Kamis, 08 Mei 2008

Kelompok Elite Dominasi Pintu Representasi Alternatif

Opini Jurnal Nasional
Jakarta | Kamis, 08 Mei 2008 


Sejak sepuluh tahun khususnya empat tahun terakhir, kehidupan berdemokrasi telah tumbuh dan mekar. Otonomi daerah dan pemilihan umum langsung adalah beberapa contoh yang menunjukkan hal tersebut. Namun, tidak berarti demokrasi telah mencapai titik kulminasi. Demokrasi membutuhkan penyempurnaan terus-menerus. Satu hal paling penting yang mesti diperbaiki adalah prinsip representasi atau keterwakilan publik. Hal ini penting dilakukan di tengah sinyalemen bahwa demokrasi telah dibajak oleh elite partai politik. Rekomendasi itu disampaikan Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi, Demos, dari hasil survei yang diluncurkan beberapa hari yang lalu. Apa saja hasil penelitian dan rekomendasinya? Berikut, perbincangan Very Herdiman dari Harian Jurnal Nasional dengan Deputi Riset Demos,Willy Purna Samadhi


Apa saja hasil penelitian yang menarik disampaikan? 

Yang paling menonjol untuk dikatakan adalah memang ada kemajuan demokrasi secara umum. Walau memang bukan berarti sudah bagus, karena masih ada hal yang memprihatinkan. Dari data yang kita peroleh, pertumbuhan demokrasi yang bagus itu masih diiringi dengan menurunnya berbagai kualitas kebebasan dasar seperti kebebasan berserikat, beragama, berbicara dan terutama kebebasan mendirikan partai politik. Tapi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (2004), memang perkembangannya sudah bagus.

Apa saja indikator dari perkembangan demokrasi yang bagus tersebut? 

Pertumbuhan yang bagus itu misalnya adalah munculnya perbaikan-perbaikan pada aspek manajemen pemerintahan, seperti rule of law, kepatuhan para pejabat pada hukum, kesetaraan di depan hukum, dan antikorupsi. Hal yang berkaitan dengan aspek manajerial pemerintahan menunjukkan ada perbaikan dari sebelumnya. 

Apa pemicu munculnya perbaikan tersebut? 

Survei kami memang tidak didesain untuk menjawab pertanyaan mengapa. Tapi melalui analisis, ada dua kemungkinan yang bisa disampaikan. Pertama, karena pemerintahan SBY-JK memang sejak awal tampaknya membenahi aspek pemerintahan ini. Pada pidato pertamanya di Cikeas, Presiden SBY mengatakan, melakukan pemberantasan korupsi mulai dari halaman rumahnya sendiri. Dan itulah yang menjadi fokus pemerintahan sekarang. Kedua, karena informan kami ada di seluruh provinsi. Dan karena itu, penilaian mereka dipengaruhi oleh kinerja pemerintahan daerahnya. Bisa jadi perbaikan itu dilakukan pemerintahan daerah. 

Bukankah pendirian partai sudah bebas? 

Sejak satu atau dua tahun terakhir, khsususnya sejak keluarnya UU Parpol baru, memang secara prinsip orang bebas mendirikan partai. Tapi di sisi lain, secara substansial, pendirian partai dipersulit dengan berbagai persyaratan. Boleh dibilang hanya orang yang punya uang yang bisa mendirikan partai. Hal kedua, sejak dua tahun belakangan muncul gagasan penyederhanaan partai. Gagasan ini dilihat sebagai upaya menghambat pendirian partai. Ketiga, gagasan mendirikan partai lokal tidak diakomodasi dalam UU Parpol baru. Jadi, memang benar orang bebas mendirikan partai tapi secara substansial masih dipersulit. 

Apa hal menarik terkait isu pemilihan kepala daerah langsung? 

Dari data yang kita peroleh, yang sangat dominan dalam pilkada adalah faktor etnisitas. Agama bahkan tidak terlalu menonojol. Tapi etnisitas yang kemudian kita tafsirkan sebagai penggunaan sentimen etnisitas untuk memobilisasi dukungan, atau juga dalam konteks yang lebih besar yakni keharusan putra daerah yang memimpin. Dalam konteks demokrasi tentu hal itu memprihatinkan karena menurut kami, seharusnya demokrasi berbasis pada kewarganegaraan. Artinya, pengakuan terhadap kesetaraan warga negara. Kalau kemudian etnisitas digunakan untuk kepentingan politik dan celakanya digunakan untuk kepentingan politik atas nama demokrasi, maka itu memprihatinkan. 

Mengapa etnisitas itu muncul? 

Jawaban yang paling mudah adalah, itulah cara yang paling gampang untuk memobilisasi dukungan. Secara natural orang akan lebih percaya kepada orang yang lebih dekat, dan itu mudah sekali dimobilisasi. Tapi kita juga bisa mengaitkannya dengan kenyataan bahwa hal itu terkait dengan konsolidasi elitis yang sudah menjadi-jadi. Hal itu menunjukkan demokrasi telah dimonopoli kelompok elite. Maka sangat mudah kemudian mereka mencari jalan pintas untuk merebut dukungan dari kelompok etnis. 

Apa rekomendasi survei yang harus dilakukan? 

Di samping menurunnya kebebasan dasar, yang terjadi juga adalah buruknya kualitas representasi. Di mana kelompok elite sangat mendominasi dan menutup pintu bagi representasi alternatif. Tapi di sisi lain juga adalah, ada persoalan pada kelompok alternatif yakni begitu terfragmentasinya kelompok ini. Sehingga mereka gagal mengonsolidasikan diri sebagai satu kekuatan alternatif yang bisa menandingi kelompok yang dominan sekarang. 

Apa tawaran solusinya? 

Atas dasar itu kami merekomendasikan agar perlunya dibangun blok-blok politik untuk menjembatani pada level horizontal, dengan menciptakan kekuatan atau kelompok alternatif yang datang dari bawah, dari civil society, yang selama ini terfragmentasi. Dengan blok politik ini, kerja sama antara kelompok civil society yang selama ini bergerak sektoral bisa bersatu. Dan pada tahap berikutnya, mereka bisa menjadi penghubung yang efektif antara kekuatan kelompok alternatif di tingkat bawah dengan kelompok politik yang terorganisasi di tingkat negara. Seperti partai politik atau parlemen. Blok politik ini dimaksudkan untuk membuka satu ruang baru di tengah-tengah sebagai jembatan untuk menyalurkan kepentingan politik di tingkat bawah yang selama ini terabaikan karena tertutupnya representasi. Sehingga kemudian kepentingan itu bisa menjadi agenda politik di tingkat negara.∎

Tidak ada komentar:

Posting Komentar