Kamis, 28 Juli 2005

Kontrak Politik demi Kursi

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Mingguan TEMPO Edisi 24 Juli 2005)

Oleh: Willy P. Samadhi

@Pemilihan kepala daerah diwarnai berbagai isu primordial. Sebagian kandidat mengemas isu itu untuk merebut kemenangan.

TAK ada teman atau musuh abadi dalam politik, yang ada hanyalah ikatan karena persamaan kepentingan. Falsafah itulah yang diterapkan dalam sebuah kontrak politik di Manado. Satu pasangan calon wali kota dan wakilnya bersepakat membagi kursi jabatan publik di kota itu, 70 persen untuk orang Kristen dan 30 persen untuk jatah orang Islam – tentu kalau pasangan ini menang.

Pasangan itu, Daniel Masengi dan Jafar Alkatiri, memang punya "gerbong" pengikut panjang. Pendeta Daniel Masengi, si calon wali kota, adalah tokoh Kristen Minahasa. Jafar Alkatiri merupakan tokoh muslim di kota itu. Daniel berasal dari Partai Karya Peduli Bangsa, sedangkan Jafar adalah Ketua Partai Persatuan Pembangunan Kota Manado.

Kontrak politik itu bukan saja mengikat, tapi juga menjadi strategi pokok pasangan beda agama ini lantaran luas dipublikasikan menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) pada Juli mendatang. Tak sulit ditebak, keduanya berharap kontrak itu bisa menjadi sumber simpati warga kedua kelompok agama di kota itu.

Kisah serupa banyak terjadi dalam musim pilkada tahun ini. Pemanfaatan sentimen agama, juga etnis, seolah menjadi pola umum dalam ajang pilkada. Strategi itu rupanya masih dipandang lebih mudah dan efektif ketimbang melakukan sosialisasi atau kampanye penawaran program. Di sisi lain, publik boleh jadi sudah jemu dengan janji-janji kampanye yang selalu manis namun kosong. Faktor lain, secara psikologis umumnya publik memang masih lebih memiliki ikatan primordial ketimbang ikatan-ikatan "modern" yang berbasis geografis-politik, semacam kabupaten, kota, atau provinsi.

Riset Demos selama 2003-2004, antara lain, menunjukkan gambaran primordialisme itu. Secara umum, ada kecenderungan orang untuk mengidentifikasi diri mereka lebih sebagai anggota kelompok etnis mereka ketimbang menganggap diri sebagai warga kabupaten/kota maupun provinsi. Tak jarang pula justru identitas keagamaan yang dikedepankan orang saat menghadapi urusan-urusan publik.

Kecenderungan itu tampak merata nyaris di semua daerah, kecuali di Jawa dan beberapa provinsi lain. Di DKI Jakarta bahkan ada tendensi kuat warganya lebih merasa sebagai anggota suku atau agama tertentu daripada sebagai orang Jakarta. Sedangkan di Aceh dan Papua, kebanyakan orang justru lebih merasa sebagai anggota komunitas etnis masing-masing – bahkan dibanding perasaan sebagai orang Indonesia (lihat tabel).

Kecenderungan mengangkat isu primordial dalam pilkada lebih kelihatan di daerah-daerah yang komposisi masyarakatnya terbelah secara agama atau etnis. Para kandidat berupaya merangkul sebanyak mungkin kelompok warga yang ada. Caranya, bisa dengan semata-mata melempar isu, atau dengan kombinasi pasangan seperti Daniel dan Jafar di Manado itu.

Kontrak Daniel-Jafar di Manado rupanya tak dirancang sekadar untuk berujung kemenangan. Ada keinginan kuat kelompok warga muslim Kota Manado untuk memiliki peran politik yang layak. Selama ini peran umat Islam dianggap terbatas, padahal jumlah warga muslim di kota itu lumayan banyak, sekitar 30 persen.

Fenomena itu, lagi-lagi, sesuai dengan apa yang telah dapat diungkap riset Demos. Para responden (informan) Demos umumnya menyatakan bahwa kinerja berbagai perangkat demokrasi, yang berkaitan dengan perlindungan dan jaminan hak-hak minoritas, masih buruk. Demikian pula cakupan penerapan atau pelaksanaannya, relatif masih bersifat formalistik, bukannya substansial. Meskipun acap kali dinyatakan ada perlindungan atas hak-hak kelompok minoritas, dalam praktek sehari-hari itu tak terjadi.

Maraknya pemanfaatan sentimen primordialisme layak diamati. Jika kemunculannya hanya dimanfaatkan oleh barisan elite untuk mendulang suara, tentu hasilnya hanya akan memisahkan warga ke dalam kotak-kotak yang tak perlu. Penyalahgunaan seperti itu bahkan bisa menjurus pada perpecahan horizontal--yang mungkin berkepanjangan.

Kontrak politik demi menjamin hak-hak minoritas dalam urusan publik dan politik boleh jadi merupakan upaya terobosan yang baik dalam proses demokratisasi. Jika kelak tak ada lagi hambatan bagi kelompok mana pun untuk berpolitik, mungkin kontrak gaya Daniel-Jafar tak lagi diperlukan. Demokrasi hakikatnya memang kesetaraan warga negara, termasuk dalam urusan politik. ●


Tabel: Bagaimana orang mengidentifikasi diri dalam menghadapi urusan publik (angka dalam %)
No
Identifikasi diri
Nasional
Papua
Aceh
Jakarta
1
Sebagai orang Indonesia
39,3
46,6
14,3
25,0
2
Sebagai penduduk kabupaten/kota
12,4
4,1
7,1
4,2
3
Sebagai penduduk desa
10,7
6,8
14,3
12,5
4
Sebagai anggota komunitas etnis
20,2
17,8
50,0
29,2
5
Sebagai anggota komunitas agama
11,8
20,5
7,1
12,5


Tidak ada komentar:

Posting Komentar