Selasa, 27 Desember 2011

Demokratisasi dan Perimbangan Kekuatan Antarkelas di Indonesia

Willy Purna Samadhi dan Yusra Tebe

Pengantar

Kajian mengenai demokratisasi Indonesia umumnya menaruh perhatian pada perangkat-perangkat kebebasan politik seperti partai dan organisasi politik termasuk media massa, pemilihan umum, dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Di luar tema-tema itu ada pula kajian yang menyoroti soal penegakan hukum dan keadilan, seperti jaminan kepastian hukum, rule of law, antikorupsi, kesetaraan di muka hukum dan supremacy of law, termasuk proses-proses legislasi untuk reformasi perundang-undangan. Kecenderungan itu tidak mengherankan karena demokratisasi yang dimulai pada 1998 lebih merupakan proses instalasi (crafting) perangkat-perangkat demokrasi tersebut ke dalam sistem politik. Singkatnya, demokratisasi umumnya dilihat sebagai proses adaptasi politik satu-arah untuk memenuhi kebutuhan lembaga-lembaga demokrasi yang baru. Perkembangan demokrasi, karena itu, diukur berdasarkan seberapa berhasil proses adaptasi itu berlangsung.

Aspek lain yang masih jarang diliput oleh kajian-kajian mengenai demokratisasi Indonesia adalah dinamika perimbangan antarkelas. Padahal aspek ini penting untuk diperhatikan mengingat demokrasi bukan semata-mata sebuah sistem yang terlembaga dan statis, melainkan sebuah dinamika tanpa henti demi terselenggaranya “kontrol publik atas urusan-urusan bersama atas dasar kesetaraan politik” (Beetham 1999). Siapa yang melakukan kontrol, apa yang disebut urusan bersama, dan bagaimana kesetaraan diwujudkan, adalah persoalan-persoalan yang membuat demokrasi dan demokratisasi sangat dipengaruhi oleh persepsi dan tindakan aktor-aktor yang berperan di dalamnya. Salah satu cara untuk memahami persepsi dan tindakan aktor adalah dengan mendekatinya melalui penggolongan berdasarkan kelas. Dengan begitu, mencermati perimbangan kekuatan antarkelas dalam proses demokratisasi di Indonesia berarti memahami bagaimana kepentingan-kepentingan yang berbeda dari setiap kelas memberikan pengaruh terhadap berlangsungnya kontrol publik, perumusan urusan bersama, dan basis konstruksi kesetaraan politik.

Di luar konteks Indonesia, kajian yang melihat peran dan pengaruh perbedaan kelas dalam proses demokratisasi bukan hal yang baru. Sejarah demokrasi di Negara-negara Eropa Barat pada akhir abad ke-19 hingga abad ke-20 bahkan menjadi terang-benderang melalui penjelasan berperspektif kelas. Demokrasi (liberal) lahir di sana sebagai buah perjuangan kelas buruh seiring dengan tumbuhnya kapitalisme. Collier (1999), misalnya, mendokumentasikan dan melakukan kajian perbandingan terhadap peran kelas buruh dan elit dalam berbagai kasus demokratisasi di Eropa Barat dan Amerika Latin, baik yang berlangsung pada awal munculnya kapitalisme maupun pada era 1970-80-an. Dengan menggunakan kelas sebagai salah satu dimensi dalam analisisnya – dimensi lainnya adalah arena dan inklusi –  Collier menemukan tujuh pola demokratisasi (Collier 1999:168-169).

Paper ini tidak berambisi untuk melakukan rekonstruksi demokratisasi Indonesia, juga tidak dimaksudkan untuk meletakkan demokratisasi Indonesia ke dalam salah satu pola yang ditawarkan Collier. Studi semacam itu membutuhkan data yang ekstensif dan waktu yang sangat panjang; hal yang tidak dimiliki dalam persiapan penulisan paper ini. Paper ini hanya mencoba mendeskripsikan dan menjawab dengan ringkas: apakah perimbangan kekuatan antarkelas mempengaruhi (atau tidak mempengaruhi) proses demokratisasi Indonesia pasca-1998?

 Kelas

Istilah kelas pada awalnya popular saat industrialisasi dan kapitalisme mulai muncul di Eropa Barat pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Sejak itu kelas termasuk istilah yang paling sering muncul di dalam literatur ilmu politik atau ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Meskipun begitu istilah kelas digunakan dalam pengertian yang berbeda-beda.

Karl Marx (1818-1883) termasuk yang mula-mula banyak menyebut kelas dalam karyanya, namun ia tidak pernah memberikan definisi bagi istilah itu. Marx menggunakan istilah kelas untuk menyatakan sekelompok orang yang berada di dalam situasi yang sama dalam hubungannya dengan kontrol mereka terhadap alat produksi (Ritzer 2008:65). Dalam konteks pertumbuhan masyarakat industri dan kapitalisme, Marx meyakini adanya dua kekuatan yang saling berhadapan di dalam masyarakat, yakni kelas borjuis yang menguasai sarana produksi ekonomi dan kelas proletar atau buruh yang dikendalikan oleh kaum borjuis. Kedua kelompok ini selalu menghadapi konflik. Dalam The Communist Manifesto, Marx (Johnson 1986: 146) mengatakan, "Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas," yaitu kelas buruh melawan kelas borjuis, yang pada akhirnya akan dimenangkan kaum proletar, sehingga tercipta tatanan masyarakat tanpa hierarki yakni komunisme. Karena kelas begitu dekat hubungannya dengan konflik, Marx mengingatkan sebuah kelas hanya benar-benar eksis ketika orang menyadari kalau dia sedang berkonflik dengan kelas yang lain. Tanpa kesadaran itu mereka hanya akan membentuk apa yang disebut Marx sebagai kelas di dalam dirinya. Ketika menyadari konflik, mereka menjadi kelas yang sebenarnya, yaitu kelas untuk dirinya (Ritzer, Op cit.:65).

Pemikiran Marx tentang kelas itu telah merangsang banyak pemikir lain. Ralf Dahrendorf (1959, 1968) melakukan revisi atas pemikiran Marx dengan menyatakan bahwa masyarakat senantiasa memiliki dua wajah, yaitu konflik dan konsesus. Baginya pengelompokan kelas sosial tidak lagi hanya didasarkan atas pemilikan sarana-sarana produksi, tetapi juga atas hubungan-hubungan kekuasaan. Di antara sejumlah orang yang memiliki sarana produksi, ada sebagian yang berada di dalam struktur kekuasaan namun terdapat pula mereka yang berada di luar struktur. Hal itu dikarenakan, menurut Dahrendorf, telah terjadi (1) dekomposisi modal yang menimbulkan kesulitan mengidentifikasi kaum borjuis yang monopolistis karena para pegawai pun kini ikut memiliki saham perusahaan; (2) dekomposisi tenaga kerja sehingga kelas proletar tidak lagi homogen melainkan bersifat hierarkis di antara mereka yang tersebar menempati posisi tertentu; dan (3) pembentukan kelas menengah baru sebagai akibat peningkatan kesejahteraan di kalangan kaum buruh. Akibatnya muncul unit-unit baru dalam masyarakat yang ia sebut dengan “asosiasi yang ditata berdasarkan perintah” (Ritzer, Op cit.:283). Dengan catatan itu, Dahrendorf mengoreksi konsepsi Marx tentang polarisasi masyarakat ke dalam dua kelas (borjuis dan proletar) dan, lebih dari itu, menekankan adanya potensi konsensus di samping potensi konflik.

Selain Marx, istilah kelas juga digunakan Max Weber (1864-1920) ketika menerangkan stratifikasi sosial. Jika Marx menyebut keberadaan kelas hanya berarti jika disadari (untuk memicu konflik yang mengakhiri konflik kelas), Weber justru menyatakan kelas bukanlah komunitas, melainkan “…sekelompok orang yang situasi bersama mereka dapat menjadi … basis tindakan kelompok…” (ibid.:138). Yang dimaksud dengan “situasi bersama” itu adalah situasi ekonomi atau situasi pasar yang sama. Bagi Weber kelas adalah potensi bagi terjadinya tindakan kolektif sebuah kelompok. Pengelompokan yang lebih ‘berujud’ sebagai sebuah komunitas, meskipun juga tidak solid, adalah status, yang dicirikan oleh kesamaan konsumsi barang dan gaya hidup. Itu sebabnya, menurut Weber, kelas dan status tidak senantiasa berbanding lurus. Mobilitas status tidak senantiasa berhubungan dengan mobilitas kelas. Pemikiran Weber ini, sebagaimana kritik Dahredorf, juga menggoyahkan premis dua kelas yang saling berhadapan seperti yang sebelumnya dibayangkan Marx. 

Perbedaan lebih tajam terhadap pemikiran Marx tentang kelas terlihat dari karya Vilfredo Pareto (1848-1923). Pareto memandang masyarakat terdiri dari dua kelas: (1) lapisan atas, yaitu elit, yang terbagi ke dalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite), (2) lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit (Varma 1987:202). Pembeda di antara kedua kelas itu adalah kapasitas rasionalnya. Kelas elit adalah orang-orang yang memiliki kapasitas rasional tinggi dan, karena itu, menguasai massa rakyat yang didominasi oleh kekuatan non-rasional. Karena miskin dengan kapasitas rasional, massa rakyat atau kelas non-elit itu tidak akan menjadi kekuatan revolusioner. Sirkulasi kekuasaan hanya terjadi di dalam kelas elit. (Ritzer, Op cit.:39).

Ragam pendapat mengenai kelas itu mengarahkan paper ini untuk tidak secara ketat mengacu pada salah satu pendapat saja. Ada gambaran umum tentang kelas yang bisa ditangkap dari diskusi itu sehingga kita bisa menggunakannya dalam pengertian yang lebih longgar. Kelas dapat dikatakan sebagai sekelompok anggota masyarakat yang memiliki kadar homogenitas tertentu berdasarkan relasi mereka terhadap penguasaan sumber-sumber ekonomi yang pada gilirannya menghasilkan persepsi kolektif mereka sendiri mengenai posisi relatifnya terhadap orang-orang atau kelompok yang dianggap berbeda. Kelas di dalam masyarakat dapat terbagi menjadi dua (borjuis/pemilik modal dan proletar/buruh atau atas dan bawah atau elit dan non-elit/massa), dapat pula menjadi tiga (atas/elit, menengah, dan bawah/non-elit – seperti dibayangkan Dahrendorf), dan bersifat dinamis.

Kelas dan Demokrasi

Berbagai literatur mengenai sejarah demokrasi memperlihatkan hubungan yang erat antara demokrasi dan kelas. Demokrasi modern[2] yang muncul pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 memang banyak dipengaruhi dan muncul sebagai buah perjuangan kelas, khususnya kebangkitan kelas buruh melawan dominasi kelas pemilik modal. Peran kelas buruh dalam proses demokratisasi dan demokrasi dapat dikatakan sebagai tema diskusi yang klasik. Gelombang demokratisasi pada dekade 1970-an hingga 1980-an yang berlangsung di beberapa negara Eropa dan Amerika Latin telah menghidupkan kembali diskusi itu (Collier, Op cit.:1).

Penelusuran lebih jauh atas sejarah demokrasi yang dilakukan Macpherson (1977) memperlihatkan bahwa kelas merupakan elemen penting yang sudah dibicarakan sejak zaman Yunani Kuno ketika Plato dan Aristoteles mencetuskan gagasan-gagasan mereka tentang negara, atau yang kemudian kita kenal sebagai demokrasi klasik. Hingga abad ke-18, tradisi pemikiran politik utama yang berkembang di Barat sangat kuat menentang gagasan demokrasi. Demokrasi, ketika itu, dianggap oleh orang-orang kaya dan terpelajar sebagai ancaman terhadap keberadaan kelas mereka, karena demokrasi diartikan sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh kelas bawah, yaitu orang-orang miskin, terpinggirkan, dan tak terpelajar. Jika demokrasi diterima sebagai sistem pemerintahan, kepentingan orang-orang dari kelas atas (yang lebih kaya, terpelajar dan pemilik modal) akan terabaikan. Pada gilirannya demokrasi dibayangkan akan menciptakan masyarakat tanpa kelas (non-divided society). Karena itu demokrasi dianggap sebagai ancaman terhadap keberadaan kelas di dalam masyarakat. Itu pula sebabnya hingga abad ke-18 dan 19 masyarakat Barat adalah masyarakat yang tidak demokratis dan antidemokrasi.

Ketika demokrasi liberal akhirnya berkembang pada abad ke-19, menyusul revolusi industri dan kelahiran kapitalisme, bayang-bayang demokrasi sebagai gagasan yang mengancam keberadaan kelas ternyata tidak terbukti. Demokrasi liberal justru seperti dirancang untuk menghasilkan sebuah skema pemerintahan demokratis untuk dan di dalam masyarakat yang memiliki perbedaan kelas (class-devided society) (Macpherson 1977:9-10). Konsep “one man, one vote” yang diperkenalkan menjadi prinsip utama demokrasi liberal ketika itu menjamin keberlanjutan masyarakat-dengan-kelas.

Dalam konteks yang lebih modern, Törnquist (2002:2-4) memaparkan empat teori utama yang banyak digunakan untuk menjelaskan demokratisasi yang terjadi di Negara-negara berkembang. Meskipun berbeda, keempat teori itu sama-sama menyinggung peran kelas. Teori pertama, antara lain dikembangkan oleh Seymour Martin Lipset,[3] menerangkan bahwa modernisasi sosial-ekonomi yang dipicu oleh kapitalisme-pasar telah mendorong tumbuhnya demokratisasi berbasis hak asasi manusia. Proses tersebut justru menjadikan orang-orang berlatar belakang kelas bawah di pedesaan dan kelompok informal yang terpinggirkan dalam proses modernisasi menolak demokratisasi. Teori kedua, dimotori oleh Barrington Moore Jr.,[4] menjelaskan bahwa demokrasi, bersama-sama dengan rule of law dan liberalisme, dipromosikan oleh kalangan borjuasi di perkotaan dan kelas menengah, yang didukung oleh Negara-negara Barat, untuk menentang pemerintahan otoritarian. Teori Moore itu ditentang oleh teori ketiga yang digagas oleh Rueschemeyer et al.[5] yang berpendapat bahwa kelas pekerjalah satu-satunya kekuatan pro-demokrasi yang konsisten. Kaum borjuasi yang dikatakan Moore sebagai pendorong demokrasi justru enggan karena mereka bergantung pada dukungan Negara, sedangkan kelas menengah bimbang karena takut menghadapi para buruh. Namun, Rueschemeyer et al. sepakat dengan Moore bahwa di daerah pedesaan posisi demokrasi bersandar pada petani yang kompak dan memiliki kemampuan membangun organisasi, dan pada relasi mereka terhadap kelas lain. Terakhir, teori transisi, merupakan teori yang banyak dipercaya paling memadai untuk menjelaskan fenomena transisi di Amerika Latin dan Eropa Selatan pada pertengahan dekade 1970-an. O’Donnel & Schmitter[6] yang mengembangkan teori ini mengabaikan faktor-faktor struktural dan segala prakondisi. Demokrasi, menurut mereka, bisa dilakukan dengan dukungan pihak asing dan memberikan ketrampilan membangun institusi demokrasi (crafting of democracy) kepada elit politik dan organisasi-organisasi masyarakat sipil.

Dari keempat teori demokrasi yang diterangkan Törnquist, banyak orang meyakini teori transisi paling memadai menerangkan demokratisasi Indonesia. Benarkah?

 

Demokratisasi Indonesia: Apa peran kelas?

Setelah rejim otoritarian Orde Baru jatuh pada 1998, banyak orang percaya Indonesia memasuki masa transisi menuju demokrasi. Berbagai perubahan memang mengindikasikan berkembangnya sebuah rejim demokratis baru di Indonesia. Kebebasan mendirikan partai politik dijamin oleh UU No 2/1999, padahal sebelumnya dibatasi jumlahnya dan dikontrol Menteri Dalam Negeri melalui lembaga “pembina politik”. UU No 3/1999 memayungi pelaksanaan Pemilu 1999 yang menjadi pemilu multipartai pertama yang demokratis sejak terakhir kali dilakukan 1955. Penyelenggaraan pemilu tidak lagi ditangani dan diatur pemerintah, tetapi oleh Komisi Pemilihan Umum yang independen. Pemilu 1999 juga mengubah konfigurasi kekuatan politik. Golkar yang mendominasi pemilu-pemilu Orde Baru untuk pertama kalinya tergeser ke urutan kedua di bawah perolehan suara PDIP. Kursi parlemen seketika diisi oleh perwakilan dari 21 partai politik, sangat kontras dengan apa yang terjadi di masa sebelumnya. Fraksi TNI/Polri memang masih duduk di DPR 1999-2004, akan tetapi itulah periode terakhir keberadaan utusan non-pemilu di parlemen. Begitulah, berbagai perubahan yang berkaitan dengan sistem pemilu dan kepartaian sangat mewarnai awal transisi dari rejim otoritarian ke rejim demokratis. Perhatian banyak dicurahkan terhadap dimensi elektoral itu.

Perubahan lain di luar dimensi elektoral bukannya tidak ada. Perangkat-perangkat demokrasi yang berkaitan dengan reformasi di bidang hukum pada umumnya, dan penciptaan good governance dan antikorupsi secara lebih khusus, juga memperoleh perhatian. Dalam konteks ini, kita bisa mencatat adanya lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Skenario reformasi perundang-undangan bahkan diawali melalui amandemen konstitusi (UUD 1945) sebanyak empat kali.[7]

Dengan berbagai penataan di bidang kelembagaan, baik menyangkut dimensi elektoral dan hukum, Indonesia kelihatannya memang bergerak ke arah yang semakin demokratis. Dalam konteks demokrasi prosedural, situasinya menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Pencapaian ini setidaknya memenuhi definisi demokrasi sebagaimana diterangkan Larry Diamond, Juan J. Linz, dan Seymour Martin Lipset (Mas’oed 2003:18-19), yaitu kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas di antara individu dan kelompok organisasi (terutama partai politik) untuk memperebutkan jabatan untuk pemerintahan yang efektif, adanya partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara, adanya pemilihan umum yang regular dan adil, adanya kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan untuk membentuk membentuk organisasi. Akan tetapi, definisi demokrasi seperti itu sangat jauh dari ideal, hanya memberikan batasan-batasan minimum tentang kelembagaan demokrasi.

Cara pandang kelembagaan biasanya menilai maraknya demonstransi yang digelar oleh berbagai organisasi buruh sebagai pertanda kuat bahwa lembaga kebebasan berekspresi dan menyalurkan pendapat, termasuk hak berdemonstrasi, sudah diakui dan sekaligus memperkuat penilaian bahwa Indonesia sudah semakin demokratis. Penilaian tersebut mungkin benar, namun tidak jujur. Penilaian itu tidak mengungkap kenyataan-kenyataan lain di balik aksi berbagai demonstrasi. Demonstrasi gerakan buruh yang digelar pada setiap hari buruh internasional 1 Mei, misalnya, hingga tahun 2011 masih merefleksikan masalah ketidakseimbangan relasi-kuasa di antara para pekerja dan pemilik modal atau pengusaha. Karena itu, demokrasi jelas bukan diukur semata-mata berdasarkan seberapa banyak demonstrasi berlangsung.

Krisis moneter Asia pada 1997 yang juga menimpa perekonomian Indonesia menjadi setting situasi yang memunculkan momentum penting yang dimanfaatkan gerakan mahasiswa untuk melakukan perubahan. Pertengahan 1998, Orde Baru berakhir dan proses demokratisasi dimulai. Itu sebabnya, pembicaraan mengenai demokratisasi Indonesia pada umumnya mengambil tahun 1998 sebagai titik awal. Namun, hal itu benar sejauh demokratisasi dianggap sebagai proses awal berdirinya rejim baru setelah tumbangnya rejim otoriter.[8] Namun, sebagaimana kelahiran demokrasi Eropa abad ke-19 tidak bisa dilepaskan dari sejarah revolusi industri dan tumbuhnya kapitalisme, demokratisasi Indonesia jelas tidak terlepas dari, dan harus dilihat sebagai, rangkaian sejarah dan struktur masyarakat pada era sebelum 1998. Demokrasi tidak datang secara tiba-tiba. Gerakan mahasiswa yang meluas yang meruntuhkan rezim Orde Baru pada bulan Mei 1998 juga tidak bisa dilepaskan begitu saja dari gerakan berbasis massa yang telah tumbuh sebelumnya. Para mahasiswa, tulis Törnquist (2003:81), “tentunya tidak akan bisa memaksa para elit untuk menjatuhkan Soeharto ... seandainya mereka tidak didukung oleh protes dan kemarahan luas para buruh….”

Beckman (2003) menyatakan gerakan buruh menciptakan momentum politik bagi demokratisasi Indonesia. Kata Beckman, “…Mungkin benar Soeharto jatuh karena krisis moneter. Tetapi gerakan pemogokan yang massif pada awal 1990-an tidak bisa diabaikan begitu saja sumbangannya… Gerakan perburuhan dan perjuangan buruh selalu menjadi suatu tempat berharga bagi pengembangan kompetensi politik dan pengalaman yang relevan untuk demokratisasi” (dalam Priyono et al. 2003:93).

Budiman dan Törnquist (2001), Törnquist (2001, 2002, 2003), Priyono et al. (2003), Pontoh (2005) dan Lane (2007) adalah sebagian literatur yang juga meletakkan perhatian besar terhadap peran dan dinamika gerakan berbasis kelas[9] dalam perjuangan mencapai demokrasi, baik sebelum, menjelang dan sesudah reformasi 1998, atau bahkan pada proses-proses yang terjadi selama masa Orde Baru. Dari sana kita bisa memperoleh gambaran bahwa dinamika perimbangan kekuatan antarkelas turut menjadi salah satu faktor dalam proses pengakhiran otoritarianisme di Indonesia, meskipun ada pendapat yang berbeda-beda mengenai kadar kepekatan pengaruhnya. Bagaimanapun, pengamatan dan analisis mereka sangat bermanfaat untuk mengetahui bagaimana proses demokratisasi sesungguhnya telah dimulai “di bawah tanah”, jauh sebelum rezim Orde Baru berakhir. Sudah barang tentu ada juga penulis lain yang juga mengungkapkan hal yang sama, termasuk para pemikir-aktivis yang menuliskan gagasan-gagasan mereka di berbagai media.[10]

Setelah proses reformasi dimulai, perhatian terhadap gerakan berbasis massa kelihatannya mengalami penurunan. Hampir seluruh perhatian dan analisis ditumpahkan pada proses pembangunan kelembagaan demokrasi, khususnya di bidang elektoral dan penegakan hukum.

 

Kesimpulan dan penutup

Tampaknya kajian berperspektif kelas memang masih harus banyak dilakukan untuk mempelajari demokrasi dan demokratisasi di Indonesia. Analisis berperspektif kelembagaan, betapapun penting, memiliki beberapa keterbatasan. Pemikiran dan konsep demokrasi sudah ada dan berkembang jauh sebelum demokrasi kontemporer yang kini dikenal (baik demokrasi liberal maupun demokrasi sosialis) yang berkembang belakangan pada sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dalam rentang waktu itu, kita mengenal banyak kelembagaan yang baru muncul kemudian. Kita tentu bisa mengidentifikasi hak-hak sipil dasar dan kedaulatan rakyat sebagai aspek-aspek kelembagaan demokrasi yang dipikirkan pada zaman Rousseau (abad ke-18) atau bahkan sebelumnya, namun tidaklah cukup alasan untuk mengatakan pemikiran-pemikiran tersebut tidak cukup demokratis hanya karena tidak memasukkan aspek-aspek kelembagaan representasi dan sistem kepartaian, atau pembagian kekuasaan dan mekanisme checks and balances, misalnya. Penjelasan ini membawa kita pada setidaknya dua keterbatasan analisis berperspektif kelembagaan. Pertama, ada kesulitan menentukan aspek kelembagaan demokrasi mana yang terpenting. Apakah semua kelembagaan demokrasi itu memiliki makna penting yang sama, ataukah ada yang utama dibanding yang lain? Jika seluruhnya memiliki makna penting yang sama, apa implikasinya jika ada beberapa aspek kelembagaan yang tidak tercakup? Jika ada yang utama dibanding yang lain, apa dasar penentuannya? Kedua, perspektif kelembagaan memisahkan perkembangan demokrasi dari struktur masyarakatnya. Jika demokrasi dipahami sebagai “kontrol publik atas urusan bersama atas dasar kesetaraan politik”, hal pokok yang harus dicermati tentu adalah siapa yang mengontrol dan dikontrol, apa saja yang dimaksud dengan urusan publik dan bagaimana publik menyepakatinya, serta atas dasar apa kesetaraan politik diberlakukan.[11]

Analisis kelembagaan juga tidak cukup menghadirkan aspek dinamis dari demokrasi. Perspektif kelas memungkinkan kita lebih memahami proses-proses yang memengaruhi dan membentuk profil dan situasi demokrasi, khususnya mengenai relasi-kuasa antarkelas.

Dalam konteks Indonesia, tulisan ini menyimpulkan bahwa demokratisasi dan demokrasi Indonesia merefleksikan ketimpangan relasi-kuasa antara kelas elit dan massa. Konsep kelas yang diperkenalkan Marx, Dahrendorf dan Weber membantu kita menemukan kenyataan bahwa kelas elit sangat dominan menguasai sumber daya dan akses politik dan ekonomi, termasuk menggunakannya untuk menguasai sumber daya sosial untuk keperluan mobilisasi dukungan politik. Di lain pihak, kelas massa di luar elit sangat tersubordinasi dan dikuasai oleh kelas elit sehingga menjadikan mereka sangat bergantung pada tindakan-tindakan politik para elit. Akibatnya, demokrasi tercipta sebagai sebuah sistem yang memapankan dominasi kelas elit atas massanya. Sedangkan dari Pareto, kita bisa memahami ketidakseimbangan relasi-kuasa itu antara lain diperkokoh oleh eksploitasi kelas elit terhadap irasionalitas massa: percaya kharisma, dinasti, dan popularitas. Mengenai yang terakhir, Törnquist (2003) mencatat “diskursus dan praktik radikal … termasuk di Indonesia, lebih banyak terfokus (atau diformulasikan berdasar) pada kebutuhan “kepemimpinan yang tercerahkan” terhadap massa pedesaan…” (Priyono et al. (eds.) 2003:73).

Kendati begitu studi ini juga mengindikasikan adanya lapisan-lapisan kelas di dalam kelas non-elit. Artinya, di kalangan non-elit sendiri ada elit yang lebih mendominasi penguasaan sumber-sumber daya. Studi-studi lanjutan diperlukan untuk menggali lebih dalam apa implikasi-implikasi lapis-lapis perbedaan di dalam kelas massa itu terhadap demokrasi dan demokratisasi. Jika kita mengacu pada penjelasan Marx soal reduksionalisme ideologis atau masyarakat pasca-kelas, keberadaan lapisan kelas di dalam kelas non-elit tentu mengisyaratkan perjalanan demokrasi yang masih panjang. Atau, jika kita merujuk Pareto, mungkinkah massa yang semakin rasional akan semakin menyulitkan demokratisasi? Sejauh mana kemungkinan-kemungkinan itu benar, bukan tugas paper ini lagi untuk menjelaskannya.

 

* * *

 
Daftar Pustaka

Beckman, Björn (2003). “Gerakan Buruh Menciptakan Momentum Politik” dalam Priyono et al. (eds.) (2003).

Beckman, Björn, Eva Hanson, Anders Sjörgen (eds.) (2001). Civil Society and Authoritarianism in the Third World. Stockholm: PODSU.

Budiman, Arief dan Olle Törnquist (2001). Aktor Demokrasi: Catatan tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia. Jakarta: ISAI.

Carothers, Thomas (2002). “The End of the Transition Paradigm” dalam Critical Mission, Essays on Democracy Promotion 2004.

Collier, Ruth B. (1999). Path Towards Democracy: The Working Class and Elites in Western Europe and South America. Cambridge University Press.

Gaffar, Afan (1992). Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lane, Max (2007). Bangsa yang Belum Selesai. Jakarta: Reform Institute.

Hadiz, Vedi R. (2003). “Menimbang Gagasan ‘Transisi Demokrasi’ di Indonesia” dalam Priyono et al. (eds.) (2003).

Macpherson, C. B. (1977). The Life and Times of Liberal Democracy. Oxford University Press.

Mas’oed, Mohtar (2003). Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pontoh, Coen Husain (2005). Malapetaka Demokrasi Pasar. Yogyakarta: Resist Book.

Prasetyo, Stanley Adi, A. E. Priyono, Olle Törnquist (2003). “Demokrat Mengambang” dalam Priyono et al. (eds.) (2003).

Priyono, A. E., Stanley Adi Prasetyo, Olle Törnquist (eds.) (2003). Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: Demos.

Ritzer, George, Douglas J. Goodman (2008). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Sahban, Gregorius (2004). Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto. Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri.

Törnquist, Olle (2001). “Movement Politics and Development: Preliminary Theoretical Notes on Some Concrete Cases in Kerala and Indonesia” dalam Beckman et al. (eds.) (2001).

Törnquist, Olle (2002). Popular Development and Democracy: Case Studies with Rural Dimensions in the Phillippines, Indonesia, and Kerala. Occasional Paper from SUM, No. 3.

Törnquist, Olle (2003). “Buruh dan Demokrasi? Refleksi tentang Kebuntuan Politik di Indonesia” dalam Priyono et al. (eds.) (2003).

Varma, S. P. (1987). Teori Politik Modern. Jakarta: Rajawali.

 



[1] Ditulis untuk memenuhi tugas matakuliah “HAM dan Demokrasi dalam Perspektif Perbandingan”, Program S2 HAM dan Demokrasi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM.

[2] Istilah “modern” di sini maksudnya adalah untuk membedakannya dengan demokrasi klasik yang dibayangkan Plato dan Aristoteles jauh pada masa sebelum Masehi.

[3] Gagasan Lipset dituangkan dalam tulisannya berjudul “Some Social Requisites of Democracy: Economic Development and Political Legitimacy” dalam American Political Science Review, Vol. 53, No. 1, 1959.

[4] Bukunya berjudul Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World, New York: Harper and Row, 1969.

[5] Dietrich Rueschemeyer bersama Evelyne Huber Stephens dan John D. Stephens. Karya mereka berjudul Capitalist Development and Democracy, Cambridge, UK: Polity Press, 1992.

[6] Buku mereka terbit pada 1976 berjudul Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies¸Baltimore, MD: The John Hopkins University Press.

[7] Proses amandemen dilakukan dalam Sidang Umum MPR 1999 dan Sidang Tahunan MPR 2000, 2001, 2002.

[8] Cara pandang seperti itu, yaitu menganggap proses menuju demokrasi baru berawal ketika rezim otoriter Orde Baru runtuh, sangat kental dengan paradigma transisi. Paradigma transisi demokrasi dibangun atas dasar lima asumsi. Asumsi pertama dan yang paling mendasar adalah bahwa Negara mana pun yang meninggalkan pemerintahan otoritarian dapat dianggap sebagai Negara dalam proses transisi menuju demokrasi. Lihat Carothers (2002).

[9] Gerakan berbasis kelas (bawah/massa/buruh) di Indonesia kerap diidentikkan sebagai “gerakan kiri”. Meskipun tidak tepat benar, istilah itu banyak digunakan Selain “kiri”, istilah lain yang juga sering dipakai dalam konotasi yang sama adalah “gerakan berbasis massa” (mass-based movements) dan “gerakan popular” (popular movement).

[10] Salah satu sumber yang menyajikan tulisan-tulisan berperspektif kelas adalah blog IndoPROGRESS  (http://www.indoprogress.com/) yang dikerjakan oleh Coen Husain Pontoh dkk.

[11] Lihat misalnya Macpherson (1977:8-9) dan Törnquist (2007) dalam Samadhi and Warouw (2007:21-23).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar