Senin, 26 September 2005

Jurus Oligark Memonopoli Demokrasi

Oleh: Willy Purna Samadhi
Dimuat di Sisipan Khusus Majalah Tempo (2005)


DARI mana para elit oligark memperoleh kekuasaan? Apa saja yang mereka lakukan untuk menjadikan kekuasaan mereka nyata dan efektif?

Rakyat bersatu, pasti menang! Begitu slogan yang dulu pernah ramai bergaung. Hasilnya memang nyata, rezim Orde Baru tumbang didera gelombang besar kekuatan rakyat. Tapi sekarang, slogan ampuh itu bak diplintir: Elit bersatu, pastilah menang!

Boleh jadi, itulah ilham yang merasuk di kepala para elit dominan di negeri ini. Aliansi alias persekongkolan kerap dijadikan sandaran yang menopang keberkuasaan mereka. Para informan riset Demos menilai kisah sukses para elit oligark mendominasi bahkan memonopoli instrumen-instrumen demokrasi dalam rentang waktu lima-enam tahun terakhir ini dilatarbelakangi oleh kelincahan mereka membangun aliansi yang solid. Dari persekongkolan itulah seringkali kekuasaan diperoleh.

Temuan tersebut cukup menarik karena dapat diartikan bahwa kelompok elit kini tak lagi bersatu secara insidental sebagai sekadar cara untuk menggolkan tujuan-tujuan dan kepentingan temporer mereka, akan tetapi justru menempatkan persekutuan di antara mereka sebagai akumulasi modal jangka panjang untuk berkuasa. Hal ini menunjukkan monopoli demokrasi oleh para elit oligark memang benar-benar telah terjadi.

Aliansi elit yang paling kentara dilihat oleh para informan adalah aliansi elit politik dengan pelaku bisnis. Dari setiap empat informan, setidaknya satu orang yang berpendapat demikian. Kendati begitu, tentu saja aliansi di kalangan elit politik sendiri – politikus, partai politik, pejabat pemerintahan – tak kalah pentingnya. Ada cukup banyak informan yang mengindentifikasi terbentuknya aliansi di kalangan sesama kelompok elit politik itu. Sedangkan aliansi elit politik dengan kalangan militer, meski hanya empat persen informan yang menyebutnya, tentu terlalu penting untuk diabaikan. Pada kenyataannya, kekuatan aliansi dengan kelompok militer itu cukup sering ditransformasikan dalam berbagai bentuk dalam rangka meraih kekuasaan yang absah dan nyata. Secara keseluruhan, persekongkolan yang melingkar di berbagai kelompok elit itu menjadi sumber kekuatan yang besar dan menentukan dalam memonopoli berbagai perangkat demokrasi yang ada.

Sumber kekuasaan lain yang lazim digunakan adalah kemampuan mengakses berbagai sumber informasi, termasuk kemampuan melakukan kontrol informasi melalui media massa. Kendati sebagian besar informan tidak mencatat hal ini sebagai sumber kekuasaan terpenting di kalangan elit oligark, banyak di antara mereka yang sepakat bahwa akses dan kontrol atas informasi sering dijadikan modal oleh para elit oligark untuk memperbesar kekuasaan dan pengaruh mereka.

Kekuatan monopoli para elit itu menjadi semakin kuat lantaran didukung pula oleh kemampuan mereka menghimpun sumber-sumber ekonomi dan kemudian menggunakannya melalui berbagai cara untuk meraih dan menjaga kepentingan-kepentingan sendiri. Celakanya, menurut pengamatan para informan, sumber kekuatan ekonomi itu lebih banyak merupakan hasil kutak-katik anggaran publik, baik di tingkat pusat maupun daerah, alias melalui berbagai trik korupsi. Meskipun para informan mengakui bahwa para elit oligark juga menggunakan sumber dana pribadi yang berasal dari hasil bisnis, akan tetapi kebanyakan dari mereka yakin bahwa uang yang digunakan para elit oligark itu lebih sering merupakan hasil mencomot dari sumber daya publik. Dana jenis ini pula yang ditunjuk oleh para informan sebagai sumber kekuasaan terpenting dari para elit oligark. (Lihat Tabel 1 dan 2)

Tabel 1: Lima jenis sumber kekuasaan yang paling sering digunakan oleh aktor dominan menurut penilaian informan
SUMBER KEKUASAAN
f
%
Hubungan baik dengan sesama elit, aliansi, persekutuan
1406
23%
Akses terhadap berbagai sumber informasi, termasuk kontrol atas media
703
11%
Sumber daya publik, anggaran negara/daerah
624
10%
Dukungan militer, polisi, milisi
531
9%
Bisnis pribadi
484
8%

Tabel 2: Lima jenis sumber kekuasaan yang diutamakan oleh aktor dominan menurut penilaian informan
SUMBER KEKUASAAN
f
%
Sumber daya publik, anggaran negara/daerah
194
19%
Dominasi atas kekuasaan pemerintahan
140
14%
Bisnis pribadi
136
13%
Hubungan baik dengan pejabat pemerintahan dan birokrasi
118
12%
Milisi sipil dan kelompok preman
43
4%

Sumber: Riset DEMOS Putaran 2 (2004)


Peluang untuk mencomot sumber daya publik memang terbuka karena peranan dominan mereka dalam berbagai organisasi kekuasaan pemerintahan. Didasarkan atas kesadaran mereka akan perlunya beraliansi satu sama lain, praktek-praktek korupsi menjadi semakin mudah dilakukan. Dalam istilah yang sederhana, prakteknya berlangsung atas dasar prinsip ”tahu sama tahu”. Serangkaian kasus korupsi di tingkat lokal yang melibatkan anggota parlemen dan pejabat daerah memperlihatkan betapa batas-batas kepentingan di antara berbagai kelompok politik nyaris tak ada. Boleh dibilang semua memiliki keinginan serupa dan saling melindungi ketika berupaya menguasai sumber daya publik. Dominasi atas kekuasaan pemerintahan inilah karenanya yang ditunjuk oleh para informan sebagai sumber kekuasaan terpenting kedua bagi para elit oligark.

Akumulasi dana yang besar itulah yang kemudian digunakan dalam aksi-aksi politik, termasuk melalui berbagai praktek politik-uang. Dengan persekongkolan yang solid serta jumlah dana yang boleh jadi tak terbatas, kaum elit oligark relatif menjadi tak terkekang menjalankan aksi politik-uang dalam beragam bentuk. Benar bahwa keberhasilan memonopoli proses politik menjadikan mereka mudah saja memperoleh dukungan suara. Akan tetapi, jika pun sulit, dukungan bahkan legitimasi toh bisa dibeli kapan saja dengan sumber dana yang tersedia.

Lalu, bagaimana kemudian modal-modal kekuasaan itu diaplikasikan guna menjadi kekuasaan yang nyata dan efektif?

Menurut pengamatan informan, cara yang paling sering digunakan para elit oligark adalah dengan mengupayakan legitimasi dari parlemen, juga dari lembaga peradilan. (Lihat Tabel 3) Gejala ini dapat dipahami dengan wajar. Di tengah wacana demokratisasi yang cenderung menomorsatukan prosedur semata, para elit dominan itu jelas menganggap penting lembaga parlemen dan yudikatif untuk ”membenarkan” tindakan-tindakan mereka. Dari sinilah dapat dimengerti bagaimana kebijakan-kebijakan publik yang lebih berorientasi pada kepentingan elit dilahirkan melalui prosedur yang demokratis.


Tabel 3: Lima cara paling efektif yang digunakan oleh aktor dominan untuk mentransformasikan sumber kekuasaan mereka menurut penilaian informan
URAIAN
Tingkat keberhasilan
Mengupayakan perolehan legitimasi dari DPR/D, lembaga peradilan dan/atau lembaga-lembaga pemerintahan
95%
Menggunakan anggaran negara dan pemerintahan serta memanfaatkan regulasi yang menguntungkan untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang pro-pasar serta para pelaku ekonomi di dalamnya
95%
Menggunakan aparat negara, unjuk kekuatan, dan berbagai cara kekerasan termasuk memproduksi rasa takut di kalangan masyarakat
95%
Membeli legitimasi dan dukungan, money politics
94%
Menggunakan partai dan gerakan massa (termasuk massa agama dan etnis) untuk memperlihatkan adanya dukungan publik
93%
Sumber: Riset DEMOS Putaran 2 (2004), data diolah

Selintas, praktek politik seperti itu jadi terlihat seperti lucu-lucuan dalam sistem demokrasi. Peran yang begitu dominan di dalam sistem politik yang berprosedur demokrasi memungkinkan mereka menjaga kepentingan sendiri secara demokratis. Masuk akal kalau para informan menyatakan praktis seluruh cara yang digunakan para aktor elit oligark untuk mengefektifkan kekuasaan mereka nyaris senantiasa berhasil. Akan tetapi, toh cara-cara ekstra-sistem masih juga sering dilakukan.

Pengerahan massa bayaran, menurut informan, sering dilakukan para elit untuk memperlihatkan adanya dukungan publik terhadap mereka. Tak jarang, cara ini dilakukan dengan mengatasnamakan kepentingan agama atau etnis. Secara tak langsung, tindakan semacam ini telah menjauhkan publik dari praktek demokrasi berbasis kewarganegaraan, atau bahkan dari demokrasi itu sendiri. Boleh jadi lantaran itulah kini mulai bermunculan sikap sebagian publik yang skeptis terhadap demokrasi.

Selain paling sering digunakan, upaya memperoleh legitimasi dari parlemen juga dinilai paling efektif mendatangkan kekuasaan yang absah dan nyata. Hampir seluruh informan menganggap upaya tersebut senantiasa berbuah sukses. Maklum, lagi-lagi semuanya berdasar atas persekongkolan. Efektivitas serupa juga diperoleh melalui pendekatan terhadap para pelaku ekonomi pasar, serta melalui penggunaan instrumen pemaksa termasuk dengan memproduksi rasa takut di tengah masyarakat. Kedua cara yang disebut terakhir itu, lagi-lagi dengan leluasa dilakukan berkat terlegitimasinya tindakan-tindakan para elit oligark yang dengan lincah bermain-main dengan sistem demokrasi dan mengakalinya.

Cara lain yang tak kalah efektif untuk mewujudkan kekuasaan menjadi nyata dan absah, tentu saja, adalah dengan ”membelanjakan” uang mereka di pasar politik, yaitu dengan membeli dukungan suara, baik dari kalangan elit sendiri maupun dari publik. Uang kelebihannya menjadi sharing di kalangan anggota persekongkolan, tak lain untuk menjaga keutuhan dan kesolidan aliansi.∎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar