RE-DENOMINASI. Kata ini mendadak popular sejak sekitar dua pekan lalu. Adalah Darmin Nasution, Gubernur BI, yang menjadikan 'single' ini begitu hits. Dengan alasan penyederhanaan pembukuan keuangan, ia menggagas pengurangan angka nol dalam bilangan mata uang rupiah, tanpa mengubah nilai mata uangnya. Dengan begitu, penulisan IDR 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) bisa disederhanakan menjadi Rp 25.000 (dua puluh kima ribu rupiah), misalnya. Atau, dalam contoh yang lebih ekstrem, Rp 100.000.000.000.000 (seratus triliun rupiah) menjadi lebih sederhana jika ditulis Rp 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah). Masuk akal juga.
Tapi tunggu dulu. Beberapa hari yang lalu, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, menyentil gagasan itu dengan logika 'wong cilik'. Bu Mega bertanya, "Lha kalau seratus perak mau disederhanakan jadi bagaimana?" Hahaa... betul juga. Kalau mengikuti begitu saja cara perubahan penulisan seperti contoh angka-angka besar di atas, sulit juga membayangkan bagaimana kita menyebut Rp 100 setelah denominasi. Secara bercanda, Bu Mega mengimajinasikan percakapan pembeli-penjual di pasar. "Kembaliannya nol koma satu rupiah...," begitu katanya. Lucu juga.
Saya sendiri awalnya tidak terlalu hirau dengan masalah ini. Beberapa tempat makan atau cafe yang pernah saya datangi sudah sejak lama menerapkan "re-denominasi". Datang saja ke Starbuck, misalnya. Di sana kita bisa melihat dengan jelas papan menu berbagai pilihan kopi yang dilengkapi dengan harga pada setiap item-nya. Capucino, 25; Java Frost, 30; Latte, 25; dst. Tentu saja, yang dimaksud oleh tulisan-tulisan di papan itu bukanlah segelas capucino berharga Rp 25, melainkan Rp 25.000. Tetapi tidak ada masalah berarti yang saya alami setiap kali berkunjung ke sana, karena memang "diam-diam" pembeli dan pihak Starbuck menyepakati "denominasi" dalam daftar menu dan harga itu.
Namun begitu, sejak gagasan re-denominasi itu dipopularkan oleh Pak Darmin (dan saya baru mengetahui praktik di Starbuck itu lamat-lamat mirip dengan istilah redenominasi), saya jadi gelisah juga. Bukan, bukan kekacauan penggunaan peristilahan antara re-denominasi dan sanering yang membuat saya gelisah. Saya beruntung cepat bisa memahami perbedaan kedua istilah itu, sehingga tidak sempat dibuat shock oleh beberapa pemberitaan di media massa yang awalnya mengabarkan akan ada sanering. Yang membuat saya gelisah adalah situasi psikologis "orang-orang biasa" pada saat kebijakan redenominasi itu kelak diterapkan. Pengalaman saya ngopi di Starbuck mengingatkan saya betapa ampuhnya "re-denominasi" itu memengaruhi perilaku belanja saya. Harga segelas kopi yang Rp 30.000 atau 35.000 menjadi "biasa" saja karena di kepala saya hanya terbayang angka 30 dan 35, bukan 30 ribu dan 35 ribu. Pendek kata, "denominasi" a la Starbuck itu berhasil meringankan tangan pembelinya untuk merogoh koceknya tanpa berpikir.
Lalu, coba bayangkan apa yang akan dialami oleh "orang-orang biasa" nanti ketika redenominasi dilakukan. Seikat kangkung di tukang sayur keliling yang saat ini, katakanlah, berharga Rp 1.500 (seribu lima ratus rupiah), kelak akan dijual dengan harga (baru) sebesar Rp 1,5 (satu setengah rupiah). Tak ada yang salah, memang, karena harga barang ikut menyesuaikan dengan nilai uang. Sekali lagi, re-denominasi bukan sanering. Tetapi, tidakkah harga Rp 1,5 itu secara psikologis akan memengaruhi para ibu, atau siapa pun yang membeli kangkung itu, sehingga menimbulkan kesan bahwa harga kangkung itu sedemikian murahnya? Lalu, jika saat ini ibu-ibu mungkin sudah akan ngomel jika si penjual sayur menaikkan harga kangkung itu menjadi Rp 1.700 seikat, kelak ibu-ibu pembeli kangkung boleh jadi "tenang-tenang" saja manakala harga kangkung naik dari Rp 1,5 (satu setengah rupiah) menjadi Rp 2 (dua rupiah). Lha, kenaikannya tak seberapa, bukan? Meskipun sesungguhnya kenaikannya (menurut hitungan sekarang) adalah lima ratus rupiah, re-denominasi membuat kenaikannya hanya setengah rupiah...
Hmm... Kalau begitu, re-denominasi memang bukan perkara sederhana. Re-denominasi memang menyederhanakan, tapi pada praktiknya akan mendatangkan kerepotan sendiri. Selain akan ada kerepotan seperti yang dibayangkan oleh Bu Mega, re-denominasi juga berpotensi mempercepat dan mempertinggi kenaikan harga-harga barang tanpa terasa. Meskipun nilai uang tidak berubah, hanya menjadi semacam "bahasa" yang baru, bagaimana kita bisa yakin orang-orang akan dengan mudah menggunakan "bahasa" yang baru itu?
Saya yakin re-denominasi memang tidaklah sesederhana yang bisa saya bayangkan. Di balik istilah itu, secara teori pastilah terurai deskripsi, indikasi, tolok ukur, efek samping, dan sebagainya. Pak Darmin selaku pelantun pertama 'single' itu pasti tahu betul seluk-beluk re-denominasi, termasuk punya pengetahuan dan contoh-contoh kasus di mana kebijakan itu pernah diterapkan. Tetapi sebagai orang yang sangat awam dengan dunia ilmu ekonomi, saya memang hanya bisa membayangkan re-denominasi dengan imajinasi sederhana seperti itu. Begitu pula, rasanya, "orang-orang biasa" yang ada di jalan, di pasar tradisional, di toko kelontong, dan kakilima. Dalam keterbatasan pemahaman, mereka akan menganggap re-denominasi sebagai penyederhanaan yang membuat rumit.∎
Yogya, 9 Agustus 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar