Sabtu, 27 Januari 2018

Posisi Ideal DPD RI dalam Sistem Politik Indonesia

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk berdasarkan UUD 1945 (amandemen ketiga). Lembaga ini melengkapi institusi perwakilan rakyat yang sebelumnya sudah ada, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Gabungan kedua institusi perwakilan itu menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sesuai namanya, DPD diharapkan dapat menjadi saluran aspirasi masyarakat daerah, berbeda dengan DPR yang mewakili kepentingan politik berdasarkan kepartaian.

Dalam perjalanannya hingga kini, DPD boleh dibilang belum sepopuler DPR. Kedudukan dan fungsi normatifnya yang terbatas menjadi salah satu persoalan yang dihadapi lembaga perwakilan ini. Selain itu, mekanisme pemilihan anggotanya yang mengandalkan percalonan perseorangan memang membuat popularitas lembaga ini di tengah masyarakat tidaklah setinggi percalonan anggota DPR yang berbasis partai politik.

Sesungguhnya DPD memiliki peran yang tak kalah strategis dibandingkan dengan DPR. Ia memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang, bersama-sama dengan DPR dan eksekutif. Artinya, DPD berpeluang untuk menjadikan aspirasi publik sebagai ketentuan hukum positif yang mengikat.

Dari sisi keanggotaan, para anggota DPD sebenarnya memiliki basis konstituen yang lebih jelas ketimbang anggota DPR. Anggota DPD adalah warga negara yang memang berdomisili di daerah tempatnya dipilih, dan karena itu memiliki keterikatan langsung dengan warga-warga yang diwakilinya. Hal itu jelas berbeda dengan anggota DPR yang berasal dari partai, yang dicalonkan oleh partai dan dipilih di dapil-dapil yang belum tentu dikenal oleh warga setempat. Karena itu, DPD sesungguhnya berada dalam posisi yang sangat strategis untuk mengedepankan kepentingan warga (publik) daerah dalam proses pengambilan kebijakan-kebijakan nasional.

Dalam konteks itu, DPD dapat dilihat sebagai lembaga strategis yang menyeimbangkan hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah. Di masa lalu, hubungan antara pusat dan daerah merupakan salah satu masalah serius yang terus-menerus dihadapi negara ini. Terpusatnya kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan di tangan pemerintah pusat kerapkali menempatkan kepentingan warga daerah di bawah kepentingan para pemegang kekuasaan pemerintah pusat di Jakarta. Warga dan pemerintahan daerah semata-mata menjadi penyumbang segala sumber daya bagi kepentingan pemerintah pusat, untuk kemudian menjadi objek kebijakan yang bersifat nasional. Ketimpangan relasi-kuasa seperti itu pada gilirannya bukan saja menimbulkan ketegangan-ketegangan antara pemerintahan pusat dan warga daerah, akan tetapi juga dapat dilihat sebagai ketidakadilan antar-daerah. Daerah yang merasa memberikan kontribusi besar dalam kebijakan daerah merasa berhak memperoleh manfaat yang lebih besar. Sebaliknya, daerah yang secara natural memang tidak cukup memiliki sumber daya kerapkali tidak diakomodasi dalam kebijakan nasional. Akibatnya, kebijakan nasional cenderung memberikan fasilitas dan keuntungan bagi daerah-daerah tertentu, dan di saat yang sama mengabaikan kepentingan dan aspirasi masyarakat di daerah yang lain.

Akan tetapi, kompleksitas hubungan antar-daerah dapat pula terjadi dalam konteks situasi yang berbeda. Daerah-daerah yang merasa memiliki kekayaan alam yang melimpah sering merasa menjadi “sapi perah” karena perolehan dari daerahnya hanya dapat dirasakan sangat sedikit manfaatnya. Sebagian besar perolehan hasil sumber daya dikelola oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang dirumuskan secara sepihak oleh pemerintahan pusat. Situasi seperti ini turut melahirkan faktor penyebab konflik dan ketegangan di beberapa daerah, seperti di Papua dan Aceh.

Melalui penataan politik, persoalan ketegangan hubungan pusat dan daerah itu sudah coba diatasi dengan pemberlakuan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah itu telah mengalihkan banyak kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah pusat ke tangan pemerintah daerah. Sentralisasi berganti menjadi desentralisasi. Kebijakan politik seperti itu memberikan keleluasaan bagi segenap pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan secara mandiri untuk mengelola segala sumber daya yang ada di daerahnya masing-masing. Pengelolaan politik seperti itu terbukti telah mampu menurunkan ketegangan antara daerah dan pusat, sekaligus memberikan kesempatan yang lebih besar kepada warga di tingkat daerah untuk memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya yang mereka miliki.

Akan tetapi, penataan politik melalui kebijakan otonomi daerah berpotensi menimbulkan masalah lain, yaitu ketimpangan antar-daerah. Semakin tinggi dan bervariasinya ketimpangan antar-daerah tentu akan menyulitkan pengambilan kebijakan-kebijakan di tingkat nasional. Cara paling efektif untuk mengatasi kesulitan itu adalah dengan mendengarkan dan melibatkan secara langsung warga daerah dalam proses pengambilan kebijakan. Dalam situasi seperti itulah peran dan posisi DPD sebagai lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat daerah menjadi sangat penting dan strategis.

Secara politik, keberadaan DPD juga menjadi kunci penting bagi penguatan integrasi nasional. Sebagai sebuah lembaga yang berada di tingkat nasional, DPD menjadi simbol yang menandakan adanya pengikat seluruh daerah di Indonesia.

Karena posisi dan peran yang sangat strategis seperti itu, sudah seharusnya DPD memperoleh kesempatan yang lebih besar dalam proses-proses pengambilan kebijakan di tingkat nasional. DPD sudah selayaknya diikutsertakan dalam setiap proses pembentukan Undang-undang agar segala kebijakan nasional dapat disinkronkan dengan kepentingan dan aspirasi warga daerah. Hal ini sangat penting untuk mencegah lahirnya kebijakan-kebijakan yang berorientasi kepentingan politik pragmatis yang dikedepankan partai-partai politik di DPR.

-o0o-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar