(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Mingguan TEMPO Edisi 24 Juli 2005)
Oleh: Willy P. Samadhi
@Pemilihan kepala
daerah diwarnai berbagai isu primordial. Sebagian kandidat mengemas isu itu
untuk merebut kemenangan.
TAK ada teman atau musuh abadi dalam politik, yang ada
hanyalah ikatan karena persamaan kepentingan. Falsafah itulah yang diterapkan
dalam sebuah kontrak politik di Manado. Satu pasangan calon wali kota dan
wakilnya bersepakat membagi kursi jabatan publik di kota itu, 70 persen untuk orang
Kristen dan 30 persen untuk jatah orang Islam – tentu kalau pasangan ini
menang.
Pasangan itu, Daniel Masengi dan Jafar Alkatiri, memang
punya "gerbong" pengikut panjang. Pendeta Daniel Masengi, si calon
wali kota, adalah tokoh Kristen Minahasa. Jafar Alkatiri merupakan tokoh muslim
di kota itu. Daniel berasal dari Partai Karya Peduli Bangsa, sedangkan Jafar
adalah Ketua Partai Persatuan Pembangunan Kota Manado.
Kontrak politik itu bukan saja mengikat, tapi juga menjadi
strategi pokok pasangan beda agama ini lantaran luas dipublikasikan menjelang
pemilihan kepala daerah (pilkada) pada Juli mendatang. Tak sulit ditebak,
keduanya berharap kontrak itu bisa menjadi sumber simpati warga kedua kelompok
agama di kota itu.
Kisah serupa banyak terjadi dalam musim pilkada tahun ini.
Pemanfaatan sentimen agama, juga etnis, seolah menjadi pola umum dalam ajang
pilkada. Strategi itu rupanya masih dipandang lebih mudah dan efektif ketimbang
melakukan sosialisasi atau kampanye penawaran program. Di sisi lain, publik
boleh jadi sudah jemu dengan janji-janji kampanye yang selalu manis namun
kosong. Faktor lain, secara psikologis umumnya publik memang masih lebih
memiliki ikatan primordial ketimbang ikatan-ikatan "modern" yang
berbasis geografis-politik, semacam kabupaten, kota, atau provinsi.
Riset Demos selama 2003-2004, antara lain, menunjukkan
gambaran primordialisme itu. Secara umum, ada kecenderungan orang untuk
mengidentifikasi diri mereka lebih sebagai anggota kelompok etnis mereka
ketimbang menganggap diri sebagai warga kabupaten/kota maupun provinsi. Tak
jarang pula justru identitas keagamaan yang dikedepankan orang saat menghadapi
urusan-urusan publik.
Kecenderungan itu tampak merata nyaris di semua daerah,
kecuali di Jawa dan beberapa provinsi lain. Di DKI Jakarta bahkan ada tendensi
kuat warganya lebih merasa sebagai anggota suku atau agama tertentu daripada
sebagai orang Jakarta. Sedangkan di Aceh dan Papua, kebanyakan orang justru
lebih merasa sebagai anggota komunitas etnis masing-masing – bahkan dibanding
perasaan sebagai orang Indonesia (lihat tabel).
Kecenderungan mengangkat isu primordial dalam pilkada lebih
kelihatan di daerah-daerah yang komposisi masyarakatnya terbelah secara agama
atau etnis. Para kandidat berupaya merangkul sebanyak mungkin kelompok warga
yang ada. Caranya, bisa dengan semata-mata melempar isu, atau dengan kombinasi
pasangan seperti Daniel dan Jafar di Manado itu.
Kontrak Daniel-Jafar di Manado rupanya tak dirancang sekadar
untuk berujung kemenangan. Ada keinginan kuat kelompok warga muslim Kota Manado
untuk memiliki peran politik yang layak. Selama ini peran umat Islam dianggap
terbatas, padahal jumlah warga muslim di kota itu lumayan banyak, sekitar 30
persen.
Fenomena itu, lagi-lagi, sesuai dengan apa yang telah dapat
diungkap riset Demos. Para responden (informan) Demos umumnya menyatakan bahwa
kinerja berbagai perangkat demokrasi, yang berkaitan dengan perlindungan dan
jaminan hak-hak minoritas, masih buruk. Demikian pula cakupan penerapan atau
pelaksanaannya, relatif masih bersifat formalistik, bukannya substansial.
Meskipun acap kali dinyatakan ada perlindungan atas hak-hak kelompok minoritas,
dalam praktek sehari-hari itu tak terjadi.
Maraknya pemanfaatan sentimen primordialisme layak diamati.
Jika kemunculannya hanya dimanfaatkan oleh barisan elite untuk mendulang suara,
tentu hasilnya hanya akan memisahkan warga ke dalam kotak-kotak yang tak perlu.
Penyalahgunaan seperti itu bahkan bisa menjurus pada perpecahan
horizontal--yang mungkin berkepanjangan.
Kontrak politik demi menjamin hak-hak minoritas dalam urusan
publik dan politik boleh jadi merupakan upaya terobosan yang baik dalam proses
demokratisasi. Jika kelak tak ada lagi hambatan bagi kelompok mana pun untuk
berpolitik, mungkin kontrak gaya Daniel-Jafar tak lagi diperlukan. Demokrasi hakikatnya
memang kesetaraan warga negara, termasuk dalam urusan politik. ●
Tabel: Bagaimana orang mengidentifikasi diri dalam
menghadapi urusan publik (angka dalam %)
No
|
Identifikasi diri
|
Nasional
|
Papua
|
Aceh
|
Jakarta
|
1
|
Sebagai orang Indonesia
|
39,3
|
46,6
|
14,3
|
25,0
|
2
|
Sebagai penduduk kabupaten/kota
|
12,4
|
4,1
|
7,1
|
4,2
|
3
|
Sebagai penduduk desa
|
10,7
|
6,8
|
14,3
|
12,5
|
4
|
Sebagai anggota komunitas etnis
|
20,2
|
17,8
|
50,0
|
29,2
|
5
|
Sebagai anggota komunitas agama
|
11,8
|
20,5
|
7,1
|
12,5
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar