Putaran kedua Pemilukada DKI Jakarta akan dilaksanakan 20
September. Suara warga Jakarta akan menentukan apakah pasangan Jokowi-Basuki
atau Foke-Nara yang akan menjadi gubernur ibukota periode 2012-2017. Para
pengamat, analis, lembaga survei, dan media massa kini meletakkan perhatian
pada strategi dan peluang kedua pasangan itu untuk memenangkan pemilihan pada 20
September mendatang.
Analisis paling sederhana mengaitkan hasil perolehan suara
pada putaran pertama dengan kemungkinan pembentukan koalisi untuk putaran
kedua. Cara penglihatan semacam ini menempatkan PKS dan PAN sebagai faktor
kunci, khususnya bagi pasangan Jokowi-Basuki yang dicalonkan PDIP dan Gerindra.
Dengan perolehan suara sekitar 42 persen pada pemilukada 11 Juni yang lalu,
Jokowi-Basuki hampir dapat dipastikan menjadi pemenang jika berkoalisi dengan PKS-PAN.
Kedua partai ini pada putaran terdahulu mencalonkan pasangan Hidayat-Didik yang
berhasil meraih sekitar 12 persen suara pemilih.
Posisi PKS-PAN juga dianggap strategis bagi pasangan
Foke-Nara dari Demokrat dan PPP. Kendati penggabungan suara dengan
Hidayat-Didik tidak mencapai 50 persen – sekitar 45-46 persen – koalisi dengan
PKS-PAN setidaknya akan membuat peluang Foke-Nara tetap terbuka. Apalagi,
meskipun belum ada sikap resmi dari Golkar dan PPP, Alex-Nono secara terbuka
sempat menyatakan memberikan dukungan mereka kepada Foke-Nara. Tetapi sekalipun
PDIP-Gerindra mendekati Golkar dan PPP, hasil penggabungan suara yang dimiliki
Jokowi-Basuki kurang lebih akan menjadi sama , yaitu 46-47 persen.
Kemungkinan PKS-PAN berkoalisi dengan Demokrat kelihatannya
lebih mungkin terwujud daripada membayangkan PKS-PAN bergabung dengan
PDIP-Gerindra. Meskipun tidak ada pola koalisi yang ajeg yang dapat dicermati
dari pelaksanaan pilkada di daerah-daerah lain, situasi politik Jakarta
kelihatannya sulit akan bergeser terlalu jauh dari pola koalisi yang berlaku di
tingkat nasional. PKS dan PAN, juga Golkar dan PPP, tergabung dalam sekretariat
gabungan koalisi bersama Demokrat. Sedangkan PDIP dan Gerindra bukan anggota
koalisi nasional. Itu sebabnya, peluang Foke-Nara untuk menang di putaran kedua
masih tetap terbuka jika dilihat dari peta kekuatan antarpartai. Apalagi jika
kemudian Golkar serta PPP memutuskan untuk ikut mendukung pasangan incumbent itu.
Mengikuti reka-rekaan semacam itu memang menarik. Salah satu
topik yang barangkali paling ditunggu-tunggu saat ini, karena itu, adalah
keputusan resmi dari para petinggi partai politik menyangkut pasangan kandidat
mana yang akan didukung. Seakan-akan begitulah gambaran peta koalisi, begitu
pulalah kemungkinan hasil pemilu. Padahal, banyak kasus di berbagai daerah yang
membuktikan bahwa hasil pilkada tidak selalu bersesuaian dengan “kekuatan” partai
pendukung kandidat.
Perkiraan seperti itu juga sesungguhnya rendah akurasinya
karena mengasumsikan peta suara yang diperlihatkan dari hasil putaran pertama
tidak akan berubah. Perlu dicatat pula bahwa prediksi seperti itu nyaris mengabaikan
faktor perolehan suara pasangan kandidat non-partai, baik Faisal-Biem maupun
Hendardji-Reza. Padahal, jumlah suara yang diperoleh kedua pasangan ini
lumayan, yaitu sekitar 7 persen suara pemilih. Suara pemilih untuk Faisal-Biem
bahkan melebihi yang bisa didapat Alex-Nono. Pada titik inilah sebuah
pertanyaan perlu dimunculkan: untuk siapakah pemilukada dilakukan?
Distorsi suara publik
Kita sering mengartikan secara sederhana (meskipun tidak
tepat benar) demokrasi sebagai “pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat”.
Jelas bahwa rakyat (warga, atau publik) adalah unsur terpenting dalam
demokrasi. Pemilu (pemilukada, pilkada – apa pun istilahnya) adalah salah satu
mekanisme demokratis yang dilembagakan sebagai pengakuan atas hak kedaulatan
warga. Melalui pemilu itulah setiap warga menyatakan sikap politiknya mengenai siapa
yang paling tepat menjalankan kekuasaan atas namanya, berdasarkan keyakinannya
atas kesesuaian aspirasi dirinya dengan program-program pengelolaan berbagai
urusan publik yang dijanjikan oleh kandidat dalam kampanye.
Dalam rangkaian prosedur pemilu, kampanye diidealkan sebagai
forum komunikasi antara para kandidat dan warga. Jika kita mempercayai
mekanisme itu, maka selayaknya kita juga meyakini bahwa setiap suara warga
pemilih bagi setiap pasangan kandidat merupakan tanda kontrak kepercayaan publik,
bukan semata-mata terhadap kandidat yang dipilihnya tetapi juga mengikat seluruh
kandidat. Sebaliknya, jargon “siap menang dan siap kalah” bukan semata-mata berlaku
bagi setiap kandidat, tetapi sekaligus bagi warga. Hasil pemilu dapat dianggap
sebagai semacam “kompromi sementara” seluruh warga dan para kandidat mengenai
pengelolaan urusan publik.
Sistem pemilukada yang kita anut mengenal dua jalur
kandidasi, yaitu jalur pencalonan partai dan perseorangan. Kandidat
perseorangan atau non-partai menempuh mekanisme yang terbuka. Calon kandidat ‘menawarkan’
dirinya sendiri secara langsung kepada publik. Keberhasilan calon kandidat
untuk menjadi kandidat yang berkompetisi di dalam pemilu ditentukan oleh
seberapa besar dukungan warga terhadap komitmen yang dijanjikan. Namun, sebelum
benar-benar menjadi kandidat yang berhak mengikuti pemilu, UU mensyaratkan
calon kandidat perseorangan harus memperoleh dukungan 3 hingga 6,5 persen dari
seluruh jumlah warga dengan sebaran geografis tertentu di dalam wilayah
pemilihan, dengan disertai bukti fotokopi KTP dan surat pernyataan dukungan.
Dilihat dari segi prosedur, persyaratan bagi calon
perseorangan jelas jauh lebih berat dibanding persyaratan bagi calon partai.
Akan tetapi dari sudut pandang relasi antara kandidat dan warga pemilih,
keberhasilan calon perseorangan memenuhi persyaratan itu jauh lebih kentara
memperlihatkan interaksi dan dukungan nyata warga terhadap proses pencalonan.
Sulit bagi calon perseorangan untuk menjalin komitmen secara tertutup dengan
pihak-pihak tertentu di luar warga itu sendiri.
Jalur pencalonan oleh partai politik prosesnya berlangsung
secara tertutup. Pada praktiknya, jalur pencalonan oleh partai tak ubahnya
merupakan jalur percaloan oleh partai. Lazim terjadi di setiap pemilukada bahwa
figur-figur yang dicalonkan partai bukan merupakan kader partai yang
mencalonkannya. Mereka bisa berasal dari kalangan mana pun, termasuk dari
kalangan non-partai sekalipun. Kandidasi mereka lebih banyak ditentukan oleh
proses lobi tertutup di dalam partai yang hanya melibatkan segelintir petinggi
partai. Selain mempertimbangkan faktor peluang kemenangan, keputusan partai akan
sangat dipengaruhi oleh kesanggupan calon kandidat untuk memenuhi syarat-syarat
yang dipatok partai.
Di titik inilah suara publik mulai mengalami distorsi. Ada
kontrak eksklusif antara kandidat dengan partai yang tidak diketahui oleh warga
dan calon pemilih. Tak ada jaminan sekecil apa pun bahwa materi yang
dikampanyekan oleh para kandidat merupakan isi kontrak eksklusif antara
kandidat dan partai yang mencalonkannya. Ketika kampanye berlangsung,
kandidatlah yang menyampaikan janji-janji dan program kepada publik. Di lain
sisi, ketertarikan publik pada janji-janji kandidat tetap saja terasing dari
proses yang terjadi sebelumnya di dalam
partai.
Menghadapi putaran kedua, agaknya ada hitung-hitungan yang
dipikirkan lebih serius oleh partai daripada sekadar memastikan kemenangan
dengan mengumpulkan dukungan publik. Bagaimana koalisi dibentuk dan dibangun
adalah misteri bagi publik. Sebaliknya, suara warga yang terhimpun pada putaran
pertama menjadi tidak berarti apa-apa kecuali sebagai filter untuk putaran
kedua.
Ketertutupan proses koalisi itu membuktikan partai-partai
memiliki kekuasaan dan kekuatan tak terpedaya, mengalahkan suara publik. Ketika
akhirnya partai mengumumkan formasi koalisi, tidak banyak alternatif terbuka
bagi publik untuk memastikan pilihannya. Memilih Jokowi-Basuki atau Foke-Nara bisa
menjadi sama artinya, yaitu menyerahkan kedaulatan warga kepada hasil tawar-menawar
kepentingan antarpartai yang berkoalisi. Padahal koalisi antarkandidat dapat
disandarkan pada tawar-menawar program-program yang mirip dan potensial untuk
dikombinasikan.
Di tengah situasi seperti itu, barangkali yang masih bisa
dilakukan publik adalah menimbang-nimbang pasangan kandidat mana yang lebih
mungkin menyeimbangkan pemenuhan janji terbuka mereka pada saat kampanye dengan
ikatan kontrak eksklusif mereka dengan partai. Dalam konteks ini, koalisi
dengan pendukung para kandidat non-partai sesungguhnya menjadi lebih masuk akal
dan signifikan. Kepada kandidat yang mampu melakukan hal itulah kita bisa
berharap distorsi suara publik dapat ditekan, kendati tidak dapat dihilangkan
sama sekali. Sebab, publiklah ‘pemilik’ pemilukada yang sesungguhnya.∎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar