Rabu, 12 Agustus 2009

Pilkada 2010: Dilaksanakan, Ditunda, atau …?

Oleh: Willy Purna Samadhi 

APAKAH sebaiknya pelaksanaan 246 pilkada sepanjang tahun 2010 ditunda? Pertanyaan itu muncul sehubungan kontroversi mengenai perlunya pelaksanaan pilkada tahun depan ditunda atau tidak.

Usulan penundaan antara lain didasarkan atas kondisi ketidaksiapan sejumlah daerah untuk menyediakan anggaran dan regulasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pilkada. Salah satu regulasi yang dimaksud, yakni berkaitan dengan tata cara pemberian suara. KPU masih merujuk pada UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang masih mengatur tata cara pemberian suara dengan mencoblos surat suara. Cara itu dianggap tidak konsisten dengan penerapan cara mencontreng yang digunakan pada Pemilu 2009. Perbedaan ini dikhawatirkan bisa membingungkan pemilih. Karena itulah pilkada sebaiknya dilakukan setelah seluruh regulasi yang berkenaan dengan pilkada dituntaskan. 

Ketidaksiapan beberapa daerah untuk menyediakan anggaran juga menjadi alasan kuat bagi penundaan pelaksanaan pilkada. Hal ini sesuai dengan pengaturan yang tercantum pada Perppu No 3/2005 yang sudah disahkan menjadi UU 8/2005 tentang Perubahan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan peraturan itu, Wakil Ketua Komisi II DPR, Ganjar Pranowo, melihat ada peluang bagi penundaan pelaksanaan pilkada 2010 karena pada kenyataannya ada beberapa daerah yang tidak menganggarkannya di dalam APBD. 

Akan tetapi, mereka yang bersikeras tetap melanjutkan pilkada pada 2010 mengatakan sebaliknya. Menurut pemerintah dan KPU, seluruh persiapan teknis dan kebutuhan anggaran telah disiapkan. Proses perubahan peraturan perundangan yang berkaitan dengan pilkada bukan alasan yang tepat untuk menunda pilkada karena peraturan lama masih berlaku dan belum dicabut. 

Tak ada jawaban singkat yang mudah untuk menjawab persoalan ini. Kedua pendapat tersebut memiliki kebenaran di sisinya masing-masing. Namun saya sendiri melihat ada persoalan yang jauh lebih mendasar dibandingkan faktor-faktor yang bersifat teknis tersebut. Dalam pandangan saya, proses pilkada yang telah dilakukan sejak 2001 masih jauh dari harapan yang ingin dicapai melalui perubahan mekanisme pemilihan, yaitu dari pemilihan tidak langsung melalui DPRD menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Secara substansial, mekanisme pemilihan langsung seharusnya menjadikan proses pemilihan sebagai sebuah saluran terhormat bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan menjalankan kontrol publik sebagai hak demokratis. Artinya, pilkada seharusnya memunculkan rakyat sebagai aktor-aktor utama, bukannya malah menempatkan rakyat semata-mata sebagai pemilih pasif yang mau tidak mau harus memilih salah satu alternatif calon kepala daerah yang disodorkan. 

Oleh sebab itu, mematut-matut penyelenggaraan pilkada dari sisi teknis belaka jelas tidaklah cukup, bahkan cenderung menjerumuskan ke persoalan lebih pelik. Suatu ketika, saat tidak lagi ada persoalan teknis yang signifikan, kita bisa terjebak untuk menganggap persoalan pilkada yang demokratis telah selesai. Kita lupa bahwa demokrasi bukan hanya tujuan, melainkan juga cara. Artinya, jika kita menganggap situasi yang demokratis adalah adanya kesanggupan-memadai publik untuk melakukan kontrol terhadap hal-hal yang menjadi urusan bersama, maka sesungguhnya demokrasi harus juga diartikan sebagai kesanggupan-memadai publik untuk melakukan kontrol terhadap proses demokratisasi itu sendiri. Dengan demikian, demokrasi tidak pernah bisa dianggap “selesai” ketika kita merasa telah menyelesaikan penataan hal-hal yang bersifat teknis. Dalam persoalan seputar pelaksanaan pilkada yang lebih fundamental adalah mencari cara terbaik agar publik berkesempatan yang cukup dan berkemampuan memadai untuk ikut serta melakukan penyusunan peraturan yang berkaitan dengan pilkada, mengontrol pelaksanaannya, dan pada gilirannya mengikuti pelaksanaan pilkada sesuai peraturan. 

Hal-hal substansial itulah kiranya yang perlu lebih dikedepankan selagi kita menimbang-nimbang apakah pilkada pada 2010 perlu ditunda atau dilanjutkan. Jika ditunda, waktu yang tersedia hendaknya bisa digunakan semaksimal mungkin untuk menutupi kelemahan-kelemahan substansial di samping tentu saja membenahi persoalan-persoalan teknis yang mengganggu, termasuk soal kesiapan anggaran. Jika tetap dilanjutkan, tentu saja harus ada kemauan sungguh-sungguh untuk melakukan inisiatif-inisiatif cepat guna membereskan kendala-kendala teknis. Dari sana kemudian kita bisa menarik pelajaran untuk penyempurnaan peraturan dan pengaturan penyelenggaraan pilkada yang berikutnya. 

Pilkada yang lancar secara teknis serta berlangsung aman dan damai tentu saja merupakan hal yang penting. Akan tetapi yang jauh lebih penting daripada itu adalah menjadikan pilkada sebagai kesempatan bagi publik pemilih untuk menentukan arah kehidupan sosial yang akan dijalani selama lima tahun berikutnya melalui kepemimpinan kepala daerah. Karena itu pilkada harus bisa memunculkan kepala-kepala daerah yang benar-benar merepresentasikan kekuatan yang sungguh-sungguh tumbuh dari keinginan sebagian besar rakyat. Tanpa itu, pilkada hanya akan menjadi alat kelompok elit untuk memperoleh kekuasaan dan hak-hak istimewa lainnya melalui cara-cara yang ‘dipinjam’ dari prinsip demokrasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar