Beberapa bulan lalu, saya kedatangan tamu, seorang mahasiswa asing. Ia bertanya, “Menurut pengamatan Anda, apa implikasi penerapan desentralisasi setelah pemberlakuan UU No 32/2004?” Terus terang, meskipun satu-dua bacaan menyangkut masalah itu pernah saya lahap, saya kurang memerhatikan bidang pengetahuan ini. Dihadapkan pada pertanyaan seperti itu, saya sedikit kerepotan memikirkan jawaban yang pas secara spontan. Saya mengernyitkan dahi sebentar, setidaknya mengesankan kepadanya bahwa saya tengah berolah-pikir, lalu mulai menjawabnya.
Sebagian tentu merupakan hasil perbekalan pengamatan saya yang pas-pasan, sebagian lagi merupakan karang-karangan saya seketika itu. Jadi, sebetulnya jawaban saya bisa dibilang ’bisa-bisanya saya aja’. Tak apalah, saya pikir,toh setelah bertemu saya dia akan bertemu dengan beberapa akademisi dan pengamat kondang yang pendapatnya lebih bisa dipercaya.
Apa jawaban saya saat itu, tak perlulah saya utarakan secara jelas di sini. Pembaca yang ahli dalam soal itu bisa saja menyanggah jawaban saya. Itu bisa membuat saya dalam posisi yang tak nyaman. Namun, kelak jika ada orang yang kembali bertanya kepada saya soal yang sama, saya akan memberikan tulisan ini saja, sebagai jawabannya.
* * *
Desentralisasi, atau otonomi daerah, kita persamakan sajalah keduanya, bagi saya adalah ”banjir baliho”. Saya kebetulan termasuk orang yang beruntung, sempat pergi ke banyak daerah beberapa terakhir ini. Nyaris di semua kota atau kabupaten, saya menemukan poster, banner, atau baliho, atau apalah namanya. Jumlahnya di setiap tempat tak sama. Ada yang banyak, ada yang banyak sekali. Ukurannya pun tak sama, ada yang besar, ada yang raksasa. Karena banyak dan besar itulah saya kira siapa pun bisa mudah sekali melihatnya. Di pinggir jalan ada, di halaman kantor-kantor pemerintahan pun banyak. Kalau mau yang pasti, carilah pertigaan jalan besar ”berlampu merah”. Titik pertemuannya niscaya menjadi tempat pemasangan poster atau baliho raksasa itu.
Umumnya poster-poster atau baliho itu bergambar kepala daerah, bisa bupati atau walikota, bisa pula gubernur. Ada yang sedang mengenakan baju resmi ”kepejabatannya”, atau setelan jas warna gelap lengkap dengan pici hitam, atau juga baju daerah setempat. Meskipun tak selalu, banyak di antara baliho itu menyertakan pula gambar wakil kepala daerahnya. Tapi, seingat saya, memang, tak ada baliho atau poster yang bergambar wakil kepada daerah saja. Tak cuma itu, juga ada poster dan baliho yang bergambar tokoh lain, mulai dari ketua partai, anggota DPR dan DPRD, hingga entah siapa. Pada masa-masa menjelang pilkada, wajah yang muncul lebih beraneka lagi. Ya, wajah siapa lagi kalau bukan milik para kandidat kepala daerah dan wakilnya. Banyak yang bermimik senyum, tapi tidak sedikit pula yang wajahnya tergambar tanpa ekspresi layaknya pasfoto di KTP.
Tentu saja baliho itu tak hanya menampakkan wajah para tokoh itu. Di sana biasanya tertulis juga ”pesan-pesan pembangunan”. Pada waktu-waktu tertentu, jika di daerah setempat ada kegiatan besar, biasanya kata-kata yang tertulis di sana merupakan ucapan selamat untuk ber-”anu ria”. Atau, saat bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri kemarin, poster-poster itu sigap berganti kalimat mengucapkan selamat berpuasa dan selamat lebaran. Pada baliho kandidat kepala daerah, isi tulisannya bisa mulai dari ”visi dan misi” atau sebagian lagi gamblang saja menyebut ”Pilih Nomor sekian”. Pendek kata, si pemilik wajah ingin sekali terlihat ”bicara” lewat gambar-gambar di pinggir jalan itu. Siapa yang ingin diajak mereka bicara, tak terlalu penting juga agaknya. Saya yang bukan orang setempat, nyatanya ”terpaksa” menerima pesan ajakan untuk mencoblos kandidat kepala daerah di mana-mana.
Itulah pemandangan yang bisa kita temui di semua kota atau kabupaten di seantero provinsi negeri ini sekarang. Terhadap pemandangan seronok ini, seorang teman saya pernah berkomentar, ”Macam di negeri-negeri komunis saja.” Saya tak tahu pasti, apakah komentarnya benar atau kurang benar. Seingat saya, dia belum pernah datang ke negeri-negeri semacam itu, sama seperti saya. Tapi lewat sebuah episode Discovery Channel saya memang menyaksikan pemandangan yang mirip di Korea Utara. Bedanya, di Korea Utara wajah yang muncul di baliho-baliho tidak berbeda-beda. Di sana balihonya hanya bergambar satu wajah, milik pemimpin besar negeri itu. Entahlah kalau Discovery Channel ternyata lupa meliput baliho lain yang bergambar wajah berbeda. Selain itu, bedanya, dari tayangan itu saya bisa merasakan gambar-gambar sang pemimpin itu memiliki semacam kekuatan luar biasa yang bisa membuat rakyat negeri itu menegakkan hormat yang khidmat. Sepertinya, mata di gambar itu benar-benar bisa melihat dan membuat takut siapa saja yang lewat di depannya.
Saya tidak yakin baliho-baliho atau poster yang ada di kota-kota dan kabupaten di sini dimaksudkan untuk menegakkan kehormatan para pejabat di mata rakyatnya. Bukan saja karena kita tidak sedang di bawah pemerintahan semacam itu, tetapi juga karena saya tidak benar-benar tahu mengapa sejumlah rupiah rela dikeluarkan untuk membuat baliho-baliho semacam itu. Yang lebih membingungkan saya lagi, sejumlah warga di beberapa kota yang sempat saya ajak bicara rupanya tidak pernah serius memerhatikan gambar-gambar itu. Ketika saya tanya tentang arti gambar-gambar di baliho di sepanjang jalan yang kami lewati, seorang sopir taksi di sebuah kota di Sumatera hanya menjawab pendek, ”Itu gambarnya pak walikota, kalau yang tadi di sana itu gubernur.” Saya bergumam, ’Oh, jadi hanya untuk membedakan mana walikota dan mana gubernur!’
Penelusuran yang lebih pasti untuk memahami maraknya poster-poster dan baliho seperti itu mungkin bisa menjadi kajian yang menarik. Saya menduga bidang ilmu komunikasi politik pastilah bisa memberi penjelasan yang mencerahkan. Karena itu mahasiswa yang menekuni komunikasi politik dan sedang bingung mencari topik untuk skripsinya bisa menjadikan fenomena ini sebagai bahan studi dan evaluasi.
Selain baliho, yang tak kalah marak kemunculannya adalah ”center”. Tapi tak seperti baliho, center ini kelihatannya lebih bersifat musiman. Biasanya menjelang pilkada. Para kandidat, atau mungkin juga tim suksesnya, seperti berlomba-lomba mendirikan ”XYZ center”. Titik-titik itu biasanya diisi dengan nama kandidat, menjadi ”AB Center”, atau kadang-kadang juga disertai nama wakilnya menjadi ”AB-CD Center”.
Untuk soal yang satu ini, saya memang belum terlalu lama menyadarinya. Sebenarnya di satu-dua daerah saya sudah cukup lama mengetahuinya, bahkan beberapa kali berkesempatan bertemu dan berbicara dengan beberapa orang yang pernah terlibat di center semacam itu. Tapi, baru belakangan ini saya sadar gejalanya juga sudah merata ke mana-mana. Pada perjalanan mudik lebaran kemarin, saat terhimpit kemacetan di sebuah perkampungan di daerah selatan Jawa Tengah, saya tertegun melihat sebuah rumah yang di halamannya terpasang papan nama berukuran besar lengkap dengan foto sepasang tokoh, entah siapa, yang menandakan di situlah sekretariat ”XYZ Center” berada.
Istilah center, setidaknya bagi saya, berdekat-dekatan pengertiannya dengan tempat kajian, pusat penggodokan pemikiran, atau yang semacam itulah. Namun sejauh yang bisa saya tangkap dari beberapa kawan yang ”terlibat”, sesungguhnya center itu tak ubahnya adalah sekretariat kampanye kandidat, atau lebih tepat lagi adalah sebagai pusat mobilisasi dukungan bagi kepentingan kandidat tertentu. Memang, ada pula yang menjalankan fungsi sebagai think tank yang merumuskan agenda-agenda politik yang akan ditawarkan kepada publik. Akan tetapi, potret optimis itu pun terlihat buram karena biasanya center lantas bubar seusai pilkada, terlepas si kandidat yang di-center-i itu menang atau kalah. Karena itu jelas center-center itu lebih dimaksudkan sebagai investasi sesaat untuk kemenangan dalam pilkada.
* * *
Apa yang saya tuliskan ini tentu bukanlah pertanda ketidaksenangan saya terhadap desentralisasi atau otonomi daerah. Lepas dari kedua fenomena di atas, saya bisa juga menunjuk beberapa hal lain sebagai bukti kemajuan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Sebagai sebuah sistem, desentralisasi juga saya percayai sebagai sesuatu yang sehat. Desentralisasi memungkinkan lebih banyak publik terlibat dalam praktik-praktik politik. Jika politik diartikan sebagai ”pengaturan urusan publik”, jelas desentralisasi bisa membawa manfaat yang besar bagi kepentingan publik.
Diimbuhi dengan otonomi daerah, desentralisasi menjadi semakin penting lagi artinya. Pemenuhan kepentingan publik di daerah bisa lebih terjamin lantaran keputusan-keputusan politik bisa didasarkan lebih pada situasi dan kondisi objektif setempat, bukan asumsi-asumsi subjektif yang ditetapkan di tingkat pusat. Tentu saja potensi bias kepentingan-kepentingan politik non-publik tetap terbuka, akan tetapi biarlah pertarungan politik itu berlangsung di tingkat lokal. Publik akan lebih mudah mengontrolnya.
Karena itu desentralisasi dan otonomi daerah seharusnya tidak justru ditandai dengan semaraknya wajah kota/kabupaten dengan gambar-gambar para tokohnya. Berbagai center di daerah juga tak seharusnya menjamur hanya di musim pilkada, lalu mati setelahnya. Yang jauh lebih mendasar daripada itu adalah terbukanya peluang masyarakat seluas-luasnya di daerah untuk berpartisipasi dalam proses-proses politik dan pengambilan keputusan publik. Desentralisasi dan otonomi daerah juga harus menjamin berlangsungnya kontrol yang efektif dari masyarakat setempat kepada para pemegang kekuasaan politik di tingkat lokal.
Karena itu, mungkin akan lebih baik artinya jika anggaran pembuatan baliho-baliho itu beralih manfaat untuk membuat papan-papan informasi publik mengenai agenda-agenda politik dan pemerintahan setempat, menyelenggarakan pertemuan-pertemuan konsultasi publik, atau, mengakomodasinya ke dalam pos anggaran pendidikan yang di hampir semua tempat masih jauh di bawah ketentuan konstitusi. Pembentukan berbagai center pun akan menjadi jauh lebih berguna apabila dimaksudkan sebagai pusat kontrol publik yang kontinyu terhadap jalannya pemerintahan, bukan semata-mata sebagai alat mobilisasi dukungan publik menjelang pilkada. ∎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar