Pengantar
Desentralisasi kiranya sudah jamak diterima sebagai sebuah keniscayaan dalam proses demokratisasi. Bahkan negara-negara yang amat kuat ciri otoriternya berusaha mendesain tata politik pemerintahannya seakan-akan memenuhi asas desentralisasi agar terkesan demokratis. Rezim Orde Baru Indonesia, misalnya, bukannya tak memperkenalkan desentralisasi di balik tata politik dan administrasi pemerintahannya yang amat kental dengan gaya otoriter dan sistem sentralistisnya. Tak lain tak bukan, desentralisasi a la Orde Baru itu adalah semacam aksesoris imitasi untuk menutupi praktek sentralisasi sekaligus mengesankan telah berlangsungnya kehidupan politik yang demokratis. Begitu kuatnya relasi antara demokratisasi dan desentralisasi sehingga setiap studi yang mengamati “proyek” demokratisasi nyaris selalu menempatkan aspek pelaksanaan desentralisasi sebagai salah satu indikator pokok untuk mengukur seberapa jauh dan seberapa berhasil demokratisasi telah berlangsung.[1]
Tulisan ini sendiri sebenarnya merupakan sebuah bagian saja dari serangkaian artikel yang secara keseluruhan dihadirkan sebagai laporan penelitian Konteks dan Proses Demokratisasi Pasca Orde Baru: Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan.[2] Karena berangkat dari penelitian yang tidak secara khusus berfokus pada tema desentralisasi, artikel ini memang tidak dimaksudkan untuk memberi gambaran yang berulang mengenai relasi antara desentralisasi dan gerakan demokratisasi. Uraian pada artikel ini lebih ditujukan untuk menggambarkan bagaimana desentralisasi yang telah dilangsungkan sejak tahun 1999 di Indonesia berdampak pada gerakan demokratisasi yang berkembang setelah rezim Orde Baru tumbang. Kemudian, pilihan-pilihan apa yang mengemuka dari hasil temuan riset ini yang dapat diambil untuk menyempurnakan konsep dan implementasi desentralisasi di Indonesia sebagai salah satu pendorong utama demokratisasi.
Desentralisasi setengah hati
Istilah desentralisasi tentu saja bukan sesuatu yang baru dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Meskipun magnitude-nya semakin terasa sejak era reformasi dimulai, jauh sebelum itu konsep desentralisasi sudah kerap didesakkan penerapannya. Sistem politik Orde Baru yang sangat kental warna sentralisasinya, sedikit banyak merupakan sebab bergulirnya berbagai diskusi di era reformasi yang mengangkat arti pentingnya desentralisasi.
Sebegitu jauh, diskusi tentang desentralisasi di Indonesia dapat dikenali memiliki dua ciri yang kuat, yaitu “jeritan” daerah sebagai respon atas berlangsungnya pemerasan sumber daya lokal guna kepentingan pemerintah maupun orang-orang di tingkat pusat. Penghisapan hasil-hasil sumber daya lokal ke tingkat pusat melahirkan ketidakseimbangan yang sangat kentara antara pusat dan daerah, atau kerap pula muncul dikotomi Jawa dan Luar Jawa. Sebagai “pemilik” sumber daya, wajar jika daerah merasa cemburu terhadap hak istimewa yang dimiliki pemerintah dan para pejabat di tingkat pusat. Karena itu, tuntutan atau setidaknya suara-suara yang menghendaki hak otonomi pun bermunculan. Sayang, kekuatan pemerintah pusat pada era Orde Baru bukan lawan tanding yang sepadan bagi “kekuatan-kekuatan” lain yang memandang perlu adanya keleluasaan bagi orang-orang di tingkat daerah.
Ciri kuat yang kedua adalah bahwa wacana desentralisasi di Indonesia hampir selalu direkatkan dengan wacana integrasi nasional. Hal ini sebetulnya merupakan konsekuensi logis dari ciri pertama di atas, yaitu bahwa desentralisasi didasarkan atas kepentingan penguasa untuk menjaga keutuhan wilayah nasional. Di sini terkandung makna bahwa desentralisasi lebih didesain untuk meredam gejolak di berbagai daerah. Dalam konteks ini pula kemudian dapat dimengerti mengapa gagasan menuju federalisme tidak terlalu populer di Indonesia.
Desentralisasi atau otonomi daerah[3] pada masa Orde Baru bukannya tak ada sama sekali. Undang-undang (UU) No 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah telah mengatur bagaimana pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah di daerah. Namun, sebagaimana terwujud dalam praktiknya, UU tersebut tampaknya lebih disusun dalam kerangka sentralisasi ketimbang merupakan sebuah landasan bagi terlaksananya desentralisasi. Salah satu penjelasan UU tersebut juga secara tegas mengatakan otonomi daerah pada hakekatnya lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan.[4]
Pasca-Orde Baru, desentralisasi memasuki era baru yang lebih membuka harapan. UU No 5/1974 yang sentralistis dihapuskan dan diganti dengan UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang jauh lebih membuka keran kekuasaan di tingkat lokal. Perangkat dasar bagi otonomi itu dilengkapi lagi dengan UU No 25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat-daerah. Wewenang otonomi diberikan luas kepada pemerintah tingkat kabupaten dan kota. Bupati dan walikota pun dinyatakan bukan lagi sebagai aparat pemerintah yang hirarkis di bawah gubernur. Jabatan tertinggi di kabupaten dan kota itu merupakan satu-satunya kepala daerah di tingkat lokal, tanpa bergantung pada gubernur. Setiap bupati dan walikota memiliki kewenangan penuh untuk mengelola daerah kekuasaannya.
Keleluasaan atas kekuasaan yang diberikan kepada bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme kontrol (checks and balances) yang memadai antara eksekutif dan legislatif. Parlemen di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik riil yang baru. Lembaga legislatif ini secara merdeka dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur dan bupati/walikota tanpa intervensi kepentingan dan pengaruh politik pemerintah pusat. Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan sendiri di tingkat daerah atas kesepakatan pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Undang-undang yang baru juga mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat langsung dinyatakan berlaku setelah disepakati sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang mensyaratkan adanya persetujuan dari penguasa pemerintahan yang lebih tinggi bagi setiap perda yang akan diberlakukan.
Secara formal, otonomi daerah memang sudah berdiri. UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 memberikan kerangka yang cukup ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis di setiap daerah. Bagaimanapun, rupanya praktik-praktik politik yang menyusul setelah itu masih belum sepenuhnya memperlihatkan adanya otonomi yang demokratis. Setidaknya terdapat dua penyebab utama mengapa hal ini bisa terjadi.
Pertama, pemerintah pusat rupanya tak kunjung serius memberikan hak otonomi kepada pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat dari pembiaran pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan perundang-undangan lama yang tidak lagi sesuai dengan UU otonomi yang baru. Padahal, ada ratusan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang harus disesuaikan dengan kerangka otonomi daerah yang baru. Ketiadaan aturan pelaksanaan baru yang mendukung otonomi daerah yang demokratis menjadikan kedua UU menyangkut otonomi daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di tingkat daerah, ketiadaannya telah melahirkan kebingungan.
Kedua, desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak terkendali di kalangan sebagian elit di daerah sehingga memunculkan sentimen kedaerahan yang amat kuat. Istilah “putra daerah” mengemuka di mana-mana mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud melalui semacam keharusan bahwa kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah diduduki oleh tokoh-tokoh asli dari daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang diinginkan apalagi menjadi tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Bagaimanapun, fenomena “putra daerah” itu meruak di berbagai daerah.
Gambaran kondisi implementasi desentralisasi itu boleh dibilang mengemuka secara umum dalam hasil riset ini. Data yang dihimpun dari lebih 350 informan di seluruh Indonesia memperlihatkan betapa desentralisasi gaya baru yang berjalan sejak 1 Januari 2001 itu masih belum menampakkan perbedaan substansial yang signifikan. Mereka menganggap mutu desentralisasi masih buruk dan tak lebih baik dibanding era sebelum 1999, kendati tak juga menganggapnya lebih buruk. Jangkauan penerapan (scope) desentralisasi juga cenderung dinilai terbatas, baik pada aspek sebaran geografis maupun kedalaman implementasinya. Artinya, para pelaku demokratisasi melihat desentralisasi masih merupakan sekadar “jargon” atau formalitas ketimbang merupakan sebuah upaya yang sungguh-sungguh dilakukan untuk mendukung demokratisasi. Kondisi seperti inilah barangkali yang disebut Andi Mallarangeng sebagai fase pertama dari desentralisasi, yaitu “desentralisasi administratif”.[5]
Meskipun tidak begitu mengejutkan, temuan tersebut bagaimana pun tetap merupakan hal yang menarik. Desentralisasi memang agaknya diterapkan secara setengah hati oleh penguasa politik di tingkat nasional. Jerat kenikmatan sistem sentralistis yang sudah berlangsung puluhan tahun pada masa Orde Baru kelihatannya bukan sesuatu yang mudah dilepaskan. Berbagai argumentasi muncul untuk mencegah terlaksananya praktik desentralisasi, mulai dari ancaman disintegrasi hingga anggapan yang tidak relevan mengenai ketidaksiapan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang otonom. Pada dasarnya, desentralisasi atau otonomi daerah – setidaknya dalam format yang sudah diatur oleh UU No 22/1999 -- memang cenderung bukan pilihan yang dianggap menguntungkan oleh pemerintah pusat.
Sebaliknya, di tingkat daerah, desentralisasi memperoleh sambutan antusias. Selain ditandai oleh mencuatnya isu “putra daerah” yang kontra-produktif, hal itu ditandai pula dengan banjirnya ribuan Peraturan Daerah (perda) di seluruh Indonesia dalam waktu singkat segera setelah otonomi daerah berdasarkan UU No 22/1999 dinyatakan efektif berlaku. Sebuah catatan mengungkap bahwa hanya dalam waktu enam bulan terindikasi sekitar seribu perda yang dinilai “bermasalah”.[6] Bahkan, IMF melalui Departemen Keuangan RI telah meminta pencabutan dan pembatalan sekitar 100 perda bermasalah.[7]
Barangkali gambaran kontradiktif seperti itulah yang terbayang di benak para pelaku demokratisasi ketika diminta memberikan penilaian mereka terhadap jalannya desentralisasi pasca-Orde Baru. Mudah dipahami karenanya jika sebagian besar di antara mereka menganggapnya buruk dan relatif masih sebatas formalitas belaka, serta cenderung tak membaik sejak 1999. (Lihat Tabel 1)
Tabel 1:
Penilaian terhadap Kinerja dan Jangkauan Penerapan Desentralisasi
Baik/
Luas-Dalam
|
Buruk/
Terbatas-Dangkal
|
Perkembangan sejak 1999
| |||
+
|
=
|
-
| |||
Kinerja
|
28.1%
|
71.9%
|
37.5%
|
42.6%
|
19.9%
|
Jangkauan penerapan
|
40.7%
|
59.3%
|
33.3%
|
49.0%
|
17.6%
|
Tentu ada cukup banyak penjelasan hipotetis yang bisa diberikan untuk menjawab mengapa semangat yang begitu kuat ke arah desentralisasi selama lima tahun terakhir ini nyatanya hanya berjalan di tempat. Namun, salah satu penjelasan yang cukup penting dan faktual – tidak sebatas hipotesa belaka – adalah menderasnya arus migrasi aktor-aktor dominan[8] dari pusat ke daerah. Mereka berkolaborasi dengan aktor-aktor dominan lokal bergerak cepat menguasai kehidupan politik di tingkat lokal. Fenomena ini cukup merata terjadi di semua daerah, sehingga desentralisasi dan otonomi daerah yang diharapkan mampu mendorong proses demokrasi di tingkat lokal tak juga terwujud.
Tabel 2:
Wilayah Gerakan Aktor Dominan
WILAYAH
|
PUSAT
|
LOKAL
|
JARINGAN
| |
NEGARA
|
PARLEMEN
|
24.1 %
|
47.1 %
|
28.8 %
|
BIROKRASI
|
23.9
|
46.2
|
29.9
| |
MILITER
|
23.1
|
46.3
|
30.6
| |
BISNIS
|
BESAR
|
38.4
|
28.9
|
32.8
|
MENENGAH
|
16.2
|
56.7
|
27.1
| |
KECIL
|
12.2
|
60.9
|
26.9
| |
UNIT MASYARAKAT SWADAYA
|
ORGANISASI KEAGAMAAN
|
14.9
|
53.7
|
31.4
|
KOMUNITAS LOKAL
|
6.6
|
70.0
|
23.4
| |
KOPERASI
|
11.5
|
55.7
|
32.8
| |
PERS, LEMBAGA RISET
|
15.7
|
50.5
|
33.8
| |
UNIT MASYARAKAT SWADAYA LAINNYA
|
19.7
|
46.9
|
33.5
| |
WILAYAH PUBLIK
|
ASOSIASI POLITIK
|
31.4
|
39.4
|
29.2
|
CIVIL POLITICAL ASSOCIATION
|
21.0
|
47.4
|
31.5
| |
ASOSIASI CIVIL SOCIETY DENGAN BISNIS
|
17.9
|
48.6
|
33.4
| |
ASOSIASI CIVIL SOCIETY DENGAN UNIT-UNIT MASYARAKAT SWADAYA
|
10.8
|
57.1
|
32.1
|
Seperti terlihat pada Tabel 2, hampir seluruh wilayah politik yang kerap dijadikan arena oleh para aktor dominan berada di tingkat lokal. Mereka bahkan banyak berada di unit-unit wilayah yang seharusnya menjadi arena warga daerah, yaitu bisnis skala kecil dan menengah, serta juga komunitas lokal. Satu-satunya arena di tingkat pusat yang lebih kerap dijadikan tempat aktor dominan beraktivitas adalah bisnis skala besar. Tentu saja hal itu tak lantas berarti aktor dominan kurang meminati wilayah bisnis berskala besar di tingkat lokal, namun mudah diduga bahwa hal itu terjadi karena bisnis berskala besar memang lebih banyak berada di tingkat pusat.
Jika data pada Tabel 2 itu dilihat dari sisi yang lain, terungkap pula bahwa empat kelompok wilayah utama – negara, bisnis, unit masyarakat swadaya, dan wilayah publik – ditempati secara relatif merata oleh aktor dominan. Wilayah negara memang menjadi tempat aktivitas utama aktor dominan, khususnya di birokrasi dan parlemen. Namun, tak sedikit pula aktor dominan yang bergerak di wilayah publik dan menggarap masyarakat sipil.
Tabel 3:
Wilayah Gerakan Aktor Pro-demokrasi
WILAYAH
|
AKTIF
|
SUB-UNIT
|
AKTIF
|
NEGARA
|
22.4%
|
PARLEMEN
|
49.8%
|
BIROKRASI
|
61.7%
| ||
MILITER
|
49.5%
| ||
BISNIS
|
12.1%
|
BESAR
|
39.2%
|
MENENGAH
|
59.5%
| ||
KECIL
|
66.7%
| ||
UNIT MASYARAKAT SWADAYA
|
34.6%
|
ORGANISASI KEAGAMAAN
|
46.8%
|
KOMUNITAS LOKAL
|
63.7%
| ||
KOPERASI
|
55.3%
| ||
PERS, LEMBAGA RISET
|
42.7%
| ||
UNIT MASYARAKAT SWADAYA LAINNYA
|
38.3%
| ||
WILAYAH PUBLIK
|
31.0%
|
ASOSIASI POLITIK
|
43.2%
|
CIVIL POLITICAL ASSOCIATION
|
40.7%
| ||
ASOSIASI CIVIL SOCIETY DENGAN BISNIS
|
47.7%
| ||
ASOSIASI CIVIL SOCIETY DENGAN UNIT-UNIT MASYARAKAT SWADAYA
|
47.6%
|
Hal terakhir itu kontras dengan yang berlangsung di kalangan aktor gerakan pro-demokrasi. Hasil riset menunjukkan adanya kecenderungan yang cukup kuat di kalangan aktivis pro-demokrasi untuk memfokuskan gerakan-gerakan mereka di wilayah publik dan unit-unit masyarakat mandiri. Sebaliknya, mereka cenderung mengabaikan kesempatan untuk berkiprah di wilayah negara apalagi bisnis. (Tabel 3)
Situasi semacam itu tampak sejalan dengan analisis Juni Thamrin terhadap jalannya desentralisasi di Indonesia pasca-2001. Thamrin menemukan dua ide besar yang terus-menerus bertarung dan bersaing dalam upaya mengisi dan memberikan arah bagi pelaksanaan otonomi daerah.[9] Ide pertama menganjurkan proses-proses emansipatoris, yaitu memperlebar peran-peran warga dalam penentuan dan pembentukan kebijakan publik. Ide ini berasal dari dan menjadi inspirasi gerakan kalangan perguruan tinggi atau akademisi yang demokratis, NGO, dan kelompok-kelompok pro-demokrasi.
Di pihak lain, ide yang kedua mengusung isu primordialisme (seperti isu putra daerah), menegakkan simbol-simbol keagamaan untuk mendapatkan legitimasi baru dalam kekuasaan di daerah, termasuk juga mengatasnamakan warga setempat untuk eksploitasi sumber daya setempat. Mereka yang biasanya menggaungkan isu-isu seperti ini adalah pelaku-pelaku politik lokal dan elit setempat yang seringkali menggunakan kendaraan partai politik dan institusi status-quo di daerah. Dalam konteks riset ini, merekalah para aktor dominan itu.
Kendati demikian, hasil riset ini tidak saja mengkonfirmasi analisis Thamrin di atas, namun sekaligus menunjukkan bahwa pertarungan kedua ide tersebut cenderung bersifat laten. Kedua kekuatan yang berada di balik masing-masing gagasan tersebut tidak berada pada arena yang sama, sehingga konflik di antara mereka bersifat sesekali dan hanya menghangat pada situasi-situasi tertentu. Kelompok pro-demokrasi, misalnya, cenderung hanya merespon kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang dianggap merugikan warga. Tak banyak upaya yang dilakukan oleh kelompok pro-demokrasi untuk menempuh langkah-langkah politik yang strategis di sela-sela penyusunan perda, apalagi mengambil inisiatif untuk mengajukan rancangan-rancangan perda. Dengan begitu, desentralisasi tampaknya belum lagi menapaki tahap desentralisasi yang demokratis (democratic decentralization) sebagaimana dinyatakan Mallarangeng.
Kegagalan desentralisasi yang demokratis tak hanya diindikasikan oleh data di atas. Riset ini pun mengungkap sebuah paradoks, yaitu keengganan pegiat demokrasi di daerah untuk menempuh mekanisme demokratis dan menggunakan institusi demokrasi dalam upaya mereka menegakkan demokrasi. Dari tujuh alternatif strategi demokratis (lihatGambar 1) yang ditanyakan kepada para informan pro-demokrasi, alternatif strategi yang paling banyak ditempuh adalah strategi gerakan yang melulu menggalang kekuatan civil society tanpa kemudian memperkuatnya dengan melakukan manuver-manuver pada kelembagaan hukum dan politik. Sebaliknya, aktor pro-demokrasi pada umumnya memperlihatkan kecenderungan untuk menghindari cara-cara pendekatan hukum dan politik untuk meraih tujuan-tujuan gerakan yang mereka lakukan. Data pada Tabel 4 memperlihatkan fenomena itu.
Gambar 1
Pilihan Strategi Demokratis untuk Mencapai Tujuan
Data pada Tabel 4 memperlihatkan prosentase frekuensi strategi yang biasa ditempuh oleh aktor demokrasi. Sebagaimana terlihat, cara-cara melalui civil society merupakan porsi terbesar dalam peta gerakan demokrasi. Pendekatan melalui sistem hukum dan politik pun nyatanya lebih dilakukan dengan cara-cara yang menghadapkan secara langsung spontanitas massa dengan pemerintah atau negara. Aktor pro-demokrasi terlihat jarang melakukan upaya lobi dan pendekatan yang sistematis terhadap para elit politik, apalagi dengan sengaja memasuki arena politik dengan mendirikan atau aktif di partai, misalnya.
Tabel 4:
Strategi Aktor Pro-demokrasi
MELALUI CIVIL SOCIETY
|
34.5%
| |||
Memobilisasi kekuatan massa: aksi massa, demonstrasi, rapat akbar, boikot
|
5.4%
| |||
Membangun kesadaran masyarakat basis melalui program pendidikan, pelatihan dan diskusi
|
44.8%
| |||
Mengorganisasi masyarakat basis
|
29.6%
| |||
Melakukan kampanye melalui media massa
|
3.2%
| |||
Membentuk kelompok usaha, koperasi
|
0.7%
| |||
Membangun jaringan dan aliansi
|
8.7%
| |||
Memfasilitasi, mendampingi dan mengadvokasi masyarakat basis
|
7.6%
| |||
MELALUI SISTEM HUKUM
|
11.9%
| |||
Memberikan advokasi hukum
|
20.8%
| |||
Mengajukan gugatan hukum dan class action
|
52.1%
| |||
Mengusulkan perubahan peraturan, UU, pembuatan ketentuan peraturan PerUU baru, legal drafting dan pembentukan peradilan khusus
|
27.1%
| |||
MELALUI SISTEM POLITIK
|
7.3%
| |||
Melakukan lobi, hearing, usulan ke DPR/DPRD, politisi, pejabat pemerintahan guna mempengaruhi kebijakan
|
66.1%
| |||
Menjalin kontak dengan parlemen serta partai sebagai sarana mengartikulasikan kepentingan dan aspirasi masyarakat
|
3.4%
| |||
Memperjuangkan tegaknya demokrasi, memperkuat institusi politik lokal dan institusi rakyat
|
30.5%
| |||
MELALUI CIVIL SOCIETY DAN SISTEM HUKUM
|
13.8%
| |||
Membangun kesadaran hukum kritis masyarakat basis melalui program pendidikan dan pelatihan hukum
|
42.3%
| |||
Mengorganisir masyarakat basis serta melakukan advokasi hukum ke pengadilan
|
24.3%
| |||
Melakukan tekanan terhadap lembaga hukum/peradilan melalui demonstrasi, aksi massa, petisi
|
9.0%
| |||
Bersama-sama masyarakat basis dan jaringan mengawasi penegakan hukum, menyiapkan legal drafting, melakukan kampanye publik dalam aksi-aksi legal
|
16.2%
| |||
Meminta bantuan dan dukungan dari lembaga-lembaga bantuan hukum seperti LBH dan Komnas HAM
|
8.1%
| |||
MELALUI CIVIL SOCIETY DAN SISTEM POLITIK
|
18.9%
| |||
Membangun kesadaran politik, kemampuan politik dan keterampilan demokratik masyarakat basis melalui program pendidikan dan pelatihan guna melakukan advokasi kebijakan dan aksi-aksi politik
|
42.1%
| |||
Mengajak masyarakat mempengaruhi DPR/DPRD, partai, politisi dan pejabat pemerintah melalui lobi, dialog, mengajukan usulan dan aksi-aksi
|
11.2%
| |||
Mengajak masyarakat mendirikan partai
|
2.6%
| |||
Melakukan tekanan melalui aksi massa, demonstrasi guna mempengaruhi kebijakan politik
|
11.2%
| |||
Melakukan perubahan politik melalui pemilu, partai, parlemen, dan mekanisme formal lainnya
|
25.7%
| |||
Menampung asipirasi dan kepentingan masyarakat untuk diajukan ke lembaga formal
|
7.2%
| |||
MELALUI CIVIL SOCIETY, SISTEM HUKUM DAN SISTEM POLITIK
|
6.5%
| |||
Mengorganisir, mengkonsolidasi kekuatan masyarakat, melakukan gugatan politik dan hukum guna mempengaruhi kebijakan/peraturan perundang-undangan
|
40.4%
| |||
Merumuskan strategi hukum dan politik dengan berbagai pihak terkait
|
11.5%
| |||
Membangun dan meningkatkan kesadaran kritis tentang hukum dan politik
|
48.1%
| |||
MELALUI SISTEM HUKUM DAN SISTEM POLITIK
|
7.1%
| |||
Memperjuangkan kebebasan berorganisasi, partisipasi dan hak-hak masyarakat basis serta supremasi hukum
|
57.9%
| |||
Melakukan lobi, hearing, konsultasi, tawar menawar dengan para politisi, pembuat peraturan perundang-undangan atas isu perundang-undangan tertentu
|
26.3%
| |||
Memperjuangkan, mendorong pemberian sanksi terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan Parpol dan Politik dan hak-hak rakyat
|
8.8%
| |||
Menggunakan dan mempengaruhi aturan main/mekanisme lembaga formal
|
7.0%
| |||
Riset ini, karenanya, mengungkap fenomena lain lagi dari jelannya desentralisasi selama empat tahun terakhir ini, yaitu tak berlangsungnya decentralization of democracy.[10] Inilah mungkin salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan mengapa desain desentralisasi yang sudah memberikan keleluasaan kepada daerah ternyata masih tetap gagal pada tahap implementasinya. Rupanya, para aktor demokrasi di daerah pun seperti enggan beranjak daripositioning mereka di masa lalu, yaitu menempatkan diri di luar lembaga-lembaga demokrasi dan menjalankan strategi mereka “mengembangkan” kapasitas civil society tanpa diiringi dengan upaya mengembangkan kapasitas maupun berinteraksi dengan lembaga-lembaga demokrasi lainnya. Desentralisasi, karena itu, tak berhasil membentuk pola baru demokrasi di daerah. Di sisi lain, politik daerah menjadi panggung baru bagi para elit setempat maupun elit pusat yang hijrah ke daerah untuk memperebutkan kekuasaan dan privileges yang kini tersebar di daerah. Celakanya, para elit itu memanfaatkan hak dan lembaga-lembaga demokrasi yang secara formal – diakui atau tidak – telah semakin demokratis.
Alternatif ke depan: Partai lokal
Tak disangkal, desentralisasi berdasarkan UU No 22/1999 memberikan kerangka desentralisasi yang baru sekaligus membuka peluang bagi terselenggaranya kehidupan yang lebih demokratis di Indonesia. Peluang kontrol masyarakat terhadap pemerintah semakin besar karena jalurnya telah menjadi semakin pendek, yaitu melalui kontrol atas pemerintahan di daerah. Peluang partisipasi masyarakat pun menjadi semakin besar karena lembaga perwakilan di daerah memiliki peranan yang efektif untuk menelurkan kebijakan-kebijakan yang mandiri di tingkat lokal. Akan tetapi, pada kenyataannya hampir semua peluang itu justru lebih membantu lahirnya “raja-raja” baru di daerah. Daerah telah menjadi “sentral” yang baru, dalam konotasi negatif.[11]
Ke depan, otonomi daerah selayaknya dikembalikan kepada hakekatnya sebagai hak publik di daerah untuk mengelola dan mengontrol kekuasaan. Dengan begitu, demokratisasi dapat beranjak maju dan kualitas demokrasi dapat membaik. Belajar dari pengalaman, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah mengubah pola gerakan para aktor pro-demokrasi di daerah agar dapat seluas-luasnya melibatkan diri dalam percaturan politik lokal. Pembangunan kesadaran publik sebagaimana yang biasa dilakukan para aktor selama ini bukannya tak penting, tetapi riset ini telah mempertunjukkan betapa cukup sia-sianya upaya itu jika tidak disertai dengan gerakan yang sungguh-sungguh untuk menguasai dan memanfaatkan lembaga-lembaga demokrasi lainnya.
Hambatannya barangkali memang bukan terletak pada persoalan desentralisasi semata. Serangkaian seminar yang dilangsungkan di berbagai daerah menyusul kegiatan riset ini telah memunculkan beberapa gagasan untuk mengefektifkan demokratisasi pasca-Orde Baru. Dalam kaitannya dengan pelaksnaan otonomi daerah, gagasan terpenting yang mengemuka adalah pembentukan partai-partai lokal.[12] Partai lokal dipercaya dapat mengefektifkan kontrol publik di daerah, sekaligus dapat menghambat arus kepentingan dan elit pusat ke daerah. Melalui partai lokal pula diharapkan “alergi” aktor pro-demokrasi di daerah terhadap lembaga-lembaga demokrasi dapat disembuhkan, sehingga gerakan demokratisasi dapat meluas.
Sayangnya, hingga kini pembentukan partai politik di tingkat lokal masih belum dimungkinkan. Undang-undang kepartaian mensyaratkan partai politik bersifat nasional. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa praktek sentralisasi kekuasaan masih membayang-bayangi implementasi otonomi daerah. Justru, di antara sekian banyak undang-undang dan peraturan lainnya yang perlu disesuaikan dengan keberadaan UU No 22/1999, undang-undang kepartaian itu seharusnya turut pula direvisi. Maka, salah satu proyek paling strategis yang bisa digarap para aktor demokrasi mulai saat ini adalah menggalang opini dan mendesakkan gagasan mengenai pentingnya partai lokal sebagai komponen penting pelaksanaan otonomi daerah. (wps)
Footnotes:
[1] Salah satu contoh studi mutakhir yang menempatkan desentralisasi sebagai indikator pokok untuk mengukur demokratisasi adalah riset "Penilaian Demokratisasi di Indonesia" yang dilakukan Forum untuk Reformasi Demokratis yang difasilitasi International IDEA. Lihat http://www.idea.int.
[2] Penelitian ini terdiri atas tiga putaran selama tiga tahun berturut-turut mulai tahun 2003 hingga 2005. Artikel ini merupakan bagian dari serangkaian hasil yang diperoleh dari putaran pertama yang meliputi isu Tanah, Buruh, Miskin Kota, Antikorupsi, HAM, Politisi Pro-demokrasi, dan Rekonsiliasi Konflik Religius. Penelitian yang dilakukan Demos ini didukung oleh NORAD, SIDA, Ford Foundation, TIFA Foundation, dan disupervisi oleh Prof. Olle Tornquist. Penulis adalah salah seorang dari tujuh peneliti yang terlibat di dalamnya. Sebagai bagian dari laporan utuh, artikel ini tidak terpisahkan dari bagian laporan lainnya.
[3] Desentralisasi sesungguhnya bukan istilah padanan otonomi daerah. Kedua konsep itu memiliki pengertiannya sendiri-sendiri. Undang-undang No 22/1999 menerangkan desentralisasi adalah sebuah pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat kepada daerah, sedangkan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi masyarakat. Ada juga yang mengartikan desentralisasi sebagai 'a transfer of management from the central to local government', sedangkan otonomi adalah 'a transfer of political power from state to society'. Lihat Rikardo Simarmata dan Stepanus Masiun, “Otonomi Daerah: Kecenderungan Karakter Perda dan Tekanan Baru bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat: Sebuah Diagnosa Awal”, Seri Pengembangan Wacana HUMA, No 1 September 2002. Kendati begitu kedua istilah tersebut pada praktiknya sering saling dipakai bergantian untuk merujuk pada sebuah pengertian yang sama dan sulit dipisah-pisahkan. Tulisan ini pun menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian.
[4] Ulasan kritis terhadap desentralisasi masa Orde Baru lihat Ryaas Rasyid, et.al., Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), khususnya hal. 142-150.
[5] Dalam sebuah diskusi Andi Mallarangeng mengurai tiga fase desentralisasi: (1) desentralisasi administratif, (2) democratic decentralization, dan (3) decentralization of democracy. Lihat http://www.transparansi.or.id.
[6] Lihat Simarmata dan Masiun, op.cit. Mereka mencatat keluhan mengenai perda-perda bermasalah itu pertama kali datang dari Kadin Indonesia yang “melaporkan” kepada Presiden Megawati ada 1.006 perda bersifta konyol dan memberatkan dunia usaha. Secara kreatif, kedua penulis itu menggelari fenomena ini sebagai “perda maniak”.
[7] Permintaan IMF itu kemudian diikuti oleh rekomendasi Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri RI untuk mencabut sekitar 70-an perda. Puncaknya, Sidang Tahunan MPR 2001 meminta kepada Mahkamah Agung untuk segera melakukan penanganan khusus untuk uji material (judicial review) terhadap semua perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ibid., hal 9-11.
[8] Yang dimaksud aktor dominan adalah para aktor yang memiliki kekuasaan dan kekuatan politik teramat besar sehingga mendominasi kehidupan politik. Pada situasi Indonesia yang baru keluar dari kehidupan politik yang otoriter, aktor dominan cenderung adalah para penguasa, baik sipil maupun militer, yang mempertahankan atribut kekuasaan dan kekuatan mereka di masa lalu. Karena itu, aktor dominan biasanya berperilaku anti-demokrasi, atau setidak-tidaknya bukan pendukung demokrasi. Bagian lain temuan riset ini memang mengungkap bahwa para aktor demokrasi memang belum cukup berhasil menguasai panggung politik, sekaligus menandakan bahwa demokratisasi masih jauh dari harapan. Celakanya, terungkap pula bahwa para aktor dominan nyatanya terbilang sigap mengantisipasi perubahan politik dengan mengikuti arah gerakan dan proses demokratisasi. Dengan kekuatan yang dimiliki, kompetisi demokratis sekalipun dengan mudah dimenangkan para aktor dominan itu.
[9] Juni Thamrin, “Prospek Otonomi Daerah”, Jurnal Yayasan 324 edisi 15/Desember 2002 (http://concern.yayasan324.or.id/jurnal/archives/00000035.htm).
[10] Mallarangeng, op.cit.
[11] Sebuah peristiwa politik yang mengejutkan terjadi beberapa bulan setelah pekerjaan lapangan (field- work) riset ini. Hampir seluruh anggota DPRD Sumatera Barat dijatuhi vonis penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Ada cukup banyak indikasi kasus serupa berlangsung di tempat lain. Fenomena ini membuktikan politik lokal pada era desentralisasi sekarang tak ubahnya adalah praktek negatif sentralisasi yang terdistribusi. Lembaga perwakilan dan birokrasi daerah justru menjadi ajang tawar-menawar penyalahgunaan kekuasaan.
[12] Seminar (Regional Assessment Council-RAC) dilangsungkan dua kali. RAC I ditujukan untuk mengkonfirmasi temuan-temuan riset kepada sejumlah informan, sedangkan RAC II dimaksudkan untuk menghimpun agenda demokratisasi di tingkat lokal. Gagasan pembentukan partai lokal itu antara lain dilontarkan oleh peserta seminar dari seluruh Kalimantan, Bali, NTB, NTT, Maluku, dan Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar