Sabtu, 01 Desember 2018

Melacak Ragam Rezim Lokal di Indonesia

Catatan: Tulisan ini merupakan Bab Pendahuluan dari buku Rezim Lokal di Indonesia: Memaknai Ulang Demokrasi Kita (Yayasan Obor 2018)



MELACAK RAGAM REZIM LOKAL DI INDONESIAOleh: Longgina Novadona Bayo & Willy Purna Samadhi
Bagaimana memahami dan menilai demokrasi di Indonesia? Banyak kajian tentang demokrasi dan demokratisasi di Indonesia meletakkan fokus pada kinerja kelembagaan demokrasi secara nasional. Pendekatan semacam itu bukan tak penting, namun menyisakan banyak pertanyaan tentang dinamika politik di tingkat lokal. Indonesia memiliki begitu banyak ragam institusi politik di tingkat lokal yang berinteraksi dengan lembaga-lembaga politik demokratis yang belakangan muncul. Interaksi berbagai keragaman dengan lembaga-lembaga politik demokratis tentu melahirkan fenomena yang berbeda-beda pula. Di setiap konteks yang berbeda akan muncul rezim politik lokal yang berbeda pula. Dalam kata lain, pemahaman dan penilaian atas demokrasi dan demokratisasi di Indonesia perlu memperhitungkan perbedaan di antara berbagai rezim lokal yang ada.

Riset kami tentang rezim lokal di Indonesia, yang hasilnya disajikan di dalam buku ini, dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan atas informasi tentang perbedaan norma-norma dan praktik politik lokal. Kami tidak berambisi untuk melulu melakukan penelitian antropologis yang menguak sendi-sendi budaya dan historis yang mendominasi corak relasi-kuasa dan rezim politik di setiap daerah, akan tetapi memusatkan perhatian pada interaksi yang terjadi antara norma-norma informal, di satu sisi, dengan arus formalisasi berbagai institusi politik demokratis, di sisi lain. Dengan cara seperti itulah kami menganggap penilaian atas situasi demokrasi dan proses demokratisasi di Indonesia dapat dilakukan secara lebih fair dan objektif. Alih-alih menuding beberapa aspek sosio-kultural sebagai penghambat demokratisasi, dalam beberapa kasus kami menemukan gejala penguatan patronase yang justru diakibatkan oleh intervensi demokrasi elektoral, misalnya.

Dengan kata lain, riset yang kami lakukan bertujuan untuk menggambarkan peta besar keragaman masalah demokrasi yang muncul di dalam konteks lokal yang berbeda-beda, sekaligus mengangkat pentingnya memikirkan dan mengembangkan pendekatan yang asimetris dalam proses demokratisasi. Bab Pendahuluan ini menjelaskan bagaimana kami mendesain riset ini dan bagaimana kami menyajikan temuan-temuannya.

1. Titik berangkat

Riset ini merupakan riset lanjutan (follow-up study) dari sebagian temuan pokok Baseline Survey Perkembangan Demokrasi di Indonesia yang dilakukan oleh UGM dan Universitas Oslo dalam kerangka proyek riset kolaboratif Power, Welfare and Democracy (PWD Project).[1]Salah satu temuan pokok survei itu adalah terungkapnya kecenderungan praktik politik populisme dan patronase di hampir seluruh kota dan kabupaten yang disurvei, sehingga keduanya menjadi karakter kuat demokratisasi Indonesia belakangan ini.Temuan itu, di satu sisi, boleh dibilang mengonfirmasi studi Klinken (2009) yang mengungkap keberlanjutan relasi-kuasa patronase dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, di sisi lain, temuan itu menjadi menarik jika disandingkan dengan beberapa studi lain, misalnya, Robison & Hadiz (2004), Priyono dkk (2007) dan Winters (2011) yang menyebut monopoli dan dominasi kelompok oligark sebagai karakter yang paling kuat dalam proses demokratisasi di Indonesia. Mungkinkah temuan Survei PWD mengungkap gejala baru berupa kombinasi populisme, patronase dan oligarki secara sekaligus dalam proses demokratisasi lokal di Indonesia?

Pertanyaan itu kemudian memicu minat eksplorasi lebih mendalam tentang apa yang terjadi dalam relasi-relasi kekuasaan “asli” di tingkat lokal ketika proyek demokrasi nasional mempengaruhinya, dan bagaimana pula proses demokratisasi dipengaruhi oleh relasi-kuasa dalam konteks yang berbeda-beda. Pertanyaan awal itu segera mengundang pertanyaan-pertanyaan lain yang tak kalah penting. Pertama, bagaimanakah pola-pola relasi-kuasa baru itu, yang tercipta dari interaksi institusi formal dan informal, mempengaruhi pengelolaan urusan-urusan publik? Apa yang terjadi ketika, misalnya, relasi-kuasa populisme muncul dan berinteraksi dengan oligarki? Apa pula pengaruhnya terhadap hubungan antara negara-pasar-masyarakat (state-market-society)? Kedua, bagaimana elemen-elemen informalitas yang ada dan berbeda-beda pada setiap konteks berpengaruh terhadap proses pembangunan demokrasi di tingkat lokal? Apakah elemen-elemen informalitas menjadi potensi ataukah justru penghambat dalam membangun demokratisasi di tingkat lokal? Dalam kondisi apa institusi-institusi informal bekerja dan mempengaruhi pembangunan demokrasi lokal? Ketiga, bagaimana pola relasi-kuasa yang baru berpengaruh terhadap dan/atau dipengaruhi oleh keberadaan demos? Seberapa besar peluang perkembangan (atau kemunduran) demos di tengah-tengah terbangunnya pola relasi-kuasa yang baru? Keempat, bagaimana populisme, patronase atau oligarki berpengaruh terhadap gerakan masyarakat sipil, dan sebaliknya? 

Sederet pertanyaan itu muncul mengiringi temuan-temuan awal Survei PWD yang antara lain mengungkap terbentuknya pola relasi-kuasa populisme dan patronase dalam proses demokratisasi di Indonesia, hingga ke tingkat lokal. Secara keseluruhan, jawaban-jawaban atas serangkaian pertanyaan itu penting diketahui untuk mengungkap bagaimana proses demokratisasi yang sedang berlangsung mempengaruhi dan dibentuk oleh tautan berbagai relasi-kuasa yang bekerja di antara berbagai stakeholders. Namun, tugas itu sangatlah berat. Karena itu, kami memikirkan langkah awal terbaik dan mungkin dilakukan, yaitu memfokuskan riset ini pada fenomena dan kasus paling menonjol dan unik dari interaksi institusi formal demokrasi dan informalitas yang melahirkan rezim-rezim politik baru di tingkat lokal. Pelacakan terhadap variasi rezim lokal itu kami anggap penting untuk didahulukan sebelum melakukan kajian-kajian yang lebih komprehensif untuk menjawab serangkaian pertanyaan di atas.

Bagian akhir dari bab ini akan menjelaskan bagaimana kami memilih kasus-kasus untuk riset ini. Sebelum sampai ke sana, pada bagian berikut ini akan kami paparkan terlebih dahulu argumen kami tentang pentingnya menaruh perhatian terhadap rezim politik lokal untuk memahami persoalan-persoalan demokrasi di Indonesia dan memikirkan cara-cara yang mungkin dilakukan untuk mengatasinya.

2. Mengapa rezim lokal?

Kajian iniberangkat dari kegelisahan akan proyek demokratisasi Indonesia yang cenderung melihat demokrasi di lokal sebagai sebuah patologi dari yang ideal yang diimajinasikan oleh demokrasi universal. Lokal seringkali dijustifikasi sebagai gudang masalah daripada melihat lokal sebagai struktur yang berpotensi dalam membangun demokrasi. Karenanya, titik pijak riset ini memegang beberapa prinsip dasar dalam memahami proses demokrasi lokal. Pertama, situasi yang berlangsung di lokal perlu didekati dengan pendekatan emik. Kita perlu melihat proyek demokrasi ini sebagai salah satu bagian dari proyek besar negara besar yang melahirkan dual polity, yakni institusi baru yang diperkenalkan oleh negara dan institusi ‘lama’ yang sudah dulu ada di masyarakat. Harus dipahami bahwa proyek negara-bangsa (state formation), telah menghadirkan institusi baru di tengah masyarakat, yakni institusi negara di tingkat lokal dan pemerintah daerah (konsekuensi dari asas desentralisasi maupun dekonsentrasi). Padahal, di lokal sudah ada tatanan institusi informal yang selama ini bekerja dan mengatur perilaku individu maupun masyarakat secara umum. Interaksi antara institusi formal dan institusi informal ini seringkali mengakibatkan ‘dual polity’ di tingkat lokal (Lauth 2012). Sehingga, perlu dicatat bahwa dalam konteks itulah demokrasi bekerja di lokal. 

Kedua, pentingnya berdemokrasi secara kontekstual. Posisi ini menegaskan bahwa teks demokrasi yang diadopsi dalam sebuah konteks bisa menghasilkan wajah demokrasi yang bervariasi[2], dan ini adalah hal yang lumrah. Demokrasi adalah konsep yang evolutif dan dinamis karena ia mengalami perubahan, baik bentuk-bentuk formalnya maupun substansialnya sesuai dengan konteks dan dinamika sosio-historis di mana konsep demokrasi itu lahir dan berkembang (Suhelmi 2001). Pun demokrasi berkembang secara evolutif, tumbuh secara perlahan. Apa yang dipahami sebagai gagasan demokrasi di suatu negara tidak harus sama atau sesuai dengan gagasan demokrasi yang dipahami di negara lain. Dalam kajian ini, konteks yang perlu mendapat sorotan utama adalah lokalitas mengingat lokal-lokal lah yang membentuk bangun polity ke-Indonesia-an. Lokalitas tersebut bukanlah berarti jauh dari konsepsi demokrasi dalam makna substansial. Ada elemen elemen dari struktur lokal yang memiliki tradisi lama berdemokrasi. Walau demikian, dari kacamata demokrasi formal – universal, beberapa aspek dari struktur lokal bisa jadi undemocratic. Dalam kerangka tersebut, penting kiranya berdemokrasi secara plural dan meneguhkan demokrasi sebagai fenomena lokal. Apalagi, lokal menjadi locus dari politik Indonesia saat ini. Jargon all politics is local (Neill & Hymel 1995) menegaskan bahwa lokal menjadi sekolah demokrasi baik elit maupun rakyatnya. 

Beberapa studi tentang politik lokal menggarisbawahi bahwa proses demokrasi yang berlangsung di lokal memproduksi karakter demokrasi lokal menggambarkan tiga hal. Yang pertama, ada keterlanjutan corak relasi kuasa yang bersifat patronase dalam perkembangan demokrasinya (Klinken 2009). Demokrasi lokal justru memberi kesempatan bagi pelanggengan pola-pola patronase lama, yang disebut Nordholt dan Van Klinken sebagai changing continuities (2007). Yang kedua, corak demokrasi lokal jamak dimonopoli dan didominasi oleh kelompok oligark sebagai kekuatan yang paling dominan dalam proses demokratisasi lokal (Robinson & Hadiz 2004, Priyono & Willy Purna Samadhi 2007, Winters 2011). Yang ketiga, kemunculan figure-based politics atau local populism (Mas'udi 2017) dalam proses kelahiran para elit politik lokal.

Kehadiran demokrasi pada level lokal didasarkan pada keyakinan bahwa lokal merupakan arena baru untuk masyarakat (dan juga elit) belajar berpolitik dan berdemokrasi. Arus demokrasi yang berlangsung di lokal memang memberi ruang partisipasi bagi warga setempat, akan tetapi proses demokrasi di tingkat lokal itu lebih sering didominasi oleh kontrol elit atas politik daripada kontrol warga terhadap urusan publik. Karena itu sebagian studi yang mengulas politik dan demokrasi lokal memberi label ‘demokrasi yang cacat’ (e.g. Rahmawati 2017). Meskipun demikian, seringkali studi seperti itu mengabaikan perspektif lokal yang berpengaruh atas fenomena yang terlihat di permukaan.

Karakter-karakter demokratisasi ini mencatat ada problem serius dalam cara kita berdemokrasi di tingkat lokal. Absennya perspektif lokal itu sendiri adalah sebagai konsekuensi dari tiga hal. Pertama, demokrasi sebagai top-down process. Demokrasi adalah sebuah political engineering, yakni bagaimana membangun institusi-institusi politik yang membuat distribusi kekuasaan (power sharing) memberikan kesempatan yang sama (demokratis) bagi setiap aktor atau kelompok untuk berkompetisi (e.g. Vanhanen 1997). Dalam kerangka tersebut, pusat kemudian mendesain aturan main guna bekerjanya demokrasi, dan desain yang dirancang tersebut adalah desain yang tunggal, kurang memperhatikan kompleksitas heterogenitas lokal. Hal yang paling kasat mata adalah ketika desain pilkada langsung yang seragam untuk semua daerah di Indonesia yang seolah olah menyamaratakan kompleksitas lokal yang ada. Seringkali kemudian mekanisme pemilihan langsung dalam pilkada dipertanyakan relevansinya dengan upaya memajukan demokrasi lokal. Sebab, pilkada hanya menjadi arena perdagangan suara (vote trading), menghidupkan kembali politik identitas, melahirkan konflik horisontal berkepanjangan pasca-pilkada, dan di beberapa daerah melahirkan dinasti politik.Benar bahwa pilkada langsung adalah upaya pelembagaan partisipasi warga karena menjamin kesetaraan politik warga, dan memberi jaminan bagi rotasi elit yang artinya ada kontrol publik terhadap elit, akan tetapi ekses-ekses yang ditimbulkannya menumbuhkan keraguan atas perkembangan demokrasi.

Berbagai fenomena negatif dalam proses pilkada langsung dan perkembangan demokrasi lokal itu setidaknya mengingatkan kita untuk membubuhi catatan kritis bahwa mekanisme pemilihan langsung semata tidak secara otomatis akan memperbaiki kualitas demokrasi. Pilkada langsung, apalagi dengan mekanisme yang seragam untuk konteks yang berbeda-beda, bukanlah segalanya bagi kemajuan demokrasi. Kita perlu memikirkan desain demokrasi yang lebih memungkinkan terakomodasinya kepentingan-kepentingan dan ‘’ideologi’’ yang berbeda-beda di setiap daerah. Kita juga perlu memikirkan bagaimana cara terbaik untuk mengatasi ketimpangan kapasitas politik dan relasi-kuasi antara kelompok-kelompok civil society yang pro-demokrasi dan kelompok-kelompok elit politisi dan “orang-orang kuat” yang memiliki sumber daya politik jauh lebih besar. Kita perlu juga mempertimbangkan pertarungan idealisme politik demokrasi versus pragmatisme politik kekuasaan. Lebih dari itu, kita juga perlu memikirkan bagaimana demokrasi dapat sungguh-sungguh memberi makna bagi rakyat. 

Proses politik dan demokratisasi yang berlangsung searah, top-down, tak dipungkiri telah memunculkan oligarki politik dan dinasti politik. Patronase malah terus berkembang menjadi alat efektif untuk memenuhi kepentingan elektoral. Dalam peta yang lebih besar, hal ini menimbulkan konsekuensi lain yang tak kalah pelik: pengendalian politik lokal oleh pusat, baik secara langsung maupun melalui ‘orang kuat setempat’ (local strongmen) (Agustino & Yusoff 2010, p. 23).

Di sisi lain, kekuatan-kekuatan politik di tingkat pusat menggunakan ‘vertical power’-nya untuk mengendalikan dan menguasai sumberdaya daerah. Desentralisasi mungkin telah berlangsung secara administratif, akan tetapi sentralisasi politik tetap kuat. Arena pilkada, misalnya, bukan menjadi arena kontestasi elit politik di tingkat lokal, akan tetapi menjadi arena pertaruhan kepentingan para elit di tingkat pusat. Setiap kandidat kepala daerah harus mencari dukungan hingga ke pengurus pusat partai – kalaulah tidak ingin dikatakan ditentukan – begitu pun para calon anggota legislatif lokal. Tak jarang, bahkan, mereka yang berkompetisi di level lokal adalah tokoh-tokoh yang sebelumnya memiliki kekuasaan di tingkat nasional. Mungkin baru Jokowi yang menjadi kasus sebaliknya.

Kedua, adanya proses de-kontekstualisasi demokrasi. Proses demokrasi dinilai telah menjauhkan masyarakat dari akar sosio-kulturalnya. Demokrasi yang ditanamkan dalam sebuah komunitas, sebenarnya tidak tumbuh dalam ruang hampa karena pelaksanaan demokrasi perlu disesuaikan dengan konteks tempat masyarakat hidup dan berkembang. Jika kita mendefinisikan demokrasi lokal sebagai seni dalam mengelola sumberdaya publik, maka sesungguhnya daerah-daerah di Indonesia memiliki model-model pengelolaan sumberdaya publik yang sangat khas. Misalnya institusi sasi di Maluku yang mengatur pengelolaan sumber daya alam. Banyak kebijakan-kebijakan lokal yang sebenarnya adalah substansi dari demokrasi itu sendiri. Contoh lainnya adalah mekanisme gotong royong dalam tradisi masyarakat lokal di Indonesia. 

Komunitas internasional sendiri pada prinsipnya mendukung ketidaktunggalan demokrasi, yang artinya tidak menegasikan konteks lokal di mana demokrasi tersebut tumbuh. Hal ini tegas dinyata oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (2007) yang menyatakan bahwa "Sementara demokrasi memiliki kesamaan, tidak ada model demokrasi tunggal." Pernyataan tersebut diikuti oleh pesan Sekretaris Jenderal PBB untuk Hari Demokrasi Internasional pada September 2011 yang mengulangi bahwa, "PBB tidak berusaha mengekspor atau mempromosikan model demokrasi nasional atau regional tertentu. Ini bekerja pada ketidakpercayaan bahwa cita-cita demokrasi berakar pada filosofi dan tradisi dari seluruh penjuru Dunia." Kebijakan formal Sekretaris Jenderal PBB tentang demokrasi memperkuat bahwa "tidak ada satu model, norma dan praktik lokal harus dipertimbangkan dan (ditenun) ke dalam institusi dan proses demokrasi yang baru muncul"(Youngs 2015, p. 15-16). 

Ketiga, sifat universalitas demokrasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada bagian demokratis dari konsep demokrasi liberal yang membuat negara-negara non-Barat tertarik untuk menerapkannya, seperti pemilihan umum yang bebas, pengakuan atas hak kebebasan berbicara, dan hak atas persamaan perlakukan (Parekh 1993). Ketiga elemen itu merupakan sifat dari universalitas demokrasi yang nampak nyata. Namun demikian, desain terhadap elemen-elemen tersebut, termasuk konsep tentang individu, tidak serta merta harus mengikuti desain yang seragam atau universal tersebut. Sebagai contoh, pemahaman akan konsep individu, hak, kepemilikan, juga tentang bagaimana lembaga pemilihan umum, partai politik, pola dan bentuk pemisahan kekuasaan, semuanya bisa didesain disesuaikanya dengan nilai-nilai demokrasi dari masyarakatnya sendiri, tidak perlu harus didesain tunggal, seragam. Dengan kata lain, ada kesadaran bahwa prinsip-prinsip universal demokrasi tidak harus diterapkan melalui mekanisme yang sama di semua tempat. Dalam konteks ini, kita sepakat bahwa tidak berarti institusi demokrasi liberal tidak memberikan manfaat sama sekali bagi masyarakat non-Barat, namun masyarakat non-Barat itu harus menggali sendiri nilai-nilai demokrasi yang unik dari sumber-sumber kultural budaya mereka sendiri (Parekh 1993, p. 171-172). 

Universalitas mekanisme demokrasi ini terlihat jelas dalam politik elektoral di mana demokrasi elektoral dipandang sebagai ukuran paling utama bekerjanya rezim demokrasi karena memberi jaminan bagi hak sipil dan hak politik individu. Sehingga, ukuran suatu negara demokratis atau tidak kerap dilihat dari ada tidaknya desain politik elektoral yang menjamin dimensi kontestasi dan dimensi partisipasi (lihat Freedom House 2012). Kontestasi diartikan sebagai kompetisi antar-individu maupun kelompok untuk memperebutkan kekuasaan dan jabatan dalam pemerintahan. Sementara partisipasi merupakan pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, termasuk untuk melakukan pemilihan. Karena itu, dalam konsep demokrasi prosedural ini, demokrasi lebih ditekankan sebagai prosedur atau metode. Demokrasi Schumpeterian ini menekankan pada sisi empiris, deskriptif, institusional,dan prosedural. Penganut tradisi Scumpeterian ini semata-mata menilai sistem politik yang demokratis dari mekanisme pemilihan umum yang adil, jujur, memiliki periodisasi yang jelas, di mana dalam sistem tersebut para calon bebas berkompetisi untuk memperoleh suara, dan penduduk yang sudah dewasa berhak memberikan suaranya. Singkatnya, teori demokrasi Schumpeterian ini menekankan tentang pentingnya pelembagaan kontestasi politik, di mana prosedur menjadi aspek penting dalam demokrasi.

Pada perkembangannya, liberalisme Barat diremehkan oleh pemikir komunitarian karena asumsi validitas universal yang cacat, dengan alasan bahwa liberalisme mendevaluasi kepentingan masyarakat dan terlalu menekankan hak individu di masyarakat. Namun, kubu komunitarian sendiri memperoleh kritik karena mereka tidak mengembangkan alternatif kelembagaan demokratis yang komprehensif (Youngs 2015, p. 74).Akibatnya, imajinasi tentang “demokrasi non-Barat” justru mendorong munculnya kekhawatiran baru tentang kehadiran kembali rezim otoritarian(Youngs 2015, p. 6).

3. Rezim lokal dan demokrasi
Studi ini akan menghubungkan antara rezim lokal dan demokrasi. Demokrasi dalam studi ini merujuk pada konsep yang dirumuskan oleh David Beetham. Beetham (2007, p. 4) mendefinisikan demokrasi sebagai kontrol publik terhadap urusan-urusan yang disepakati sebagai urusan publik atas dasar kesetaraan politik. Di dalam proses itu, ada dua prinsip dasar yang ditekankan, yaitu kontrol rakyat dan kesetaraan politik (Beetham 2007, p. 5). Kedua prinsip dasar itu yang membingkai dalam setiap proses pengambilan keputusan yang bersifat publik. Definisi publik dalam kontek sini adalah keputusan yang mempengaruhi orang lain untuk mengikuti aturan atau keputusan yang sudah dibuat.Sehingga, bagi Beetham urusan-urusan publik dikontrol oleh publik (warga negara) dan warga negara memiliki kesetaraan untuk melakukan kontrol tersebut. Berdasarkan pemaknaan demokrasi itu, studi ini memposisikan jantung dari demokrasi terletak pada hak yang sama dan setara dari setiap warga negara untuk “bersuara” dalam urusan-urusan publik dan melakukan kontrol terhadap jalannya pengelolaan urusan publik. 

Terkait dengan pemaknaan demokrasi sebagaimana yang dipaparkan di atas, ada tiga kata kunci demokrasi yang akan dioperasionalisasikan dalam studi ini untuk mendiagnosis sejauhmana kondisi demokratisasi berlangsung di tingkat lokal, yaitu isu publik, kontrol publik, dan kesetaraan politik. Artinya, derajat demokratis dan tidaknya sebuah rezim di daerah/lokal akan dilihat dari ketiga parameter kunci dalam makna demokrasi a la Beetham tersebut.

Sedangkan terkait rezim, banyak definisi yang diberikan dalam menjelaskan pengertian rezim (lihat Easton 1956; O'Donnell, Schimitter, & Whitehead 1986; Lawson 1993). Dari beragam makna tersebut, secara konseptual dapat disimpulkan bahwa rezim merupakan pola dasar (prinsip, nilai, norma, dan prosedur) yang terejawantahkan dalam sebuah organisasi, praktik, dan proses pembuatan kebijakan (Higley and Burton 1989 dalam Case 1994, p. 433). Oleh sebab itu, rezim bukan sekedar merujuk pada aktor pemegang kekuasaan semata, melainkan juga seperangkat institusi atau aturan main yang disekapati bersama. 

Konsep rezim lokal dalam literatur politik, memiliki banyak definisi. Stone (1989, p. 6) misalnya, mendefinisikan rezim lokal sebagai pengaturan informal di mana badan publik dan swasta berfungsi bersama untuk dapat membuat dan melaksanakan keputusan pemerintah. Menurut Stone, rezim lokal merupakan“formal and informal modes of collaboration between business and government” and is embodied within the actions of a governing coalition, which is “an informal yet relatively stable group with access to institutional resources that enable it to have a sustained role in making governing decisions” (Stone 1989:4 dalam Maruyama 2012:57). Definisi Stone ini memotret bahwa diskusi rezim adalah diskusi relasi pengaturan formal dan informal, dan rupanya Stonejuga memberikan penekanan pada pentingnya melihat institusi/pengaturan informal yang bekerja secara stabil dalam mempengaruhi pengelolaan urusan-urusan publik di luar pengaturan-pengaturan formal (otoritas pemerintah). Berbeda dengan Stone, Vladimir Gelman & Sergei Ryzhenkov (2011) memahami rezim lokal sebagai kompleksitas dari institusi, aktor, sumberdaya dan strategi politik yang digunakan mereka para pelaku politik lokal, perumus kebijakan dan pemerintahan daerah. Dari pemahaman Gelman dan Ryzhenkov ini, rezim berhubungan dengan bagaimana ‘tatakelola’ sumberdaya publik dalam suatu tatanan politik (baca: lokal), melibatkan berbagai aktor dan institusi.

Dari definisi-definisi tersebut, pemahaman tentang konsep rezim lokal dalam riset ini meliputi beberapa hal. Pertama, dimensi rezim meliputi aktor dan institusi baik aktor formal maupun informal, juga insititusi formal dan informal. Dalam kajian ini, institusi mengacu pada aturan main yang mengindikasikan apa yang dapat dilakukan dan harus dilakukan oleh aktor atau sebuah kerangka peraturan yang terorganisir (Tőrnquist 1999, p. 32). Institusi juga erat kaitannya dengan sistem nilai, tradisi, norma dan praktik menyeluruh yang membentuk atau membatasi perilaku para aktor politik (North 1990; Scott 1995). Pengaturan institusi di tingkat lokal biasanya dipengaruhi oleh norma-norma fundamental yang berlaku di daerah tersebut (Norton 1994). Hubungan kompleks antara institusi formal dengan budaya dan norma sosial di masyarakat yang informal membuatnya tumbuh bersama dan saling mempengaruhi satu sama lain hingga membentuk sebuah karakter. Menurut Helmkean Levistsky (2004), formal institutions defined as rules that are openly codified, in the sense that they are established and communicated through channels that are widely accepted as official. By contrast, informal institutions are socially shared rules, usually unwritten, that are created, communicated, and enforced outside of officially sanctioned channels. Singkatnya, institusi formal merupakan seperangkat pengaturan yang dibentuk dan disusun dalam struktur pemerintahan formal, sedangkan institusi informal merupakan struktur di luar pemerintahan formal yang dapat mempengaruhi keputusan-keputusan politik di tingkat daerah.

Kedua institusi tersebut, yakni institusi formal dan informal tersebut terjalin relasi di antara keduanya. Relasi yang terbentuk di antara institusi formal dan informal tidak selalu merupakan relasi yang saling menegasikan. Proyek negara-bangsa (state formation), telah menghadirkan institusi baru di tengah masyarakat, yakni institusi Negara di tingkat lokal dan pemerintah daerah (konsekuensi dari asas desentralisasi maupun dekonsentrasi). Padahal, di daerah sudah ada tatanan institusi lokal informal selama ini bekerja dan mengatur perilaku individu maupun masyarakat secara umum. Interaksi antara institusi formal dan institusi informal ini seringkali mengakibatkan ‘dual polity’ di lokal. Studi yang dilakukan oleh Helme dan Levitsky (2004), mencoba melihat posisi institusi informal dalam hubungannya dengan institusi formal. Pola relasi keduanya melahirkan empat tipologi institusi informal, yaitu: (1) complementary informal institutions; (2) accomodating informal institutions; (3) competing informal institutions; dan (4) substitutive informal institutions (Tabel 1). 

(Tabel 1 di sini)

Sedangkan aktor dalam kajian rezim lokal ini juga meliputi aktor formal dan aktor informal. Aktor formal di tingkat lokal didefinisikan sebagai aktor yang memegang kuasa formal, ia bisa merupakan kepala daerah, legislatif, maupun partai politik (politisi). Sedangkan aktor informal adalah aktor yang memegang kekuasaan informal. Sumber kekuasaan aktor informal ini berdasarkan ketentuan sosial kultural dan norma-norma yang berlaku di daerah tersebut atau berdasar modal sosial, modal budaya maupun ekonomi yang dimiliki. Para aktor (baik formal dan informal) yang terlibat dalam rezim memiliki basis kelembagaan yang cukup kuat, modal sosial dan ekonomi yang cukup besar karena menguasai akses terhadap sumberdaya.

Kedua, rezim bersifat stabil. Artinya, sistem aturan main (tata kelola kekuasaan) yang terbentuk telah melembaga, terus bertahan meskipun pemerintahan berganti. Hal ini menekankan pada aspek pengaturan informal yang stabil karena akses institusi informal yang stabil terhadap sumberdaya institusi. Rezim berjalan dalam kondisi yang relatif stabil dan beroperasi tanpa hierarki formal, tidak ada arah yang fokus dan kepemilikan kontrol tunggal. Rezim memandang bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang terfragmentasi karena adanya pembagian kerja antara pasar dan negara (Elkin 1987, p. 18). Padahal, baik pemerintah daerah (dengan modal legitimasi) maupun swasta (dengan modal kepemilikan sumber daya) sama-sama dibutuhkan untuk menjalankan roda pemerintahan. Rezim berdiri di atas dua asumsi yaitu asumsi pluralis yang menyatakan bahwa otoritas pemerintahan cukup memadai untuk membuat dan melaksanakan kebijakan; serta asumsi strukturalis yang berasumsi bahwa dengan kekuatan ekonomi dapat menentukan berjalannya sebuah kebijakan (Mossberger & Stoker 2001). Di samping pasar dan negara, rezim dalam kajian ini pun mendiskusikan posisi dan peran dari masyarakat, di mana masyarakat menjadi diskusi penting dalam proses demokrasi karena masyarakat (warga negara) adalah sumber legitimasi bagi eksistensi negara. 

Ketiga, rezim lokal dipengaruhi oleh karakteristik struktural eksogen dari lokalitas, yang terdiri dari letak /posisi geografis, sumber daya alam, struktur lokal (karakter atau profil sosial ekonomi, sosial budaya masyarakat), serta konteks perkembangan yang terjadi di level nasional maupun internasional (Gel'man & Ryzhenkov 2003). 

Keempat, rezim terbentuk karena adanya kesempatan politik, yang membentuk lingkungan politik dan kelembagaan rezim lokal, serta memberikan insentif bagi aktor-aktor yang terlibat dalam rezim. Dalam konteks ini, aspek kebijakan/pola tatakelola sumberdaya publik di level supra-lokal (nasional) berdampak pada tata kelola kekuasaan di lokal. Artinya, kehadiran rezim di tingkat lokal sebagai bentuk respon lokal terhadap perubahan politik dan kelembagaan yang terjadi di tingkat lokal sebagai konsekuensi dari desain sebuah kebijakan yang dilakukan di tingkat nasional.

Sementara itu, pemahaman tentang lokal dalam kajian ini tidak hanya memaknai lokal dalam arti spasial (geografis), namun menempatkan lokal sebagai satuan berpikir warga, sehingga ia bersifat beyond administrative. Pemahaman lokal disini merujuk pada definisi lokal yang diajukan oleh Sue Goss (2001). Menurut pada Sue Goss (2001, p. 26-27), setidaknya terdapat empat elemen yang membentuk apa yang disebut dengan ‘lokal’, yakni elemen geografis-ruang (spasial), identitas, skala, dan kekuasaan. Pertama, elemen fisik geografis-space, yakni lokal didefinisikan secara spasial - locality spatially. Dalam konteks ini, lokal memperpendek jarak fisik, yaitu supaya fasilitas bisa diakses secara mudah oleh masyarakat. Wujudnya adalah wilayah yang lebih kecil dibanding negara (sub-negara), yaitu daerah (provinsi, kabupaten/kota), desa, kampung, dan unit terkecil di bawahnya. Kedua, elemen identitas. Kesamaan fisik lingkungan (spasial) tidak secara otomatis menciptakan kesadaran identitas yang mengikat atau rasa memiliki. Bukan hanya persoalan besaran geografis, namun, lokal juga berarti identitas, rasa memiliki, keterhubungan, shared assumption dan shared history. Identitas lokal bisa menjadi konstruksi politik, dan memposisikan orang lain sebagai “not like us”, misal penduduk pribumi versus pendatang, masyarakat adat dan genuinitas praktik demokrasi dalam suatu komunitas merupakan contohnya.

Ketiga, elemen skala. Aspek ini terkait asumsi bahwa batas-batas organisasi formal yang seringkali diciptakan karena kebutuhan untuk menghadirkan skala ekonomi atau scope dalam pengambilan keputusan (menyangkut di mana keputusan dibuat). Keempat, elemen yang terakhir dari lokal adalah kekuasaan. Lokal dapat merupakan representasi dari lokasi kekuasaan, atau oposisi terhadap kekuasaan terletak pada level yang lain, pada region, atau negara-bangsa. Lokal menyediakan basis di mana kepentingan bersama dinegosiasikan dengan lingkup area geografis lainnya atau dinegosiasikan dengan pemerintah daerah atau pemerintah nasional. Singkatnya, lokal di sini menyangkut di mana kekuasaan tersebut diletakkan. Keempat elemen di atas itulah yang membentuk apa yang dalam studi ini disebut sebagai lokal. 

Dalam studi ini, pemahaman terhadap konsep rezim lokal diartikan sebagai kompleksitas bekerja pengaturan formal dan informal, yang diekspresikan dalam tindakan-tindakan governing coalition di mana yang informal memiliki akses yang stabil terhadap sumberdaya institusi sehingga dapat terlibat dan punya peran yang kontinyu dalam proses kebijakan yang menyangkut urusan publik (governing decision). Masing-masing rezim lokal ini mungkin akan melahirkan karakter rezim lokal yang berbeda karena governing regime tersebut memiliki basis sumberdaya yang berbeda dalam membangun dan mempertahankan kekuasaannya (Elander & Strömberg 2001). Selanjutnya, studi ini akan melihat apakah rezim lokal menjadi potensi ataukah justru penghambat dalam proses demokratisasi di tingkat lokal. Berpijak dari pertanyaan ini, argumentasi yang dibangun dalam studi ini melihat karakter rezim lokal akan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Ia bisa berupa karakter demos maupun elemen nilai dalam aspek informal.

4. Fokus Riset: Membangun Perspektif Demokrasi Bawah 

Demokrasi kerap dianggap sebagai sebuah proyek nasional yang tunggal dan, karena itu, bersifat seragam. Padahal, struktur kesempatan politik di berbagai konteks jelas berbeda-beda dan, karena itu, menimbulkan pengaruh dan akibat yang juga berbeda.Oleh karena itu, studi tentang demokrasi dan demokratisasi perlu diperkuat dengan mengedepankan perspektif lokal,lebih daripada perspektif pusat (atau nasional). Di tingkat lokal-lah terletak pusat-pusat kekuasaan yang satu sama lain saling berinteraksi, dan di tingkat lokal pula imajinasi-imajinasi genuine tentang praktik berdemokrasi dapat ditemukan.

Alasan-alasan yang menjadi titik berangkat riset ini memperlihatkan bahwa ada sejumlah isu penting yang perlu dieksplorasi untuk mengetahui variasi rezim lokal di berbagai konteks di Indonesia. Studi ini mengasumsikan ada enam isu yang membentuk rezim lokal, yaitu: (1) pola relasi-kuasa di lokal; (2) hubungan antar-aktor negara-pasar-masyarakat (resiprokalitas antar-aktor); (3) eksistensi dan pengaruh informalitas dalam demokrasi lokal; (4) eksistensi dan pengaruh demos; (5) eksistensi dan pengaruh gerakan masyarakat sipil; serta (6) kapasitas pengelolaan dan distribusi sumber daya alam. Kita akan mendalami satu per satu keenam aspek tersebut.

4.1. Pola relasi-kuasa dalam konteks lokal

Fokus riset ini adalah memahami bagaimana relasi kuasa, terutama patronase dan populisme dioperasikan untuk mempengaruhi proses demokratisasi di tingkat lokal. Dalam rangka memahami pola relasi kuasa yang bekerja di konteks lokal tersebut, riset pada isu ini memberi perhatian khusus terhadap: 1) wacana tentang demokrasi, 2) kekuasaan (power); 3) bagaimana para aktor membangun relasi kuasa untuk mempengaruhi praktik demokrasi.Karena itu, target dari mengeksplorasi isu relasi kuasa di tingkat lokal dalam rangka untuk: (1) mendalami politik berbasis ketokohan, (2) memahami strategi pemimpin lokal dalam memanfaatkan peluang, dan (3) melacak implikasi tindakan tokoh terhadap proses proses pemerintahan lokal maupun kualitas demokrasi lokal. 

Untuk mencapai target tersebut langkah pertamanya adalah mengidentifikasi apa dimensi-dimensi kekuasaan dalam sebuah sistem politik, termasuk sumber-sumber yang menjadiakan kekuasaan tersebut legitimate. Penjelasan atas sumber kekuasaan akan memandu pemahaman selanjutnya tentang hierarki/struktur kekuasaan dan aktor-aktor yang memegang dan memperebutkan kekuasaan dimaksud. Manisfestasi struktur kekuasaan dipahami dengan mengelaborasi mekanisme-mekanisme bekerjanya kekuasaan. Mekanisme bekerjanya struktur kekuasaan tidak selalu berkarakter formal dan statis, dan tidak selalu bekerja di arena formal. Namun, seringkali manisfestasi kekuasaan justru mengambil bentuk, arena, dan mekanisme informal yang dinamis. Dengan memahami mekanisme bekerjanya kekuasaan sebagaimana digambarkan, maka akan bisa dijelaskan struktur kekuasaan yang sesungguhnya, yang seringkali tidak muncul secara eksplisit di permukaan.

Sedangkan dalam melacak manifestasi bekerjanya demokrasi dapat dipahami dengan menjelaskan praktik-praktik kekuasaan, termasuk relasi antar-aktor dalam struktur kekuasaan. Praktik demokrasi pada dasarnya menjelaskan dinamika ekspresi atau manifestasi dari nilai/interest yang saling dikontestasikan. Demokrasi berangkat dari asumsi bahwa aktor dan kepentingan dalam masyarakat sangatlah beragam, dan oleh karena itu praktik demokrasi adalah pertarungan kepentingan yang dibawa oleh masing-masing aktor. Output dari kontestasi ditentukan oleh wacana dan kepentingan apa yang mendominasi dalam relasi kekuasaan yang ada. Melacak manifestasi/ekspresi relasi kekuasaan bisa dilakukan dengan mengukur sedalam apa capaian-capaian nilai yang diusung dalam demokrasi, dan dengan menganalisis capaian maka akan bisa diverifikasi apakah praktik demokrasi sudah sanggup memenuhi basic values yang diusung dan nilai-nilai kesejahteraan yang didefinisikan.

Praktik bekerjanya kekuasaan bisa dilacak dalam logika yang berbeda. Dalam kasus tertentu, karakter negara sangat dominan, baik dalam artian negara menjadi arena dan sumber kekuasaan, maupun negara sebagai cara kerja (statisme). Cara kerja statism ditunjukkan dengan kuatnya dimensi hirarki, pelembagaan formalisme dan proseduralisme, berbasis pada kemampuan negara, dan authority. Praktik relasi kekuasaan juga bisa berkarakter kedekatan dan solidaritas masyarakat, atau dilabeli dengan intimacy. Dalam logika intimacy, arena kekuasaan adalah kedekatan-kedekatan yang basisnya primordialisme, sehingga kekuasaan pada dasarnya hanya menjangkau mereka yang berada dalam lingkaran tersebut. Bentuk ekspresi relasi kuasa yang ketiga adalah yang berdasar pada logika voluntaraly exchange, di mana mekanisme bekerjanya pasar menjadi basis relasi kuasa. Program riset PWD dalam fokus praktik relasi kekuasaan akan melacak bekerjanya tiga model relasi kuasa dan persilangannya sebagai manifestasi dari nilai-nilai dasar demokrasi.

4.2.Resiprokalitas antar-aktor dalam governing decision

Fokus riset pada isu ini diarahkan untuk memotret relasi resiprokal antara tiga aktor utama (negara, pasar, dan masyarakat) dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal. Pada isu resiprokalitas antar-aktor ini, target riset adalah (1) mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam governing decision, (2) melacak bagaimana relasi antar-aktor utama, (3) memahami nalar yang bekerja dalam relasi antar-aktor tersebut, (4) memahami faktor penghambat dan pendorong dalam relasi antar-aktor, dan (5) melacak implikasi dari relasi resiprokalitas antar-aktor tersebut terhadap demokrasi lokal. 

Pada tataran wacana, pelibatan aktor pasar dan masyarakat merupakan salah satu prasyarat bagi penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis (transparan dan akuntabel) karena memungkinkan berlangsungnya proses checks and balances dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu prasyaratnya adalah kebersediaan dari aktor negara untuk berbagi ruang dengan aktor-aktor lain (pasar dan masyarakat), dan pada waktu yang bersamaan ada kemauan dan kemampuan dari aktor pasar dan masyarakat untuk mengambil bagian dalam penyelenggaraan pemerintahan. 

Tanpa kesediaan aktor negara untuk berbagi ruang, penyelenggaran pemerintahan akan cenderung didominasi oleh aktor negara. Sementara itu, walaupun ada kesediaan dari aktor negara untuk berbagi ruang dalam penyelenggaraan pemerintahan, apabila tidak disertai adanya kemauan dan kemampuan dari aktor pasar dan masyarakat, maka dominasi aktor negara dalam penyelenggaraan pemerintahan tetap tidak terelakkan. Karena itu, kesediaan aktor negara berbagi ruang serta adanya kemauan dan kemampuan aktor pasar dan masyarakat merupakan faktor penting untuk mendorong partisipasi atau keterlibatan aktor-aktor dari ketiga arena sebagai penyelenggara pemerintahan.

Relasi di antara ketiga aktor tersebut akan memberi warna atau pengaruh bagi penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan dapat berlangsung lebih transparan dan akuntabel apabila ketiga aktor tersebut membangun relasi dalam posisi yang setara, tidak ada salah satu pihak yang mendominasi.Sebaliknya, sulit untuk menghadirkan pemerintahan yang transparan, apalagi akuntabel, apabila ada dominasi salah satu pihak atau di antara aktor-aktor tersebut tidak bisa saling mengontrol satu terhadap lainnya.

Pada tataran praktis, belum tentu kebersediaan aktor negara untuk berbagi ruang dalam penyelenggaraan pemerintahan disambut positif oleh pasar dan masyarakat. Hal ini karena penyelenggaraan pemerintahan tidak berada di ruang hampa, penyelenggaraan pemerintahan juga berada di dalam suatu setting sosio-kultural dan sosio-ekonomi tertentu, tidak sekadar dalam setting sosio-politik tertentu saja. Setting sosio-politik yang demokratis, memang membuka ruang untuk hadirnya partisipasi karena setidaknya akan mendorong aktor negara untuk bersedia berbagi dengan aktor pasar dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.Namun, realitas menunjukkan bahwa kondisi sosio-kultural dan sosio-ekonomi yang ada di masyarakat kerap menjadi penghambat bagi aktor pasar dan masyarakat untuk ambil bagian atau bersedia terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan.Lebih dari sekadar kemauan atau kebersediaan aktor pasar dan masyarakat untuk terlibat atau berpartisipasi, kondisi sosio-kultural dan sosio-ekonomi juga ikut berpengaruh terhadap kemampuan aktor pasar dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

4.3.Pengaruh informalitas terhadap pembangunan demokrasi

Fokus riset pada isu informalitas dan pembangunan demokrasi berangkat dari argumentasi bahwa proses demokrasi di lokal sangat dipengaruhi oleh hubungan-hubungan kekuasaan di lokal, salah satunya adalah peran dan pengaruh relasi informalitas. Karena itu, fokus riset pada isu ini bermaksud untuk menggali kemunculan dan nilai-nilai informal, serta mekanisme informalitas dan pengaruhnya dalam proses demokrasi lokal. Guna mencapai tujuan tersebut, target dari riset pada isu informalitas diarahkan menjawab pertanyaan kunci apakah aspek informalitas menjadi potensi ataukah justru penghambat dalam membangun demokratisasi di tingkat lokal, sertadalam kondisi apa institusi informal tersebut dapat bekerja dan mempengaruhi pembangunan demokrasi lokal? Dalam cara berpikir ini, informalitas tidak selalu dianggap sebagai patologi bagi demokrasi. 

Dalam literatur studi politik, informalitas merupakan bagian integral dari setiap sistem politik (Lauth 2012, p. 51). Pernyataan ini berangkat dari asumsi bahwa sistem politik yang didasarkan pada aturan-aturan formal adalah utopia-negatif, sehingga mendiskusikan sistem politik justru perlu melibatkan institusi informal. Meskipun begitu,tentu saja kita harus kritis ketika memperimbangkan institusi informal seperti apa yang bermanfaat bagi demokrasi dan untuk tujuan apa.[3]

Institusi informal juga memiliki mekanisme yang berbeda dengan institusi formal. Jika aturan-aturan dalam institusi formal disusun melalui kanal-kanal institusi resmi seperti legislatif dan eksekutif, serta dikomunikasi dan ditegakkan melalui state agencies, maka institusi informal diciptakan, dikomunikasi dan ditegakkan di luar public channels, bahkan tanpa sepengetahuan publik. Oleh karena itu, untuk membedah dan mempelajari bagaimana mekanisme bekerjanya institusi informal, maka penting untuk memperhatikan tiga hal ini, yaitu aktor, koalisi yang dibangun, dan kepentingan yang tersembunyi di balik aturan informal. 

Banyak studi memperlihatkan bahwa relasi antara institusi formal dan informal tidak melulu merupakan relasi yang saling menegasikan. Proyek negara-bangsa (state formation), telah menghadirkan institusi baru di tengah masyarakat, yakni institusi negara di tingkat lokal dan pemerintah daerah (konsekuensi dari asas desentralisasi maupun dekonsentrasi). Padahal, di daerah sudah ada tatanan institusi lokal informal selama ini bekerja dan mengatur perilaku individu maupun masyarakat secara umum. Interaksi antara institusi formal dan institusi informal ini seringkali mengakibatkan ‘dual polity’ di level lokal. Studi yang dilakukan oleh Helme dan Levitsky (2004), mencoba melihat posisi institusi informal dalam hubungannya dengan institusi formal. Pola relasi keduanya melahirkan empat tipologi institusi informal, yaitu komplementer, akomodatif, tandingan, dan pengganti. 

Sementara itu, diskusi tentang relasi demokrasi dan institusi informal berangkat dari argumen bahwa demokrasi di negara-negara yang dilanda gelombang ketiga demokrasi menggambarkan fenomena tumbuh suburnya institusi informal dalam proses demokrasi (Lauth 2012, p. 7). Namun pada praktiknya, penting untuk memetakan institusi informal politik manakah yang “baik” dan yang “buruk” bagi demokrasi. Dengan kata lain, jenis institusi informal seperti apakah yang cocok dengan demokrasi? Salah satu cara untuk mengetahui hal tersebut adalah dengan menghubungkan institusi informal dengan ide dasar legitimasi, yaitu (1) efektivitas/efisiensi untuk menghasilkan political results (output/outcome); dan (2) prosedur demokratis/legitimasi, yakni terkait dengan proses partisipasi (input). Kedua hal ini behubungan erat dengan konsep demokrasi. Artinya, relasi demokrasi dan institusi informal dapat dikatakan positif apabila mendukung keberadaan dan keterbukaan saluran partisipasi dan saluran pengambilan kebijakan secara demokratis. 

Dalam konteks ini, tentu saja pemaknaan atas demokrasi menjadi penting kembali untuk diingat. Cara Beetham mendefinisikan demokrasi, sebagaimana telah dinyatakan pada bagian terdahulu, sangat membantu kita untuk meninjau relasi demokrasi dan informalitas. Demokrasi membutuhkan kesetaraan dan partisipasi. Konsep demokrasi seperti ini berarti juga menjamin keberlangsungan pengaruh dan kontrol publik terhadap segala proses politik. Sedangkan partisipasi yang demokratis dapat diukur dengan menggunakan tiga dimensi, yaitu kebebasan, kesetaraan dan kontrol (Lauth 2012, p. 57). Untuk mengetahui apakah institusi informal mendukung ataukah justru menghambat partisipasi, kita perlu melihat ketiga dimensi demokrasi itu.

Studi yang dilakukan oleh Lauth (2000) mengindikasikan bahwa tidak semua institusi informal menurunkan kualitas demokrasi. Dampak institusi informal terhadap demokrasi bervariasi derajatnya, bahkan dapat pula mendukung institusi formal demokrasi. Karena itu, proses demokratisasi tidak selalu harus dilihat sebagai situasi konfliktual antara institusi formal dan informal. 

4.4. Karakteristik demos di berbagai konteks lokal

Fokus riset pada aspek ini bertujuan mengeksplorasi berbagai imajinasi tentang demos di berbagai konteks lokal di Indonesia. Imajinasi tentang demos ini penting untuk diungkap mengingat demokrasi mensyaratkan adanya demos yang berdaulat. Kedaulatan demos ditandai dengan adanya kapasitas dan kemampuan untuk mendefinisikan urusan publik dan melakukan kontrol atasnya. Target riset yang ingin dicapai pada isu demos iniadalah: (a) Mengetahui bagaimana masyarakat memahami publik; (b) Melacak wacana yang merujuk pada istilah publik (mengidentifikasi ekspresi lokal tentang publik), dan (c) Meletakkan kaitan antara publik (yang dipahami masyakarat) dengan eksistensi dan fungsi negara. 

Untuk mencapai target tersebut, pertanyaan kunci yang dieksplorasi pada isu ini adalah: (1) Apakah demokratisasi telah menumbuhkan demos?, (2) Jika ada, siapakah demos?

4.5. Pemetaan gerakan masyarakat sipil

Fokus riset pada aspek ini bertujuan mengeksplorasi karakter berbagai gerakan civil society pada tingkat lokal di Indonesia. Yang dimaksud dengan karakter gerakan adalah bentuk, basis, orientasi dan ideologi yang dikembangkan oleh gerakan civil society. Sedangkan target riset pada isu gerakan civil society ini berfungsi untuk: (1) melacak bagaimana para aktivis memaknai civil society, dan (2) memahami persoalan, kekuatan dan kelemahan dalam gerakan civil society di level lokal. Riset ini sekaligus diharapkan dapat memberikan jawaban baru terhadap fenomena perkembangan demokrasi yang dimonopoli oleh oligarki maupun oleh tokoh individual, sebagaimana ditemukan oleh Survei PWD, serta bagaimana peran gerakan civil society dalam perkembangan demokrasi di tingkat lokal.

4.6. Kapasitas rezim lokal untuk mengelola sumberdaya alam
Fokus riset pada isu ini adalah melacak praktik rezim lokal dalam mengelola sumberdaya alam di tingkat lokal, serta kapasitas aktor lokal mempengaruhi tata kelola sumberdaya alam lokal. Adapun target riset dari isu rezim lokal dan sumberdaya alam adalah (1) mengetahui sejauh mana rezim lokal sanggup mengelola potensi sumberdaya alam, (2) mengetahui aktor-aktor kunci yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut, dan (3) mengetahui manfaat dan risiko yang diterima publik atas proses pengelolaan sumberdaya alam di lokal. 

Selama ini, praktik rezim lokal dalam mengelola sumber daya alam menunjukkan kecenderungan merusak potensi lokal yang ada dan justru tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Hal ini ditunjukkan dengan dilakukannya eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan keseimbangan lingkungan sekitar, misalnya saja eksploitasi minyak dan gas bumi yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas hingga mengakibatkan terjadinya bencana ‘Lumpur Lapindo’ di Sidoarjo. Bukti kerusakan sumber daya alam lainnya juga dilakukan oleh PT Minahasa Raya yang mengeksploitasi tambang emas dan mineral lainnya, dan membuang limbah tambangnya ke Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa. Pembuangan limbah ke teluk ini mengakibatkan kerusakan ekosistem. Selain merusak ekosistem, penduduk sekitar juga mengalami keracunan logam berat serta gangguan kesehatan lainnya karena mengonsumsi hasil perikanan yang diperoleh dari teluk tersebut. Kerusakan yang diakibatkan dari eksploitasi ini tidak hanya memberikan dampak bagi pengusaha, tetapi bagi negara dan warga lokal yang tinggal di sekitarnya. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi kegagalan dalam pengelolaan sumber daya alam lokal. 

Fenomena itu memperlihatkan bahwa meskipun penyebaran potensi sumber daya alam tidak merata dan tidak sama di antara daerah yang satu dengan yang lainnya, potensi itu tetap dapat menjadi daya dukung lokal apabila pengelolaannya dilakukan dengan baik. Pemanfaatannya harus dilakukan dengan memperhatikan kesinambungan dengan cara yang rasional. Daya dukung lokal ini dapat diperoleh dengan melibatkan aktor-aktor lokal. Karena itu peran aktor lokal sangat penting dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam. 

5. Studi kasus
Riset ini melakukan studi kasus di 10 daerah setingkat kabupaten/kota dan sebuah daerah istimewa setingkat provinsi. Namun demikian, penetapan daerah riset berbasis wilayah administratif itu sifatnya arbitrer. Sedari awal kami menyadari bahwa rezim lokal pasti dipengaruhi oleh faktor-faktor informalitas yang cakupannya bisa saja melampaui batas-batas wilayah administratif kabupaten/kota dan provinsi. Karena itu sesungguhnya daerah riset yang kami tentukan tidak sepenuhnya paralel dengan satuan administrasi pemerintahan. Lokal dapat berarti kesatuan identitas kultural, melampaui batas-batas administratif.

Sebagai riset lanjutan dari Baseline Survey PWD, riset ini pertama-tama memilih lokasi-lokasi yang telah menjadi objek survei sebagai daerah-daerah studi kasus kami. Karena berbagai keterbatasan, kami terpaksa memilih hanya 8 dari 31 kabupaten/kota yang sebelumnya menjadi lokasi survei. Kedelapan daerah itu adalah Kota Pontianak, Kota Ambon, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Belu, Kota Jayapura, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, untuk kebutuhan pengayaan informasi, kami menambahkan tiga daerah riset baru yang sebelumnya bukan menjadi lokasi survei, yaitu Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Lombok Utara, dan Kota Gorontalo.

Pemilihan daerah riset ini, baik dari kelompok daerah survei maupun tidak, bukan dilakukan dalam kerangka memenuhi keterwakilan. Kami menyadari sepenuhnya, kasus-kasus yang kami angkat dari ke-11 daerah riset itu tidak dapat dikatakan apalagi disimpulkan sebagai ‘wajah Indonesia’. Orang perlu melakukan upaya yang jauh lebih serius untuk menampilkan rezim lokal Indonesia yang komprehensif. Dalam riset ini, kami mencoba mengarahkan perhatian pada daerah-daerah yang menurut anggapan kami sendiri – berdasarkan temuan survei sebelumnya dan kajian lain – memiliki aksentuasi unik dan sangat khas dibandingkan daerah-daerah lain. Metode ini tentu saja memiliki sejumlah keterbatasan, akan tetapi memberikan kesempatan lebih luas untuk melihat dan membandingkan berbagai kontras dari rezim yang bertumbuhan di tingkat lokal di Indonesia. Misalnya, apakah politik populisme dan patronase – yang menurut survei PWD merupakan gejala umum di hampir seluruh daerah – dipraktikkan secara sama atau berbeda-beda ketika bertemu dengan elemen-elemen institusi informal yang berbeda-beda di setiap daerah? 

Demikianlah, kami memilih Kabupaten Tana Toraja dan Lombok Utara dengan alasan bahwa masyarakat di sana memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap norma adat dan tradisi yang ‘genuine’ dan sangat panjang. Perbedaanya, adat dan tradisi Tana Toraja dipengaruhi oleh agama Kristen, sedangkan adat dan tradisi di Lombok Utara dipengaruhi Islam. Gorontalo kami pilih karena dua pertimbangan. Pertama, Gorontalo merupakan daerah yang penduduknya homogen, baik dari aspek etnis maupun agama, namun dalam waktu yang cukup panjang sempat mengalami sub-ordinasi ketika daerah ini menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara. Perlu menjadi catatan penting bahwa meskipun dalam riset di Gorontalo titik berangkat kami dari Kota Gorontalo, namun kami kami tidak memposisikan Gorontalo sebagai wilayah administrasi sebagai Kota Gorontalo, melainkan kami menempatkan Gorontalo sebagai satu kesatuan budaya, sehingga dalam pencarian data untuk kebutuhan riset dan analisis kami melintasi batas administrasi Kota Gorontalo dan memposisikan Gorontalo sebagai suatu entitas budaya. Kedua, secara historis pula, Gorontalo merupakan daerah sebuah kerajaan lama yang warisan tradisi dan budayanya, khususnya hierarki sosial dan keberadaan bangsawan,tetap dipelihara hingga kini.

Delapan studi kasus lainnya kami pilih dari kabupaten/kota yang sebelumnya menjadi daerah survei. Kabupaten Aceh Selatan dipilih karena beberapa alasan. Di sana ada penerapan syariat Islam, tradisi Islam juga sangat panjang dan berpengaruh terhadap kehidupan sosial. Selain itu, faktor konflik bersenjata dan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia juga menjadi pertimbangan penting untuk melakukan studi kasus di daerah ini. Kutai Kertanegara dipilih karena kabupaten ini merupakan kabupaten yang tergolong paling kaya sumber daya alamnya, sehingga kami berharap dapat memperoleh gambaran tentang bagaimana pengelolaan sumberdaya alam berpengaruh terhadap rezim politik lokal. Pemilihan Sidoarjo sebagai salah satu studi kasus didasarkan pada fenomena industrialisasi yang tumbuh dan berkembang dalam wadah masyarakat yang masih memegang kuat nilai-nilai kultural-tradisional (institusi pesantren dan Kyai), sehingga menjadikan pesantren serta para kyai memiliki posisi kuasa yang sangat kuat di hadapan masyarakat politik dan masyarakat ekonomi. 

Kabupaten Belu di provinsi Nusatenggara Timur dipilih karena terdapat aktivitas perdagangan yang sangat intensif di daerah perbatasan, yang didominasi oleh para pendatang. Para pendatang itu bukan saja mendominasi aktivitas ekonomi lokal, akan tetapi sudah cukup lama berperan dalam aktivitas politik lokal dan tidak memperoleh penentangan yang cukup berarti dari warga asli. Fenomena ini menarik karena pada dasarnya masyarakat Belu merupakan komunitas yang kental dengan pola relasi-kuasa patronase. Sedangkan Pontianak, Jayapura, dan Ambon, dipilih mewakili wilayah ibukota provinsi dengan isu identitas yang mengemuka. Posisi ketiga daerah tersebut sebagai ibukota provinsi menjadikan keempat ibukota itu plural dari aspek demografi etnisitas karena letaknya sebagai ibukota yang menarik pendatang untuk mencari penghidupan. Meskipun demikian ketiga kota tersebut merefleksikan karakteristik yang berbeda. Pontianak adalah kota dengan fragmentasi etnis yang cukup tajam (Dayak, Melayu, dan Madura), Jayapura adalah daerah di belahan Timur Indonesia yang didiami oleh cukup banyak pendatang dari Jawa sehingga ada pemilahan identitas yang relatif tajam antara orang asli (adat) dan pendatang. Sedangkan Ambon kami pilih untuk melihat bagaimana situasi pasca-konflik memberikan respon terhadap proyek demokratisasi. 

Terakhir, DI Yogyakarta dapat dikatakan sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang menyandingkan struktur lokal (institusi Kesultanan) sebagai institusi tradisional hidup berdampingan bersama dengan institusi modern (negara modern). Persandingan institusi lokal-tradisional dengan institusi modern inilah yang menarik dikaji dalam rangka melihat karakter rezim lokal di wilayah istimewa ini.

6. Isi buku ini
Buku ini disusun dalam tiga bagian yang mencakup 17 bab. Pada bagian pertama – Menghampiri Rezim Lokal – kami menjelaskan mengapa dan bagaimana riset ini dirancang (Bab 1), serta mendiskusikan rezim lokal dalam kerangka yang lebih luas (Bab 2). Melalui kedua bab itu kami bukan saja menyampaikan gagasan-gagasan tentang bagaimana memahami rezim lokal,tetapi menempatkannya sekaligus di dalam pembicaraan tentang pembangunan demokrasi. 

Bagian kedua – Variasi Rezim Lokal – berisi laporan studi kasus dari daerah-daerah yang menjadi objek riset kami (Bab 3 hingga Bab 13). Penyajiannya dilakukan berdasarkan pengelompokan karakter rezim lokal yang kami temukan melalui riset ini. Meskipun deretan sajian ini telah membuat naskah ini terasa terlalu tebal, sejujurnya itu semua hanyalah sekelumit dari yang dapat kita temukan di Indonesia. Deskripsi tentang variasi rezim lokal itu sekali lagi bisa menjadi pengingat bahwa Indonesia adalah kumpulan dari keragaman dan, karena itu, demokrasi adalah pilihan politik yang paling baik. Kerangka politik demokrasi memberikan berbagai kemungkinan untuk mengelola keragaman menjadi modal besar untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Bagian yang terakhir – Belajar dari Lokal dan Agenda Demokratisasi Berikutnya – mengulas pelajaran-pelajaran yang dapat ditarik dari berbagai studi kasus yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Sejalan dengan gagasan awal kami untuk menempatkan studi ini sebagai bagian dari upaya pembangunan demokrasi, pada bagian ini kami juga menawarkan rekomendasi untuk penyusunan agenda demokrasi ke depan.

Di dalam Bab 14 kami melakukan review dan analisis atas temuan-temuan yang diperoleh dari daerah-daerah yang kami teliti. Selain menjelaskan keunikan-keunikan yang dapat dikenali dari setiap daerah ketika informalitas di sana bertemu dengan institusi formal demokrasi, analisis pada bab itu juga akan mengungkap titik-titik temu sebagai modal bersama untuk membangun demokrasi. Akan tetapi penting untuk dikemukakan di sini dua hal berikut ini. Pertama, pembicaraan tentang lokalitas tidak selamanya terikat pada batas-batas wilayah administratif. Sejumlah lokalitas yang dipilih adalan ibukota provinsi: Pontianak, Ambon, Jayapura. Dalam posisi itu, apa yang berlangsung di lokalitas tersebut tidak sepenuhnya mewakili kekhasan provinsi, namun para pihak yang terkait lingkup permainannya melampaui skala kabupaten/kota. Kedua, lokalitas tersebut disajikan tidak dengan motif representasi lokal. Lokalitas itu ditelaah untuk mendalami berbagai kecenderungan yang telah diidentifikasi dalam studi sebelumnya. Ada sejumlah gejala yang perlu diseriusi dalam penggalangan demokrasi sebagai sebuah pergerakan politik.

Bab 15 melanjutkan analisis bab sebelumnya dengan merumuskan sejumlah agenda untuk memanfaatkan rezim lokal sebagai pijakan utama dalam proses demokratisasi. Agenda-agenda ini tentu saja harus diintegrasikan dengan agenda besar demokratisasi negeri ini. Tidak semua agenda demokrasi yang sudah ada harus dibongkar. Re-setting agenda diperlukan agar cara penghampiran, strategi dan tantangan yang teridentidikasi dalam perbicangan sebelumnya, bisa ditindaklanjuti.

Sebelum menyampaikan ulasan penutup dan kesimpulan (Bab 17), pada Bab 16 disajikan ulasan reflektif yang memotret ulang seluruh diskusi yang disajikan sejak bab awal. Tulisan berjudul Merajut Asimetrisme Demokrasi dan Otonomi Daerah menempatkan keseluruhan gagasan yang muncul dari riset ini ke dalam pembicaraan yang lebih luas, yaitu demokrasi dan otonomi daerah. Tulisan ini mengedepankan argumen tentang urgensi kerangka berpikir asimetris sebagai upaya yang tak terhindarkan untuk membangun dan mempertahankan kesatuan politik Indonesia. Cara pandang ini menegaskan kembali dasar argumen yang kami gunakan sejak awal riset ini bahwa mengelola keragaman secara demokratis bukanlah upaya yang harus dilakukan hanya dengan meng-insert kerangka yang sama untuk mengeliminasi perbedaan-perbedaan. Sebaliknya, demokrasi harus dibangun menjadi jalan keluar yang nyaman bagi ekspresi-ekspresi warga negara, baik formal maupun informal, yang berbeda-beda. Jalan keluar itu hanya mungkin dibangun dengan penghampiran asimetris, bukan uniformitas.*


[1]Proyek PWD adalah program riset kolaborasi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan University of Oslo (UiO) yang bertujuan mendorong pemajuan demokrasi Indonesia yang berorientasi pada kesejahteraan. Proyek ini berlangsung pada 2012-2017 dan mencakup riset-riset: (a) Baseline Democracy Survey, (b) citizenship di Indonesia, (c) rezim kesejahteraan di Indonesia, dan (d) rezim lokal di Indonesia. Sejumlah akademisi dari berbagai universitas dan aktivis civil society di berbagai daerah di Indonesia ikut terlibat di dalam pelaksanaan riset-riset tersebut.

[2]Belum ada konsensus di antara para ilmuwan tentang label rezim demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru, selain semuanya sepakat paham wajah demokrasi Indonesia adalah demokrasi liberal. Hal ini mengindikasikan bahwa demokrasi bukanlah konsep yang bermakna tunggal. Ia memiliki banyak konotasi makna, variatif, evolutif, dan dinamis (Suhelmi, 2001, p. 297). Bervariasinya makna demokrasi dapat dilihat dari beragam adjective yang disematkan pada karakter rezim demokrasi tersebut (bandingkan(Collier & Levitsky, 1997). Dalam konteks demokrasi Indonesia, Slater (2004) menyebutnya sebagai “collusive” atau “delegative” demokrasi, Webber (2006) menyebut sebagai “consolidated” tetapi “patrimonial” demokrasi, Mietzner (2009)menyebutnya sebagai “low quality” demokrasi, Mujani dan Liddle(2009) menyebutnya sebagai “secular democracy”, dan William Case (2002) menyebut proses demokrasi Indonesia pasca-Soeharto sebagai “demokrasi setengah hati”. Bervariasinya makna demokrasi tersebut disebabkan oleh beragam interpretatif yang diberikan terhadap demokrasi.

[3]Dalam beberapa kasus, kemunculan institusi informal bisa disebabkan oleh beberapa faktor (Helmke & Levitsky, 2004, pp. 730-731). Pertama, institusi informal muncul sebagai konsekuensi dari tidak sempurnanya performa institusi formal (incomplete). Kedua, institusi informal hadir karena ia dapat menjadi pilihan strategi bagi aktor-aktor menginginkan sumberdaya namun ia tak bisa meraihnya melalui institusi formal. Sehingga, institusi informal merupakan exit strategy dalam rangka berpolitik untuk mempengaruhi governing decision. Ketiga, menggunakan atau memanfaatkan institusi informal dianggap lebih murahdibandingkan menggunakan jalur yang disediakan oleh institusi formal. Keempat, penggunaan institusi informal merupakan strategi alternatif ketika institusi formal tidak cukup efektif dalam proses politik atau governingdecision. Kelima, penggunaan institusi informal oleh aktor dalam rangka mencapai tujuannya tidak memerlukan penerimaan publik (publicly acceptable).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar