Jumat, 09 Maret 2018

Demokrasi Kita Perlu Makna Baru

Dari status FB (Friends - 9 Maret 2018)

DEMOKRASI KITA PERLU MAKNA BARU

Atmosfer demokrasi kita telanjur didominasi wacana2 anti-demokrasi. Ironi.
Lebih ironis lagi, gerakan pro-demokrasi terjebak dalam pusaran arus wacana dominan itu. Tidak ada wacana dan agenda demokrasi yang genuine yang dibangun sebagai wacana penanding, kecuali respon dan reaksi terhadap akibat2 sosial yang ditimbulkan oleh wacana anti-demokrasi. Riuh-rendah tentang pluralisme, kebhinekaan, toleransi, anti-hoax, kampanye damai, lebih merupakan respon dan reaksi atas pemaksaan kebenaran sepihak, aksi2 sweeping dan persekusi, intimidasi dan provokasi. Ide2 pluralisme, toleransi, HAM, seakan menjadi 'oposisi' belaka terhadap wacana anti-demokrasi yang dominan.
Selepas 1998, satu-satunya wacana demokrasi yang sempat mengemuka adalah cara berpolitik baru untuk memilih pemimpin. Imajinasi tentang demokrasi, karena itu, terbatas dan sesempit wacana kepemiluan (termasuk turunannya hingga kini tentang pilkada). Demokrasi adalah pemilu, pemilu adalah demokrasi. Begitu singkatnya. Tak ada wacana besar lain yang mengiringi wacana kepemiluan, sehingga arena demokratisasi identik dengan arena kompetisi: berebut kepemimpinan politik untuk memastikan penguasaan atas kepentingan2 subjektif. Situasi itu bukan saja membuka jalan bagi kepentingan apa pun, tetapi juga tak menghalangi cara apa pun, demi berebut kemenangan "di dalam jalan demokrasi". Menguatnya wacana anti-demokrasi tak lain adalah produk yang niscaya belaka dari kesempitan imajinasi dan ketiadaan wacana demokrasi di luar kepemiluan dan kompetisi politik.
Demokrasi, karena itu, setidaknya harus dilihat sebagai sebuah ide untuk dua hal berbeda, yaitu ide tentang cara dan ide mengenai tujuan. Demokrasi bukan semata-mata cara mencapai tujuan, bukan pula semata-mata tujuan yang bisa dicapai dengan cara apa pun. Demokrasi adalah ide untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan rakyat melalui cara-cara yang sebesar-besarnya menurut kehendak rakyat.
Karena baik cara maupun tujuannya harus sebesar-besarnya mengikuti kepentingan umum, demokrasi memiliki elemen2 intrinsik yang dibutuhkan untuk mendukung terpenuhinya sebesar2nya kepentingan umum. Nilai dan ide2 pluralisme, perdamaian, kebebasan, kesetaraan, inklusivisme, toleransi, adalah bagian terpenting dari elemen2 intrinsik demokrasi. Maka, sesungguhnya menjadi sangat tidak masuk akal mendapati wacana anti-demokrasi sebagai wacana dominan di tengah2 proses demokrasi, dan lebih tidak masuk akal lagi melihat ide2 semacam pluralisme dan toleransi muncul sebagai 'oposisi'-nya. Situasi serba tidak masuk akal itulah yang pada gilirannya bisa memantik debat berkepanjangan yang tak jelas benar apa manfaatnya, sebagaimana misalnya yang kini tengah berlangsung: pelarangan pemakaian cadar di UIN Yogya.
Gerakan pro-demokrasi perlu segera keluar dari perangkap ketidakmasukakalan itu dengan meletakkan ide dan nilai pluralisme, toleransi, kesetaraan, kembali sebagai sederetan elemen intrinsik demokrasi. Untuk itu, wacana baru demokrasi perlu dibangun sebagai penanding wacana anti-demokrasi yang telanjur dominan. Gagasan tentang negara kesejahteraan, kemerdekaan budaya, pembangunan pendidikan dan kewarganegaraan, misalnya, adalah wacana2 demokrasi yang bisa dibangun dan dilesakkan ke tengah2 arena demokratisasi sehingga imajinasi atas demokrasi tak lagi terbatas hanya di seputar kepemiluan dan kompetisi politik.
Ide2 pluralisme, toleransi, kesetaraan, kemerdekaan, sikap inklusif, jauh lebih bermakna jika ditempatkan sebagai penopang wacana demokrasi. Ide2 itu terlalu besar untuk terus-menerus digunakan sebagai sapu untuk menyingkirkan remah2 hasil kunyahan wacana anti-demokrasi.
Memasuki babak baru setelah 20 tahun reformasi, demokrasi kita perlu makna baru.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar