Deputi Direktur Demos
SETELAH sepuluh tahun reformasi, bagaimana situasi demokrasi di Kalimantan Selatan? Besok (3 Juli 2008), sebuah seminar publik di Banjarmasin akan mencoba memberikan jawabannya. Demos, sebuah lembaga riset yang berbasis di Jakarta, akan memaparkan temuan survei nasional mereka, termasuk secara khusus menyoroti situasi, kondisi, serta problematika demokratisasi di Kalimantan Selatan.
Secara umum, temuan survei nasional Demos memperlihatkan hasil yang cukup menggembirakan. Di tingkat nasional, tim peneliti Demos menyimpulkan ada kemajuan dalam proses demokratisasi. Menurut perhitungan lembaga ini, skor indeks demokrasi Indonesia saat ini adalah 46, atau naik 9 angka dari indeks hasil survey serupa yang dilakukan pada tahun 2004. Kendati begitu, situasi demokrasi sekarang masih tidak terlalu menggembirakan, mengingat rentang skor indeks adalah 0-100.
Faktor penting yang memperbesar angka indeks demokrasi itu adalah adanya perbaikan signifikan pada kinerja berbagai perangkat demokrasi yang berkaitan dengan manajemen pemerintahan. Secara rata-rata, delapan perangkat demokrasi dalam kelompok perangkat ini naik indeksnya dari 22 menjadi 41, atau hampir 100%. Kemajuan yang amat pesat nampak terutama dalam hal kepatuhan pejabat pemerintah dan pejabat publik terhadap hukum (rule of law), kesetaraan di hadapan hukum, serta independensi pemerintah dari kelompok kepentingan yang kuat, kapasitas untuk menghapuskan korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan. Satu-satunya aspek manajerial pemerintahan yang perkembangannya di bawah 50 persen adalah desentralisasi pemerintahan secara demokratis menyangkut segala hal tanpa campur tangan pemerintah pusat.
Kendati mengalami peningkatan yang sangat signifikan, aspek manajerial pemerintahan itu pun tidak lantas menggambarkan aspek manajerial pemerintahan saat ini sudah berada dalam kondisi yang baik. Data Demos pada survey empat tahun lalu memperlihatkan aspek ini tergolong buruk sekali. Saat ini, indeks rata-rata untuk aspek manajerial pemerintahan memiliki indeks 41, atau masih di bawah nilai tengah.
Sayangnya, perbaikan pada aspek manajerial pemerintahan itu tidak diikuti oleh perbaikan pada aspek-aspek lainnya. Berdasarkan hasil survey tersebut, proses demokratisasi belakangan ini justru ditandai oleh mandegnya atau bahkan memburuknya kinerja aspek-aspek fundamental demokrasi. Aspek representasi dan partisipasi, yang pada survey sebelumnya diketahui memiliki kinerja yang buruk, saat ini tak kunung mengalami perbaikan. Demokratisasi juga kelihatannya tidak cukup menyentuh aspek hak-hak sosial dan ekonomi, termasuk soal kemandirian negara.
Yang paling mengkhawatirkan, perkembangan selama empat tahun terakhir memperlihatkan adanya kemerosotan dalam aspek kebebasan dasar dan hak-hak sipil-politik. Padahal, aspek kebebasan dasar ini sebelumnya menjadi modal yang paling utama dalam proses demokratisasi di negeri ini sejak jatuhnya Orde Baru tahun 1998.
Hal ini jelas mengkhawatirkan. Walaupun di satu sisi kita bisa menyaksikan adanya geliat demokratisasi menuju perbaikan, di lain sisi kita mendapati bahwa perbaikan-perbaikan itu berlangsung di atas fondasi yang memburuk. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Analisis yang dilakukan tim Demos menyimpulkan ada tiga penyebabnya. Pertama, upaya-upaya membangun demokrasi lebih ditekankan pada pembenahan di bidang institusional dan simbolik. Kemajuan demokrasi memang nampak, akan tetapi tidak cukup menyentuh aspek-aspek substansial semacam representasi. Proses demokratisasi tampaknya lebih difokuskan pada berbagai upaya perbaikan prosedur dan mekanisme. Data Demos sendiri memang memperlihatkan bahwa secara umum perangkat demokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan adil merupakan salah satu perangkat demokrasi yang terbaik, bahkan sejak 2004. Pada survei 2004, perangkat pemilihan umum ini memiliki angka indeks 63, sedangkan pada survei terakhir menjadi 64.
Akan tetapi, ironis jadinya kalau kita lihat bahwa kinerja pemilihan umum yang relatif baik itu tidak membuahkan perbaikan pada aspek representasi dan partisipasi publik. Menurut data Demos, 7 dari 11 perangkat demokrasi yang memperlihatkan kinerja paling buruk adalah perangkat-perangkat yang tergolong dalam aspek representasi dan partisipasi publik. Hal ini sekali lagi jelas membuktikan bahwa upaya perbaikan prosedural semata tidaklah cukup untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
Sebab yang kedua adalah adanya kecenderungan kuat untuk mengarahkan proses demokratisasi menuju “politik keteraturan”. Kecenderungan ini mula-mula muncul di kalangan kelompok elit politik yang tak kunjung meraih kemenangan melalui proses demokrasi. Gagasan dasar mengenai “politik keteraturan” ini adalah perlunya prosedur-prosedur demokrasi dibuat sesederhana mungkin, efisien, murah, dan aman. Kelompok ini berargumen bahwa proses demokrasi yang berlangsung selama ini terlalu rumit dan hanya berujung pada maraknya praktek politik-uang dan konflik. Proses pilkada yang amat dipengaruhi oleh politik-uang dan mengakibatkan konflik antar-pendukung, antara lain, menjadi contoh yang kerap dikemukakan untuk mendukung perlunya “politik keteraturan”. Salah satu gagasan konkret dalam hal ini adalah penyederhanaan partai politik.
Sayangnya, perbaikan pada aspek manajerial pemerintahan itu tidak diikuti oleh perbaikan pada aspek-aspek lainnya. Berdasarkan hasil survey tersebut, proses demokratisasi belakangan ini justru ditandai oleh mandegnya atau bahkan memburuknya kinerja aspek-aspek fundamental demokrasi. Aspek representasi dan partisipasi, yang pada survey sebelumnya diketahui memiliki kinerja yang buruk, saat ini tak kunung mengalami perbaikan. Demokratisasi juga kelihatannya tidak cukup menyentuh aspek hak-hak sosial dan ekonomi, termasuk soal kemandirian negara.
Yang paling mengkhawatirkan, perkembangan selama empat tahun terakhir memperlihatkan adanya kemerosotan dalam aspek kebebasan dasar dan hak-hak sipil-politik. Padahal, aspek kebebasan dasar ini sebelumnya menjadi modal yang paling utama dalam proses demokratisasi di negeri ini sejak jatuhnya Orde Baru tahun 1998.
Hal ini jelas mengkhawatirkan. Walaupun di satu sisi kita bisa menyaksikan adanya geliat demokratisasi menuju perbaikan, di lain sisi kita mendapati bahwa perbaikan-perbaikan itu berlangsung di atas fondasi yang memburuk. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Analisis yang dilakukan tim Demos menyimpulkan ada tiga penyebabnya. Pertama, upaya-upaya membangun demokrasi lebih ditekankan pada pembenahan di bidang institusional dan simbolik. Kemajuan demokrasi memang nampak, akan tetapi tidak cukup menyentuh aspek-aspek substansial semacam representasi. Proses demokratisasi tampaknya lebih difokuskan pada berbagai upaya perbaikan prosedur dan mekanisme. Data Demos sendiri memang memperlihatkan bahwa secara umum perangkat demokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum yang jujur dan adil merupakan salah satu perangkat demokrasi yang terbaik, bahkan sejak 2004. Pada survei 2004, perangkat pemilihan umum ini memiliki angka indeks 63, sedangkan pada survei terakhir menjadi 64.
Akan tetapi, ironis jadinya kalau kita lihat bahwa kinerja pemilihan umum yang relatif baik itu tidak membuahkan perbaikan pada aspek representasi dan partisipasi publik. Menurut data Demos, 7 dari 11 perangkat demokrasi yang memperlihatkan kinerja paling buruk adalah perangkat-perangkat yang tergolong dalam aspek representasi dan partisipasi publik. Hal ini sekali lagi jelas membuktikan bahwa upaya perbaikan prosedural semata tidaklah cukup untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
Sebab yang kedua adalah adanya kecenderungan kuat untuk mengarahkan proses demokratisasi menuju “politik keteraturan”. Kecenderungan ini mula-mula muncul di kalangan kelompok elit politik yang tak kunjung meraih kemenangan melalui proses demokrasi. Gagasan dasar mengenai “politik keteraturan” ini adalah perlunya prosedur-prosedur demokrasi dibuat sesederhana mungkin, efisien, murah, dan aman. Kelompok ini berargumen bahwa proses demokrasi yang berlangsung selama ini terlalu rumit dan hanya berujung pada maraknya praktek politik-uang dan konflik. Proses pilkada yang amat dipengaruhi oleh politik-uang dan mengakibatkan konflik antar-pendukung, antara lain, menjadi contoh yang kerap dikemukakan untuk mendukung perlunya “politik keteraturan”. Salah satu gagasan konkret dalam hal ini adalah penyederhanaan partai politik.
Tentu saja, “politik keteraturan” bukanlah solusi yang tepat untuk memperbaiki demokrasi. Jika dikaitkan dengan fakta buruknya aspek representasi dan partisipasi publik, gagasan ini bisa-bisa malah akan memperburuk situasi. Bagaimanapun, representasi dan partisipasi publik adalah salah satu aspek demokrasi yang paling fundamental. Mengabaikan perbaikan pada aspek ini justru ber-risiko meruntuhkan demokrasi.
Hal yang ketiga adalah gagalnya berbagai upaya yang dilakukan aktor-aktor alternatif untuk memperbaiki kualitas representasi melalui jalan-pintas. Survei Demos tahun 2003-2004 memang merekomendasikan perlunya aktor-aktor alternatif melakukan berbagai upaya terobosan untuk menguasai atau setidaknya memasuki panggung politik. Berdasarkan hasil survei ketika itu, Demos melihat gejala apolitis di kalangan aktor-aktor alternatif sebagai salah satu faktor utama yang membuat proses-proses politik a la demokrasi dikuasai dan dimonopoli segelintir elit. Akibatnya, proses demokratisasi gagal menciptakan situasi representasi yang baik. Itu sebabnya aktor-aktor alternatif diharapkan memasuki dan aktif di dunia politik agar aspirasi publik bisa lebih disuarakan di dalam proses-proses politik.
Pada kenyataannya, beberapa riset yang dilakukan Demos antara tahun 2004-2007 memperlihatkan bahwa upaya-upaya terobosan politik yang dilakukan aktor-aktor alternatif cenderung berupa jalan-pintas. Gambaran serupa diperlihatkan pula oleh hasil survei terakhir tahun 2007. Ada sebagian aktor alternatif yang langsung masuk ke partai politik, ada yang mencoba berkompetisi di pilkada, ada yang mengupayakan pembentukan partai politik baru, ada pula yang mencoba mengambil peran di dalam proses formal penyusunan perundang-undangan di bidang politik. Sayangnya, semua upaya tersebut relatif ditempuh dengan “meninggalkan” basis-basis konstituen gerakan sosial, dan bertindak sendiri-sendiri “atas nama” kelompok-kelompok yang selama ini menjadi basis kekuatan mereka. Akibatnya, aktor alternatif ini pun gagal membangun posisi-tawar yang cukup baik saat berhadapan dengan kelompok-kelompok elit yang sudah terlebih dahulu ada di dalam arena politik. Lebih dari itu, sebagian aktor alternatif justru terjebak dalam populisme atau bahkan elitisme politik.
Menurut analisis Demos, situasi seperti ini tercipta karena adanya celah (gap) yang menganga antara gerakan politik dan gerakan sosial. Keduanya tampak masih terpisah, sehingga aspirasi dan kepentingan yang telah terjaring melalui berbagai gerakan sosial akhirnya terabaikan ketika para aktivis gerakan sosial mencoba memasuki gerakan politik. Itu sebabnya survei Demos akhirnya merekomendasikan perlunya upaya alternatif untuk mengombinasikan kekuatan-kekuatan gerakan sosial dengan aktivitas-aktivitas politik formal. Sekali lagi, upaya ini diharapkan bisa memicu perbaikan representasi dalam proses demokratisasi di masa depan.∎
Tidak ada komentar:
Posting Komentar