Dimuat di Sisipan Khusus Majalah Tempo (2005)
Konsentrasi Vs. Dekonsentrasi
Temuan DEMOS
PUJANGGA besar Perancis, Ernest Renan berpendapat bahwa ada dua hal pokok yang mendasari terbentuknya sebuah bangsa, yaitu kesamaan sejarah dan keinginan sekelompok masyarakat untuk bersatu (le desire d’entre ensamble). Lahirnya Indonesia sebagai sebuah bangsa mungkin dapat dilekatkan pada konsep itu. Penderitaan panjang sebagai akibat kondisi terjajah selama ratusan tahun, telah mempersatukan suku-suku dalam wilayah Nusantara atas keinginan bersama untuk merdeka melepaskan diri dari penderitaan akibat penjajahan. Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya persatuan menjadi motor penggerak untuk dengan segera memadukan seluruh potensi membangun nasionalisme Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Dengan kata lain, konsepsi nasionalisme Indonesia tidak hanya lahir dari solidaritas atas dasar asal usul, suku bangsa, agama, bahasa, geografi, tetapi juga dari pengalaman sejarah dan persamaan nasib (le’ sprit de corps) sebagai nasib bangsa terjajah.
Namun demikian, di mata Arief Budiman definisi ideal tersebut jarang terjadi. Karena itu ia menilai bahwa nasionalisme itu merupakan sesuatu yang fleksibel, kadang-kadang dipakai untuk diri sendiri tetapi bisa juga dipakai untuk kepentingan bangsa seluruhnya. Menganalisa nasionalisme, menurutnya, harus dilihat secara kasuistik dan pada situasi, tempat, waktu, serta siapa yang menggunakan. Karena nasionalisme terkadang dipakai secara manipulatif untuk bermacam-macam kepentingan. Pengkultusan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan contoh yang telanjang betapa nasionalisme dipersepsikan begitu sempit. NKRI seolah identik dengan nasionalisme itu sendiri sementara federalisme divonis sebagai barang haram yang mengancam. Peta wacana yang tidak sehat ini justru bisa menjadi bom waktu sekaligus membunuh alternatif dan daya kreatif bangsa ini di kemudian hari.
Konsentrasi Vs. Dekonsentrasi
Gerakan reformasi di tengah iklim global ternyata tidak serta-merta menepis interes lokal. Sebaliknya, angin reformasi telah turut menyuburkan pesat-semburatnya berbagai tuntutan dari daerah, wilayah, serta komunitas dan kepentingan yang beragam. Lahirnya UU No.22/1999 tentang otonomi daerah dan UU No.25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah tentu tidak lepas dari koteks ini.
Otonomi daerah sebagai bentuk dekonsentrasi politik memang layak menjadi pilihan, karena ini dianggap jauh lebih demokratis dibandingkan sistem yang terpusat. Dengan otonomi maka daerah diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan kebijakan sendiri sesuai dengan kebutuhannya. Otonomi juga membersitkan sejumlah harapan yang cukup menjanjikan bagi masyarakat. Menurut Frans Seda, otonomi akan lebih memberi kemungkinan pembangunan daerah berjalan serasi dengan kondisi ekonomi, sosial, dan kultural setempat.Namun demikian, implementasi otonomi daerah masih menyisakan kerisauan yang cukup mengkhawatirkan. Sejumlah kecemasan yang pernah mengemuka antara lain: munculnya boss-lokal yang seringkali diistilahkan dengan “Soeharto kecil”, warga akan makin diperas dengan berbagai pajak dan retribusi yang beragam, KKN pindah dan merajalela di daerah, aparat Pemda justru bertambah banyak dan tak efisien. Kondisi ini pada gilirannya justru akan lebih menyengsarakan rakyat.
Selain itu, pergeseran wewenang pemerintah yang sudah terjadi lewat otonomi, di beberapa tempat terbukti telah menyebabkan terjadinya cultural shock terutama pada kalangan pejabatnya. Hal itu mudah dipahami, karena perubahan pemerintahan ke arah desentralistik partisipatoris yang begitu luas dan tiba-tiba ternyata tidak diikuti dengan perubahan mental aparat pemerintah pusat dan daerah secara serta-merta. Hal lain yang lebih membahayakan adalah munculnya primordialisme kedaerahan yang mengancam integritas kebangsaan. Hal ini disebabkan karena setting provinsi di Indonesia sudah ‘terlanjur dibagi’ berdasarkan basis etnisitas. Oleh karena itu, kekhawatiran akan munculnya primordialisme etnisitas menjadi wajar ketika konsep otonomi daerah telah menjadi keniscayaan.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana implementasi otonomi daerah itu tidak melonggarkan nasionalisme yang telah terbina selama ini. Dalam hal inilah pemerintah dan segenap komponen bangsa ditantang untuk merancang strategi agar desentralisasi yang dicanangkan pemerintah melalui otonomi daerah tidak menjadi musibah, tapi menjadi berkah bagi rakyat sebagai pemilik sah republik ini.
Temuan DEMOS
Riset Nasional Demos putaran pertama mengenai Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia(2003-2004) menunjukkan bahwa otonomi daerah yang dilaksanakan pemerintah belum menampakkan hasil yang substansial. Mayoritas informan menilai kualitas kinerja hak-hak dan institusi (H/I) demokrasi mengenai desentralisasi masih buruk dan tak lebih baik dibanding era sebelum 1999, kendati tak juga menganggapnya lebih buruk. Sementara kualitas jangkauan penerapannya cenderung masih terbatas, baik pada aspek sebaran geografis maupun kedalaman implementasinya. Hal ini dapat divisualisasikan pada Tabel 1 berikut:
Tabel 1
Hak dan Institusi Demokrasi berkenaan dengan Penerapan Desentralisasi
Penerapan Desentralisasi
|
Baik/
Luas-Dalam
|
Buruk/
Terbatas-Dangkal
|
Perkembangan sejak 1999
| ||
+
|
=
|
-
| |||
Kinerja
|
28.1%
|
71.9%
|
37.5%
|
42.6%
|
19.9%
|
Jangkauan penerapan
|
40.7%
|
59.3%
|
33.3%
|
49.0%
|
17.6%
|
Para aktor demokrasi lokal yang menjadi informan Riset Demos menilai desentralisasi masih merupakan sekadar “jargon” atau formalitas ketimbang merupakan sebuah upaya yang sungguh-sungguh dilakukan untuk mendukung demokratisasi. Kondisi seperti inilah barangkali yang disebut Andi Mallarangeng sebagai fase pertama dari desentralisasi, yaitu “desentralisasi administratif”, belum mengacu ke desentralisasi sejati yaitu democratic decentralization atau decentralization of democracy.
Meskipun tidak begitu mengejutkan, temuan tersebut bagaimana pun tetap merupakan hal yang menarik. Desentralisasi memang agaknya diterapkan secara setengah hati oleh penguasa politik di tingkat nasional. Jerat kenikmatan sistem sentralistis yang sudah berlangsung puluhan tahun pada masa Orde Baru kelihatannya bukan sesuatu yang mudah dilepaskan. Berbagai argumentasi muncul untuk mencegah terlaksananya praktik desentralisasi, mulai dari ancaman disintegrasi hingga anggapan yang tidak relevan mengenai ketidaksiapan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang otonom. Pada dasarnya, desentralisasi atau otonomi daerah – setidaknya dalam format yang sudah diatur oleh UU No 22/1999 -- memang cenderung bukan pilihan yang dianggap menguntungkan oleh pemerintah pusat.
Sebaliknya, di tingkat daerah, desentralisasi memperoleh sambutan antusias. Selain ditandai oleh mencuatnya isu “putra daerah” yang kontra-produktif, hal itu ditandai pula dengan banjirnya ribuan Peraturan Daerah (Perda) di seluruh Indonesia dalam waktu singkat segera setelah otonomi daerah dinyatakan efektif berlaku. Sebuah sumber mengungkap bahwa hanya dalam waktu enam bulan terindikasi sekitar seribu perda yang dinilai “bermasalah”.
Barangkali gambaran kontradiktif seperti itulah yang terbayang di benak para aktor demokrasi lokal ketika diminta memberikan penilaian mereka terhadap jalannya desentralisasi pasca-Orde Baru. Mudah dipahami karenanya jika sebagian besar di antara mereka menganggapnya buruk dan relatif masih sebatas formalitas belaka, serta cenderung tak membaik sejak 1999.
Tentu ada cukup banyak penjelasan hipotetis yang bisa diberikan untuk menjawab mengapa semangat yang begitu kuat ke arah desentralisasi selama lima tahun terakhir ini nyatanya hanya berjalan di tempat. Salah satu penjelasan yang cukup penting dan faktual – tidak sebatas hipotesis belaka – adalah menderasnya arus migrasi aktor-aktor dominan dari pusat ke daerah. Yang dimaksud aktor dominan oleh Demos adalah para aktor yang memiliki kekuasaan dan kekuatan politik teramat besar sehingga mendominasi kehidupan politik. Pada situasi Indonesia yang baru keluar dari kehidupan politik yang otoriter, aktor dominan cenderung adalah para penguasa, baik sipil maupun militer, yang mempertahankan atribut kekuasaan dan kekuatan mereka di masa lalu. Karena itu, aktor dominan biasanya berperilaku anti-demokrasi, atau setidak-tidaknya bukan pendukung demokrasi.
Riset Demos juga menunjukkan bahwa aktor dominan menjadi penghambat utama dalam implementasi desentralisasi. Mereka berkolaborasi dengan aktor-aktor dominan lokal bergerak cepat menguasai kehidupan politik di tingkat lokal. Fenomena ini cukup merata terjadi di semua daerah, sehingga desentralisasi dan otonomi daerah yang diharapkan mampu mendorong proses demokrasi di tingkat lokal sulit terwujud. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Dekonsentrasi politik melalui otonomi daerah saat ini justru telah memunculkan 're-konsentrasi' baru di tingkat lokal. Karena itu Riset Demos ‘merekomendasikan’ desentralisasi sejati melalui otonomi komunitas yang berbasis penguatan hak rakyat. Desentralisasi ini berorientasi pada upaya untuk memperluas dan memperkuat kapasitas kontrol rakyat terhadap dominasi negara.∎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar