Willy Purna Samadhi dan Yusra Tebe
Pengantar
Kajian mengenai demokratisasi
Indonesia umumnya menaruh perhatian pada perangkat-perangkat kebebasan politik seperti partai dan organisasi politik termasuk media massa,
pemilihan umum, dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Di luar tema-tema itu
ada pula kajian yang menyoroti soal penegakan
hukum dan keadilan, seperti jaminan
kepastian hukum, rule of law,
antikorupsi, kesetaraan di muka hukum dan supremacy
of law, termasuk proses-proses legislasi untuk reformasi perundang-undangan.
Kecenderungan itu tidak mengherankan karena demokratisasi yang dimulai pada
1998 lebih merupakan proses instalasi (crafting)
perangkat-perangkat demokrasi tersebut ke dalam sistem politik. Singkatnya,
demokratisasi umumnya dilihat sebagai proses adaptasi politik satu-arah untuk
memenuhi kebutuhan lembaga-lembaga demokrasi yang baru. Perkembangan demokrasi,
karena itu, diukur berdasarkan seberapa berhasil proses adaptasi itu
berlangsung.
Aspek lain yang masih jarang diliput
oleh kajian-kajian mengenai demokratisasi Indonesia adalah dinamika perimbangan
antarkelas. Padahal aspek ini penting untuk diperhatikan mengingat demokrasi
bukan semata-mata sebuah sistem yang terlembaga dan statis, melainkan sebuah
dinamika tanpa henti demi terselenggaranya “kontrol publik atas urusan-urusan
bersama atas dasar kesetaraan politik” (Beetham 1999). Siapa yang melakukan
kontrol, apa yang disebut urusan bersama, dan bagaimana kesetaraan diwujudkan,
adalah persoalan-persoalan yang membuat demokrasi dan demokratisasi sangat
dipengaruhi oleh persepsi dan tindakan aktor-aktor yang berperan di dalamnya.
Salah satu cara untuk memahami persepsi dan tindakan aktor adalah dengan
mendekatinya melalui penggolongan berdasarkan kelas. Dengan begitu, mencermati
perimbangan kekuatan antarkelas dalam proses demokratisasi di Indonesia berarti
memahami bagaimana kepentingan-kepentingan yang berbeda dari setiap kelas
memberikan pengaruh terhadap berlangsungnya kontrol publik, perumusan urusan
bersama, dan basis konstruksi kesetaraan politik.
Di luar konteks Indonesia, kajian
yang melihat peran dan pengaruh perbedaan kelas dalam proses demokratisasi
bukan hal yang baru. Sejarah demokrasi di Negara-negara Eropa Barat pada akhir
abad ke-19 hingga abad ke-20 bahkan menjadi terang-benderang melalui penjelasan
berperspektif kelas. Demokrasi (liberal) lahir di sana sebagai buah perjuangan
kelas buruh seiring dengan tumbuhnya kapitalisme. Collier (1999), misalnya, mendokumentasikan
dan melakukan kajian perbandingan terhadap peran kelas buruh dan elit dalam
berbagai kasus demokratisasi di Eropa Barat dan Amerika Latin, baik yang
berlangsung pada awal munculnya kapitalisme maupun pada era 1970-80-an. Dengan
menggunakan kelas sebagai salah satu dimensi dalam analisisnya – dimensi
lainnya adalah arena dan inklusi – Collier
menemukan tujuh pola demokratisasi (Collier 1999:168-169).
Paper ini tidak berambisi untuk
melakukan rekonstruksi demokratisasi Indonesia, juga tidak dimaksudkan untuk
meletakkan demokratisasi Indonesia ke dalam salah satu pola yang ditawarkan
Collier. Studi semacam itu membutuhkan data yang ekstensif dan waktu yang
sangat panjang; hal yang tidak dimiliki dalam persiapan penulisan paper ini.
Paper ini hanya mencoba mendeskripsikan dan menjawab dengan ringkas: apakah perimbangan kekuatan antarkelas
mempengaruhi (atau tidak mempengaruhi) proses demokratisasi Indonesia
pasca-1998?
Istilah kelas pada awalnya popular saat industrialisasi dan kapitalisme
mulai muncul di Eropa Barat pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Sejak itu kelas termasuk istilah yang paling
sering muncul di dalam literatur ilmu politik atau ilmu-ilmu sosial pada
umumnya. Meskipun begitu istilah kelas
digunakan dalam pengertian yang berbeda-beda.
Karl Marx (1818-1883) termasuk yang mula-mula
banyak menyebut kelas dalam karyanya,
namun ia tidak pernah memberikan definisi bagi istilah itu. Marx menggunakan
istilah kelas untuk menyatakan sekelompok orang yang berada
di dalam situasi yang sama dalam hubungannya dengan kontrol mereka terhadap
alat produksi (Ritzer 2008:65). Dalam konteks pertumbuhan masyarakat industri
dan kapitalisme, Marx meyakini adanya dua kekuatan yang saling berhadapan di
dalam masyarakat, yakni kelas borjuis yang menguasai sarana produksi ekonomi
dan kelas proletar atau buruh yang dikendalikan oleh kaum borjuis. Kedua
kelompok ini selalu menghadapi konflik. Dalam The Communist Manifesto, Marx
(Johnson 1986: 146) mengatakan, "Sejarah dari semua masyarakat yang ada
hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas," yaitu kelas buruh
melawan kelas borjuis, yang pada akhirnya akan dimenangkan kaum proletar,
sehingga tercipta tatanan masyarakat tanpa hierarki yakni komunisme. Karena kelas begitu dekat hubungannya dengan konflik, Marx mengingatkan sebuah kelas hanya
benar-benar eksis ketika orang menyadari kalau dia sedang berkonflik dengan
kelas yang lain. Tanpa kesadaran itu mereka hanya akan membentuk apa yang
disebut Marx sebagai kelas di dalam
dirinya. Ketika menyadari konflik, mereka menjadi kelas yang sebenarnya,
yaitu kelas untuk dirinya (Ritzer, Op cit.:65).
Pemikiran Marx tentang kelas itu telah merangsang banyak
pemikir lain. Ralf Dahrendorf (1959, 1968) melakukan revisi atas pemikiran Marx
dengan menyatakan bahwa masyarakat senantiasa memiliki dua wajah, yaitu konflik
dan konsesus. Baginya pengelompokan kelas sosial tidak lagi hanya didasarkan
atas pemilikan sarana-sarana produksi, tetapi juga atas hubungan-hubungan
kekuasaan. Di antara sejumlah orang yang memiliki sarana produksi, ada sebagian
yang berada di dalam struktur kekuasaan namun terdapat pula mereka yang berada
di luar struktur. Hal itu dikarenakan, menurut Dahrendorf, telah terjadi (1) dekomposisi
modal yang menimbulkan kesulitan mengidentifikasi kaum borjuis yang
monopolistis karena para pegawai pun kini ikut memiliki saham perusahaan; (2) dekomposisi
tenaga kerja sehingga kelas proletar tidak lagi homogen melainkan bersifat hierarkis
di antara mereka yang tersebar menempati posisi tertentu; dan (3) pembentukan kelas
menengah baru sebagai akibat peningkatan kesejahteraan di kalangan kaum buruh. Akibatnya
muncul unit-unit baru dalam masyarakat yang ia sebut dengan “asosiasi yang
ditata berdasarkan perintah” (Ritzer, Op
cit.:283). Dengan catatan itu, Dahrendorf mengoreksi konsepsi Marx tentang
polarisasi masyarakat ke dalam dua kelas (borjuis dan proletar) dan, lebih dari
itu, menekankan adanya potensi konsensus di samping potensi konflik.
Selain Marx, istilah kelas juga digunakan Max Weber
(1864-1920) ketika menerangkan stratifikasi sosial. Jika Marx menyebut keberadaan
kelas hanya berarti jika disadari
(untuk memicu konflik yang mengakhiri konflik kelas), Weber justru menyatakan kelas bukanlah komunitas, melainkan
“…sekelompok orang yang situasi bersama mereka dapat menjadi … basis tindakan
kelompok…” (ibid.:138). Yang dimaksud
dengan “situasi bersama” itu adalah situasi ekonomi atau situasi pasar yang
sama. Bagi Weber kelas adalah potensi
bagi terjadinya tindakan kolektif sebuah kelompok. Pengelompokan yang lebih
‘berujud’ sebagai sebuah komunitas, meskipun juga tidak solid, adalah status, yang dicirikan oleh kesamaan
konsumsi barang dan gaya hidup. Itu sebabnya, menurut Weber, kelas dan status tidak senantiasa berbanding lurus. Mobilitas status tidak
senantiasa berhubungan dengan mobilitas kelas. Pemikiran Weber ini, sebagaimana
kritik Dahredorf, juga menggoyahkan premis dua kelas yang saling berhadapan
seperti yang sebelumnya dibayangkan Marx.
Perbedaan lebih tajam terhadap
pemikiran Marx tentang kelas terlihat dari karya Vilfredo Pareto (1848-1923). Pareto
memandang masyarakat terdiri dari dua kelas: (1) lapisan atas, yaitu elit, yang
terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing
elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing
elite), (2) lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit (Varma 1987:202).
Pembeda di antara kedua kelas itu adalah kapasitas rasionalnya. Kelas elit
adalah orang-orang yang memiliki kapasitas rasional tinggi dan, karena itu,
menguasai massa rakyat yang didominasi oleh kekuatan non-rasional. Karena
miskin dengan kapasitas rasional, massa rakyat atau kelas non-elit itu tidak
akan menjadi kekuatan revolusioner. Sirkulasi kekuasaan hanya terjadi di dalam
kelas elit. (Ritzer, Op cit.:39).
Ragam pendapat mengenai kelas itu mengarahkan paper ini untuk tidak secara ketat mengacu pada salah satu pendapat saja. Ada gambaran umum tentang kelas yang bisa ditangkap dari diskusi itu sehingga kita bisa menggunakannya dalam pengertian yang lebih longgar. Kelas dapat dikatakan sebagai sekelompok anggota masyarakat yang memiliki kadar homogenitas tertentu berdasarkan relasi mereka terhadap penguasaan sumber-sumber ekonomi yang pada gilirannya menghasilkan persepsi kolektif mereka sendiri mengenai posisi relatifnya terhadap orang-orang atau kelompok yang dianggap berbeda. Kelas di dalam masyarakat dapat terbagi menjadi dua (borjuis/pemilik modal dan proletar/buruh atau atas dan bawah atau elit dan non-elit/massa), dapat pula menjadi tiga (atas/elit, menengah, dan bawah/non-elit – seperti dibayangkan Dahrendorf), dan bersifat dinamis.
Kelas dan
Demokrasi
Berbagai literatur mengenai sejarah
demokrasi memperlihatkan hubungan yang erat antara demokrasi dan kelas. Demokrasi
modern[2]
yang muncul pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 memang banyak
dipengaruhi dan muncul sebagai buah perjuangan kelas, khususnya kebangkitan
kelas buruh melawan dominasi kelas pemilik modal. Peran kelas buruh dalam
proses demokratisasi dan demokrasi dapat dikatakan sebagai tema diskusi yang
klasik. Gelombang demokratisasi pada dekade 1970-an hingga 1980-an yang
berlangsung di beberapa negara Eropa dan Amerika Latin telah menghidupkan
kembali diskusi itu (Collier, Op cit.:1).
Penelusuran lebih jauh atas sejarah
demokrasi yang dilakukan Macpherson (1977) memperlihatkan bahwa kelas merupakan
elemen penting yang sudah dibicarakan sejak zaman Yunani Kuno ketika Plato dan Aristoteles
mencetuskan gagasan-gagasan mereka tentang negara, atau yang kemudian kita
kenal sebagai demokrasi klasik. Hingga abad ke-18, tradisi pemikiran politik
utama yang berkembang di Barat sangat kuat menentang gagasan demokrasi. Demokrasi,
ketika itu, dianggap oleh orang-orang kaya dan terpelajar sebagai ancaman
terhadap keberadaan kelas mereka, karena demokrasi diartikan sebagai sistem pemerintahan
yang dijalankan oleh kelas bawah, yaitu orang-orang miskin, terpinggirkan, dan
tak terpelajar. Jika demokrasi diterima sebagai sistem pemerintahan, kepentingan
orang-orang dari kelas atas (yang lebih kaya, terpelajar dan pemilik modal) akan
terabaikan. Pada gilirannya demokrasi dibayangkan akan menciptakan masyarakat
tanpa kelas (non-divided society).
Karena itu demokrasi dianggap sebagai ancaman terhadap keberadaan kelas di
dalam masyarakat. Itu pula sebabnya hingga abad ke-18 dan 19 masyarakat Barat
adalah masyarakat yang tidak demokratis dan antidemokrasi.
Ketika demokrasi liberal akhirnya
berkembang pada abad ke-19, menyusul revolusi industri dan kelahiran
kapitalisme, bayang-bayang demokrasi sebagai gagasan yang mengancam keberadaan
kelas ternyata tidak terbukti. Demokrasi liberal justru seperti dirancang untuk
menghasilkan sebuah skema pemerintahan demokratis untuk dan di dalam masyarakat
yang memiliki perbedaan kelas (class-devided
society) (Macpherson 1977:9-10). Konsep “one man, one vote” yang diperkenalkan menjadi prinsip utama
demokrasi liberal ketika itu menjamin keberlanjutan masyarakat-dengan-kelas.
Dalam konteks yang lebih modern,
Törnquist (2002:2-4) memaparkan empat teori utama yang banyak digunakan untuk
menjelaskan demokratisasi yang terjadi di Negara-negara berkembang. Meskipun
berbeda, keempat teori itu sama-sama menyinggung peran kelas. Teori pertama,
antara lain dikembangkan oleh Seymour Martin Lipset,[3]
menerangkan bahwa modernisasi sosial-ekonomi yang dipicu oleh kapitalisme-pasar
telah mendorong tumbuhnya demokratisasi berbasis hak asasi manusia. Proses
tersebut justru menjadikan orang-orang berlatar belakang kelas bawah di
pedesaan dan kelompok informal yang terpinggirkan dalam proses modernisasi
menolak demokratisasi. Teori kedua,
dimotori oleh Barrington Moore Jr.,[4]
menjelaskan bahwa demokrasi, bersama-sama dengan rule of law dan liberalisme, dipromosikan oleh kalangan borjuasi di
perkotaan dan kelas menengah, yang didukung oleh Negara-negara Barat, untuk
menentang pemerintahan otoritarian. Teori Moore itu ditentang oleh teori ketiga
yang digagas oleh Rueschemeyer et al.[5]
yang berpendapat bahwa kelas pekerjalah satu-satunya kekuatan pro-demokrasi
yang konsisten. Kaum borjuasi yang dikatakan Moore sebagai pendorong demokrasi
justru enggan karena mereka bergantung pada dukungan Negara, sedangkan kelas
menengah bimbang karena takut menghadapi para buruh. Namun, Rueschemeyer et al. sepakat dengan Moore bahwa di
daerah pedesaan posisi demokrasi bersandar pada petani yang kompak dan memiliki
kemampuan membangun organisasi, dan pada relasi mereka terhadap kelas lain.
Terakhir, teori transisi, merupakan teori yang banyak dipercaya paling memadai
untuk menjelaskan fenomena transisi di Amerika Latin dan Eropa Selatan pada
pertengahan dekade 1970-an. O’Donnel & Schmitter[6]
yang mengembangkan teori ini mengabaikan faktor-faktor struktural dan segala
prakondisi. Demokrasi, menurut mereka, bisa dilakukan dengan dukungan pihak
asing dan memberikan ketrampilan membangun institusi demokrasi (crafting of democracy) kepada elit
politik dan organisasi-organisasi masyarakat sipil.
Dari keempat teori demokrasi yang
diterangkan Törnquist, banyak orang meyakini teori transisi paling memadai menerangkan
demokratisasi Indonesia. Benarkah?
Demokratisasi
Indonesia: Apa peran kelas?
Setelah rejim otoritarian Orde Baru
jatuh pada 1998, banyak orang percaya Indonesia memasuki masa transisi menuju
demokrasi. Berbagai perubahan memang mengindikasikan berkembangnya sebuah rejim
demokratis baru di Indonesia. Kebebasan mendirikan partai politik dijamin oleh
UU No 2/1999, padahal sebelumnya dibatasi jumlahnya dan dikontrol Menteri Dalam
Negeri melalui lembaga “pembina politik”. UU No 3/1999 memayungi pelaksanaan
Pemilu 1999 yang menjadi pemilu multipartai pertama yang demokratis sejak
terakhir kali dilakukan 1955. Penyelenggaraan pemilu tidak lagi ditangani dan
diatur pemerintah, tetapi oleh Komisi Pemilihan Umum yang independen. Pemilu
1999 juga mengubah konfigurasi kekuatan politik. Golkar yang mendominasi
pemilu-pemilu Orde Baru untuk pertama kalinya tergeser ke urutan kedua di bawah
perolehan suara PDIP. Kursi parlemen seketika diisi oleh perwakilan dari 21
partai politik, sangat kontras dengan apa yang terjadi di masa sebelumnya.
Fraksi TNI/Polri memang masih duduk di DPR 1999-2004, akan tetapi itulah
periode terakhir keberadaan utusan non-pemilu di parlemen. Begitulah, berbagai
perubahan yang berkaitan dengan sistem pemilu dan kepartaian sangat mewarnai
awal transisi dari rejim otoritarian ke rejim demokratis. Perhatian banyak
dicurahkan terhadap dimensi elektoral itu.
Perubahan lain di luar dimensi
elektoral bukannya tidak ada. Perangkat-perangkat demokrasi yang berkaitan
dengan reformasi di bidang hukum pada umumnya, dan penciptaan good governance dan antikorupsi secara
lebih khusus, juga memperoleh perhatian. Dalam konteks ini, kita bisa mencatat
adanya lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi
Pemberantasan Korupsi. Skenario reformasi perundang-undangan bahkan diawali
melalui amandemen konstitusi (UUD 1945) sebanyak empat kali.[7]
Dengan berbagai penataan di bidang
kelembagaan, baik menyangkut dimensi elektoral dan hukum, Indonesia
kelihatannya memang bergerak ke arah yang semakin demokratis. Dalam konteks
demokrasi prosedural, situasinya menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya.
Pencapaian ini setidaknya memenuhi definisi demokrasi sebagaimana diterangkan Larry Diamond, Juan J. Linz, dan
Seymour Martin Lipset (Mas’oed 2003:18-19), yaitu kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas di antara individu dan
kelompok organisasi (terutama partai politik) untuk memperebutkan jabatan untuk
pemerintahan yang efektif, adanya partisipasi politik yang melibatkan sebanyak
mungkin warga negara, adanya pemilihan umum yang regular dan adil, adanya
kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan untuk membentuk membentuk
organisasi. Akan tetapi, definisi demokrasi seperti itu sangat jauh dari ideal,
hanya memberikan batasan-batasan minimum tentang kelembagaan demokrasi.
Cara pandang kelembagaan biasanya
menilai maraknya demonstransi yang digelar oleh berbagai organisasi buruh
sebagai pertanda kuat bahwa lembaga kebebasan berekspresi dan menyalurkan
pendapat, termasuk hak berdemonstrasi, sudah diakui dan sekaligus memperkuat
penilaian bahwa Indonesia sudah semakin demokratis. Penilaian tersebut mungkin
benar, namun tidak jujur. Penilaian itu tidak mengungkap kenyataan-kenyataan
lain di balik aksi berbagai demonstrasi. Demonstrasi gerakan buruh yang digelar
pada setiap hari buruh internasional 1 Mei, misalnya, hingga tahun 2011 masih
merefleksikan masalah ketidakseimbangan relasi-kuasa di antara para pekerja dan
pemilik modal atau pengusaha. Karena itu, demokrasi jelas bukan diukur
semata-mata berdasarkan seberapa banyak demonstrasi berlangsung.
Krisis moneter Asia pada 1997 yang
juga menimpa perekonomian Indonesia menjadi setting
situasi yang memunculkan momentum penting yang dimanfaatkan gerakan mahasiswa
untuk melakukan perubahan. Pertengahan 1998, Orde Baru berakhir dan proses
demokratisasi dimulai. Itu sebabnya, pembicaraan mengenai demokratisasi
Indonesia pada umumnya mengambil tahun 1998 sebagai titik awal. Namun, hal itu
benar sejauh demokratisasi dianggap sebagai proses awal berdirinya rejim baru
setelah tumbangnya rejim otoriter.[8]
Namun, sebagaimana kelahiran demokrasi Eropa abad ke-19 tidak bisa dilepaskan
dari sejarah revolusi industri dan tumbuhnya kapitalisme, demokratisasi
Indonesia jelas tidak terlepas dari, dan harus dilihat sebagai, rangkaian
sejarah dan struktur masyarakat pada era sebelum 1998. Demokrasi tidak datang
secara tiba-tiba. Gerakan mahasiswa yang meluas yang meruntuhkan rezim Orde
Baru pada bulan Mei 1998 juga tidak bisa dilepaskan begitu saja dari gerakan
berbasis massa yang telah tumbuh sebelumnya. Para mahasiswa, tulis Törnquist
(2003:81), “tentunya tidak akan bisa memaksa para elit untuk menjatuhkan
Soeharto ... seandainya mereka tidak didukung oleh protes dan kemarahan luas
para buruh….”
Beckman (2003) menyatakan gerakan
buruh menciptakan momentum politik bagi demokratisasi Indonesia. Kata Beckman,
“…Mungkin benar Soeharto jatuh karena krisis moneter. Tetapi gerakan pemogokan
yang massif pada awal 1990-an tidak bisa diabaikan begitu saja sumbangannya…
Gerakan perburuhan dan perjuangan buruh selalu menjadi suatu tempat berharga
bagi pengembangan kompetensi politik dan pengalaman yang relevan untuk
demokratisasi” (dalam Priyono et al.
2003:93).
Budiman dan Törnquist (2001),
Törnquist (2001, 2002, 2003), Priyono et
al. (2003), Pontoh (2005) dan Lane (2007) adalah sebagian literatur yang juga
meletakkan perhatian besar terhadap peran dan dinamika gerakan berbasis kelas[9]
dalam perjuangan mencapai demokrasi, baik sebelum, menjelang dan sesudah
reformasi 1998, atau bahkan pada proses-proses yang terjadi selama masa Orde
Baru. Dari sana kita bisa memperoleh gambaran bahwa dinamika perimbangan
kekuatan antarkelas turut menjadi salah satu faktor dalam proses pengakhiran
otoritarianisme di Indonesia, meskipun ada pendapat yang berbeda-beda mengenai
kadar kepekatan pengaruhnya. Bagaimanapun, pengamatan dan analisis mereka
sangat bermanfaat untuk mengetahui bagaimana proses demokratisasi sesungguhnya
telah dimulai “di bawah tanah”, jauh sebelum rezim Orde Baru berakhir. Sudah
barang tentu ada juga penulis lain yang juga mengungkapkan hal yang sama,
termasuk para pemikir-aktivis yang menuliskan gagasan-gagasan mereka di
berbagai media.[10]
Setelah proses reformasi dimulai,
perhatian terhadap gerakan berbasis massa kelihatannya mengalami penurunan.
Hampir seluruh perhatian dan analisis ditumpahkan pada proses pembangunan
kelembagaan demokrasi, khususnya di bidang elektoral dan penegakan hukum.
Kesimpulan dan
penutup
Tampaknya kajian berperspektif kelas
memang masih harus banyak dilakukan untuk mempelajari demokrasi dan
demokratisasi di Indonesia. Analisis berperspektif kelembagaan, betapapun
penting, memiliki beberapa keterbatasan. Pemikiran dan konsep demokrasi sudah
ada dan berkembang jauh sebelum demokrasi kontemporer yang kini dikenal (baik
demokrasi liberal maupun demokrasi sosialis) yang berkembang belakangan pada
sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dalam rentang waktu itu, kita mengenal
banyak kelembagaan yang baru muncul kemudian. Kita tentu bisa mengidentifikasi
hak-hak sipil dasar dan kedaulatan rakyat sebagai aspek-aspek kelembagaan
demokrasi yang dipikirkan pada zaman Rousseau (abad ke-18) atau bahkan
sebelumnya, namun tidaklah cukup alasan untuk mengatakan pemikiran-pemikiran
tersebut tidak cukup demokratis hanya karena tidak memasukkan aspek-aspek
kelembagaan representasi dan sistem kepartaian, atau pembagian kekuasaan dan
mekanisme checks and balances,
misalnya. Penjelasan ini membawa kita pada setidaknya dua keterbatasan analisis
berperspektif kelembagaan. Pertama, ada kesulitan menentukan aspek kelembagaan demokrasi
mana yang terpenting. Apakah semua kelembagaan demokrasi itu memiliki makna
penting yang sama, ataukah ada yang utama dibanding yang lain? Jika seluruhnya
memiliki makna penting yang sama, apa implikasinya jika ada beberapa aspek
kelembagaan yang tidak tercakup? Jika ada yang utama dibanding yang lain, apa
dasar penentuannya? Kedua, perspektif kelembagaan memisahkan perkembangan
demokrasi dari struktur masyarakatnya. Jika demokrasi dipahami sebagai “kontrol
publik atas urusan bersama atas dasar kesetaraan politik”, hal pokok yang harus
dicermati tentu adalah siapa yang mengontrol dan dikontrol, apa saja yang
dimaksud dengan urusan publik dan bagaimana publik menyepakatinya, serta atas
dasar apa kesetaraan politik diberlakukan.[11]
Analisis kelembagaan juga tidak cukup
menghadirkan aspek dinamis dari demokrasi. Perspektif kelas memungkinkan kita
lebih memahami proses-proses yang memengaruhi dan membentuk profil dan situasi
demokrasi, khususnya mengenai relasi-kuasa antarkelas.
Dalam konteks Indonesia, tulisan ini
menyimpulkan bahwa demokratisasi dan demokrasi Indonesia merefleksikan
ketimpangan relasi-kuasa antara kelas elit dan massa. Konsep kelas yang
diperkenalkan Marx, Dahrendorf dan Weber membantu kita menemukan kenyataan
bahwa kelas elit sangat dominan menguasai sumber daya dan akses politik dan
ekonomi, termasuk menggunakannya untuk menguasai sumber daya sosial untuk
keperluan mobilisasi dukungan politik. Di lain pihak, kelas massa di luar elit
sangat tersubordinasi dan dikuasai oleh kelas elit sehingga menjadikan mereka
sangat bergantung pada tindakan-tindakan politik para elit. Akibatnya,
demokrasi tercipta sebagai sebuah sistem yang memapankan dominasi kelas elit
atas massanya. Sedangkan dari Pareto, kita bisa memahami ketidakseimbangan
relasi-kuasa itu antara lain diperkokoh oleh eksploitasi kelas elit terhadap irasionalitas
massa: percaya kharisma, dinasti, dan popularitas. Mengenai yang terakhir,
Törnquist (2003) mencatat “diskursus dan praktik radikal … termasuk di
Indonesia, lebih banyak terfokus (atau diformulasikan berdasar) pada kebutuhan
“kepemimpinan yang tercerahkan” terhadap massa pedesaan…” (Priyono et al. (eds.) 2003:73).
Kendati begitu studi ini juga
mengindikasikan adanya lapisan-lapisan kelas di dalam kelas non-elit. Artinya,
di kalangan non-elit sendiri ada elit yang lebih mendominasi penguasaan
sumber-sumber daya. Studi-studi lanjutan diperlukan untuk menggali lebih dalam apa
implikasi-implikasi lapis-lapis perbedaan di dalam kelas massa itu terhadap
demokrasi dan demokratisasi. Jika kita mengacu pada penjelasan Marx soal reduksionalisme
ideologis atau masyarakat pasca-kelas, keberadaan lapisan kelas di dalam kelas
non-elit tentu mengisyaratkan perjalanan demokrasi yang masih panjang. Atau, jika
kita merujuk Pareto, mungkinkah massa yang semakin rasional akan semakin
menyulitkan demokratisasi? Sejauh mana kemungkinan-kemungkinan itu benar, bukan
tugas paper ini lagi untuk menjelaskannya.
* * *
Daftar Pustaka
Beckman,
Björn (2003). “Gerakan Buruh Menciptakan Momentum Politik” dalam Priyono et al. (eds.) (2003).
Beckman,
Björn, Eva Hanson, Anders Sjörgen (eds.) (2001). Civil Society and Authoritarianism in the Third World. Stockholm:
PODSU.
Budiman,
Arief dan Olle Törnquist (2001). Aktor
Demokrasi: Catatan tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia. Jakarta: ISAI.
Carothers,
Thomas (2002). “The End of the Transition Paradigm” dalam Critical Mission, Essays on Democracy Promotion 2004.
Collier,
Ruth B. (1999). Path Towards Democracy:
The Working Class and Elites in Western Europe and South America. Cambridge
University Press.
Gaffar,
Afan (1992). Politik Indonesia: Transisi
Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lane,
Max (2007). Bangsa yang Belum Selesai.
Jakarta: Reform Institute.
Hadiz,
Vedi R. (2003). “Menimbang Gagasan ‘Transisi Demokrasi’ di Indonesia” dalam Priyono
et al. (eds.) (2003).
Macpherson,
C. B. (1977). The Life and Times of
Liberal Democracy. Oxford University Press.
Mas’oed,
Mohtar (2003). Negara, Kapital dan Demokrasi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pontoh,
Coen Husain (2005). Malapetaka Demokrasi
Pasar. Yogyakarta: Resist Book.
Prasetyo,
Stanley Adi, A. E. Priyono, Olle Törnquist (2003). “Demokrat Mengambang” dalam
Priyono et al. (eds.) (2003).
Priyono,
A. E., Stanley Adi Prasetyo, Olle Törnquist (eds.) (2003). Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: Demos.
Ritzer,
George, Douglas J. Goodman (2008). Teori
Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori
Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sahban,
Gregorius (2004). Jalan Transisi
Demokrasi Pasca Soeharto. Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri.
Törnquist,
Olle (2001). “Movement Politics and Development: Preliminary Theoretical Notes
on Some Concrete Cases in Kerala and Indonesia” dalam Beckman et al. (eds.) (2001).
Törnquist,
Olle (2002). Popular Development and
Democracy: Case Studies with Rural Dimensions in the Phillippines, Indonesia,
and Kerala. Occasional Paper from SUM, No. 3.
Törnquist,
Olle (2003). “Buruh dan Demokrasi? Refleksi tentang Kebuntuan Politik di
Indonesia” dalam Priyono et al.
(eds.) (2003).
Varma,
S. P. (1987). Teori Politik Modern. Jakarta:
Rajawali.
[1] Ditulis untuk memenuhi tugas matakuliah “HAM dan Demokrasi dalam Perspektif
Perbandingan”, Program S2 HAM dan Demokrasi, Jurusan Politik dan Pemerintahan,
Fisipol UGM.
[2] Istilah “modern” di sini maksudnya adalah untuk
membedakannya dengan demokrasi klasik yang dibayangkan Plato dan Aristoteles
jauh pada masa sebelum Masehi.
[3] Gagasan Lipset dituangkan dalam tulisannya berjudul
“Some Social Requisites of Democracy: Economic Development and Political
Legitimacy” dalam American Political
Science Review, Vol. 53, No. 1, 1959.
[4] Bukunya berjudul Social
Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the
Modern World, New York: Harper and Row, 1969.
[5] Dietrich Rueschemeyer bersama Evelyne Huber Stephens
dan John D. Stephens. Karya mereka berjudul Capitalist
Development and Democracy, Cambridge, UK: Polity Press, 1992.
[6] Buku mereka terbit pada 1976 berjudul Transitions from Authoritarian Rule:
Tentative Conclusions about Uncertain Democracies¸Baltimore, MD: The John
Hopkins University Press.
[7] Proses amandemen dilakukan dalam Sidang Umum MPR
1999 dan Sidang Tahunan MPR 2000, 2001, 2002.
[8] Cara pandang seperti itu, yaitu menganggap proses
menuju demokrasi baru berawal ketika rezim otoriter Orde Baru runtuh, sangat
kental dengan paradigma transisi. Paradigma transisi demokrasi dibangun atas
dasar lima asumsi. Asumsi pertama dan yang paling mendasar adalah bahwa Negara
mana pun yang meninggalkan pemerintahan otoritarian dapat dianggap sebagai
Negara dalam proses transisi menuju demokrasi. Lihat Carothers (2002).
[9] Gerakan berbasis kelas (bawah/massa/buruh) di
Indonesia kerap diidentikkan sebagai “gerakan kiri”. Meskipun tidak tepat
benar, istilah itu banyak digunakan Selain “kiri”, istilah lain yang juga
sering dipakai dalam konotasi yang sama adalah “gerakan berbasis massa” (mass-based movements) dan “gerakan
popular” (popular movement).
[10] Salah satu sumber yang menyajikan tulisan-tulisan
berperspektif kelas adalah blog
IndoPROGRESS (http://www.indoprogress.com/)
yang dikerjakan oleh Coen Husain Pontoh dkk.
[11] Lihat misalnya Macpherson (1977:8-9) dan Törnquist (2007) dalam Samadhi and
Warouw (2007:21-23).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar