Senin, 28 Juli 2008

Menyelamatkan Partai Politik

Menyelamatkan Partai Politik

Oleh: Willy Purna Samadhi

Dalam tulisannya berjudul Stable but Unpopular (Inside Indonesia, …), Marcus Mietzner menyoroti kegagalan partai politik di Indonesia menjalankan fungsi-fungsi kepartaian dengan baik. Menurut Mietzner, kegagalan itu disebabkan partai lebih disibukkan dengan kegiatan fund raising. Celakanya, upaya mengumpulkan dana politik itu cenderung dilakukan dengan cara-cara rent seeker, power broker dan oportunistik. Hal ini terjadi karena tak adanya iuran keanggotaan. Sebagai akibatnya, partai politik menjelma menjadi lembaga politik yang tak popular, bahkan menjadi sasaran kecaman publik. Anehnya, lanjut Mietzner, partai politik terus saja tumbuh di Indonesia dan pendukungnya senantiasa ada. Mietzner menyebut fenomena itu sebagai hubungan “benci tapi rindu”.

Untuk mengubah situasi itu, seraya mengingatkan pentingnya partai di dalam sistem demokrasi, Mietzner pada akhirnya mengusulkan perlunya pemikiran dan upaya yang serius untuk melakukan reformasi terhadap sistem pendanaan partai politik di Indonesia. Sayangnya, tulisan Mietzner hanya berhenti sampai di situ. Ia tak merekomendasikan lebih rinci bagaimana reformasi sistem pendanaan partai itu dilakukan. Melalui tulisan ini saya mencoba meneruskan buah pikiran Mietzner itu, setidaknya dalam satu kemungkinan skenario.

Apa yang diungkap Mietzner itu benarlah adanya. Kendati kritik terhadap partai politik termasuk terhadap banyaknya jumlah partai – pemilu tahun depan diikuti 34 partai, 16 di antaranya partai baru – tak berhenti dan semakin keras, baik partai-partai lama maupun yang baru tetap saja memiliki pendukung. Akan tetapi, sesungguhnya hubungan “benci tapi rindu” itu tidaklah terlalu kompleks. Bagi saya, apa yang terjadi hanyalah sebuah hubungan yang tak gratis, sarat dengan tukar-menukar kepentingan. Partai perlu dukungan, pendukungnya senang diberi uang. Akibatnya, memang, partai dituntut menjadi suatu lembaga politik yang harus terus-menerus menjadi mesin uang ketimbang menjalankan fungsi-fungsinya di dalam sistem politik yang demokratis.

Salah satu faktor paling penting yang menjadi penyebab fenomena ini adalah sistem kepartaian itu sendiri. Hingga kini, kecuali di Aceh, desain sistem kepartaian kita hanya mengenal partai politik nasional. Bukan hanya mengenal, tetapi bahkan mengharuskan. Partai juga diwajibkan memiliki kepengurusan pusat di ibu kota negara. Dengan begitu, hampir bisa dipastikan pembentukan partai politik dimulai dari inisiatif tokoh-tokoh politik di Jakarta, baru menjalar kepengurusannya ke daerah-daerah. Proses ini jelas menyiratkan adanya kebutuhan dana yang sangat besar, sehingga tak ayal inisiatif pembentukan partai juga hanya bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh berduit. Pada gilirannya, partai-partai hanya akan menjadi kendaraan politik para “pemilik”-nya, bukan lagi sebagai sebuah institusi demokratis yang secara ideal memiliki fungsi-fungsi rekrutmen politik, agregasi kepentingan, penyalur aspirasi, dan lain-lain.

Dalam kondisi seperti itu partai memang sulit dibayangkan akan menjadi wahana harapan publik. Selain atas dasar tukar-menukar kepentingan tadi, satu-satunya alasan lain yang membuat publik mendukung sebuah partai adalah spekulasi mengenai harapan baru yang yang ditawar-tawarkan para “pemilik” partai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar