Jumat, 01 Februari 2019

Pemilu Terburuk

Dari status FB (Private - 1 Februari 2019)

PEMILU TERBURUK
Pemilu 2019 tampaknya akan menjadi pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia pasca-1998. Terburuk bukan pada soal teknis dan prosedur pelaksanaannya, bukan pula pada soal keberhasilan pelaksanaannya. Untuk kedua soal itu, boleh dibilang KPU memiliki kapasitas memadai dan pengalaman yang kaya untuk memulai, melaksanakan dan mengakhiri seluruh rangkaian tahapan pemilu.
Lantas dalam soal apa ia dapat menjadi yang terburuk?

Dalam soal yang paling hakiki: keterwakilan publik.
Pelaksanaan pemilu untuk seluruh lembaga legislatif di semua level dan pemilihan presiden-wakil presiden secara serentak adalah rekayasa politik luar biasa yang mengeksklusi publik dari proses politik. Benar bahwa publik berkesempatan memberikan (atau tidak memberikan) suaranya di dalam pemilu nanti, akan tetapi setelah itu segala peran dan proses politik akan dijalankan secara eksklusif oleh mesin-mesin politik para elit yang memenangkan pemilu.
Dalam kerangka kerja demokrasi, pemilu seyogianya menjadi instrumen paling pokok pertaruhan jaminan representativeness itu agar demokrasi sungguh-sungguh demokratis. Dengan kata lain, keberlangsungan pemilu di dalam sebuah kerangka kerja demokrasi merupakan penanda penting hadirnya aspek representasi dalam guliran kehidupan politik.
Memang, itu asumsi formal yang sangat idealistik. Dalam praktiknya, di mana-mana, kualitas representasi tak pernah bisa mencapai titik yang sempurna. Defisit representasi adalah keniscayaan saja dari proses interaksi dan negosiasi para pelaku kepentingan dan kekuatan politik yang tak pernah berhenti sejak sebelum, semasa, maupun setelah pemilu. Sulit membayangkan adanya keterwakilan publik yang sempurna sebagai resultante interaksi dan negosiasi politik itu. Itulah "cacat-bawaan" demokrasi yang tak mungkin diingkari. Tetapi begitulah demokrasi bekerja. Tidak sempurna, namun efektif sebagai pengelola konflik dan konsensus. Itu sebabnya demokrasi tak lekang dimakan zaman.
Masalahnya adalah ketidaksempurnaan demokrasi untuk menghasilkan representativeness itu dibuat menjadi semakin tak sempurna oleh pelaku-pelaku politik yang memperoleh keuntungan dari "cacat bawaan" itu. Pemilu sebagai lembaga paling penting untuk menjaga kadar keterwakilan publik lebih kerap menjadi arena adu kuat kepentingan yang berorientasi menang-kalah, ketimbang dimanfaatkan sebagai neraca penentu titik keseimbangan. Pemilu telah kadung melulu dijadikan sebagai ajang perebutan kepentingan, sehingga "lazim" ditingkahi oleh perilaku-perilaku kotor: politik-uang, nepotisme, intimidasi, bahkan konflik fisik.
Persoalannya menjadi semakin genting dan semakin jauh dari esensi demokrasi ketika praktik pengotoran itu tidak lagi dilakukan oleh sesama pelaku kepentingan politik yang bersaing. Pemilu, dalam level kekotorannya yang nyaris sempurna, berubah menjadi sebuah arena pengeksklusian warga negara dari proses-proses politik. Pemilu menjadi instrumen sekaligus mekanisme untuk membungkus segala sumber daya bersama sehingga hanya bisa diakses dan dinikmati oleh para pelaku kepentingan politik yang segelintir. Mereka adalah para oligark, pemonopoli sekaligus manipulator demokrasi.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar