Rabu, 23 Januari 2019

Mengapa Saya Tidak Golput

Dari status FB (Friends - 23 Januari 2019)

MENGAPA SAYA TIDAK GOLPUT

Tak dipungkiri, kaum demokrat selalu memiliki gagasan cemerlang. Idealismenya pun terpuji.

Namun, riset Demos 2003 dan 2005, kemudian PWD-UGM 2013, tentang masalah dan peluang demokrasi kita mengindikasikan secara berulang dan konsisten: 

Dalam aktualisasi kapasitas politiknya untuk melakukan perubahan, kaum demokrat cenderung: 
  1. Mengakumulasi cultural resources (knowledge, education), ketimbang economic resources dan social resources. (Mungkin ini juga sebabnya demokrat cenderung punya ide cemerlang). 
  2. Mentransformasikan resources yang mereka miliki melalui forum seminar, konferensi, diskusi, lobby, konferensi pers. Belakangan, muncul varian lain: menjadi timses kandidat dan tim ahli kepala daerah dan sejenisnya. 
  3. Bekerja dan bergerak secara sektoral, individual, dan berbasis kasus. 
  4. Dan karena itu tidak pernah berhasil membangun common platform.
Temuan-temuan itu sudah terungkap sejak 2003, sekaligus sudah menjadi jawaban atas terpinggirkannya kekuatan kelompok demokrat dalam proses demokratisasi kita. Riset pertama 2003 bahkan dengan gamblang menyimpulkan: kaum demokrat kita adalah demokrat-mengambang, tidak memiliki basis sosial. 

Hari2 ini, sebagian kawan demokrat (juga progresif) menyatakan diri golput dalam pemilu 2019. Atas nama penghormatan atas hak, tentu saja siapa pun tak boleh menghujat keputusan sikap itu. Namun, tampaknya fenomena ini sekali lagi menunjukkan kecenderungan berulang sebagaimana diungkapkan di atas: bekerja secara individual, berbasis kasus. Tak nampak upaya serius berskala luas untuk membangun gerakan golput sebagai sebuah aksi perlawanan, atau sebutlah "alternatif", terhadap pemilu yang dianggap mengecewakan. Tidak cukup jelas apa sesungguhnya yang memicu munculnya sikap itu: kecewa terhadap kandidatkah, atau partaikah, atau sistem? Boleh jadi setiap golputer memiliki alasan yang clear dan kuat, akan tetapi boleh jadi juga alasan-alasan itu tidak sama antara satu golputer dan golputer lainnya. Jika demikian, sulit menebak dengan pasti apa sebenarnya tujuan yang hendak diraih lewat aksi golput itu. Jangankan yang tidak golput, sesama golputer pun boleh jadi saling menerka saja apakah satu sama lain memiliki tujuan yang sama.

Fenomena ini lagi-lagi menunjukkan bahwa aksi-aksi politik kaum demokrat terpaksa hanya mengisi halaman pinggir dari panggung politik riil kita. Panggung utama tetap saja diisi, dikuasai, di-joget-i oleh pelaku politik lain. Suka atau tidak suka, merekalah yang tetap memandu ke mana mata dan telinga publik terarah.

Upaya kolektif, memang, bukannya tak ada. Kemarin, koalisi (sebagian) masyarakat sipil berkumpul. Di hadapan awak berita, mereka menyerukan bahwa golput adalah hak, disertai argumen bahwa sistem pemilu kita buruk, peluang mendirikan partai hanya bisa dimanfaatkan kelompok tertentu karena persyaratan yg sulit, dll. Sungguh argumen2 yang masuk akal dan tentu saja patut diapresiasi. Saya jelas mengamini pernyataan-pernyataan itu, karena saya sendiri dan teman2 di Demos sudah menulis hal yang sama sejak 2007, sekitar 12 tahun silam!

Tapi di hadapan pemilu yang tinggal 2-3 bulan lagi, perhitungan strategis seperti apa yang membuat pernyataan itu memiliki dampak signifikan? Sedangkan 12 tahun berlalu begitu saja... 

Tentu saja, saya bisa sepakat juga, tidak ada kata terlambat. Perjuangan bisa dimulai kapan saja. Tidak ada kata menyerah. Akan tetapi, memikirkan taktik dan strategi pun merupakan bentuk perjuangan juga. Di saat waktu yang sudah sangat mendesak, dan kapasitas untuk bergerak masih terbatas, tidak cukup menguntungkan rasanya jika golput dilancarkan untuk menerobos barikade oligarki di pemilu mendatang.

Tak jadi soal jika persiapan membangun kekuatan itu dimulai sejak sekarang, karena memang membangun kekuatan bukan perkara kecil dan sederhana. Tapi memilih untuk bersikap golput bukan saja tak menguntungkan, namun bisa pula berarti melepaskan kesempatan memilih lawan tanding. 

Menghadapi rezim Jokowi, bagaimanapun, akan lebih mudah daripada menghadapi Prabowo yang kemungkinan besar menjelma menjadi rezim neo-Orde Baru. 

Mendukung Jokowi saat ini bukan saja memperbesar peluang kemenangannya, tetapi bisa didesakkan pula menjadi alat negosiasi perimbangan relasi-kuasa, kelak, ketika Jokowi benar-benar memenangkan pilpres. 

Ini alur pemikiran yang mungkin kelewat sederhana dan terlalu menyederhanakan persoalan. Tetapi dengan kapasitas politik yang serba terbatas, membayangkan yang muluk-muluk tentulah hanya akan menjadi khayalan berkepanjangan. 

Agar konkret, saya sendiri ingin memulainya dengan memastikan kesempatan berjuang itu ada, yaitu dengan memenangkan Jokowi.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar