Tulisan ini adalah Bab 4 dari buku Rezim Lokal di Indonesia: Memaknai Ulang Demokrasi Kita (Yayasan Obor, 2018)
Politik Lokal Aceh Selatan:
Terpinggirkannya Ulama di Tanah Syariah
Tulisan ini menyajikan potret politik lokal Kabupaten Aceh Selatan.Dua tesis pokok yang ingin dikemukakan adalah (1) formalisasi hukum Islam atau penerapan syariah Islam memapankan pengaruh Islam terhadap relasi sosial dan politik dalam konteks keistimewaan Aceh, namun pada saat bersamaan (2) proses demokratisasi melalui penerapan sistem pemilihan kepala daerah telah menggerus peran dan pengaruh ulama sebagai salah satu pilar tatanan sosial dan politik masyarakat Aceh.
Sebagai
bagian dari wilayah syariah Aceh, interaksi sosial dan politik di kabupaten ini
sudah sejak lama diwarnai dan dipengaruhi oleh nilai-nilai keislaman.Masyarakatnya
juga memiliki tradisi keislaman yang panjang ditunjukkan oleh banyaknya dayah (pesantren) yang memunculkan
ulama-ulama besar.Tradisi seperti itu membentuk tatanan politik khas Aceh yang
memberi tempat istimewa kepada para ulama sebagai kelompok pemimpin masyarakat
di samping tokoh-tokoh yang mengurusi urusan kemasyarakatan, khususnya di
tingkat desa (gampong).Pengambilan
keputusan-keputusan publik biasa dilakukan di dalam proses musyawarah warga yang
dipimpin oleh keuchik (kepala gampong)
dan imeum meunasah (ulama), dan para
tokoh adat. Tatanan seperti itu kini tak terlalu menonjol ketika proses
demokratisasi dalam bentuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di
tingkat kabupaten lebih menyedot perhatian.
Sebagaimana di tempat lain, dinamika
politik pilkada hanya diwarnai oleh perebutan kemenangan para kandidat, dan
seolah-olah menjadi satu-satunya arena bagi warga Aceh Selatan untuk
menyalurkan hak-hak politik mereka. Basis kandidasi dan alasan pemilihan lebih
ditentukan oleh kesamaan kesukuan di samping kekuatan ekonomi.Di tengah-tengah
proses itu, para ulama tidak lagi menjadi pihak yang memiliki pengaruh penting.
Ulama pun tidak mau terlalu jauh melibatkan diri ke dalam proses pemilihan
karena ada anggapan luas bahwa ulama yang berpolitik tidak lagi bisa dikatakan
ulama.
1. Profil Sosial-budaya Kabupaten Aceh Selatan
Kabupaten
Aceh Selatan terletak di pesisir barat-selatan Provinsi Aceh, dekat dengan
perbatasan Sumatera Utara.Kabupaten ini merupakan salah satu kabupaten hasil pemekaran
Kabupaten Aceh Barat pada 2002.Masyarakatnya memiliki tradisi keislaman yang
panjang ditunjukkan oleh banyaknya dayah(pesantren)yang
memunculkan ulama-ulama besar.Kendati begitu, pengaruh ulama terhadap kehidupan
politik nyaris tak terasa, kecuali di tingkat gampong (desa).Di tingkat gampong itulah “demokrasi” versi lokal
Aceh berlangsung, hingga sekarang.Berbagai masalah kehidupan sosial di
lingkungan gampong dibicarakan bersama oleh warga, dipimpin oleh keuchik (kepala gampong), imeum meunasah (ulama), dan para tetua
adat.Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan hasil musyawarah.Akan tetapi,
mekanisme itu praktis tidak berlangsung di tingkat yang lebih tinggi.Belakangan,
ketika pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, pengaruh kesukuan dan
kepentingan ekonomi lebih terasa intensitasnya dalam pembagian kekuasaan (power sharing).
Jumlah
pendudukdi kabupaten ini sekitar 220 ribu orang,[2]sebagian
besar di antaranya merupakan suku asli setempat: Aceh (60%),Kluet (25%), dan
Aneuk Jamee (10%).Suku Aneuk Jamee sebenarnya adalah komunitas pendatang asal
Minangkabau yang bermigrasi dan menetap sejak abad ke-15, sehingga kini mereka
sudah dianggap sebagai suku asli setempat. Mereka cukup berpengaruh secara
budaya, antara lain tampak pada bahasa dan dialek. Sebaliknya, mereka juga
sudah tidak lagi menganut sistem matrilineal seperti orang Minang di Sumatera
Barat.Penduduk lainadalah etnis Jawa (4%) dan Tionghoa (1%), serta tentu saja
ada beberapa komunitas suku lainnya yang lebih sedikit jumahnya.[3]
Komposisi
suku sedemikian tidak tersebar merata di 18 kecamatan yang ada.Suku Kluet pada
umumnya berdiam di bagian timur kabupaten, yaitu di Kecamatan Kluet Utara,
Kluet Selatan, Kluet Tengah, dan Kluet Timur. Daerah Kluet ini dipisahkan oleh
sungai Law Kluet yang ulunya ada di Gunung Leuser,mengalir ke selatan hingga bermuara
di Samudera Hindia. Suku Aneuk Jamee tersebar di Kecamatan Labuhanhaji, Labuhanhaji
Barat, Labuhanhaji Timur, Samadua, Tapaktuan, hingga di wilayah pesisir selatan
bagian timur, dan merupakan mayoritas di Kluet Selatan. Orang-orang Jawa dan
Tionghoa kebanyakan menetap di kota kecamatan Tapaktuan, ibukota kabupaten. Suku
Aceh, karena mayoritas dan berjumlah banyak, praktis dapat dijumpai di
mana-mana, tetapi terlihat dominan di Kecamatan Kluet Utara, Meukek, Sawang, Pasie
Raja, Bakongan, Bakongan Timur, Kota Bahagia, Trumon, Trumon Tengah dan Trumon
Timur, termasuk di beberapa desa di Kecamatan Tapaktuan dan Samadua. Persebaran
seperti itu, kelak akan dijelaskan, berimplikasi pada proses pembangunan
kabupaten.
Seperti
halnya Aneuk Jamee yang berbahasa sendiri, suku Kluet juga memiliki bahasanya
sendiri.Ada tiga dialek Kluet, yaitu dialek Paya Dapur, Manggamat dan Krueng
Kluet.Bahasa dan dialek Jamee dan Kluet memiliki cukup banyak perbedaan dengan
bahasa Aceh yang dipakai oleh mayoritas penduduk.Bahasa Aceh sendiri, kendati
menjadi bahasa mayoritas, tidak berfungsi sebagai bahasa pemersatu.Karena itu,
keragaman bahasa ini sekaligus menjadi instrumen identitas setiap suku atau
komunitas, yang berdampak secara politik.Ke dalam menjadi identitas pemersatu,
ke luar menjadi identitas pembeda.
Namun
demikian, kultur dan kebiasaan sehari-hari masyarakat Aceh Selatan tidak
semata-mata dipengaruhi kesukuan. Kondisi lingkungan yang mereka tempati juga
berpengaruh melahirkan kebiasaan yang berbeda-beda.Misalnya, warga di
Labuhanhaji relatif masih berkegiatan ekonomi tradisional, bertani, berbeda
dengan kegiatan orang-orang yang tinggal di Tapaktuan yang berorientasi ekonomi
perdagangan.Padahal, banyak di antara mereka itu sama-sama merupakan suku Aneuk
Jamee.Kehidupan di Labuhanhaji juga lebih bernuansa agamis ketimbang di
Tapaktuan. Wahyu Waly, seorang tokoh masyarakat di Labuhanhaji yang merupakan
keturunan ulama besar, bercerita menggambarkan perbedaan itu. “Misalnya,”
katanya, “contoh saya pribadi, saya tidur berlama-lama pasti akan diomongin
orang-orang,‘Itu anak Kyai Haji kok gitu?’.Jadi suatu pertanyaan di tengah
masyarakat.Tapi kalau di Tapaktuan,saya mau duduk-duduk di warung kopi sampai
jam 4 sore mungkin tidak masalah.” Perbedaan lain, orang-orangdi Kluet dan
Trumon di bagian timur jarang berinteraksi dengan orang dari luar sehingga relatif
lebih tertutup terhadap pendatang.[4]
Meskipun
demikian, relasi antarsuku di Aceh Selatan tergolong baik.Secara sosial, tidak
ada masalah yang benar-benar mengganggu.Apalagi, seperti tergambar dari
persebaran suku, di sejumlah kecamatan ada komunitas berbeda suku yang tinggal
bersama-sama.Belum pernah ada juga konflik horisontal besar-besaran yang
membenturkan satu suku dengan suku lainnya.Malah, perkawinan antarsuku juga
merupakan hal yang biasa terjadi.Harmoni relasi antarkelompok itu tidak
terlepas dari peran para tokoh adat di masing-masing suku yang ada di setiap
gampong.Apalagi, di setiap gampong ada meunasah,
tempat ibadat yang sekaligus menjadi institusi musyawarah gampong.[5] Di
meunasah itulah biasanya berbagai persoalan dan musyawarah gampong
dilangsungkan dengan menghadirkan tokoh-tokoh dari setiap suku yang ada di sana
dan, tentu saja, tokoh agama atau ulama setempat.
Keislaman
memang menjadi identitas bersama di atas berbagai perbedaan yang ada.Ikatan ini
tumbuh sejak lama, jauh sebelum Provinsi Aceh ditetapkan sebagai daerah
istimewa bersyariat Islam.Ada banyak dayah
di pelosok-pelosok hingga di tingkat kabupaten.Salah satu yang terkenal adalah Dayah
Darussalam di Labuhanhaji, yang sekaligus adalah dayah tertua dan termasuk yang
terbesar di Aceh hingga saat ini.[6]Keberadaan
dayah-dayah itu menciptakan suasana kehidupan sosial bernuansa keagamaan yang
kental.Identitas keislaman itu bahkan mengalahkan identitas keacehan, sampai-sampai
ada ungkapan, “Jangan coba-coba menjelekkan Islam di depanorang Aceh, walaupun
orang itu sebenarnya tidak pernah sholat.”[7]
Pekatnya
kehidupan sosial berbasis agama membuat masyarakat Aceh Selatan relatif
sensitif terhadap isu agama. Ajaran agama, khususnya Islam, yang dianggap
menyimpang dari kebiasaan yang berlaku akan cepat mendatangkan reaksi dari
masyarakat.
Pengaruh
Islam yang kuat terhadap kehidupan sosial menyebabkan berbaurnya adat-kebiasaan
masyarakat dengan ajaran agama.Hal itu bukan saja berlaku di Aceh Selatan,
melainkan merupakan kecenderungan di Aceh secara umum.Itu sebabnya berlaku
prinsip "adat ngon hukom lagee zat ngoen sifeut"yang bermakna “adat dan hukum adalah seperti
zat dengan sifat”.Maksudnya, adat dan hukum (Islam) merupakan satu-kesatuan dan
tidak boleh dipisahkan. Di dalam kehidupan sosial, prinsip itu diartikan antara
pemegang kekuasaan adat (politik) dengan pemegang kekuasaan hukum, meskipun
terpisah, harus bekerja sama.Itu pula sebabnya lembaga musyawarah gampong
diadakan di meunasah, dipimpin oleh keuchik dan imuem (imam) meunasah.
Dalam
tatanan yang lebih luas, penataan kehidupan adat di Aceh Selatan berlaku sama
sebagaimana di Aceh pada umumnya. Di sana dikenal semacam pembagian tugas atau
wewenang kepada empat pihak, sebagaimana terkandung dalam ungkapan: Adat bak
Po Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak
Lakseumana.[8]Secara
ringkas, ungkapan itu menerangkan:
a)
Adat bak po
teumeureuhom:Adat dipegang
oleh po teumeureuom,atau
dalam konteks masa kini adalah pelaksana pemerintahan dan pemegang kekuasaan
Eksekutif(sekaligus simbol adat);
b)
Hukum bak
syiah kuala: Urusan hukum dipegang oleh ulama (Syiah Kuala), atau dalam konteks masa kini
adalah pemegang kekuasaan yudikatif.
c)
Qanun bak
putroe phang:Qanun artinya
adalah peraturan atau undang-undang.Pada
masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, peraturan dibuat atas saran dan
prakarsa dari permaisuri Sultan yang berasal dari Kerajaan Pahang yang bernama Putri Kamaliah, atau biasa dikenal sebagai
Putroe Phang. Tentu saja pada masa itu umumnya peraturan hanya mengatur
soal etika, sopan santun, aturan perkawinan, dan semacamnya. Dalam konteks masa
kini, urusan pembuatan qanun (undang-undang) ini dipegang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat.
d)
Reusam bak
lakseumana:Apabila diartikan
secara bebas,Reusam adalah pengurus
bidang bidang diplomatik,keprotokolan,dan etika.Biasanya urusan
keprotokolan tersebut diurus olehKementerian
Pertahanan atau angkatan perang dalam kerajaan Aceh
Darussalam.Pemegang jabatan tertinggi sebagai Menteri Pertahanan ditunjuk Panglima Tertinggi Angkatan Laut,yaitu Laksamana. Oleh karena itu Laksamana
dilambangkan sebagai pemegang urusan protokoler,diplomat atau hubungan luar negeri dan etika.
Gampong mungkin bisa disejajarkan
dengan ‘desa’ di Jawa, yaitu unit komunitas dan administratif paling bawah.Akan
tetapi di Aceh, gampong sekaligus juga menjadi penanda identitas warga daerah
tertentu secara turun-temurun. Jadi, warga gampong bisa dibilang saling
berkerabat satu sama lainnya. Komunitas gampong sudah dikenal sejak sebelum
masa Kesultanan Aceh Darussalam yang berdiri pada awal abad ke-16. Maka,
keberadaan gampong juga sudah ada sebelum adanya mukim – kumpulan
beberapa gampong – yang dibentuk pada
masa kesultanan di abad ke-16 dan -17. Catatan ekspedisi Snouck Hurgronje
mengungkapkan bahwa gampong adalah wilayah adat, yang dipimpin oleh keuchik, tuhapeut
(atau ureueng tuha) dan teungku atau imuem meunasah.
Masing-masing dari perangkat itu mempunyai fungsi tersendiri, bisa diibaratkan
sebagai perpaduan antara ‘ayah’ dan ‘ibu’ dari masyarakat Aceh. Pada masa
Kesultanan, gampong merupakan kumpulan hunian yang terdiri dari beberapa jurong
(lorong), tumpok (kumpulan rumah), dan ujong (ujung gampong),
serta terdapat satu meunasah.[9]
Kehidupan komunal di gampong
dipimpin oleh seorang keuchik yang dipilih berdasarkan hasil
musyawarah.Demikian juga dengan tuhapeut atau tetua kampung yang dianggap
sebagai perwakilan gampong.Baru belakangan ini keuchik dipilih secara langsung oleh
warga.Demokrasi asli Aceh di tingkat gampong ini juga diwujudkan dengan adanya
fungsi-fungsi pengaturan sumberdaya ekonomi sebagai basis kesejahteraan
masyarakat Aceh. Beberapa jabatan itu antara lain kejurun blang (pranata
adat yang mengurus pengairan untuk sawah), petua seunebok, pawang
uteun atau pawang glee.
Kemerosotan gampong sebagai wilayah
komunal yang otonom terutama terjadi pada masa kolonial, baik jaman Belanda
maupun Jepang. Kemunduran itu berlanjut pada masa Orde Baru yang ditandai
dengan penyeragaman nama unit pemerintahan terkecil menjadi ‘desa’ sesuai
dengan UU No 5/1979. Otonomi gampong kemudian semakin terkikis oleh
program-program eksplorasi hutan melalui hak pengusahaan hutan (HPH), hutan
tanaman industri (HTI), serta pembangunan berbagai kawasan industri, yang
sekaligus diiringi pembangunan markas-markas militer.Tanah-tanah adat dan milik
warga dibeli dengan harga sangat murah untuk pembangunan markas-markas
militer.Istilah gampong memang tetap dipertahankan sebagai sebutan bagi kesatuan
masyarakat adat Aceh, tetapi secara politik dan pemerintahan gampong tidak
lebih dari unit pemerintahan terkecil di bawah kecamatan.Para keuchik
semata-mata menjadi bawahan atau kepanjangan tangan birokrasi di atasnya (kecamatan)
tanpa hak otonomi.
UU No 5/1979 juga menyingkirkan
struktur pemerintahan mukim, diganti dengan camat yang mengepalai wilayah
kecamatan.Namun, karena tersingkir secara formal itulah, justru peran mukim
sebagai lembaga adat dapat bertahan.Imuem mukim tetap berperan dan dihormati
dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di gampong-gampong.Bahkan,
karena otoritas adatnya, imam meukim seringkali bisa menjadi penengah konflik.
Pentingnya keberadaan mukim sebagai penjaga adat Aceh digambarkan oleh Zulfikar,
seorang narasumber, berikut ini:
“Masa Orde Baru ketika ada UU tentang Pemerintahan Desa 1975 itu kan
diseragamkan.Nah,di situlah mukim seperti tidak ada lagi, tidak diperhatikan
oleh pemerintah. Karena kan harus mengikuti, diseragamkan, habis kecamatan
langsung desa waktu itu. Dan disini desa, kelurahan, itu gampong. Kalau nama gampong
ini (muncul lagi) ketika ada UU Pemerintahan Aceh, kalau dulunya ketika
penyeragaman desa, ya disebut desa. Jadi dari 1975 sampai 2001, ya sekitar 25 atau
26 tahun, semuapemerintahan itu dikuasai oleh pemerintah pusat, jadi
pemerintahan adat tidak ada lagi. Ketika itu yang perannya sangat getol adalah kecamatan
dan desa, yang untuk soal masalah adat kan tidak ada. Nah, akan tetapi peran
adat ini masih kuat ketika konflik. Mereka inilah(lembaga adat mukim) yang
sangat kuat sebenarnyamenyelesaikan konflik di Aceh itu.Peranlembaga adat ini
yang penting. Ada dua kubu bertikai di Aceh, GAM dan TNI, misalnya. Dari dua
kubu ini yang persis untuk mendamaikan itu, ya, soal adat. Karena aturan adat
ini dua yang bertikai itu menghormati. Intinya mereka menghormati… [karena] staf
yang adil ya pemerintahan adat tadi. Ketika ada yang bertikai, ketika ada
konflik misalnya di daerah Aceh Tengah kemarin,keuchik atau kepala desa itu
tidak mau ikut campur. Tidak mau atau ketakutan, kalau dia membantu pemerintah
nanti dikejar sama GAM,membantu GAM nanti dibilang sebagai pendukung GAM. Nah
disitu yang ada rasa ketakutan. Tetapi untuk mukimnya, pemerintahan adatnya, itu
tidak ada yang melihat. Ya ini secara aturan adat kita, demokrasi adat kita
bahwa ya siapapun bertikai harus diselesaikan misalnya sanksinya sanksi adat
seperti apa, baik itu GAM ataupun TNI ataupun POLRI, seperti itu. Secara
demokrasinya memang dari dulunya sampai sekarang itu masih tetap punya nilai
tersendiri kalau mukim ini...”[10]
Setelah Indonesia memasuki masa reformasi, di bawah pemerintahan Presiden Habibie dan Megawati, keberadaan gampong dan mukim mulai diakui kembali melalui UU No 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus NAD. Setelah MoU Helsinki Agustus 2005, tata kehidupan adat Aceh memperoleh pengakuan yang lebih substantif dan menyeluruh melalui UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Gampong, misalnya, diakui menjadi wilayah otonom seperti halnya desa di daerah lain. Mukim pun memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai lembaga perintahan sekaligus lembaga adat.Secara khusus penataan struktur dan pelaksanaan pemerintahan adat diatur melalui beberapa qanun (peraturan daerah), antara lain Qanun No 09/2008 (lihat Boks 1). Ada 18 perkara yang diserahkan urusannya untuk diselesaikan melalui lembaga adat.
Akan
tetapi pada praktiknya kombinasi tata pemerintahan formal dan adat itu tidak
sepenuhnya berjalan dengan lancar. Setidaknya, ada ketidaksesuaian antara
Majelis Adat Aceh (MAA) yang dibentuk di setiap jenjang pemerintahan, dengan
struktur dan tatanana lembaga adat yang lain. MAA adalah lembaga yang dibentuk
oleh kepala daerah, sedangkan lembaga-lembaga adat lain seperti keucik, tuhapeut, imam meukim, tuha lapan, dan sebagainya, dipilih
berdasarkan hasil musyawarah adat yang dilangsungkan sendiri oleh warga.
Akibatnya, antara MAA dan lembaga adat lain tidak memiliki keterkaitan adat.
Padahal, secara formal, MAA itulah yang digunakan bupati untuk memperlihatkan
bukti adanya pengakuan pemerintahan terhadap lembaga adat. “[Akan tetapi]
…mereka ini, MAA,kan lebih kepada bagaimana soal seremonilah, soal aturan-aturan, tetapi bukan untuk soal hak,
politik, ekonomi… itu tidak dibahas di MAA.”[11]
Bagaimanapun,
dengan warisan budaya seperti itu, sebenarnya masyarakat Aceh, termasuk Aceh
Selatan, berpotensi memiliki tatanan adat yang rapi dan kuat.Namun,
perkembangan politik yang menimbulkan pertentangan antara Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dan pemerintah Indonesia lambat-laun mengakibatkan tatanan adat itu memudar, terlebih
setelah Aceh ditetapkan dan diperlakukan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Aceh Selatan sendiri termasuk wilayah yang tergolong basis GAM, sehingga daerah
ini termasuk yang dikontrol secara ketat oleh aparat TNI pada masa konflik,
sehingga ruang gerakan masyarakat, termasuk masyarakat adat, menjadi
sempit.Bisa dibilang, selama konflik berlangsung masyarakat yang tinggal di
gampong tidak memiliki kebebasan.[12]
Kawasan
ini dulu termasuk sebagai basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selepas perdamaian
2005, para pejuangGAM mengalihkan medan pertarungan mereka ke arena politik
lokal. Sebagian besar menjadi pengurus dan anggota Partai Aceh (PA) dan mulai
mengikuti berbagai pemilihan umum sejak 2009.
Sebagai
daerah basis GAM, penduduk Aceh Selatan tetap merasakan dampak yang besar dari
konflik yang berlangsung puluhan tahun. Konon pernah terjadi pembakaran
terhadap sekitar 3.000-an rumah oleh TNI. Selain itu, di beberapa kecamatan
terdapat markas TNI Divisi 115 (misalnya Kecamatan Pasie Raja, Trumon, Sawang,
dan Labuhan Haji).Markas-markas itu berdiri di tengah-tengah pemukiman penduduk
sehingga Kabupaten Aceh Selatan seperti dikelilingi kehidupan militer.
Di
samping berdampak pada status gampong dan mukim, konflik GAM dan TNI berdampak
pula pada tokoh-tokoh adat di Aceh. Oleh pihak tentara atau pemerintah,
tokoh-tokoh adat itu kerap dengan mudah dipersamakan begitu saja dengan aktivis
GAM, atau dituduh memiliki kedekatan dengan GAM, sehingga kalau pun bukan
ditangkap, peranan mereka di dalam masyarakat dipinggirkan. Tetapi pada saat
yang bersamaan, tidak sedikit tokoh adat yang justru dianggap pihak GAM sebagai
pendukung TNI.Dalam situasi seperti itu, para keuchik pun menjadi sasaran
tekanan, baik dari pihak TNI maupun GAM, agar situasi di gampong-gampong dapat
diawasi dengan mudah.Bestary Raden, salah seorang tokoh adat yang kini menjadi aktivis
Jaringan Kerja Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, mengaku pernah hampir ditangkap dan
dipenjara oleh TNI, dengan tuduhan sebagai bagian dari GAM. Ia bercerita,
“…Jadi supaya bapak bisa ditangkap, bapak dituduh sebagai pelatih GAM… [Ditangkap]
oleh aparat militer tanpa kontrol, tanpa apa. Ini babak-belur ini pakai
senjata, ini kan bengkak, ini patah dulu [menunjuk
kakinya, pen.], karena dianggap
kita tokoh GAM, mau dihabiskan. Tapi alhamdulillah sampai hari ini Allah belum
mengizinkan itu.”[13]
Tak
sampai di situ, pada 1998 ia dipecat dari posisinya sebagai PNS guru olah raga
karena melakukan protes atas ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Baru belakangan,
pemecatan Bestary dibatalkan dan namanya dipulihkan.Kini Bestary menjadi Ketua
KONI Aceh Selatan dan memiliki relasi relatif baik dengan bupati.
Kasus
yang dialami Bestary Raden itu sedikit-banyak mengindikasikan bahwa di luar
soal GAM, ada kepentingan ekonomi yang turut menjadi penyebab terdesaknya
tatanan adat di Aceh Selatan.Pemecatan yang dialaminya disebabkan oleh
aktivitasnya menentang kegiatan eksplorasi hutan yang dilakukan kelompok
pengusaha pemegang HPH. Selain itu, secara umum sebenarnya ada pula masalah
lain yang dihadapi masyarakat Aceh Selatan, khususnya dalam mempertahankan matapencaharian
mereka. Daerah ini sejak lama dikenal sebagai daerah penghasil pala terbesar,
namun kini usaha tersebut nyaris tidak terlihat lagi akibat serangan hama
besar-besaran sejak 2001. Bagian berikut akan menggambarkan sumber daya alam dan
potensi ekonomi Aceh Selatan.
2. Sumberdaya dan Potensi Ekonomi Aceh Selatan
Wilayah
Aceh Selatan bukanlah daerah yang terkena bencana tsunami 2004, tetapi tingkat
kemiskinan dan ketertinggalan infrastruktur cukup tinggi.Secara geografis,
kabupaten ini memang terbilang jauh dari ibukota provinsi sehingga mungkin
tidak termasuk dalam skala prioritas pembangunan infrastruktur.Kendati begitu,
kondisi jalan negara dan provinsi (antarkota) yang menghubungkan Banda Aceh
hingga Tapaktuan bisa dibilang relatif baik. Persoalannya, keterbatasan
sumberdaya mengakibatkan kabupaten ini tidak memiliki dana yang cukup untuk
dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur di dalam kabupaten, apalagi
mendistribusikannya secara merata ke seluruh wilayah kabupaten. Aryos Nivada,
aktivis LSM, akademisi, sekaligus seorang anggota tim peneliti yang tinggal di
Banda Aceh, memiliki kesan kuat bahwa wilayah kabupaten Aceh Selatan tidak menampakkan
kemajuan yang berarti dalam sepuluh tahun terakhir.
Daerah
ini sejak lama terkenal dengan komoditi pala.Studi sejarah yang dilakukan Anthony
Reid mencatat bahwa banyak saudagar di Selat Malaka pada jaman kolonial Belanda
atau sebelumnya mengambil persediaan pala dari wilayah ini.[14]Hasil
perkebunan pala sebenarnya masih cukup banyak setidaknya hingga pertengahan
tahun 2000-an. Data Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Aceh Selatan menyebutkan bahwa pada 2001 kabupaten ini mampu
menghasilkan 4.397 ton pala dengan nilai sekitar IDR 6,5 miliar. Hasil itu
diperoleh dari perkebunan pala yang luasnya mencapai 14 ribu hektar di seluruh
wilayah kabupaten. Akan tetapi serangan hama besar-besaran yang berlangsung
sejak 2001 membuat produksi pala di sana terus menurun.Pada tahun 2005,
produksi pala hanya mencapai 4.321 ton, dan tahun 2011 hanya terjadi sedikit
peningkatan produksi yaitu menjadi 4.650.Tahun 2015, kira-kira hanya 320 ton
pala dalam setahun yang dapat dipanen.[15]
Penurunan
jumlah produksi pala itu celakanya diiringi pula oleh turunnya harga.“Sekarang
harganya hanya sekitar Rp 15-17.000 per bambu.Dulu harganya bisa sampai Rp
40.000 per bambu (setara 2 liter, penulis.).Dengan musim panen yang tiga
bulan sekali, masyarakat tidak terlalu terpengaruh juga ketika krisis ekonomi
berlangsung, karena harga yang tinggi.Kalau sekarang, harganya jatuh,
masyarakat sangat terpukul,” kata T. Masrizal, Camat Trumon Timur.[16]Apalagi,
menurut hasil penelitian yang dilakukan Masrizal sendiri, lebih dari 35%
masyarakat Aceh Selatan menggantungkan perolehannya, baik langsung atau tidak
langsung, dari komoditi pala.
Selain
pala, produk perkebunan andalan lain dari Aceh Selatan adalah nilam (patchouli).Nilam Aceh dikenal sebagai
nilam terbaik, sekitar 70% kebutuhan nilam dunia berasal dari Aceh. Komoditi
ini adalah bahan dasar untuk minyak atsiri nilam melalui proses penyulingan.
Minyak atsiri nilam sendiri luas digunakan sebagai bahan untuk memproduksi
parfum, sabun, shampoo, cairan untuk aroma
therapy, juga obatuntuk penyakit kulit.Ada tiga varietas nilam Aceh, yaitu
Tapaktuan, Sidikalang dan Lhokseumawe. Di antara ketiganya, varietas Tapaktuan
merupakan yang terunggul karena mengandung kadarpatchoulol (patchouli alcohol/PA) yang tinggi.
Sentra
produksi nilam di Aceh Selatan terdapat di Kuala Batee, Kluet Utara, Kulet
Selatan, Bakongan, dan Trumon.Hingga 2004, banyak warga Aceh Selatan yang
menyandarkan penghasilan mereka dengan menjadi petani nilam.Pendapatan mereka
terbilang tinggi karena harganya yang lumayan tinggi.Saat krisis ekonomi
1998-1999 dan nilai dolar meningkat tajam, harganya bisa mencapai Rp 1.000.000 –
1.500.000 per kg, sehingga luas areal nilam pada saat itu juga bertambah karena
banyak warga yang tergiur dengan usaha perkebunan nilam.Namun, bencana tsunami
2004 praktis memerosotkan produksi nilam.[17]
Selain
pala dan nilam, komoditi lain yang juga banyak dihasilkan adalah kelapa sawit. Lahan
kelapa sawit terutama banyak terdapat di wilayah timur kabupaten, yaitu di
Kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Timur, Bakongan, Bakongan Timur,
Trumon, Trumon Timur, dan Trumon Tengah. Berbeda dengan pala yang umumnya
merupakan perkebunan rakyat, pengelolaan perkebunan kelapa sawit melibatkan dua
perusahaan perkebunan yang besar, yaitu PT Asdal Prima Lestari (APL) dan PT
Agro Sinergi Nusantara (ASN).PT ASN adalah perusahaan hasil merger dua BUMN,
yaitu PTPN-I dan PTPN-IV.
Jika
usaha perkebunan pala menghadapi masalah hama, perkebunan kelapa sawit
menghadapi persoalan konflik lahan antara perusahaan perkebunan dengan
masyarakat. Ketika konflik bersenjata dimulai pada tahun 1980-an, PT ASN
meninggalkan begitu saja lahan-lahan perkebunan mereka.Lahan yang ditinggalkan
itu kemudian digarap oleh warga setempat.Belakangan, setelah konflik mereda, PT
ASN kembali ingin menguasai lahan-lahan itu, namun warga yang sudah menggarap
menolak untuk menyerahkannya.Padahal, PT ASN memiliki HGU di Kabupaten Aceh
Selatan dan Kabupaten Subulussalam dengan total area seluas 6.111 hektar.Dari
jumlah itu, hanya 1.250 hektar yang ada di Subulussalam, sedangkan sebagian
besar lainnya berada di Aceh Selatan.Kasus serupa juga terjadi antara PT APL
dan masyarakat.[18]
Kesulitan
lain yang dihadapi dalam pengembangan sektor perkebunan ini adalah keterbatasan
lahan untuk membangun pabrik pengolahan hasil perkebunan, misalnya pabrik
kelapa sawit. Sebagian wilayah Aceh Selatan adalah daerah konservasi hutan
lindung Gunung Leuser sehingga tidak boleh dialih-fungsikan, terlebih untuk
membangun pabrik, juga harus dijaga dari potensi pencemaran industri.Oleh
karena itu, pabrik pengolahan yang bisa dibangun hanyalah yang berkapasitas
produksi kecil.Meskipun demikian, beberapa pabrik kecil milik BUMD saat ini pun
belum beroperasi lagi pada masa pasca-konflik.
Selain
hasil perkebunan, Aceh Selatan memiliki pula areal tambang, khususnya tambang bijih
besi.Tidak banyak pelaku usaha yang bergerak di bidang ini, karena memang
arealnya terbilang tidak terlalu luas.Lokasi tambang bijih besi itu terletak di
Kecamatan Kluet.Selain beberapa petambang tradisional, usaha pertambangan ini
boleh dibilang dikuasai oleh seorang pengusaha besar, yaitu Latifah Anum –
lebih dikenal dengan sebutan Ibu Anum.Perusahaannya, PT Beri Mineral Utama
(BMU), mulai beroperasi sekitar 2007-2008.Belakangan Ibu Anum harus mendekam di
penjara karena terlibat pelanggaran AMDAL, namun usaha pertambangannyatetap dilanjutkan
oleh kerabatnya.[19]
Dalam
menjalankan usaha pertambangan itu, Ibu Anum memiliki kedekatan dengan bupati,
termasuk dengan bupati saat ini, yaitu Sama Indra. Terpilihnya Sama Indra tidak
terlepas dari dukungan dana yang diberikan oleh Ibu Anum. Relasi mereka
terbangun ketika Sama Indra masih menjadi Direktur BPD, sebelum menjadi bupati.Sama
Indra memberikan kredit mudah dan besar kepada sejumlah pengusaha, termasuk Ibu
Anum, sehingga di situlah terbentuk semacam hubungan hutang budi antara para
pengusaha dan Sama Indra. Maka ketika Sama Indra mencalonkan diri menjadi
bupati, Ibu Anum dan para pengusaha lain yang pernah dibantu memperoleh kredit
membalasnya dengan menyediakan dana kampanye. Wahyu Wali, seorang narasumber
riset ini mengungkapkan, “Yang saya dengar … bahwa kalau dulu pinjam 100 juta
bisa dibantu 500 juta.Jadi ada kedekatan, gitu.Nah, itu yang terjadi.Memang
kabupaten ini rata-rata didukung oleh pengusaha yang dulu pernah dibantu
seperti itu.”[20]
Relasi
Ibu Anum juga terbangun baik dengan kalangan anggota DPRD.Ia memiliki pengaruh
yang cukup kuat terhadap proses pengambilan kebijakan dan qanun. Salah satu
faktor penting yang membuat Ibu Anum memiliki kekuatan besar adalah kedekatannya
dengan aparat keamanan dan juga mantan para pejuang GAM. “Ya, kan semua itu
bisa diginikan. Contoh, siapa yang mau ini (melawan, pen.), dia bisa bayar
aparat. Di tengah masyarakat mau ribut, ada orang GAM-nya, ya dibayar saja
orang GAM-nya agar jangan sampai bikin ribut di masyarakat,” ungkap Wahyu Wali.[21]Sayang
sekali, tidak ada informasi yang cukup jelas mengapa akhirnya Ibu Anum bisa
juga terkena hukuman penjara.
Keterangan
narasumber dan data-data tentang potensi ekonomi serta sumber daya alam Aceh
Selatan memperlihatkan bahwa kabupaten ini memiliki keterbatasan sumber daya
yang dapat didistribusikan kepada masyarakat.Meskipun Aceh Selatan dulu sempat
dikenal berjuluk daerah pala, kini potensi hasil perkebunan itu nyaris
hilang.Kalaupun ada, hanya sedikit pelaku usaha yang masih melanjutkan usaha itu.Demikian
pula nilam.Hanya kelapa sawit yang kini menjadi sumber penghasilan lumayan dari
sektor pertanian dan perkebunan.Itu pun pelakunya adalah perusahaan besar,
tidak seperti pala dan nilam yang merupakan perkebunan rakyat.Situasi seperti
itu membuat kebanyakan warga Aceh Selatan menggantungkan nasibnya kepada
pengusaha dan pemerintah.Apalagi, tidak ada kekuatan masyarakat sipil yang
dapat menyuarakan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat. “Bisa saya
bicarakan hampir 90% LSM di Aceh Selatan adalah LSM uang, 90% wartawan di Aceh
Selatan wartawan uang.Bisa saya katakan demikian…,” kata Wahyu Waly.[22]
Dalam
konteks itulah kemudian mekanisme pilkada langsung seperti yang diterapkan saat
ini menjadi satu-satunya saluran bagi masyarakat untuk menyuarakan kepentingan
mereka.Akan tetapi, karena mekanisme pilkada juga cenderung bersifat top-down,
tidak banyak pilihan yang bisa diantisipasi oleh mayarakat Aceh Selatan.Pilkada
menjadi ajang elit di Aceh Selatan untuk berebut kekuasaan dan menguasai sumber
daya yang terbatas itu. Dalam proses itu, isu-isu pembangunan ekonomi dan agama
menjadi tema yang paling umum. Namun, pada akhirnya, uang adalah penentu
kemenangan.
3. Politik elektoral: Indikasi politik kesukuan
Selepas
perdamaian 2005, para pejuangGAM mengalihkan medan pertarungan mereka ke arena
politik lokal. Sebagian besar menjadi pengurus dan anggota Partai Aceh (PA) dan
mulai mengikuti berbagai pemilu sejak 2009.Selain PA, partai lokal lainnya
adalah Partai Rakyat Aceh (PRA) dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh
(SIRA).Berbeda dengan PA, kedua partai lokal yang disebut terakhir bukan
merupakan instrumen politik baru eks-GAM.Pada pemilu legislatif 2009 PA
langsung berhasil merebut suara terbanyak dan mendudukkan 10 wakil mereka di
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK).Perolehan itu jauh melampaui hasil
yang didapat partai-partai nasional dan dua partai lokal lainnya (lihat Tabel
1).Hasil ini merefleksikan masih tetap kuatnya pengaruh eks-GAM di Aceh
Selatan.
Tabel 1
Komposisi perolehan kursi DPRK Aceh
Selatan hasil Pemilu Legislatif 2009
No
|
Partai Politik
|
Jumlah kursi
|
1
|
Partai Aceh (PA)
|
10
|
2
|
Partai Demokrat (PD)
|
4
|
3
|
Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia (PKPI)
|
4
|
4
|
Partai Golongan Karya (PG)
|
3
|
5
|
Partai Karya
Peduli Bangsa (PKPB)
|
3
|
6
|
Partai Amanat Nasional (PAN)
|
2
|
7
|
Partai Persatuan
Pembangunan (PPP)
|
1
|
8
|
Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
|
1
|
9
|
Partai Rakyat
Aceh (PRA)
|
1
|
10
|
Partai Suara Independen Rakyat Aceh
(SIRA)
|
1
|
No
|
Partai Politik
|
Jumlah kursi
|
1
|
Partai Aceh (PA)
|
5
|
2
|
Partai Demokrat (PD)
|
5
|
3
|
Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia (PKPI)
|
4
|
4
|
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
|
3
|
5
|
Partai Amanat
Nasional (PAN)
|
3
|
6
|
Partai Nasional Demokrat (Nasdem)
|
2
|
7
|
Partai Hati
Nurani Rakyat (Hanura)
|
2
|
8
|
Partai Bulan Bintang (PBB)
|
1
|
9
|
Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra)
|
1
|
10
|
Partai Golongan Karya (PG)
|
1
|
11
|
Partai PDI
Perjuangan (PDIP)
|
1
|
12
|
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
|
1
|
13
|
Partai Nasional
Aceh (PNA)
|
1
|
Kekuatan
politik eks-GAM sebenarnya telah terasa setahun sebelumnya, ketika berlangsung
pemilihan bupati (pilkada) 2008.Meskipun saat itu belum terbentuk partai lokal
secara resmi, kekuatan politik eks-GAM tersalurkan melalui jalur pencalonan
independen.Dalam putaran akhir, pasangan Husen Yusuf-Daska Aziz unggul dengan
memperoleh 54.921 suara (54,29 persen), mengalahkan pasangan kandidat H.
Azwir-Abdul Karim (PD) yang memperoleh 46.250 suara (45,71 persen).
Pada
musim pemilu berikutnya, peta politik berdasarkan kepartaian mengalami
perubahan. PA mengalami penurunan drastis dengan hanya menempatkan lima orang
wakilnya di DPRK. Penurunan ini antara lain disebabkan perpecahan di dalam PA,
yang memunculkan partai baru yaitu Partai Nasional Aceh (PNA). Akan tetapi, PNA
sendiri hanya berhasil merebut satu kursi DPRK. Artinya, kedua saluran politik
eks-GAM itu tetap saja tidak berhasil mempertahankan dominasi mereka lima tahun
sebelumnya. Di sisi lain, perolehan kursi partai lain di DPRK mengalami
peningkatan. Lihat Tabel 2.
Tabel 2
Komposisi perolehan kursi DPRK Aceh Selatan
hasil Pemilu Legislatif 2014
Menurunnya
perolehan PA dan PNA mengisyaratkan adanya faktor lain di luar faktor eks-GAM
yang mempengaruhi dinamika politik lokal. Salah satu penjelasan yang meyakinkan
yang diperoleh dari informasi di lapangan adalah faktor budaya politik
primordial. Peluang keterpilihan akan lebih ditentukan oleh kedekatan kesukuan
atau asal-usul, termasuk ikatan kekerabatan.
Menurut
Wahyu Waly, politik lokal Aceh Selatan sangat dipengaruhi oleh faktor kesukuan,
kekuatan ekonomi, dan dukungan ulama sebagai faktor pendukung. “Pertama,faktor
suku.Kalau saya melihat ego suku dulu.Tapi kalau sudah turun tengku,ulama... baru
mereka akan menurut. Misalnya, antara orang Kluet dan Bakongan yang sekarang
sedang menuntut pemekaran kabupaten.Dari segi suku atau egosentris orang Kluet
berbeda dengan orang Bakongan yang mayoritas orang Aneuk Jamee dan Aceh.Mereka
tarik-menarik menentukan calon ibukota kabupaten pemekaran karena masing-masing
merasa 'saya lebih hebat, saya lebih hebat'. Tapi setelah para ulama di sini bertemu,
duduk, semua aman. Nanti untuk masalah ibukota kita pikirkan nanti…,” kata
Wahyu Waly.[23]
Kuatnya
faktor suku dalam politik di Aceh Selatan juga diperlihatkan oleh dominasi suku
Kluet dalam kepemimpinan politik di tingkat kabupaten, terutama pada periode 1998-2013.Selama
15 tahun itu, bupati selalu berasal dari suku Kluet.Baru pada pilkada 2013 terpilih
bupati yang berasal dari suku Aceh, yaitu Haji Teuku Sama Indra, itu pun
berdomisili di Meukek. Artinya, masih belum terlalu jelas apakah kemenangan itu
disebabkan karena pergeseran kecenderungan kesukuan, ataukah karena ia cukup
dikenal oleh kalangan suku Kluet yang dominan di Kecamatan Kluet. Akan tetapi,
memang, beberapa pengamat di Aceh Selatan berpendapat bahwa masyarakat sudah
mulai tidak percaya kepada tokoh yang berasal dari suku Kluet karena selama 15
tahun orang Kluet menjabat bupati tidak ada kemajuan dan perubahan yang berarti
yang bisa dinikmati warga Aceh Selatan. Dengan mengalihkan dukungan ke orang suku
Aceh, masyarakat berharap ada perbaikan yang bisa dicapai, khususnya dalam hal
pelayanan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan.[24]
Terpilihnya
Bupati Teuku Sama Indra juga dapat ditafsirkan sebagai keinginan warga Aceh
Selatan untuk mengejar ketertinggalan mereka dari kabupaten-kabupaten
lainnya.Sebab, selama dipimpin tokoh asal suku Kluet, pembangunan lebih
diprioritaskan bagi kecamatan-kecamatan yang kebanyakan penduduknya adalah suku
Kluet.Dengan memberikan kepercayaan kepada bupati bersuku Aceh, warga berharap
pembangunan bisa lebih merata karena suku Aceh cukup merata tersebar di
berbagai kecamatan.Akan tetapi, prinsip pemerataan pembangunan itu seringkali
kurang berbasis pada kebutuhan masyarakat.Banyak program pemerintah yang dirasa
kurang tepat sasaran karena masyarakat yang mendiami Kabupaten Aceh Selatan ini
berada di dua wilayah yang berbeda, yaitu di wilayah pantai dan wilayah
pedalaman yang bergunung-gunung. Kebutuhan mereka tidak sama karena memiliki
matapencaharian yang berbeda-beda tergantung pada letak dan kondisi geografis,
meskipun kebanyakan warganya berasal dari suku yang sama.
Di
luar soal kesukuan, kemenangan Teuku Sama Indra dalam pilkada 2014 sekaligus
menunjukkan bahwa wilayah Aceh Selatan memang bukan “zona politik” Aceh. Di
kabupaten ini, ekspresi sentimen politik keacehan yang antara lain ditunjukkan
oleh keberadaan partai lokal tidak terlalu menonjol. Partai Aceh memang
berhasil menjadi mayoritas di DPRK Aceh Selatan berdasarkan hasil pemilu
legislatif, akan tetapi tidak banyak dapat berbuat pada pilkada 2014.
Ketika
mengikuti pemilihan, Teuku Sama Indra berpasangan dengan Kamarsyah dan
dicalonkan oleh koalisi beberapa partai yang dipimpin Partai Demokrat.Pasangan
itu mengalahkan pasangan M. Natsir/Zulkifli yang dicalonkan oleh Partai
Aceh.Kemenangan pasangan dari partai nasional itu mengindikasikan tidak cukup
kuatnya sentimen lokal pasca-konflik terhadap kekuatan dari luar.Fenomena ini
sedikit berbeda dengan daerah-daerah konflik di Aceh yang menunjukkan
kecenderungan berpihak pada partai lokal.
Kekuatan
ekonomi merupakan variabel kedua terpenting setelah kesukuan.Relasi dengan kelompok
pengusaha merupakan hal penting yang menentukan kemenangan atau kekalahan
kandidat.Kemenangan Teuku Sama Indra sangat ditentukan oleh relasinya yang baik
dengan para pengusaha, yang dijalinnya sejak masih menjabat sebagai Direktur
Bank Aceh.Ia memperoleh banyak dukungan dari banyak bekas pengusaha yang dulu
merupakan kreditur Bank Aceh. “Prinsip yang digunakan adalah politik balas budi,
yaitu para kreditur yang dulunya pernah terlilit hutang semasa Bupati dulu
pernah menjadi direktur bank, pada gilirannya mendukung Bupati dengan modal
ekonomi.Selanjutnya, dalam proyek pembangunan, Bupati menggunakan sebagian
kontraktor yang dulu pernah mengalami kredit macet.Metode pembangunan ini dapat
dikatakan sangat mementingkan aspek kepentingan politis dari para
elit.Kepentingan politislah yang sangat diutamakan dalam membangun Kabupaten
Aceh Selatan ini.”[25]
4. Marjinalisasi ulama dari aktivitas politik
Gambaran
tentang pengaruh keislaman yang kuat terhadap kehidupan kemasyarakatan di Aceh
Selatan ternyata tidak terlihat manakala kita mencermati kehidupan dan proses
politik di sana. Tentu saja, secara konstitusional, sebagaimana kota dan
kabupaten lainnya di Aceh, Kabupaten Aceh Selatan tunduk pada UU No 11/2006
tentang Pemerintahan Aceh yang antara lain mengatur tentang pemberlakuan
syariat Islam. Karena itu, struktur pemerintahan di kabupaten memuat pula
posisi, misalnya, Majelis Pertimbangan Ulama (MPU) tingkat kabupaten.Anggota
MPU dipilih langsung oleh bupati itu bertugas memberikan
pertimbangan-pertimbangan dari aspek keagamaan kepada bupati dalam menjalankan
pemerintahannya atau dalam pengambilan kebijakan.Pada kenyataannya, MPU di Aceh
Selatan tidak cukup memiliki kapasitas untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan
dan, “tugasnya tidak lebih dari pembaca doa di acara-acara resmi kabupaten…
setelah ‘amin’, ‘amin’, lalu pulang, selesai.”[26]
Temuan
ini menarik mengingat dari luar Aceh justru ada kesan umum tentang kuatnya
peran agama dan, karena itu, ulama di Aceh Selatan terhadap kegiatan politik.Selain
itu, tentu saja, sejarah dan tradisi Aceh sangat dipengaruhi oleh ulama.[27]Di
tingkat gampong, peran ulama memang masih menonjol, akan tetapi tidak di
tingkat politik yang lebih tinggi. Studi ini malah mengungkap bahwa secara umum
ada kesan kuat di kalangan masyarakat dan pelaku politik di sana yang
menganggap keterlibatan ulama dalam politik bisa menjadikan ulama itu hilang
keulamaannya. Karena itu, para ulama pun cenderung meninggalkan dunia politik
dan lebih tekun mengurusi pesantren-pesantren mereka.
Pilihan
untuk bersikap netral secara politik bukannya tanpa alasan. Selain karena para
ulama itu sendiri ingin merasa terbebas dari beban dan urusan duniawi,
masyarakat pada umumnya memiliki anggapan bahwa ulama seharusnya memiliki
kriteria-kriteria berikut: menguasai ilmu agama dengan baik, memiliki sikap dan
perilaku yang baik, usia cukup matang, perkataannya di dengar orang. Karena
itu, masyarakat beranggapan bahwa untuk menjadi pengayom dan penyejuk
masyarakat, para ulama seharusnya memang tidak terjun dalam dunia politik.Namun
tentu saja ada juga tokoh ulama yang terjun dalam politik dan aktif di berbagai
partai politik lokal maupun nasional.Akan tetapi ulama yang seperti ini
biasanya masih berusia muda dan memiliki pendidikan politik yang bagus.Di mata
masyarakat tokoh semacam ini tidak dipandang sebagai tokoh ulama kharismatik, melainkan
cenderung disebut sebagai tokoh muda agama. Itu sebabnya, keterlibatan ulama
muda di dalam politik ini tidak selamanya mengandalkan isu-isu agama, akan
tetapi juga berkaitan dengan penggunaan uang dan imbalan lain.Sebab, hingga
batas tertentu, “agama adalah individual… agama adalah urusan ulama dan para
santrinya.”[28]
Meskipun
demikian, ada sebab lain yang bisa menjelaskan tentang mengapa ulama tidak
terlalu memberi pengaruh terhadap kehidupan politik. Hal itu adalah, lagi-lagi,
akibat konflik.Ulama, seperti halnya para keuchik, termasuk dalam kelompok
orang yang kerap dicurigai sebagai kaki-tangan GAM, atau sebaliknya kaki-tangan
TNI.Meskipun tidak ada penangkapan ulama, tidak jarang para pemimpin dayah
didatangi dan ditanyai oleh aparat militer untuk mengorek keterangan.[29]Akibatnya,
ulama lebih memilih untuk fokus pada urusannya mengelola dayah-dayah mereka,
melakukan pengajian internal, dan mengajar agama kepada para santri.Maka,
aktivitas dan kehidupan politik di Aceh Selatan lebih banyak melibatkan para
politisi non-ulama.
Yang
menarik, kendati para ulama cenderung beraktivitas di dayah, isu agama tetap menjadi
isu penting dalam kegiatan politik pada umumnya, atau lebih-lebih saat kampanye
pemilihan bupati.Seperti sudah dijelaskan, identitas keislaman ada kalanya
menjadi lebih penting daripada keacehan.Wahyu M. Waly Putra yang pernah menjadi
salah satu kandidat dalam pilkada 2013 mengakui bahwa isu agama bisa sangat
efektif untuk mengumpulkan dukungan.Karena itu, meskipun para ulama tidak
secara langsung memainkan peran politik, secara tidak langsung ketokohan mereka
di lingkungan gampong dan dayah tetap diperhitungkan oleh para politisi sebagai
unsur penting dalam pengumpulan suara.Dalam pemilihan bupati 2013, semua
kandidat bupati berlomba-lomba datang ke berbagai dayah untuk meminta restu dan
dukungan dari para ulama pemuka dayah.
Namun,
pada akhirnya faktor yang lebih menentukan adalah uang. Wahyu Waly Putra
sendiri adalah keturunan Syekh Haji Abuya Muda Waly, ulama kharismatik yang
sangat berpengaruh di Aceh Selatan, namun ia hanya menduduki urutan keempat dalam
perolehan suara. Ketika ditanya faktor apa yang menyebabkannya tidak berhasil
memenangkan pemilihan, Wahyu dengan yakin menjawab: uang. Ia, katanya, hanya
menghabiskan sekitar Rp 2,5 miliar. Saat mengikuti pemilihan, ia memang sengaja
tidak mengandalkan uang, karena cukup percaya diri dengan modal jaringan
keluarga besar ulama dan pesantrennya. Dari jaringan itu saja Wahyu yakin suara
yang bisa diraupnya cukup banyak.Akan tetapi, pada kenyataannya, “Seorang paman
saya, misalnya, dibayar sampai Rp 300 juta (oleh kandidat pesaing) untuk setiap
1.000 suara yang bisa dikumpulkan.”[30]
6. Penutup: Prospek demokrasi lokal di Aceh Selatan
Keterbukaan
politik pasca-MoU Helsinki dan keistimewaan Aceh memberikan peluang kepada warga
Aceh Selatan untuk menikmati hak-hak dan kebebasan politik.Struktur
pemerintahan Aceh juga memberikan tempat kepada lembaga-lembaga adat termasuk
agama untuk berperan di dalam pemerintahan.Warga Aceh Selatan juga
berkesempatan untuk memanfaatkan keberadaan partai lokal sebagai alternatif
baru saluran aspirasi, di samping melalui partai-partai nasional.Semua hal itu
merupakan struktur kesempatan politik baru yang dapat membawa Kabupaten Aceh
Selatan ke arah yang lebih demokratis sembari tetap mengedepankan nilai-nilai
kekhasan Aceh, khususnya keislaman.
Pada
kenyataannya, perkembangan politik demokrasi Indonesia, termasuk di Aceh, sejauh
ini cenderung mengarah hanya pada pelaksanaan berbagai pemilihan umum,
khususnya pilkada.Dalam situasi seperti itu, berbagai institusi demokratis yang
tersedia lebih dimanfaatkan oleh para kandidat untuk memperebutkan suara
dukungan publik.Para ulama yang menjadi panutan dalam kehidupan sosial justru
terpinggirkan dalam proses itu sehingga kehilangan pengaruh. Akibatnya,
hasil-hasil pemilihan umum termasuk pilkada lebih dinikmati oleh para elit
politik.
Agar
hasil pemilihan dapat lebih memberikan manfaat bagi publik dan sesuai dengan
pola relasi ulama-warga di dalam kehidupan sosial, salah satu alternatif yang
mungkin dapat ditawarkan adalah menjadikan MPU Aceh Selatan sebagai lembaga
penyaring kandidat pemilihan umum, baik untuk proses pemilihan legislatif
maupun kepala daerah. Tawaran ini antara lain dikemukakan oleh beberapa
narasumber riset ini yang menganggap penting untuk mengembalikan peran ulama di
dalam kehidupan politik. Proses seleksi yang dilakukan secara kelembagaan oleh MPU
juga dapat menghindari anggapan dan risiko persaingan antar-ulama, sebagaimana
yang hingga kini terjadi.
-o0o-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar