Menyelamatkan Partai
Politik
Oleh: Willy Purna Samadhi
Dalam tulisannya berjudul Stable but Unpopular (Inside Indonesia , …), Marcus Mietzner
menyoroti kegagalan partai politik di Indonesia menjalankan fungsi-fungsi
kepartaian dengan baik. Menurut Mietzner, kegagalan itu disebabkan partai lebih
disibukkan dengan kegiatan fund raising.
Celakanya, upaya mengumpulkan dana politik itu cenderung dilakukan dengan
cara-cara rent seeker, power broker
dan oportunistik. Hal ini terjadi karena tak adanya iuran keanggotaan. Sebagai
akibatnya, partai politik menjelma menjadi lembaga politik yang tak popular,
bahkan menjadi sasaran kecaman publik. Anehnya, lanjut Mietzner, partai politik
terus saja tumbuh di Indonesia
dan pendukungnya senantiasa ada. Mietzner menyebut fenomena itu sebagai hubungan
“benci tapi rindu”.
Untuk mengubah situasi itu, seraya mengingatkan pentingnya
partai di dalam sistem demokrasi, Mietzner pada akhirnya mengusulkan perlunya
pemikiran dan upaya yang serius untuk melakukan reformasi terhadap sistem
pendanaan partai politik di Indonesia .
Sayangnya, tulisan Mietzner hanya berhenti sampai di situ. Ia tak
merekomendasikan lebih rinci bagaimana reformasi sistem pendanaan partai itu
dilakukan. Melalui tulisan ini saya mencoba meneruskan buah pikiran Mietzner
itu, setidaknya dalam satu kemungkinan skenario.
Apa yang diungkap Mietzner itu benarlah adanya. Kendati
kritik terhadap partai politik termasuk terhadap banyaknya jumlah partai –
pemilu tahun depan diikuti 34 partai, 16 di antaranya partai baru – tak
berhenti dan semakin keras, baik partai-partai lama maupun yang baru tetap saja
memiliki pendukung. Akan tetapi, sesungguhnya hubungan “benci tapi rindu” itu
tidaklah terlalu kompleks. Bagi saya, apa yang terjadi hanyalah sebuah hubungan
yang tak gratis, sarat dengan tukar-menukar kepentingan. Partai perlu dukungan,
pendukungnya senang diberi uang. Akibatnya, memang, partai dituntut menjadi
suatu lembaga politik yang harus terus-menerus menjadi mesin uang ketimbang
menjalankan fungsi-fungsinya di dalam sistem politik yang demokratis.
Salah satu faktor paling penting yang menjadi penyebab
fenomena ini adalah sistem kepartaian itu sendiri. Hingga kini, kecuali di
Aceh, desain sistem kepartaian kita hanya mengenal partai politik nasional.
Bukan hanya mengenal, tetapi bahkan mengharuskan. Partai juga diwajibkan
memiliki kepengurusan pusat di ibu kota
negara. Dengan begitu, hampir bisa dipastikan pembentukan partai politik
dimulai dari inisiatif tokoh-tokoh politik di Jakarta , baru menjalar kepengurusannya ke
daerah-daerah. Proses ini jelas menyiratkan adanya kebutuhan dana yang sangat
besar, sehingga tak ayal inisiatif pembentukan partai juga hanya bisa dilakukan
oleh tokoh-tokoh berduit. Pada gilirannya, partai-partai hanya akan menjadi
kendaraan politik para “pemilik”-nya, bukan lagi sebagai sebuah institusi
demokratis yang secara ideal memiliki fungsi-fungsi rekrutmen politik, agregasi
kepentingan, penyalur aspirasi, dan lain-lain.
Dalam kondisi seperti itu partai memang sulit dibayangkan
akan menjadi wahana harapan publik. Selain atas dasar tukar-menukar kepentingan
tadi, satu-satunya alasan lain yang membuat publik mendukung sebuah partai
adalah spekulasi mengenai harapan baru yang yang ditawar-tawarkan para
“pemilik” partai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar