sekaligus bagi warga. Hasil pemilu dapat dianggap sebagai semacam “kompromi sementara” seluruh warga dan para kandidat mengenai pengelolaan urusan publik.

Sistem pemilukada yang kita anut mengenal dua jalur kandidasi, yaitu jalur pencalonan partai dan perseorangan. Kandidat perseorangan atau non-partai menempuh mekanisme yang terbuka. Calon kandidat ‘menawarkan’ dirinya sendiri secara langsung kepada publik. Keberhasilan calon kandidat untuk menjadi kandidat yang berkompetisi di dalam pemilu ditentukan oleh seberapa besar dukungan warga terhadap komitmen yang dijanjikan. Namun, sebelum benar-benar menjadi kandidat yang berhak mengikuti pemilu, UU mensyaratkan calon kandidat perseorangan harus memperoleh dukungan 3 hingga 6,5 persen dari seluruh jumlah warga dengan sebaran geografis tertentu di dalam wilayah pemilihan, dengan disertai bukti fotokopi KTP dan surat pernyataan dukungan.

Dilihat dari segi prosedur, persyaratan bagi calon perseorangan jelas jauh lebih berat dibanding persyaratan bagi calon partai. Akan tetapi dari sudut pandang relasi antara kandidat dan warga pemilih, keberhasilan calon perseorangan memenuhi persyaratan itu jauh lebih kentara memperlihatkan interaksi dan dukungan nyata warga terhadap proses pencalonan. Sulit bagi calon perseorangan untuk menjalin komitmen secara tertutup dengan pihak-pihak tertentu di luar warga itu sendiri.

Jalur pencalonan oleh partai politik prosesnya berlangsung secara tertutup. Pada praktiknya, jalur pencalonan oleh partai tak ubahnya merupakan jalur percaloan oleh partai. Lazim terjadi di setiap pemilukada bahwa figur-figur yang dicalonkan partai bukan merupakan kader partai yang mencalonkannya. Mereka bisa berasal dari kalangan mana pun, termasuk dari kalangan non-partai sekalipun. Kandidasi mereka lebih banyak ditentukan oleh proses lobi tertutup di dalam partai yang hanya melibatkan segelintir petinggi partai. Selain mempertimbangkan faktor peluang kemenangan, keputusan partai akan sangat dipengaruhi oleh kesanggupan calon kandidat untuk memenuhi syarat-syarat yang dipatok partai.

Di titik inilah suara publik mulai mengalami distorsi. Ada kontrak eksklusif antara kandidat dengan partai yang tidak diketahui oleh warga dan calon pemilih. Tak ada jaminan sekecil apa pun bahwa materi yang dikampanyekan oleh para kandidat merupakan isi kontrak eksklusif antara kandidat dan partai yang mencalonkannya. Ketika kampanye berlangsung, kandidatlah yang menyampaikan janji-janji dan program kepada publik. Di lain sisi, ketertarikan publik pada janji-janji kandidat tetap saja terasing dari proses yang  terjadi sebelumnya di dalam partai.

Menghadapi putaran kedua, agaknya ada hitung-hitungan yang dipikirkan lebih serius oleh partai daripada sekadar memastikan kemenangan dengan mengumpulkan dukungan publik. Bagaimana koalisi dibentuk dan dibangun adalah misteri bagi publik. Sebaliknya, suara warga yang terhimpun pada putaran pertama menjadi tidak berarti apa-apa kecuali sebagai filter untuk putaran kedua.

Ketertutupan proses koalisi itu membuktikan partai-partai memiliki kekuasaan dan kekuatan tak terpedaya, mengalahkan suara publik. Ketika akhirnya partai mengumumkan formasi koalisi, tidak banyak alternatif terbuka bagi publik untuk memastikan pilihannya. Memilih Jokowi-Basuki atau Foke-Nara bisa menjadi sama artinya, yaitu menyerahkan kedaulatan warga kepada hasil tawar-menawar kepentingan antarpartai yang berkoalisi. Padahal koalisi antarkandidat dapat disandarkan pada tawar-menawar program-program yang mirip dan potensial untuk dikombinasikan.

Di tengah situasi seperti itu, barangkali yang masih bisa dilakukan publik adalah menimbang-nimbang pasangan kandidat mana yang lebih mungkin menyeimbangkan pemenuhan janji terbuka mereka pada saat kampanye dengan ikatan kontrak eksklusif mereka dengan partai. Dalam konteks ini, koalisi dengan pendukung para kandidat non-partai sesungguhnya menjadi lebih masuk akal dan signifikan. Kepada kandidat yang mampu melakukan hal itulah kita bisa berharap distorsi suara publik dapat ditekan, kendati tidak dapat dihilangkan sama sekali. Sebab, publiklah ‘pemilik’ pemilukada yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar