Senin, 09 Juni 2008

Insiden Monas, Ahmadiyah, dan Munarman

Oleh: Willy Purna Samadhi

Opini, Harian Jurnal Nasional, 9 Juni 2008


Hampir sepekan peristiwa Monas berlalu, polisi masih belum berhasil menangkap Munarman. Tokoh yang baru disebut ini bergelar Panglima Laskar Pembela Islam, laskar yang melakukan penyerangan di Monas itu. Jejak Munarman tak berbekas setelah ia sempat menggelar konferensi pers dan menyatakan kesiapannya untuk bertanggung jawab. Hanya Rizieq Shihab, Ketua FPI, dan anak buahnya yang kini sudah diperiksa dan ditetapkan menjadi tersangka oleh polisi.

Kamis (5/6), sejumlah media massa memperoleh rekaman video pernyataan Munarman. Dalam rekaman berdurasi sekitar tujuh menit itu Munarman menyatakan kesiapannya untuk mendatangi (bukan menyerahkan diri) Mabes Polri jika pemerintah SBY membubarkan Ahmadiyah. Ia juga mempersoalkan eksistensi dan beroperasinya proyek laboratorium kesehatan milik Angkatan Laut AS, Namru-2, di Indonesia. Selain itu, Munarman juga menuding kelompok AKKBB disusupi oleh aktivis-aktivis yang menjadi agen imperialisme asing. Mereka, kata Munarman, adalah orang-orang yang melepaskan Timor Timur dari NKRI dengan cara menjualnya ke pihak asing.

Saya tidak tahu apakah hal-hal itu memang benar-benar menjadi motif di balik penyerangan dan aksi kekerasan terhadap AKKBB. Hingga sehari setelah peristiwa Monas, dalam dua kali konferensi pers, Munarman dan Rizieq Shihab serta kelompoknya hanya menyebut soal Ahmadiyah. Soal Ahmadiyah itu pula yang cenderung mendominasi berbagai pernyataan yang muncul belakangan ini. Pesannya jelas: Ahmadiyah harus dibubarkan jika aksi kekerasan tidak ingin berlanjut.

Argumentasi itu, bagi saya, sungguh tak berdasar. Tak ada alasan mengaitkan penyerahan diri Munarman dengan persoalan Ahmadiyah. Argumentasi bahwa aksi penyerangan ke AKKBB dilatarbelakangi oleh ketidakjelasan sikap pemerintah terhadap Ahmadiyah bukan saja tak berdasar, tapi juga sungguh konyol. Bagaimana jalan pikiran yang sehat bisa memahami bahwa kekesalan terhadap pemerintah harus diekspresikan melalui penyerangan terhadap pihak lain, dalam hal ini AKKBB? Jika argumentasi semacam itu bisa dibenarkan, negeri ini bisa menjadi luluh-lantak karena kekesalan terhadap pemerintah yang menaikkan harga BBM, misalnya, boleh juga ditumpahkan ke pihak mana pun, dengan cara apa pun!

Dalam video yang dikirimkan ke berbagai media, Munarman sekali lagi menyatakan kesiapannya untuk menyerahkan diri jika pemerintah sudah membubarkan Ahmadiyah. Ia juga mempersoalkan pengoperasian laboratorium kesehatan Namru-2 yang dijalankan oleh Angkatan Laut AS di Indonesia. Ini adalah argumentasi-argumentasi politis. Dari segi hukum, ini namanya mempertautkan masalah-masalah yang tak saling mengait. Bagaimana logika hukum yang sehat bisa memaklumi bahwa kedua persoalan itu bisa menjadi pembenaran bagi tindak kekerasan yang notabene dilakukan terhadap pihak lain? Jika argumentasi semacam itu diterima, negeri ini ini pun akan luluh-lantak juga. Setiap orang berhak menolak tindakan hukum karena beralasan pemerintah atau aparat hukum tak juga bersikap tegas terhadap praktik illegal logging, terhadap praktik pelecehan seksual, terhadap praktik korupsi, dan berbagai alasan lainnya! Jika begitu, betapa kacau-balaunya negeri ini.

Jelas yang terjadi sekarang adalah perang wacana. Dalam kasus seperti ini, perang wacana sebenarnya adalah hal yang normal. Akan tetapi perang wacana ini tidak boleh mencampuri apalagi mempengaruhi polisi dalam menegakkan hukum. Kepentingan-kepentingan politik, apa pun politik itu, harus dikesampingkan dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan polisi, termasuk kelak dalam proses penuntutan yang dilakukan kejaksaan dan di dalam proses persidangan.

Aksi kekerasan yang dilakukan harus diganjar dengan hukuman yang setimpal. Soal Ahmadiyah adalah soal yang lain. Soal Namru-2 adalah perkara yang berbeda sama sekali. Kedua-duanya mungkin saja bisa dipersoalkan, sama mungkinnya untuk tidak dipersoalkan, tetapi bukan dengan cara melakukan kekerasan terhadap AKKBB. Kedua-duanya mungkin saja bisa dipersoalkan secara hukum, tetapi tentulah pihak yang paling tepat dipersoalkan adalah pemerintah. Menyerang pihak lain adalah tindakan yang selama ini disebut aksi main hakim sendiri. Kita tahu, aksi main hakim sendiri jelas-jelas adalah pelanggaran dan pengabaian atas prinsip praduga tak bersalah.

Demi keadilan, semoga polisi bisa segera menemukan dan menangkap Munarman. Semakin lama perburuannya, persoalan ini semakin menjadi perang wacana. Kepentingan-kepentingan politik semakin mewarnai proses penegakan hukum, sehingga semakin besar kemungkinan duduk persoalannya bergeser.

Perang wacana yang berkepanjangan juga bisa mengakibatkan perbenturan baru di antara berbagai pihak yang berkepentingan. Perang wacana juga berpotensi mengundang partisipasi kelompok-kelompok baru yang melihat ada kesempatan memperoleh keuntungan dari persoalan ini. Kita tentu tidak ingin itu terjadi.

Maka, untuk sekarang ini, hal terpenting yang harus diselesaikan adalah adanya tindakan hukum yang tegas terhadap para pelaku aksi kekerasan di Monas 1 Juni 2008 yang lalu, termasuk Munarman. Polisi tak boleh ragu dan terpengaruh wacana yang berkembang di luar. Sebagai aparat negara, kiranya cukup bagi polisi untuk tunduk pada pesan Presiden SBY: negara tak boleh kalah! ∎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar