Sabtu, 01 Desember 2018

Politik Lokal Aceh Selatan: Terpinggirkannya Ulama di Tanah Syariah


Tulisan ini adalah Bab 4 dari buku Rezim Lokal di Indonesia: Memaknai Ulang Demokrasi Kita (Yayasan Obor, 2018)



Politik Lokal Aceh Selatan:
Terpinggirkannya Ulama di Tanah Syariah
 Willy Purna Samadhi[1]

Tulisan ini menyajikan potret politik lokal Kabupaten Aceh Selatan.Dua tesis pokok yang ingin dikemukakan adalah (1) formalisasi hukum Islam atau penerapan syariah Islam memapankan pengaruh Islam terhadap relasi sosial dan politik dalam konteks keistimewaan Aceh, namun pada saat bersamaan (2) proses demokratisasi melalui penerapan sistem pemilihan kepala daerah telah menggerus peran dan pengaruh ulama sebagai salah satu pilar tatanan sosial dan politik masyarakat Aceh.
            Sebagai bagian dari wilayah syariah Aceh, interaksi sosial dan politik di kabupaten ini sudah sejak lama diwarnai dan dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman.Masyarakatnya juga memiliki tradisi keislaman yang panjang ditunjukkan oleh banyaknya dayah (pesantren) yang memunculkan ulama-ulama besar.Tradisi seperti itu membentuk tatanan politik khas Aceh yang memberi tempat istimewa kepada para ulama sebagai kelompok pemimpin masyarakat di samping tokoh-tokoh yang mengurusi urusan kemasyarakatan, khususnya di tingkat desa (gampong).Pengambilan keputusan-keputusan publik biasa dilakukan di dalam proses musyawarah warga yang dipimpin oleh keuchik (kepala gampong) dan imeum meunasah (ulama), dan para tokoh adat. Tatanan seperti itu kini tak terlalu menonjol ketika proses demokratisasi dalam bentuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di tingkat kabupaten lebih menyedot perhatian.
Sebagaimana di tempat lain, dinamika politik pilkada hanya diwarnai oleh perebutan kemenangan para kandidat, dan seolah-olah menjadi satu-satunya arena bagi warga Aceh Selatan untuk menyalurkan hak-hak politik mereka. Basis kandidasi dan alasan pemilihan lebih ditentukan oleh kesamaan kesukuan di samping kekuatan ekonomi.Di tengah-tengah proses itu, para ulama tidak lagi menjadi pihak yang memiliki pengaruh penting. Ulama pun tidak mau terlalu jauh melibatkan diri ke dalam proses pemilihan karena ada anggapan luas bahwa ulama yang berpolitik tidak lagi bisa dikatakan ulama.

1. Profil Sosial-budaya Kabupaten Aceh Selatan
            Kabupaten Aceh Selatan terletak di pesisir barat-selatan Provinsi Aceh, dekat dengan perbatasan Sumatera Utara.Kabupaten ini merupakan salah satu kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Aceh Barat pada 2002.Masyarakatnya memiliki tradisi keislaman yang panjang ditunjukkan oleh banyaknya dayah(pesantren)yang memunculkan ulama-ulama besar.Kendati begitu, pengaruh ulama terhadap kehidupan politik nyaris tak terasa, kecuali di tingkat gampong (desa).Di tingkat gampong itulah “demokrasi” versi lokal Aceh berlangsung, hingga sekarang.Berbagai masalah kehidupan sosial di lingkungan gampong dibicarakan bersama oleh warga, dipimpin oleh keuchik (kepala gampong), imeum meunasah (ulama), dan para tetua adat.Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan hasil musyawarah.Akan tetapi, mekanisme itu praktis tidak berlangsung di tingkat yang lebih tinggi.Belakangan, ketika pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, pengaruh kesukuan dan kepentingan ekonomi lebih terasa intensitasnya dalam pembagian kekuasaan (power sharing).
            Jumlah pendudukdi kabupaten ini sekitar 220 ribu orang,[2]sebagian besar di antaranya merupakan suku asli setempat: Aceh (60%),Kluet (25%), dan Aneuk Jamee (10%).Suku Aneuk Jamee sebenarnya adalah komunitas pendatang asal Minangkabau yang bermigrasi dan menetap sejak abad ke-15, sehingga kini mereka sudah dianggap sebagai suku asli setempat. Mereka cukup berpengaruh secara budaya, antara lain tampak pada bahasa dan dialek. Sebaliknya, mereka juga sudah tidak lagi menganut sistem matrilineal seperti orang Minang di Sumatera Barat.Penduduk lainadalah etnis Jawa (4%) dan Tionghoa (1%), serta tentu saja ada beberapa komunitas suku lainnya yang lebih sedikit jumahnya.[3]
            Komposisi suku sedemikian tidak tersebar merata di 18 kecamatan yang ada.Suku Kluet pada umumnya berdiam di bagian timur kabupaten, yaitu di Kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah, dan Kluet Timur. Daerah Kluet ini dipisahkan oleh sungai Law Kluet yang ulunya ada di Gunung Leuser,mengalir ke selatan hingga bermuara di Samudera Hindia. Suku Aneuk Jamee tersebar di Kecamatan Labuhanhaji, Labuhanhaji Barat, Labuhanhaji Timur, Samadua, Tapaktuan, hingga di wilayah pesisir selatan bagian timur, dan merupakan mayoritas di Kluet Selatan. Orang-orang Jawa dan Tionghoa kebanyakan menetap di kota kecamatan Tapaktuan, ibukota kabupaten. Suku Aceh, karena mayoritas dan berjumlah banyak, praktis dapat dijumpai di mana-mana, tetapi terlihat dominan di Kecamatan Kluet Utara, Meukek, Sawang, Pasie Raja, Bakongan, Bakongan Timur, Kota Bahagia, Trumon, Trumon Tengah dan Trumon Timur, termasuk di beberapa desa di Kecamatan Tapaktuan dan Samadua. Persebaran seperti itu, kelak akan dijelaskan, berimplikasi pada proses pembangunan kabupaten.
            Seperti halnya Aneuk Jamee yang berbahasa sendiri, suku Kluet juga memiliki bahasanya sendiri.Ada tiga dialek Kluet, yaitu dialek Paya Dapur, Manggamat dan Krueng Kluet.Bahasa dan dialek Jamee dan Kluet memiliki cukup banyak perbedaan dengan bahasa Aceh yang dipakai oleh mayoritas penduduk.Bahasa Aceh sendiri, kendati menjadi bahasa mayoritas, tidak berfungsi sebagai bahasa pemersatu.Karena itu, keragaman bahasa ini sekaligus menjadi instrumen identitas setiap suku atau komunitas, yang berdampak secara politik.Ke dalam menjadi identitas pemersatu, ke luar menjadi identitas pembeda.
            Namun demikian, kultur dan kebiasaan sehari-hari masyarakat Aceh Selatan tidak semata-mata dipengaruhi kesukuan. Kondisi lingkungan yang mereka tempati juga berpengaruh melahirkan kebiasaan yang berbeda-beda.Misalnya, warga di Labuhanhaji relatif masih berkegiatan ekonomi tradisional, bertani, berbeda dengan kegiatan orang-orang yang tinggal di Tapaktuan yang berorientasi ekonomi perdagangan.Padahal, banyak di antara mereka itu sama-sama merupakan suku Aneuk Jamee.Kehidupan di Labuhanhaji juga lebih bernuansa agamis ketimbang di Tapaktuan. Wahyu Waly, seorang tokoh masyarakat di Labuhanhaji yang merupakan keturunan ulama besar, bercerita menggambarkan perbedaan itu. “Misalnya,” katanya, “contoh saya pribadi, saya tidur berlama-lama pasti akan diomongin orang-orang,‘Itu anak Kyai Haji kok gitu?’.Jadi suatu pertanyaan di tengah masyarakat.Tapi kalau di Tapaktuan,saya mau duduk-duduk di warung kopi sampai jam 4 sore mungkin tidak masalah.” Perbedaan lain, orang-orangdi Kluet dan Trumon di bagian timur jarang berinteraksi dengan orang dari luar sehingga relatif lebih tertutup terhadap pendatang.[4]
            Meskipun demikian, relasi antarsuku di Aceh Selatan tergolong baik.Secara sosial, tidak ada masalah yang benar-benar mengganggu.Apalagi, seperti tergambar dari persebaran suku, di sejumlah kecamatan ada komunitas berbeda suku yang tinggal bersama-sama.Belum pernah ada juga konflik horisontal besar-besaran yang membenturkan satu suku dengan suku lainnya.Malah, perkawinan antarsuku juga merupakan hal yang biasa terjadi.Harmoni relasi antarkelompok itu tidak terlepas dari peran para tokoh adat di masing-masing suku yang ada di setiap gampong.Apalagi, di setiap gampong ada meunasah, tempat ibadat yang sekaligus menjadi institusi musyawarah gampong.[5] Di meunasah itulah biasanya berbagai persoalan dan musyawarah gampong dilangsungkan dengan menghadirkan tokoh-tokoh dari setiap suku yang ada di sana dan, tentu saja, tokoh agama atau ulama setempat.
            Keislaman memang menjadi identitas bersama di atas berbagai perbedaan yang ada.Ikatan ini tumbuh sejak lama, jauh sebelum Provinsi Aceh ditetapkan sebagai daerah istimewa bersyariat Islam.Ada banyak dayah di pelosok-pelosok hingga di tingkat kabupaten.Salah satu yang terkenal adalah Dayah Darussalam di Labuhanhaji, yang sekaligus adalah dayah tertua dan termasuk yang terbesar di Aceh hingga saat ini.[6]Keberadaan dayah-dayah itu menciptakan suasana kehidupan sosial bernuansa keagamaan yang kental.Identitas keislaman itu bahkan mengalahkan identitas keacehan, sampai-sampai ada ungkapan, “Jangan coba-coba menjelekkan Islam di depanorang Aceh, walaupun orang itu sebenarnya tidak pernah sholat.”[7]
            Pekatnya kehidupan sosial berbasis agama membuat masyarakat Aceh Selatan relatif sensitif terhadap isu agama. Ajaran agama, khususnya Islam, yang dianggap menyimpang dari kebiasaan yang berlaku akan cepat mendatangkan reaksi dari masyarakat.
            Pengaruh Islam yang kuat terhadap kehidupan sosial menyebabkan berbaurnya adat-kebiasaan masyarakat dengan ajaran agama.Hal itu bukan saja berlaku di Aceh Selatan, melainkan merupakan kecenderungan di Aceh secara umum.Itu sebabnya berlaku prinsip "adat ngon hukom lagee zat ngoen sifeut"yang bermakna “adat dan hukum adalah seperti zat dengan sifat”.Maksudnya, adat dan hukum (Islam) merupakan satu-kesatuan dan tidak boleh dipisahkan. Di dalam kehidupan sosial, prinsip itu diartikan antara pemegang kekuasaan adat (politik) dengan pemegang kekuasaan hukum, meskipun terpisah, harus bekerja sama.Itu pula sebabnya lembaga musyawarah gampong diadakan di meunasah, dipimpin oleh keuchik dan imuem (imam) meunasah.
            Dalam tatanan yang lebih luas, penataan kehidupan adat di Aceh Selatan berlaku sama sebagaimana di Aceh pada umumnya. Di sana dikenal semacam pembagian tugas atau wewenang kepada empat pihak, sebagaimana terkandung dalam ungkapan: Adat bak Po Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana.[8]Secara ringkas, ungkapan itu menerangkan:

a)     Adat bak po teumeureuhom:Adat dipegang oleh po teumeureuom,atau dalam konteks masa kini adalah pelaksana pemerintahan dan pemegang kekuasaan Eksekutif(sekaligus simbol adat);
b)     Hukum bak syiah kuala: Urusan hukum dipegang oleh ulama (Syiah Kuala), atau dalam konteks masa kini adalah pemegang kekuasaan yudikatif.
c)      Qanun bak putroe phang:Qanun artinya adalah peraturan atau undang-undang.Pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, peraturan dibuat atas saran dan prakarsa dari permaisuri Sultan yang berasal dari Kerajaan Pahang yang bernama Putri Kamaliah, atau biasa dikenal sebagai Putroe Phang. Tentu saja pada masa itu umumnya peraturan hanya mengatur soal etika, sopan santun, aturan perkawinan, dan semacamnya. Dalam konteks masa kini, urusan pembuatan qanun (undang-undang) ini dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
d)     Reusam bak lakseumana:Apabila diartikan secara bebas,Reusam adalah pengurus bidang bidang diplomatik,keprotokolan,dan etika.Biasanya urusan keprotokolan tersebut diurus olehKementerian Pertahanan atau angkatan perang dalam kerajaan Aceh Darussalam.Pemegang jabatan tertinggi sebagai Menteri Pertahanan ditunjuk Panglima Tertinggi Angkatan Laut,yaitu Laksamana. Oleh karena itu Laksamana dilambangkan sebagai pemegang urusan protokoler,diplomat atau hubungan luar negeri dan etika.
            Gampong mungkin bisa disejajarkan dengan ‘desa’ di Jawa, yaitu unit komunitas dan administratif paling bawah.Akan tetapi di Aceh, gampong sekaligus juga menjadi penanda identitas warga daerah tertentu secara turun-temurun. Jadi, warga gampong bisa dibilang saling berkerabat satu sama lainnya. Komunitas gampong sudah dikenal sejak sebelum masa Kesultanan Aceh Darussalam yang berdiri pada awal abad ke-16. Maka, keberadaan gampong juga sudah ada sebelum adanya mukim – kumpulan beberapa gampong –  yang dibentuk pada masa kesultanan di abad ke-16 dan -17. Catatan ekspedisi Snouck Hurgronje mengungkapkan bahwa gampong adalah wilayah adat, yang dipimpin oleh keuchik, tuhapeut (atau ureueng tuha) dan teungku atau imuem meunasah. Masing-masing dari perangkat itu mempunyai fungsi tersendiri, bisa diibaratkan sebagai perpaduan antara ‘ayah’ dan ‘ibu’ dari masyarakat Aceh. Pada masa Kesultanan, gampong merupakan kumpulan hunian yang terdiri dari beberapa jurong (lorong), tumpok (kumpulan rumah), dan ujong (ujung gampong), serta terdapat satu meunasah.[9]
            Kehidupan komunal di gampong dipimpin oleh seorang keuchik yang dipilih berdasarkan hasil musyawarah.Demikian juga dengan tuhapeut atau tetua kampung yang dianggap sebagai perwakilan gampong.Baru belakangan ini keuchik dipilih secara langsung oleh warga.Demokrasi asli Aceh di tingkat gampong ini juga diwujudkan dengan adanya fungsi-fungsi pengaturan sumberdaya ekonomi sebagai basis kesejahteraan masyarakat Aceh. Beberapa jabatan itu antara lain kejurun blang (pranata adat yang mengurus pengairan untuk sawah), petua seunebok, pawang uteun atau pawang glee.
            Kemerosotan gampong sebagai wilayah komunal yang otonom terutama terjadi pada masa kolonial, baik jaman Belanda maupun Jepang. Kemunduran itu berlanjut pada masa Orde Baru yang ditandai dengan penyeragaman nama unit pemerintahan terkecil menjadi ‘desa’ sesuai dengan UU No 5/1979. Otonomi gampong kemudian semakin terkikis oleh program-program eksplorasi hutan melalui hak pengusahaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), serta pembangunan berbagai kawasan industri, yang sekaligus diiringi pembangunan markas-markas militer.Tanah-tanah adat dan milik warga dibeli dengan harga sangat murah untuk pembangunan markas-markas militer.Istilah gampong memang tetap dipertahankan sebagai sebutan bagi kesatuan masyarakat adat Aceh, tetapi secara politik dan pemerintahan gampong tidak lebih dari unit pemerintahan terkecil di bawah kecamatan.Para keuchik semata-mata menjadi bawahan atau kepanjangan tangan birokrasi di atasnya (kecamatan) tanpa hak otonomi.
            UU No 5/1979 juga menyingkirkan struktur pemerintahan mukim, diganti dengan camat yang mengepalai wilayah kecamatan.Namun, karena tersingkir secara formal itulah, justru peran mukim sebagai lembaga adat dapat bertahan.Imuem mukim tetap berperan dan dihormati dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di gampong-gampong.Bahkan, karena otoritas adatnya, imam meukim seringkali bisa menjadi penengah konflik. Pentingnya keberadaan mukim sebagai penjaga adat Aceh digambarkan oleh Zulfikar, seorang narasumber, berikut ini:
“Masa Orde Baru ketika ada UU tentang Pemerintahan Desa 1975 itu kan diseragamkan.Nah,di situlah mukim seperti tidak ada lagi, tidak diperhatikan oleh pemerintah. Karena kan harus mengikuti, diseragamkan, habis kecamatan langsung desa waktu itu. Dan disini desa, kelurahan, itu gampong. Kalau nama gampong ini (muncul lagi) ketika ada UU Pemerintahan Aceh, kalau dulunya ketika penyeragaman desa, ya disebut desa. Jadi dari 1975 sampai 2001, ya sekitar 25 atau 26 tahun, semuapemerintahan itu dikuasai oleh pemerintah pusat, jadi pemerintahan adat tidak ada lagi. Ketika itu yang perannya sangat getol adalah kecamatan dan desa, yang untuk soal masalah adat kan tidak ada. Nah, akan tetapi peran adat ini masih kuat ketika konflik. Mereka inilah(lembaga adat mukim) yang sangat kuat sebenarnyamenyelesaikan konflik di Aceh itu.Peranlembaga adat ini yang penting. Ada dua kubu bertikai di Aceh, GAM dan TNI, misalnya. Dari dua kubu ini yang persis untuk mendamaikan itu, ya, soal adat. Karena aturan adat ini dua yang bertikai itu menghormati. Intinya mereka menghormati… [karena] staf yang adil ya pemerintahan adat tadi. Ketika ada yang bertikai, ketika ada konflik misalnya di daerah Aceh Tengah kemarin,keuchik atau kepala desa itu tidak mau ikut campur. Tidak mau atau ketakutan, kalau dia membantu pemerintah nanti dikejar sama GAM,membantu GAM nanti dibilang sebagai pendukung GAM. Nah disitu yang ada rasa ketakutan. Tetapi untuk mukimnya, pemerintahan adatnya, itu tidak ada yang melihat. Ya ini secara aturan adat kita, demokrasi adat kita bahwa ya siapapun bertikai harus diselesaikan misalnya sanksinya sanksi adat seperti apa, baik itu GAM ataupun TNI ataupun POLRI, seperti itu. Secara demokrasinya memang dari dulunya sampai sekarang itu masih tetap punya nilai tersendiri kalau mukim ini...”[10]


            Setelah Indonesia memasuki masa reformasi, di bawah pemerintahan Presiden Habibie dan Megawati, keberadaan gampong dan mukim mulai diakui kembali melalui UU No 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus NAD. Setelah MoU Helsinki Agustus 2005, tata kehidupan adat Aceh memperoleh pengakuan yang lebih substantif dan menyeluruh melalui UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Gampong, misalnya, diakui menjadi wilayah otonom seperti halnya desa di daerah lain. Mukim pun memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai lembaga perintahan sekaligus lembaga adat.Secara khusus penataan struktur dan pelaksanaan pemerintahan adat diatur melalui beberapa qanun (peraturan daerah), antara lain Qanun No 09/2008 (lihat Boks 1). Ada 18 perkara yang diserahkan urusannya untuk diselesaikan melalui lembaga adat.

            Akan tetapi pada praktiknya kombinasi tata pemerintahan formal dan adat itu tidak sepenuhnya berjalan dengan lancar. Setidaknya, ada ketidaksesuaian antara Majelis Adat Aceh (MAA) yang dibentuk di setiap jenjang pemerintahan, dengan struktur dan tatanana lembaga adat yang lain. MAA adalah lembaga yang dibentuk oleh kepala daerah, sedangkan lembaga-lembaga adat lain seperti keucik, tuhapeut, imam meukim, tuha lapan, dan sebagainya, dipilih berdasarkan hasil musyawarah adat yang dilangsungkan sendiri oleh warga. Akibatnya, antara MAA dan lembaga adat lain tidak memiliki keterkaitan adat. Padahal, secara formal, MAA itulah yang digunakan bupati untuk memperlihatkan bukti adanya pengakuan pemerintahan terhadap lembaga adat. “[Akan tetapi] …mereka ini, MAA,kan lebih kepada bagaimana soal seremonilah, soal aturan-aturan, tetapi bukan untuk soal hak, politik, ekonomi… itu tidak dibahas di MAA.”[11]
            Bagaimanapun, dengan warisan budaya seperti itu, sebenarnya masyarakat Aceh, termasuk Aceh Selatan, berpotensi memiliki tatanan adat yang rapi dan kuat.Namun, perkembangan politik yang menimbulkan pertentangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia lambat-laun mengakibatkan tatanan adat itu memudar, terlebih setelah Aceh ditetapkan dan diperlakukan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Aceh Selatan sendiri termasuk wilayah yang tergolong basis GAM, sehingga daerah ini termasuk yang dikontrol secara ketat oleh aparat TNI pada masa konflik, sehingga ruang gerakan masyarakat, termasuk masyarakat adat, menjadi sempit.Bisa dibilang, selama konflik berlangsung masyarakat yang tinggal di gampong tidak memiliki kebebasan.[12]
            Kawasan ini dulu termasuk sebagai basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selepas perdamaian 2005, para pejuangGAM mengalihkan medan pertarungan mereka ke arena politik lokal. Sebagian besar menjadi pengurus dan anggota Partai Aceh (PA) dan mulai mengikuti berbagai pemilihan umum sejak 2009.
            Sebagai daerah basis GAM, penduduk Aceh Selatan tetap merasakan dampak yang besar dari konflik yang berlangsung puluhan tahun. Konon pernah terjadi pembakaran terhadap sekitar 3.000-an rumah oleh TNI. Selain itu, di beberapa kecamatan terdapat markas TNI Divisi 115 (misalnya Kecamatan Pasie Raja, Trumon, Sawang, dan Labuhan Haji).Markas-markas itu berdiri di tengah-tengah pemukiman penduduk sehingga Kabupaten Aceh Selatan seperti dikelilingi kehidupan militer.
            Di samping berdampak pada status gampong dan mukim, konflik GAM dan TNI berdampak pula pada tokoh-tokoh adat di Aceh. Oleh pihak tentara atau pemerintah, tokoh-tokoh adat itu kerap dengan mudah dipersamakan begitu saja dengan aktivis GAM, atau dituduh memiliki kedekatan dengan GAM, sehingga kalau pun bukan ditangkap, peranan mereka di dalam masyarakat dipinggirkan. Tetapi pada saat yang bersamaan, tidak sedikit tokoh adat yang justru dianggap pihak GAM sebagai pendukung TNI.Dalam situasi seperti itu, para keuchik pun menjadi sasaran tekanan, baik dari pihak TNI maupun GAM, agar situasi di gampong-gampong dapat diawasi dengan mudah.Bestary Raden, salah seorang tokoh adat yang kini menjadi aktivis Jaringan Kerja Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, mengaku pernah hampir ditangkap dan dipenjara oleh TNI, dengan tuduhan sebagai bagian dari GAM. Ia bercerita,
“…Jadi supaya bapak bisa ditangkap, bapak dituduh sebagai pelatih GAM… [Ditangkap] oleh aparat militer tanpa kontrol, tanpa apa. Ini babak-belur ini pakai senjata, ini kan bengkak, ini patah dulu [menunjuk kakinya, pen.], karena dianggap kita tokoh GAM, mau dihabiskan. Tapi alhamdulillah sampai hari ini Allah belum mengizinkan itu.”[13]
            Tak sampai di situ, pada 1998 ia dipecat dari posisinya sebagai PNS guru olah raga karena melakukan protes atas ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Baru belakangan, pemecatan Bestary dibatalkan dan namanya dipulihkan.Kini Bestary menjadi Ketua KONI Aceh Selatan dan memiliki relasi relatif baik dengan bupati.
            Kasus yang dialami Bestary Raden itu sedikit-banyak mengindikasikan bahwa di luar soal GAM, ada kepentingan ekonomi yang turut menjadi penyebab terdesaknya tatanan adat di Aceh Selatan.Pemecatan yang dialaminya disebabkan oleh aktivitasnya menentang kegiatan eksplorasi hutan yang dilakukan kelompok pengusaha pemegang HPH. Selain itu, secara umum sebenarnya ada pula masalah lain yang dihadapi masyarakat Aceh Selatan, khususnya dalam mempertahankan matapencaharian mereka. Daerah ini sejak lama dikenal sebagai daerah penghasil pala terbesar, namun kini usaha tersebut nyaris tidak terlihat lagi akibat serangan hama besar-besaran sejak 2001. Bagian berikut akan menggambarkan sumber daya alam dan potensi ekonomi Aceh Selatan.

2. Sumberdaya dan Potensi Ekonomi Aceh Selatan
            Wilayah Aceh Selatan bukanlah daerah yang terkena bencana tsunami 2004, tetapi tingkat kemiskinan dan ketertinggalan infrastruktur cukup tinggi.Secara geografis, kabupaten ini memang terbilang jauh dari ibukota provinsi sehingga mungkin tidak termasuk dalam skala prioritas pembangunan infrastruktur.Kendati begitu, kondisi jalan negara dan provinsi (antarkota) yang menghubungkan Banda Aceh hingga Tapaktuan bisa dibilang relatif baik. Persoalannya, keterbatasan sumberdaya mengakibatkan kabupaten ini tidak memiliki dana yang cukup untuk dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur di dalam kabupaten, apalagi mendistribusikannya secara merata ke seluruh wilayah kabupaten. Aryos Nivada, aktivis LSM, akademisi, sekaligus seorang anggota tim peneliti yang tinggal di Banda Aceh, memiliki kesan kuat bahwa wilayah kabupaten Aceh Selatan tidak menampakkan kemajuan yang berarti dalam sepuluh tahun terakhir.
            Daerah ini sejak lama terkenal dengan komoditi pala.Studi sejarah yang dilakukan Anthony Reid mencatat bahwa banyak saudagar di Selat Malaka pada jaman kolonial Belanda atau sebelumnya mengambil persediaan pala dari wilayah ini.[14]Hasil perkebunan pala sebenarnya masih cukup banyak setidaknya hingga pertengahan tahun 2000-an.  Data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Selatan menyebutkan bahwa pada 2001 kabupaten ini mampu menghasilkan 4.397 ton pala dengan nilai sekitar IDR 6,5 miliar. Hasil itu diperoleh dari perkebunan pala yang luasnya mencapai 14 ribu hektar di seluruh wilayah kabupaten. Akan tetapi serangan hama besar-besaran yang berlangsung sejak 2001 membuat produksi pala di sana terus menurun.Pada tahun 2005, produksi pala hanya mencapai 4.321 ton, dan tahun 2011 hanya terjadi sedikit peningkatan produksi yaitu menjadi 4.650.Tahun 2015, kira-kira hanya 320 ton pala dalam setahun yang dapat dipanen.[15]
            Penurunan jumlah produksi pala itu celakanya diiringi pula oleh turunnya harga.“Sekarang harganya hanya sekitar Rp 15-17.000 per bambu.Dulu harganya bisa sampai Rp 40.000 per bambu (setara 2 liter, penulis.).Dengan musim panen yang tiga bulan sekali, masyarakat tidak terlalu terpengaruh juga ketika krisis ekonomi berlangsung, karena harga yang tinggi.Kalau sekarang, harganya jatuh, masyarakat sangat terpukul,” kata T. Masrizal, Camat Trumon Timur.[16]Apalagi, menurut hasil penelitian yang dilakukan Masrizal sendiri, lebih dari 35% masyarakat Aceh Selatan menggantungkan perolehannya, baik langsung atau tidak langsung, dari komoditi pala.
            Selain pala, produk perkebunan andalan lain dari Aceh Selatan adalah nilam (patchouli).Nilam Aceh dikenal sebagai nilam terbaik, sekitar 70% kebutuhan nilam dunia berasal dari Aceh. Komoditi ini adalah bahan dasar untuk minyak atsiri nilam melalui proses penyulingan. Minyak atsiri nilam sendiri luas digunakan sebagai bahan untuk memproduksi parfum, sabun, shampoo, cairan untuk aroma therapy, juga obatuntuk penyakit kulit.Ada tiga varietas nilam Aceh, yaitu Tapaktuan, Sidikalang dan Lhokseumawe. Di antara ketiganya, varietas Tapaktuan merupakan yang terunggul karena mengandung kadarpatchoulol (patchouli alcohol/PA) yang tinggi.
            Sentra produksi nilam di Aceh Selatan terdapat di Kuala Batee, Kluet Utara, Kulet Selatan, Bakongan, dan Trumon.Hingga 2004, banyak warga Aceh Selatan yang menyandarkan penghasilan mereka dengan menjadi petani nilam.Pendapatan mereka terbilang tinggi karena harganya yang lumayan tinggi.Saat krisis ekonomi 1998-1999 dan nilai dolar meningkat tajam, harganya bisa mencapai Rp 1.000.000 – 1.500.000 per kg, sehingga luas areal nilam pada saat itu juga bertambah karena banyak warga yang tergiur dengan usaha perkebunan nilam.Namun, bencana tsunami 2004 praktis memerosotkan produksi nilam.[17]
            Selain pala dan nilam, komoditi lain yang juga banyak dihasilkan adalah kelapa sawit. Lahan kelapa sawit terutama banyak terdapat di wilayah timur kabupaten, yaitu di Kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Timur, Bakongan, Bakongan Timur, Trumon, Trumon Timur, dan Trumon Tengah. Berbeda dengan pala yang umumnya merupakan perkebunan rakyat, pengelolaan perkebunan kelapa sawit melibatkan dua perusahaan perkebunan yang besar, yaitu PT Asdal Prima Lestari (APL) dan PT Agro Sinergi Nusantara (ASN).PT ASN adalah perusahaan hasil merger dua BUMN, yaitu PTPN-I dan PTPN-IV.
            Jika usaha perkebunan pala menghadapi masalah hama, perkebunan kelapa sawit menghadapi persoalan konflik lahan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat. Ketika konflik bersenjata dimulai pada tahun 1980-an, PT ASN meninggalkan begitu saja lahan-lahan perkebunan mereka.Lahan yang ditinggalkan itu kemudian digarap oleh warga setempat.Belakangan, setelah konflik mereda, PT ASN kembali ingin menguasai lahan-lahan itu, namun warga yang sudah menggarap menolak untuk menyerahkannya.Padahal, PT ASN memiliki HGU di Kabupaten Aceh Selatan dan Kabupaten Subulussalam dengan total area seluas 6.111 hektar.Dari jumlah itu, hanya 1.250 hektar yang ada di Subulussalam, sedangkan sebagian besar lainnya berada di Aceh Selatan.Kasus serupa juga terjadi antara PT APL dan masyarakat.[18]
            Kesulitan lain yang dihadapi dalam pengembangan sektor perkebunan ini adalah keterbatasan lahan untuk membangun pabrik pengolahan hasil perkebunan, misalnya pabrik kelapa sawit. Sebagian wilayah Aceh Selatan adalah daerah konservasi hutan lindung Gunung Leuser sehingga tidak boleh dialih-fungsikan, terlebih untuk membangun pabrik, juga harus dijaga dari potensi pencemaran industri.Oleh karena itu, pabrik pengolahan yang bisa dibangun hanyalah yang berkapasitas produksi kecil.Meskipun demikian, beberapa pabrik kecil milik BUMD saat ini pun belum beroperasi lagi pada masa pasca-konflik.
            Selain hasil perkebunan, Aceh Selatan memiliki pula areal tambang, khususnya tambang bijih besi.Tidak banyak pelaku usaha yang bergerak di bidang ini, karena memang arealnya terbilang tidak terlalu luas.Lokasi tambang bijih besi itu terletak di Kecamatan Kluet.Selain beberapa petambang tradisional, usaha pertambangan ini boleh dibilang dikuasai oleh seorang pengusaha besar, yaitu Latifah Anum – lebih dikenal dengan sebutan Ibu Anum.Perusahaannya, PT Beri Mineral Utama (BMU), mulai beroperasi sekitar 2007-2008.Belakangan Ibu Anum harus mendekam di penjara karena terlibat pelanggaran AMDAL, namun usaha pertambangannyatetap dilanjutkan oleh kerabatnya.[19]
            Dalam menjalankan usaha pertambangan itu, Ibu Anum memiliki kedekatan dengan bupati, termasuk dengan bupati saat ini, yaitu Sama Indra. Terpilihnya Sama Indra tidak terlepas dari dukungan dana yang diberikan oleh Ibu Anum. Relasi mereka terbangun ketika Sama Indra masih menjadi Direktur BPD, sebelum menjadi bupati.Sama Indra memberikan kredit mudah dan besar kepada sejumlah pengusaha, termasuk Ibu Anum, sehingga di situlah terbentuk semacam hubungan hutang budi antara para pengusaha dan Sama Indra. Maka ketika Sama Indra mencalonkan diri menjadi bupati, Ibu Anum dan para pengusaha lain yang pernah dibantu memperoleh kredit membalasnya dengan menyediakan dana kampanye. Wahyu Wali, seorang narasumber riset ini mengungkapkan, “Yang saya dengar … bahwa kalau dulu pinjam 100 juta bisa dibantu 500 juta.Jadi ada kedekatan, gitu.Nah, itu yang terjadi.Memang kabupaten ini rata-rata didukung oleh pengusaha yang dulu pernah dibantu seperti itu.”[20]
            Relasi Ibu Anum juga terbangun baik dengan kalangan anggota DPRD.Ia memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap proses pengambilan kebijakan dan qanun. Salah satu faktor penting yang membuat Ibu Anum memiliki kekuatan besar adalah kedekatannya dengan aparat keamanan dan juga mantan para pejuang GAM. “Ya, kan semua itu bisa diginikan. Contoh, siapa yang mau ini (melawan, pen.), dia bisa bayar aparat. Di tengah masyarakat mau ribut, ada orang GAM-nya, ya dibayar saja orang GAM-nya agar jangan sampai bikin ribut di masyarakat,” ungkap Wahyu Wali.[21]Sayang sekali, tidak ada informasi yang cukup jelas mengapa akhirnya Ibu Anum bisa juga terkena hukuman penjara.
            Keterangan narasumber dan data-data tentang potensi ekonomi serta sumber daya alam Aceh Selatan memperlihatkan bahwa kabupaten ini memiliki keterbatasan sumber daya yang dapat didistribusikan kepada masyarakat.Meskipun Aceh Selatan dulu sempat dikenal berjuluk daerah pala, kini potensi hasil perkebunan itu nyaris hilang.Kalaupun ada, hanya sedikit pelaku usaha yang masih melanjutkan usaha itu.Demikian pula nilam.Hanya kelapa sawit yang kini menjadi sumber penghasilan lumayan dari sektor pertanian dan perkebunan.Itu pun pelakunya adalah perusahaan besar, tidak seperti pala dan nilam yang merupakan perkebunan rakyat.Situasi seperti itu membuat kebanyakan warga Aceh Selatan menggantungkan nasibnya kepada pengusaha dan pemerintah.Apalagi, tidak ada kekuatan masyarakat sipil yang dapat menyuarakan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat. “Bisa saya bicarakan hampir 90% LSM di Aceh Selatan adalah LSM uang, 90% wartawan di Aceh Selatan wartawan uang.Bisa saya katakan demikian…,” kata Wahyu Waly.[22]
            Dalam konteks itulah kemudian mekanisme pilkada langsung seperti yang diterapkan saat ini menjadi satu-satunya saluran bagi masyarakat untuk menyuarakan kepentingan mereka.Akan tetapi, karena mekanisme pilkada juga cenderung bersifat top-down, tidak banyak pilihan yang bisa diantisipasi oleh mayarakat Aceh Selatan.Pilkada menjadi ajang elit di Aceh Selatan untuk berebut kekuasaan dan menguasai sumber daya yang terbatas itu. Dalam proses itu, isu-isu pembangunan ekonomi dan agama menjadi tema yang paling umum. Namun, pada akhirnya, uang adalah penentu kemenangan.

3. Politik elektoral: Indikasi politik kesukuan
            Selepas perdamaian 2005, para pejuangGAM mengalihkan medan pertarungan mereka ke arena politik lokal. Sebagian besar menjadi pengurus dan anggota Partai Aceh (PA) dan mulai mengikuti berbagai pemilu sejak 2009.Selain PA, partai lokal lainnya adalah Partai Rakyat Aceh (PRA) dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA).Berbeda dengan PA, kedua partai lokal yang disebut terakhir bukan merupakan instrumen politik baru eks-GAM.Pada pemilu legislatif 2009 PA langsung berhasil merebut suara terbanyak dan mendudukkan 10 wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK).Perolehan itu jauh melampaui hasil yang didapat partai-partai nasional dan dua partai lokal lainnya (lihat Tabel 1).Hasil ini merefleksikan masih tetap kuatnya pengaruh eks-GAM di Aceh Selatan.

Tabel 1
Komposisi perolehan kursi DPRK Aceh Selatan hasil Pemilu Legislatif 2009
No
Partai Politik
Jumlah kursi
1
Partai Aceh (PA)
10
2
Partai Demokrat (PD)
4
3
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
4
4
Partai Golongan Karya (PG)
3
5
Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB)
3
6
Partai Amanat Nasional (PAN)
2
7
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
1
8
Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
1
9
Partai Rakyat Aceh (PRA)
1
10
Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA)
1
No
Partai Politik
Jumlah kursi
1
Partai Aceh (PA)
5
2
Partai Demokrat (PD)
5
3
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)
4
4
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
3
5
Partai Amanat Nasional (PAN)
3
6
Partai Nasional Demokrat (Nasdem)
2
7
Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
2
8
Partai Bulan Bintang (PBB)
1
9
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
1
10
Partai Golongan Karya (PG)
1
11
Partai PDI Perjuangan (PDIP)
1
12
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
1
13
Partai Nasional Aceh (PNA)
1





            Kekuatan politik eks-GAM sebenarnya telah terasa setahun sebelumnya, ketika berlangsung pemilihan bupati (pilkada) 2008.Meskipun saat itu belum terbentuk partai lokal secara resmi, kekuatan politik eks-GAM tersalurkan melalui jalur pencalonan independen.Dalam putaran akhir, pasangan Husen Yusuf-Daska Aziz unggul dengan memperoleh 54.921 suara (54,29 persen), mengalahkan pasangan kandidat H. Azwir-Abdul Karim (PD) yang memperoleh 46.250 suara (45,71 persen).
            Pada musim pemilu berikutnya, peta politik berdasarkan kepartaian mengalami perubahan. PA mengalami penurunan drastis dengan hanya menempatkan lima orang wakilnya di DPRK. Penurunan ini antara lain disebabkan perpecahan di dalam PA, yang memunculkan partai baru yaitu Partai Nasional Aceh (PNA). Akan tetapi, PNA sendiri hanya berhasil merebut satu kursi DPRK. Artinya, kedua saluran politik eks-GAM itu tetap saja tidak berhasil mempertahankan dominasi mereka lima tahun sebelumnya. Di sisi lain, perolehan kursi partai lain di DPRK mengalami peningkatan. Lihat Tabel 2.

Tabel 2
Komposisi perolehan kursi DPRK Aceh Selatan hasil Pemilu Legislatif 2014


            Menurunnya perolehan PA dan PNA mengisyaratkan adanya faktor lain di luar faktor eks-GAM yang mempengaruhi dinamika politik lokal. Salah satu penjelasan yang meyakinkan yang diperoleh dari informasi di lapangan adalah faktor budaya politik primordial. Peluang keterpilihan akan lebih ditentukan oleh kedekatan kesukuan atau asal-usul, termasuk ikatan kekerabatan.
            Menurut Wahyu Waly, politik lokal Aceh Selatan sangat dipengaruhi oleh faktor kesukuan, kekuatan ekonomi, dan dukungan ulama sebagai faktor pendukung. “Pertama,faktor suku.Kalau saya melihat ego suku dulu.Tapi kalau sudah turun tengku,ulama... baru mereka akan menurut. Misalnya, antara orang Kluet dan Bakongan yang sekarang sedang menuntut pemekaran kabupaten.Dari segi suku atau egosentris orang Kluet berbeda dengan orang Bakongan yang mayoritas orang Aneuk Jamee dan Aceh.Mereka tarik-menarik menentukan calon ibukota kabupaten pemekaran karena masing-masing merasa 'saya lebih hebat, saya lebih hebat'. Tapi setelah para ulama di sini bertemu, duduk, semua aman. Nanti untuk masalah ibukota kita pikirkan nanti…,” kata Wahyu Waly.[23]
            Kuatnya faktor suku dalam politik di Aceh Selatan juga diperlihatkan oleh dominasi suku Kluet dalam kepemimpinan politik di tingkat kabupaten, terutama pada periode 1998-2013.Selama 15 tahun itu, bupati selalu berasal dari suku Kluet.Baru pada pilkada 2013 terpilih bupati yang berasal dari suku Aceh, yaitu Haji Teuku Sama Indra, itu pun berdomisili di Meukek. Artinya, masih belum terlalu jelas apakah kemenangan itu disebabkan karena pergeseran kecenderungan kesukuan, ataukah karena ia cukup dikenal oleh kalangan suku Kluet yang dominan di Kecamatan Kluet. Akan tetapi, memang, beberapa pengamat di Aceh Selatan berpendapat bahwa masyarakat sudah mulai tidak percaya kepada tokoh yang berasal dari suku Kluet karena selama 15 tahun orang Kluet menjabat bupati tidak ada kemajuan dan perubahan yang berarti yang bisa dinikmati warga Aceh Selatan. Dengan mengalihkan dukungan ke orang suku Aceh, masyarakat berharap ada perbaikan yang bisa dicapai, khususnya dalam hal pelayanan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan.[24]
            Terpilihnya Bupati Teuku Sama Indra juga dapat ditafsirkan sebagai keinginan warga Aceh Selatan untuk mengejar ketertinggalan mereka dari kabupaten-kabupaten lainnya.Sebab, selama dipimpin tokoh asal suku Kluet, pembangunan lebih diprioritaskan bagi kecamatan-kecamatan yang kebanyakan penduduknya adalah suku Kluet.Dengan memberikan kepercayaan kepada bupati bersuku Aceh, warga berharap pembangunan bisa lebih merata karena suku Aceh cukup merata tersebar di berbagai kecamatan.Akan tetapi, prinsip pemerataan pembangunan itu seringkali kurang berbasis pada kebutuhan masyarakat.Banyak program pemerintah yang dirasa kurang tepat sasaran karena masyarakat yang mendiami Kabupaten Aceh Selatan ini berada di dua wilayah yang berbeda, yaitu di wilayah pantai dan wilayah pedalaman yang bergunung-gunung. Kebutuhan mereka tidak sama karena memiliki matapencaharian yang berbeda-beda tergantung pada letak dan kondisi geografis, meskipun kebanyakan warganya berasal dari suku yang sama.
            Di luar soal kesukuan, kemenangan Teuku Sama Indra dalam pilkada 2014 sekaligus menunjukkan bahwa wilayah Aceh Selatan memang bukan “zona politik” Aceh. Di kabupaten ini, ekspresi sentimen politik keacehan yang antara lain ditunjukkan oleh keberadaan partai lokal tidak terlalu menonjol. Partai Aceh memang berhasil menjadi mayoritas di DPRK Aceh Selatan berdasarkan hasil pemilu legislatif, akan tetapi tidak banyak dapat berbuat pada pilkada 2014.
            Ketika mengikuti pemilihan, Teuku Sama Indra berpasangan dengan Kamarsyah dan dicalonkan oleh koalisi beberapa partai yang dipimpin Partai Demokrat.Pasangan itu mengalahkan pasangan M. Natsir/Zulkifli yang dicalonkan oleh Partai Aceh.Kemenangan pasangan dari partai nasional itu mengindikasikan tidak cukup kuatnya sentimen lokal pasca-konflik terhadap kekuatan dari luar.Fenomena ini sedikit berbeda dengan daerah-daerah konflik di Aceh yang menunjukkan kecenderungan berpihak pada partai lokal.
            Kekuatan ekonomi merupakan variabel kedua terpenting setelah kesukuan.Relasi dengan kelompok pengusaha merupakan hal penting yang menentukan kemenangan atau kekalahan kandidat.Kemenangan Teuku Sama Indra sangat ditentukan oleh relasinya yang baik dengan para pengusaha, yang dijalinnya sejak masih menjabat sebagai Direktur Bank Aceh.Ia memperoleh banyak dukungan dari banyak bekas pengusaha yang dulu merupakan kreditur Bank Aceh. “Prinsip yang digunakan adalah politik balas budi, yaitu para kreditur yang dulunya pernah terlilit hutang semasa Bupati dulu pernah menjadi direktur bank, pada gilirannya mendukung Bupati dengan modal ekonomi.Selanjutnya, dalam proyek pembangunan, Bupati menggunakan sebagian kontraktor yang dulu pernah mengalami kredit macet.Metode pembangunan ini dapat dikatakan sangat mementingkan aspek kepentingan politis dari para elit.Kepentingan politislah yang sangat diutamakan dalam membangun Kabupaten Aceh Selatan ini.”[25]
           
4. Marjinalisasi ulama dari aktivitas politik
            Gambaran tentang pengaruh keislaman yang kuat terhadap kehidupan kemasyarakatan di Aceh Selatan ternyata tidak terlihat manakala kita mencermati kehidupan dan proses politik di sana. Tentu saja, secara konstitusional, sebagaimana kota dan kabupaten lainnya di Aceh, Kabupaten Aceh Selatan tunduk pada UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang antara lain mengatur tentang pemberlakuan syariat Islam. Karena itu, struktur pemerintahan di kabupaten memuat pula posisi, misalnya, Majelis Pertimbangan Ulama (MPU) tingkat kabupaten.Anggota MPU dipilih langsung oleh bupati itu bertugas memberikan pertimbangan-pertimbangan dari aspek keagamaan kepada bupati dalam menjalankan pemerintahannya atau dalam pengambilan kebijakan.Pada kenyataannya, MPU di Aceh Selatan tidak cukup memiliki kapasitas untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan dan, “tugasnya tidak lebih dari pembaca doa di acara-acara resmi kabupaten… setelah ‘amin’, ‘amin’, lalu pulang, selesai.”[26]
            Temuan ini menarik mengingat dari luar Aceh justru ada kesan umum tentang kuatnya peran agama dan, karena itu, ulama di Aceh Selatan terhadap kegiatan politik.Selain itu, tentu saja, sejarah dan tradisi Aceh sangat dipengaruhi oleh ulama.[27]Di tingkat gampong, peran ulama memang masih menonjol, akan tetapi tidak di tingkat politik yang lebih tinggi. Studi ini malah mengungkap bahwa secara umum ada kesan kuat di kalangan masyarakat dan pelaku politik di sana yang menganggap keterlibatan ulama dalam politik bisa menjadikan ulama itu hilang keulamaannya. Karena itu, para ulama pun cenderung meninggalkan dunia politik dan lebih tekun mengurusi pesantren-pesantren mereka.
            Pilihan untuk bersikap netral secara politik bukannya tanpa alasan. Selain karena para ulama itu sendiri ingin merasa terbebas dari beban dan urusan duniawi, masyarakat pada umumnya memiliki anggapan bahwa ulama seharusnya memiliki kriteria-kriteria berikut: menguasai ilmu agama dengan baik, memiliki sikap dan perilaku yang baik, usia cukup matang, perkataannya di dengar orang. Karena itu, masyarakat beranggapan bahwa untuk menjadi pengayom dan penyejuk masyarakat, para ulama seharusnya memang tidak terjun dalam dunia politik.Namun tentu saja ada juga tokoh ulama yang terjun dalam politik dan aktif di berbagai partai politik lokal maupun nasional.Akan tetapi ulama yang seperti ini biasanya masih berusia muda dan memiliki pendidikan politik yang bagus.Di mata masyarakat tokoh semacam ini tidak dipandang sebagai tokoh ulama kharismatik, melainkan cenderung disebut sebagai tokoh muda agama. Itu sebabnya, keterlibatan ulama muda di dalam politik ini tidak selamanya mengandalkan isu-isu agama, akan tetapi juga berkaitan dengan penggunaan uang dan imbalan lain.Sebab, hingga batas tertentu, “agama adalah individual… agama adalah urusan ulama dan para santrinya.”[28]
            Meskipun demikian, ada sebab lain yang bisa menjelaskan tentang mengapa ulama tidak terlalu memberi pengaruh terhadap kehidupan politik. Hal itu adalah, lagi-lagi, akibat konflik.Ulama, seperti halnya para keuchik, termasuk dalam kelompok orang yang kerap dicurigai sebagai kaki-tangan GAM, atau sebaliknya kaki-tangan TNI.Meskipun tidak ada penangkapan ulama, tidak jarang para pemimpin dayah didatangi dan ditanyai oleh aparat militer untuk mengorek keterangan.[29]Akibatnya, ulama lebih memilih untuk fokus pada urusannya mengelola dayah-dayah mereka, melakukan pengajian internal, dan mengajar agama kepada para santri.Maka, aktivitas dan kehidupan politik di Aceh Selatan lebih banyak melibatkan para politisi non-ulama.
            Yang menarik, kendati para ulama cenderung beraktivitas di dayah, isu agama tetap menjadi isu penting dalam kegiatan politik pada umumnya, atau lebih-lebih saat kampanye pemilihan bupati.Seperti sudah dijelaskan, identitas keislaman ada kalanya menjadi lebih penting daripada keacehan.Wahyu M. Waly Putra yang pernah menjadi salah satu kandidat dalam pilkada 2013 mengakui bahwa isu agama bisa sangat efektif untuk mengumpulkan dukungan.Karena itu, meskipun para ulama tidak secara langsung memainkan peran politik, secara tidak langsung ketokohan mereka di lingkungan gampong dan dayah tetap diperhitungkan oleh para politisi sebagai unsur penting dalam pengumpulan suara.Dalam pemilihan bupati 2013, semua kandidat bupati berlomba-lomba datang ke berbagai dayah untuk meminta restu dan dukungan dari para ulama pemuka dayah.
            Namun, pada akhirnya faktor yang lebih menentukan adalah uang. Wahyu Waly Putra sendiri adalah keturunan Syekh Haji Abuya Muda Waly, ulama kharismatik yang sangat berpengaruh di Aceh Selatan, namun ia hanya menduduki urutan keempat dalam perolehan suara. Ketika ditanya faktor apa yang menyebabkannya tidak berhasil memenangkan pemilihan, Wahyu dengan yakin menjawab: uang. Ia, katanya, hanya menghabiskan sekitar Rp 2,5 miliar. Saat mengikuti pemilihan, ia memang sengaja tidak mengandalkan uang, karena cukup percaya diri dengan modal jaringan keluarga besar ulama dan pesantrennya. Dari jaringan itu saja Wahyu yakin suara yang bisa diraupnya cukup banyak.Akan tetapi, pada kenyataannya, “Seorang paman saya, misalnya, dibayar sampai Rp 300 juta (oleh kandidat pesaing) untuk setiap 1.000 suara yang bisa dikumpulkan.”[30]
           
6. Penutup: Prospek demokrasi lokal di Aceh Selatan
            Keterbukaan politik pasca-MoU Helsinki dan keistimewaan Aceh memberikan peluang kepada warga Aceh Selatan untuk menikmati hak-hak dan kebebasan politik.Struktur pemerintahan Aceh juga memberikan tempat kepada lembaga-lembaga adat termasuk agama untuk berperan di dalam pemerintahan.Warga Aceh Selatan juga berkesempatan untuk memanfaatkan keberadaan partai lokal sebagai alternatif baru saluran aspirasi, di samping melalui partai-partai nasional.Semua hal itu merupakan struktur kesempatan politik baru yang dapat membawa Kabupaten Aceh Selatan ke arah yang lebih demokratis sembari tetap mengedepankan nilai-nilai kekhasan Aceh, khususnya keislaman.
            Pada kenyataannya, perkembangan politik demokrasi Indonesia, termasuk di Aceh, sejauh ini cenderung mengarah hanya pada pelaksanaan berbagai pemilihan umum, khususnya pilkada.Dalam situasi seperti itu, berbagai institusi demokratis yang tersedia lebih dimanfaatkan oleh para kandidat untuk memperebutkan suara dukungan publik.Para ulama yang menjadi panutan dalam kehidupan sosial justru terpinggirkan dalam proses itu sehingga kehilangan pengaruh. Akibatnya, hasil-hasil pemilihan umum termasuk pilkada lebih dinikmati oleh para elit politik.
            Agar hasil pemilihan dapat lebih memberikan manfaat bagi publik dan sesuai dengan pola relasi ulama-warga di dalam kehidupan sosial, salah satu alternatif yang mungkin dapat ditawarkan adalah menjadikan MPU Aceh Selatan sebagai lembaga penyaring kandidat pemilihan umum, baik untuk proses pemilihan legislatif maupun kepala daerah. Tawaran ini antara lain dikemukakan oleh beberapa narasumber riset ini yang menganggap penting untuk mengembalikan peran ulama di dalam kehidupan politik. Proses seleksi yang dilakukan secara kelembagaan oleh MPU juga dapat menghindari anggapan dan risiko persaingan antar-ulama, sebagaimana yang hingga kini terjadi.

-o0o-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar