Dipresentasikan pada Konferensi Nasional “Demokrasi dan Tirani Modal”, diselenggarakan Puskapol FISIP-UI dan Elsam di Kampus FISIP-UI Depok, 6 Agustus 2008. Naskah ini disunting dari bab pertama “Ringkasan Eksekutif dan Laporan Awal Survei Demos 2007”.
Pendahuluan
Survei pertama Demos (2003/04) mengenai Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia mengungkap bahwa situasi demokrasi Indonesia dalam keadaan defisit. Gejala defisit itu antara lain terindikasi dari adanya kesenjangan antara pesatnya perkembangan berbagai kebebasan serta hak-hak sipil dan politik di satu sisi, dan buruknya kondisi perangkat-perangkat operasional demokrasi di sisi yang lain.[1]
Setelah empat tahun berlalu, bagaimana kondisi demokrasi sekarang? Pertanyaan itulah yang mendorong Demos melakukan resurvei tahun 2007 yang lalu.[2] Melalui resurvei itu, Demos melihat secara umum ada kemajuan dibanding situasi sebelumnya. Kemajuan pesat terutama menyangkut sejumlah perangkat demokrasi yang berkenaan denngan manajemen operasional pemerintahan yang bersih. Beberapa perangkat demokrasi yang berkaitan dengan hal itu, misalnya independensi pemerintah dari kelompok kepentingan yang kuat dan adanya kapasitas untuk menghapuskan korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan, kepatuhan pejabat pemerintah dan pejabat publik terhadap hukum (rule of law), serta kesetaraan di depan hukum, memperlihatkan perkembangan positif yang cukup signifikan – meskipun harus dicatat di sini bahwa perkembangannya berangkat dari kondisi yang begitu buruk.
Selain itu, resurvei Demos juga melihat kecenderungan kuat bahwa kerangka kerja politik demokrasi juga telah cukup berfungsi dan diterima secara luas. Kebanyakan aktor kelihatannya telah menerima demokrasi sebagai acuan utama (the only game in town). Di tingkat lokal, masyarakat pada umumnya juga telah tumbuh sebagai komunitas-komunitas politik yang demokratis. Boleh jadi, hal terakhir itu pula yang menghindarkan Indonesia dari ancaman dan aksi-aksi separatisme atau menimbulkan konflik-konflik agama dan etnis secara meluas.
Akan tetapi, sekali lagi, berbagai perbaikan itu tidak serta-merta mengubah wajah demokrasi menjadi baik. Pertama, perbaikan-perbaikan pada berbagai perangkat operasional demokrasi itu berasal dari kondisi yang sangat buruk, sehingga situasinya sekarang masih tetap belum benar-benar baik. Kedua, kesenjangan antara aspek-aspek kebebasan yang membaik dan perangkat-perangkat operasional demokrasi memang menyempit, tetapi fenomena ini tidak semata-mata disebabkan oleh membaiknya perangkat-perangkat operasional demokrasi, melainkan juga karena hampir semua aspek kebebasan fundamental justru mengalami kemerosotan. Kondisi seperti ini jelas sangat mengkhawatirkan. Ketiga, kita bisa melihat bahwa representasi politik, representasi berbasis kepentingan, dan partisipasi langsung warga negara, mengalami kemandegan. Bahkan, kebebasan membentuk partai dan keikutsertaan dalam pemilihan umum mengalami kemerosotan paling parah di antara perangkat-perangkat demokrasi lainnya. Keempat, praktek politik ternyata memang tetap didominasi oleh elit. Kelima, politisasi isu dan kepentingan, pengorganisasian dan mobilisasi politik masih berjalan satu arah dari atas dan sangat kuat dicirikan oleh klientelisme dan populisme. Keenam, kelompok-kelompok pro-demokrasi mulai berupaya menempuh aksi-aksi politik dan tidak lagi semata-mata aktif di lingkungan civil society. Meski demikian, mereka secara umum masih lemah dalam hal pengorganisasian, terus terfragmentasi, serta tetap terpinggirkan dari ajang pemilihan umum.
Perkembangan beberapa tahun terakhir ini juga ditandai oleh merosotnya kualitas berbagai kebebasan dasar warga negara. Jika dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya, berbagai aspek fundamental berikut ini mengalami kemerosotan cukup tajam: kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta untuk menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan, kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja, serta kebebasan dan akses publik terhadap pers, dunia seni dan akademis. Kemunduran juga terlihat pada partisipasi warga negara dan, terutama, kebebasan mendirikan partai dan ikut serta dalam pemilihan umum di berbagai tingkatan, serta pada berbagai aspek penguatan representasi. Selain itu demokratisasi Indonesia masih mengidap masalah-masalah lain, yaitu tidak adanya perbaikan akses dan partisipasi dari semua kelompok sosial – termasuk kelompok-kelompok marjinal – terhadap kegiatan publik, buruknya kesetaraan gender, serta masih buruknya transparansi dan pertanggungjawaban militer dan polisi terhadap pemerintah terpilih dan terhadap publik, serta kuatnya ketergantungan pemerintah kepada intervensi pihak asing.
Setelah satu dasawarsa, demokratisasi di Indonesia menampakkan kemajuan, kendati masih juga memperlihatkan beberapa stagnasi dan kemerosotan. Sebagai kerangka politik nasional, demokrasi telah bekerja dan relatif berhasil jika dibandingkan dengan pengalaman negara-negara lain. Tetapi laksana bangunan di atas pasir, demokrasi Indonesia tidak ditopang oleh fondasi yang kokoh.
Tabel 1 berikut ini memperlihatkan perbandingan situasi berbagai perangkat demokrasi berdasarkan hasil survei 2003-2004 dan 2007.
Tabel 1. Indeks perangkat demokrasi: Perbandingan hasil survei 2003/04 dan 2007
NO
|
PERANGKAT-PERANGKAT DEMOKRASI
|
2003/04
|
2007
|
TREND 2003/04 – 2007
| ||
INDEKS
|
PERINGKAT
|
INDEKS
|
PERINGKAT
| |||
Perangkat Legal dan Hak-hak
| ||||||
1
|
Kesetaraan warga negara (Kesetaraan warga negara, hak-hak kelompok minoritas, migran, dan pengungsi; Rekonsiliasi konflik horisontal)
|
32
|
15
|
42
|
21
|
31%
|
2
|
Dukungan pemerintah terhadap hukum internasional menyangkut hak asasi manusia
|
27
|
17
|
46
|
12
|
70%
|
3
|
Kepatuhan pejabat pemerintah dan pejabat publik terhadap hukum (rule of law)
|
16
|
32
|
45
|
15
|
181%
|
4
|
Kesetaraan di hadapan hukum (Akses yang setara dan aman terhadap keadilan; Integritas dan independensi lembaga peradilan)
|
18
|
30
|
44
|
16
|
144%
|
5
|
Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut terhadapnya
|
28
|
16
|
47
|
10
|
68%
|
6
|
Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi
|
74
|
2
|
60
|
3
|
-19%
|
7
|
Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-serikat pekerja
|
57
|
8
|
51
|
8
|
-11%
|
8
|
Kebebasan beragama dan berkeyakinan; Menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan
|
74
|
1
|
66
|
1
|
-11%
|
9
|
Kesetaraan dan emansipasi gender
|
47
|
9
|
46
|
13
|
-2%
|
10
|
Perlindungan terhadap hak-hak anak
|
27
|
18
|
53
|
7
|
96%
|
11
|
Hak untuk mendapatkan pekerjaan, memperoleh jaminan sosial, dan kebutuhan dasar lainnya
|
22
|
26
|
45
|
14
|
105%
|
12
|
Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar, termasuk tentang hak-hak dan kewajiban warga negara
|
37
|
13
|
59
|
4
|
59%
|
13
|
Tatakelola perusahaan yang baik (good corporate governance)
|
21
|
27
|
40
|
23
|
90%
|
Representasi Politik
| ||||||
14
|
Pemilu yang bebas dan adil di tingkat pusat, regional, dan lokal; Pemilihan kepala daerah
|
63
|
4
|
64
|
2
|
2%
|
15
|
Kebebasan mendirikan partai di tingkal lokal dan nasional (termasuk peluang bagi para calon independen), merekrut anggota, dan berkampanye untuk menduduki jabatan-jabatan pemerintahan
|
71
|
3
|
40
|
22
|
-44%
|
16
|
Kemampuan partai politik dan atau para kandidat untuk memperjuangkan isu-isu vital dan kepentingan publik
|
24
|
22
|
36
|
31
|
50%
|
17
|
Pencegahan penyalahgunaan sentimen, simbol dan doktrin etnis dan agama oleh partai politik dan atau para kandidat
|
38
|
12
|
44
|
17
|
16%
|
18
|
Independensi partai politik dan para kandidat dalam pemilu dari politik uang dan kepentingan yang terselubung
|
20
|
29
|
40
|
24
|
100%
|
19
|
Adanya mekanisme kontrol anggota terhadap partai serta respon dan tanggungjawab partai dan para kandidat kepada konstituennya
|
23
|
25
|
38
|
29
|
65%
|
20
|
Kemampuan partai dan para kandidat untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan
|
24
|
21
|
38
|
27
|
58%
|
Pemerintahan yang Demokratik dan Akuntabel
| ||||||
21
|
Desentralisasi pemerintahan secara demokratis menyangkut segala hal tanpa campur tangan pemerintah pusat
|
33
|
14
|
43
|
20
|
30%
|
22
|
Transparansi dan akuntabilitas pemerintah hasil pemilihan dan birokrasi pada semua tingkatan
|
23
|
24
|
43
|
18
|
87%
|
23
|
Transparansi dan pertanggungjawaban militer dan polisi terhadap pemerintah terpilih dan terhadap publik
|
23
|
23
|
35
|
32
|
52%
|
24
|
Kapasitas pemerintah untuk memberantas kelompok-kelompok paramiliter, preman, dan kejahatan yang terorganisir
|
20
|
28
|
39
|
26
|
95%
|
25
|
Independensi pemerintah dari pihak asing (kecuali berkenaan dengan pemberlakuan konvensi PBB dan hukum internasional lainnya)
|
24
|
20
|
36
|
30
|
50%
|
26
|
Independensi pemerintah dari kelompok kepentingan yang kuat dan adanya kapasitas untuk menghapuskan korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan
|
18
|
31
|
43
|
19
|
139%
|
Keterlibatan dan Partisipasi Warga Negara
| ||||||
27
|
Kebebasan pers, dunia seni, dan dunia akademis
|
60
|
6
|
59
|
5
|
-2%
|
28
|
Akses publik terhadap berbagai pandangan dalam media, seni, dan dunia akademis, serta kemampuan media, seni, dan dunia akademis untuk merefleksikannya
|
57
|
7
|
47
|
11
|
-18%
|
29
|
Partisipasi warga negara di dalam organisasi masyarakat yang independen
|
62
|
5
|
54
|
6
|
-13%
|
30
|
Adanya organisasi-organisasi masyarakat yang transparan, akuntabel, dan demokratis
|
42
|
11
|
48
|
9
|
14%
|
31
|
Akses dan partisipasi yang luas dari semua kelompok sosial – termasuk kelompok-kelompok marjinal – terhadap kegiatan publik
|
46
|
10
|
38
|
28
|
-17%
|
32
|
Partisipasi langsung (Akses dan kontak langsung masyarakat terhadap layanan publik; Konsultasi pemerintah terhadap publik, serta jika mungkin pemberian fasilitas pada partisipasi langsung dalam pembuatan dan penerapan kebijakan publik)
|
25
|
19
|
40
|
25
|
60%
|
INDEKS RATA-RATA
|
37
|
46
|
24%
|
Perkembangan yang Mengesankan: Aspek Manajerial Pemerintahan
Sejak jatuhnya Orde Baru, perkembangan demokratisasi memperlihatkan dengan jelas bahwa perangkat-perangkat perundangan/regulasi formal serta berbagai norma dan pranata informal makin lama makin bersifat suportif. Demokrasi sudah mulai menjadi kelaziman dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahasa politik kekuasaan tidak banyak lagi mengutip kosakata otoritarian.
Singkatnya, selama satu dasawarsa sejak 1998, demokrasi telah menjadi sistem yang relatif berfungsi sebagai kerangka kerja politik nasional,[3] menggantikan sistem politik otoritarian. Saat ini kita berada pada situasi point of no return. Dalam skenario yang optimis, kita bisa mengatakan setelah hak-hak sipil dan politik mengalami perbaikan dramatis pada tahun-tahun pertama demokratisasi, sekarang kita mencatat beberapa pencapaian lain: perangkat-perangkat demokrasi yang bertalian dengan aspek manajerial pemerintahan kini memperlihatkan perkembangan yang mengesankan.
Tabel 1 yang sudah disajikan di depan memperlihatkan gambaran yang positif. Berdasarkan angka rata-ratanya, indeks perangkat demokrasi membaik dari 37 menjadi 46, atau sekitar 25 persen. Pada beberapa instrumen, kenaikan nilai indeks terlihat sangat tajam. Kepatuhan pejabat pemerintah dan pejabat publik terhadap hukum (rule of law) naik dari skor 16 menjadi 45. Kesetaraan di hadapan hukum juga naik tajam dari 18 menjadi 44. Kenaikan yang juga signifikan terlihat pada perangkat demokrasi yang berkaitan dengan independensi pemerintah dari kelompok kepentingan yang kuat, kapasitas untuk menghapuskan korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan. Kendati tak setajam yang di atas, perbaikan indeks juga terlihat pada beberapa perangkat lainnya.
Jika dihitung secara rata-rata, ketujuh perangkat yang berkaitan dengan manajerial pemerintahan mengalami peningkatan indeks hampir 100% (dari 22 menjadi 41; lihat Tabel 2). Boleh jadi perbaikan pada aspek manajerial pemerintahan ini disebabkan oleh, antara lain, agenda pemerintahan SBY-JK saat ini yang menekankan pembenahan pada aspek-aspek tersebut, yang memang sebelumnya berada dalam kondisi yang buruk. Kemungkinan lain, perbaikan itu bisa jadi menggambarkan situasi aktual di tingkat lokal setelah penerapan otonomi daerah.
Tabel 2. Indeks perangkat demokrasi yang berkaitan dengan manajerial pemerintahan:
Perbandingan 2003/04 dan 2007
NO
|
NO PERANGKAT
|
PERANGKAT DEMOKRASI
|
INDEKS DAN PERINGKAT(1)
|
KENAIKAN INDEKS
(%)
| |
2003/04
|
2007
| ||||
1
|
3
|
Kepatuhan pejabat pemerintah dan pejabat publik terhadap hukum (rule of law)
|
16 (32)
|
45 (15)
|
181
|
2
|
4
|
Kesetaraan di hadapan hukum (Akses yang setara dan aman terhadap keadilan; Integritas dan inpendensi lembaga peradilan)
|
18 (30)
|
44 (16)
|
144
|
3
|
21
|
Desentralisasi pemerintahan secara demokratis menyangkut segala hal tanpa campur tangan pemerintah pusat
|
33 (14)
|
43 (20)
|
30
|
4
|
22
|
Transparansi dan akuntabilitas pemerintah hasil pemilihan dan birokrasi pada semua tingkatan
|
23 (24)
|
43 (18)
|
87
|
5
|
23
|
Transparansi dan pertanggungjawaban militer dan polisi terhadap pemerintah terpilih dan terhadap publik
|
23 (23)
|
35 (32)
|
52
|
6
|
24
|
Kapasitas pemerintah untuk memberantas kelompok-kelompok paramiliter, preman, dan kejahatan yang terorganisir
|
20 (28)
|
39 (26)
|
95
|
7
|
25
|
Independensi pemerintah dari pihak asing (kecuali berkenaan dengan pemberlakuan konvensi PBB dan hukum internasional lainnya)
|
24 (20)
|
36 (30)
|
50
|
8
|
26
|
Independensi pemerintah dari kelompok kepentingan yang kuat, kapasitas untuk menghapuskan korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan
|
18 (31)
|
43 (19)
|
139
|
INDEKS RATA-RATA
|
22
|
41
|
97
|
(1) Angka dalam kurung menunjukkan peringkat
Tentu saja, kita tetap perlu menulis catatan kritis di sini. Pertama, semakin banyaknya kasus korupsi yang
terungkap bukan saja memperlihatkan kesungguhan pemerintah melawan korupsi, tetapi juga menjadi penanda tegas bahwa praktek korupsi masih terus berlangsung. Kedua, perbaikan indeks itu tidak serta-merta menandakan pemerintahan telah menghasilkan kinerja yang baik. Dari Tabel 2 kita bisa melihat perangkat-perangkat yang berkaitan dengan aspek manajerial pemerintahan memiliki nilai indeks yang masih kecil.
Ancaman Terhadap Fundamental Demokrasi
1. Kebebasan mulai pudar
Seperti halnya pada survei sebelumnya, berbagai perangkat demokrasi yang berkaitan dengan kebebasan-kebebasan dan hak-hak sipil dan politik relatif baik kondisinya jika dibandingkan dengan perangkat-perangkat demokrasi lainnya. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya, hasil survei 2007 mengindikasikan situasi yang memburuk pada perangkat-perangkat ini.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan, menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan, yang dahulu terungkap sebagai perangkat demokrasi yang terbaik, kini masih berada di peringkat teratas. Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi juga masih tergolong yang terbaik, kendati peringkatnya turun dari peringkat kedua menjadi yang ketiga. Perangkat demokrasi yang berkaitan dengan pemilihan umum yang bebas dan adil bahkan mengalami perbaikan peringkat dari peringkat ke-4 menjadi yang ke-2. Selain itu, kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut juga mengalami perbaikan posisi dari peringkat ke-16 menjadi ke-10.
Nilai indeks dari perangkat-perangkat kebebasan serta hak sipil dan politik juga relatif masih baik jika dibandingkan dengan indeks perangkat lainnya. Seperti diperlihatkan oleh Tabel 3, enam dari 11 perangkat-perangkat demokrasi yang memiliki indeks di atas angka indeks rata-rata keseluruhan (> 46) merupakan perangkat yang berkaitan dengan kebebasan dan hak-hak sipil dan politik.
Tabel 3. Perangkat demokrasi dengan indeks di atas angka indeks rata-rata (> 46)
NO
|
NO PERANGKAT
|
PERANGKAT DEMOKRASI(1)
|
INDEKS(2)
|
PERINGKAT(2)
|
1
|
8
|
Kebebasan beragama dan berkeyakinan; Menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan
|
66 (74)
|
1 (1)
|
2
|
14
|
Pemilu yang bebas dan adil di tingkat pusat, regional, dan lokal; Pemilihan kepala daerah
|
64 (63)
|
2 (4)
|
3
|
6
|
Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi
|
60 (74)
|
3 (2)
|
4
|
12
|
Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar, termasuk tentang hak-hak dan kewajiban warga negara
|
59 (37)
|
4 (13)
|
5
|
27
|
Kebebasan pers, dunia seni, dan dunia akademis
|
59 (60)
|
5 (6)
|
6
|
29
|
Partisipasi warga negara di dalam organisasi masyarakat yang independen
|
54 (62)
|
6 (5)
|
7
|
10
|
Perlindungan terhadap hak-hak anak
|
53 (27)
|
7 (18)
|
8
|
7
|
Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja
|
51 (57)
|
8 (8)
|
9
|
30
|
Adanya organisasi-organisasi masyarakat yang transparan, akuntabel, dan demokratis
|
48 (42)
|
9 (11)
|
10
|
5
|
Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut terhadapnya
|
47 (28)
|
10 (16)
|
11
|
28
|
Akses publik terhadap berbagai pandangan dalam media, seni, dan dunia akademis, serta kemampuan media, seni, dan dunia akademis untuk merefleksikannya
|
47 (57)
|
11 (7)
|
(1) Perangkat yang dicetak miring merupakan perangkat yang berkaitan dengan kebebasan serta hak-hak sipil dan politik
(2) Angka dalam kurung memperlihatkan hasil survei 2003/04.
Meskipun masih terdata sebagai kelompok yang terbaik, sebagian besar perangkat yang merupakan aspek fundamental demokrasi – yaitu kebebasan-kebebasan serta hak sipil dan politik – sesungguhnya mengalami kemunduran, atau setidaknya stagnasi. Kebebasan beragama dan berkeyakinan, menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan, dulu berada di urutan teratas dengan skor indeks 74, kini indeksnya menjadi 66. Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi, yang dulu indeksnya 74, sekarang menjadi 60. Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja juga mengalami penurunan indeks dari 57 menjadi 51. Sedangkan kesetaraan dan emansipasi gender, meskipun indeksnya relatif tetap (47), kini berada pada peringkat ke-13. (Tabel 4)
Tabel 4. Perangkat-perangkat demokrasi yang berkaitan dengan berbagai kebebasan serta hak-hak sipil dan politik yang mengalami penurunan indeks: Perbandingan hasil 2003/04 dan 2007
NO URUT
|
NO PERANGKAT
|
PERANGKAT DEMOKRASI
|
INDEKS
|
PERUBAHAN
| |
2003/04
|
2007
| ||||
1
|
6
|
Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi
|
74
|
60
|
-19%
|
2
|
7
|
Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja
|
57
|
51
|
-11%
|
3
|
8
|
Kebebasan beragama dan berkeyakinan; Menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan
|
74
|
66
|
-11%
|
4
|
9
|
Kesetaraan dan emansipasi gender
|
47
|
46
|
-2%
|
5
|
27
|
Kebebasan pers, dunia seni, dan dunia akademis
|
60
|
59
|
-2%
|
6
|
28
|
Akses publik terhadap berbagai pandangan dalam media, seni, dan dunia akademis, serta kemampuan media, seni, dan dunia akademis untuk merefleksikannya
|
57
|
47
|
-18%
|
Angka indeks rata-rata
|
62
|
55
|
-15%
|
Gambaran mengenai memudarnya kebebasan dan melemahnya hak-hak sipil dan politik antara lain bisa dilihat dari pelarangan terhadap aktivitas Jamaat Ahmadiyah Indonesia, juga terhadap kelompok-kelompok muslim lain yang dianggap sesat. Beberapa kali kita juga masih menyaksikan perusakan terhadap gereja-gereja tanpa sanksi hukum berarti. Majelis Ulama Indonesia bahkan mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial yang melarang ajaran pluralisme, liberalisme, dan toleransi. Tampak bahwa politik keagamaan yang diterapkan pemerintahan SBY-JK terlalu memberi ruang bagi kelompok-kelompok Islam-politik fundamentalis. Gejala ini boleh jadi karena pemerintah merasa takut terhadap tekanan, atau sekadar ingin terkesan ’populis’ dalam rangka mendulang suara mereka dalam Pemilu 2009. Alhasil, di tengah-tengah kinerja manajerial pemerintahan yang makin demokratis, masih ada banyak problem di mana pemerintah tidak berada di pihak yang membela kebebasan sipil-politik, termasuk kebebasan beragama.[4]
Selain itu, kendati secara umum demokrasi telah cukup berhasil difungsikan sebagai kerangka kerja politik nasional, namun keberhasilan ini sesungguhnya masih mengandung berbagai cacat kronis di tingkat praktek. Memang, pada tingkat pranata konstitusional-legal, berbagai jaminan mengenai hak-hak sipil dan politik terus mengalami perbaikan. Selain amandemen UUD 1945 di atas kertas telah membuat sistem politik semakin berorientasi HAM – juga terdapat pula berbagai perbaikan misalnya yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan dicabutnya pasal-pasal hatzaai peninggalan sistem hukum kolonial yang masih terdapat di dalam KUHP – namun kita juga masih menyaksikan bahwa pemerintah melakukan pembiaran terhadap praktek-praktek intoleransi terhadap kebebasan beragama di kalangan minoritas. Dalam konteks inilah barangkali kita bisa lebih memahami mengapa hak-hak sipil dan politik mengalami kemerosotan.
2. Representasi paling parah, dan partisipasi melorot tajam
Ancaman terhadap aspek fundamental demokrasi tak hanya terlihat dari merosotnya kondisi hak-hak sipil dan politik. Aspek fundamental lainnya, yaitu aspek representasi politik dan kemandirian negara, yang dahulu berada dalam situasi yang buruk, saat ini masih memperlihatkan stagnasi. Perangkat demokrasi yang berkenaan dengan kebebasan mendirikan partai di tingkal lokal dan nasional bahkan melorot tajam indeksnya dari 71 menjadi 40, melemparkannya dari peringkat ketiga ke urutan ke-22 dari 32 perangkat demokrasi yang ada. Tabel 5 di bawah ini memperlihatkan indeks perangkat demokrasi yang berkenaan dengan aspek representasi politik.
Tabel 5. Indeks dan peringkat perangkat demokrasi yang berkenaan dengan representasi politik
NO
|
NO PERANGKAT
|
PERANGKAT DEMOKRASI YANG BERKENAAN DENGAN REPRESENTASI POLITIK
|
INDEKS(1)
|
PERINGKAT(1)
|
1
|
14
|
Pemilu yang bebas dan adil di tingkat pusat, regional, dan lokal; Pemilihan kepala daerah
|
64 (63)
|
2 (4)
|
2
|
15
|
Kebebasan mendirikan partai di tingkal lokal dan nasional (termasuk peluang bagi para calon independen), merekrut anggota, dan berkampanye untuk menduduki jabatan-jabatan pemerintahan
|
40 (71)
|
22 (3)
|
3
|
16
|
Kemampuan partai politik dan atau para kandidat untuk memperjuangkan isu-isu vital dan kepentingan publik
|
36 (24)
|
31 (22)
|
4
|
17
|
Pencegahan penyalahgunaan sentimen, simbol dan doktrin etnis dan agama oleh partai politik dan atau para kandidat
|
44 (38)
|
17 (12)
|
5
|
18
|
Independensi partai politik dan para kandidat dalam pemilu dari politik uang dan kepentingan yang terselubung
|
40 (20)
|
24 (29)
|
6
|
19
|
Adanya mekanisme kontrol anggota terhadap partai serta respon dan tanggungjawab partai dan para kandidat kepada konstituennya
|
38 (23)
|
29 (25)
|
7
|
20
|
Kemampuan partai dan para kandidat untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan
|
38 (24)
|
27 (21)
|
8
|
32
|
Partisipasi langsung (Akses dan kontak langsung masyarakat terhadap layanan publik; Konsultasi pemerintah terhadap publik, serta jika mungkin pemberian fasilitas pada partisipasi langsung dalam pembuatan dan penerapan kebijakan publik)
|
40 (25)
|
25 (19)
|
INDEKS RATA-RATA
|
43 (36)
|
(1) Angka dalam kurung memperlihatkan hasil survei 2003/04.
Sebagaimana terlihat pada tabel di atas, perangkat-perangkat dalam aspek representasi politik tidak mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Secara rata-rata nilai indeks kelompok aspek representasi ini tidak terlalu tinggi (43), hanya naik sekitar 18 persen dari nilai indeks 2003/04 yaitu 36. Selain itu kita bisa melihat enam dari delapan perangkat itu mengalami penurunan peringkat, menandakan terabaikannya aspek representasi politik ini dari upaya-upaya perbaikan demokrasi.
Ada dua hal yang patut diberi perhatian di sini. Pertama, perangkat yang berkaitan dengan pemilihan umum yang bebas dan adil merupakan satu-satunya di antara delapan perangkat yang berkaitan dengan aspek representasi yang memiliki nilai indeks relatif tinggi dan konsisten. Baik menurut hasil survei 2003/04 maupun 2007, angka indeks untuk perangkat ini berada di atas angka indeks rata-rata seluruh perangkat. Hal ini mengindikasikan adanya kecenderungan untuk menempatkan institusionalisasi pemilihan umum yang bebas dan adil sebagai mekanisme utama bagi perbaikan kondisi representasi. Padahal, sebagaimana diperlihatkan oleh data tadi, perbaikan perangkat pemilihan umum tidak serta-merta mendatangkan perbaikan representasi politik. Jika kita tidak menyertakan perangkat pemilihan umum, angka indeks rata-rata untuk perangkat lainnya hanyalah 39.
Kedua, buruknya kondisi representasi ini ditandai dengan jelas oleh merosotnya indeks perangkat yang berkaitan dengan kebebasan mendirikan partai dan ikut serta dalam pemilihan umum, yaitu dari 71 menjadi 40. Data ini jelas mengindikasikan bahwa proses demokratisasi yang tengah berlangsung hampir-hampir tidak memberi ruang yang cukup bagi perluasan partisipasi untuk memperbaiki kondisi representasi. Gugurnya puluhan partai-partai baru dalam proses verifikasi Departemen Hukum dan HAM merupakan indikasi yang sangat jelas. Dari 115 partai baru yang mendaftar ke Departemen Hukum dan HAM, hanya 24 partai yang dinyatakan lolos verfikasi atau pengesahan sebagai partai politik berdasarkan UU No. 2/2008, itu pun tidak seluruhnya lolos ke Pemilu 2009.
Parahnya kondisi representasi juga bisa kita lihat dari kenyataan bahwa tujuh perangkat demokrasi yang berkaitan dengan aspek representasi memiliki nilai indeks lebih kecil atau sama dengan nilai indeks rata-rata dari 32 perangkat.
3. Kemerosotan lainnya
Seperti telah disebutkan di atas, selain representasi politik, fundamental demokrasi lainnya yang juga masih bermasalah adalah aspek kemandirian negara dari segala kepentingan pihak asing. Data yang kami peroleh memang mengindikasikan hal itu. Seperti halnya temuan survei terdahulu, independensi pemerintah dari pengaruh dan kepentingan pihak asing masih buruk. Memang, berdasarkan survei terakhir, indeksnya meningkat cukup tajam. Akan tetapi, karena indeks terdahulu terbilang sangat kecil (24), saat ini indeksnya pun masih rendah, yaitu 36. Bahkan, kalau dulu perangkat ini berada dalam urutan ke-22, saat ini ia jatuh ke peringkat 31.
Aspek lain yang menjadi fundamental demokrasi adalah hak-hak ekonomi dan budaya. Perangkat-perangkat yang termasuk dalam aspek ini adalah hak memperoleh pendidikan dasar, perlindungan hak anak, dan hak memperoleh pekerjaan dan jaminan sosial, serta good corporate governance. Angka indeks untuk kelompok perangkat hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya memperlihatkan peningkatan. Data ini mungkin saja mengejutkan, setidaknya bagi orang-orang di Jakarta yang tidak cukup memiliki informasi memadai mengenai perkembangan di berbagai daerah di Indonesia. Akan tetapi kita bisa menyangka bahwa situasinya masih pincang, terutama karena persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di daerah-daerah Indonesia bagian timur, termasuk juga karena rendahnya kapasitas untuk memperjuangkan hak-hak dasar yang universal di Indonesia. Bagaimanapun, kita harus juga mencatat bahwa penilaian para informan dilakukan tahun lalu, sebelum kasus-kasus kelaparan ramai diberitakan.
Kendati begitu, angka indeks rata-rata untuk aspek hak ekonomi, sosial, dan budaya masih tergolong rendah, yaitu 46. Dibandingkan indeks sebelumnya (37), kenaikannya juga tidak cukup mengesankan, hanya berkisar 20-an persen. Seperti yang mudah diamati secara kasat mata maupun melalui berbagai liputan di media massa, kita memang mengetahui bahwa kondisi sosial-ekonomi masyarakat umumnya masih memprihatinkan. Banyak orang yang tak lagi sanggup memenuhi kebutuhan mereka, bukan saja lantaran kenaikan harga yang terus-menerus tetapi juga sering terjadi kelangkaan beberapa jenis barang kebutuhan pokok di mana-mana. Kenaikan harga BBM yang sangat drastis juga telah memukul kebanyakan pengusaha kecil.
Kesimpulan awal
Hingga di sini, ada empat kesimpulan sementara yang bisa ditarik. Pertama, secara umum kita melihat ada perbaikan pada perangkat-perangkat demokrasi. Kedua, celah defisit pada perangkat-perangkat demokrasi memang kelihatannya semakin menyempit. Ketiga, bagaimanapun, penyempitan itu tidak semata-mata menunjukkan adanya perbaikan semua perangkat. Perangkat-perangkat yang berkaitan dengan kebebasan dasar dan partisipasi politik kepartaian yang dulu memiliki angka indeks yang baik, sekarang menurun. Perbaikan-perbaikan dalam aspek manajerial pemerintahan tampaknya harus ”ber-ongkos” pada memudarnya berbagai kebebasan. Keempat, seiring dengan mandegnya perkembangan berbagai kebebasan dasar dan hak-hak sipil dan politik, aspek lain yang menjadi fundamental demokrasi, yaitu representasi politik dan kemandirian negara, tak kunjung mengalami perbaikan. Akan tetapi, selain menyangkut pemilihan umum, perangkat-perangkat yang diperlukan untuk mendorong partisipasi politik juga bukanlah perangkat-perangkat yang tergolong paling buruk. Terakhir, kondisi hak sosial, ekonomi, dan budaya, kelihatannya telah membaik di sebagian daerah, tetapi jelas situasinya masih pincang. Berbagai kabar terakhir yang kita dengar juga menandakan adanya kecenderungan yang memburuk, misalnya tragedi kematian seorang ibu dan anak yang kelaparan di Makassar. Kombinasi dari kesimpulan-kesimpulan itu memperlihatkan gambaran yang mencengangkan: di tengah-tengah perbaikan defisit, aspek-aspek fundamental demokrasi diam-diam tengah terancam..
Integrasi Aktor ke dalam Demokrasi
Dari paparan di atas, kita mengetahui ada dinamika menyangkut berbagai perangkat demokrasi. Masuk akal jika sekarang kita melihat bagaimana relasi yang berlangsung antara para aktor dan perangkat-perangkat itu.
Kami membedakan aktor ke dalam dua kelompok besar, yaitu aktor berpengaruh (dulu kami menyebutnya sebagai aktor dominan) dan aktor alternatif (dulu disebut aktor pro-demokrasi). Aktor berpengaruh adalah aktor-aktor yang memiliki kekuatan politik yang nyata dan menentukan, sementara aktor alternatif merupakan aktor-aktor berpotensi menandingi kekuatan kelompok aktor yang pertama. Tabel 6 dan 7 di bawah ini memperlihatkan komposisi latar belakang lima besar dari kedua kelompok aktor itu.
Tabel 6. Komposisi lima kelompok aktor berpengaruh paling utama menurut latar belakang mereka berdasarkan hasil survei 2007 dan perbandingan komposisinya menurut hasil survei 2003/04
NO
|
KELOMPOK AKTOR BERPENGARUH
|
AKTOR BERPENGARUH/ DOMINAN
| |
2003/04
(N=1.795)
|
2007
(N=1.890)
| ||
(%)
| |||
1
|
Pemerintah/Birokrasi
|
40
|
46
|
2
|
Partai politik dan anggota parlemen (pusat+lokal)
|
17
|
23
|
3
|
Kelompok agama dan etnis, kelompok adat, tokoh informal
|
12
|
9
|
4
|
Polisi, militer
|
16
|
7
|
5
|
Pengusaha, Bisnis
|
12
|
6
|
Semua angka menunjukkan persentase berbasis jumlah aktor pada setiap survei.
Tabel 7. Komposisi lima kelompok aktor alternatif paling utama menurut latar belakang mereka berdasarkan hasil survei 2007 dan perbandingan komposisinya menurut hasil survei 2003/04
NO
|
KELOMPOK AKTOR ALTERNATIF
|
AKTOR ALTERNATIF/
PRO-DEMOKRASI
| |
2003/04
(N=798)
|
2007
(N=1.590)
| ||
(%)
| |||
1
|
LSM dan organisasi
|
41
|
31
|
2
|
Kelompok profesional (akademisi, pengacara, media)
|
30
|
18
|
3
|
Partai politik dan anggota parlemen (pusat+lokal)
|
8
|
20
|
4
|
Kelompok agama dan etnis, kelompok adat, tokoh informal
|
2
|
16
|
5
|
Pemerintah/Birokrasi
|
4
|
8
|
Semua angka menunjukkan persentase berbasis jumlah aktor pada setiap survei.
Kedua tabel di atas mengungkap bahwa para aktor yang berlatar belakang pemerintahan dan birokrasi serta para politisi merupakan kelompok aktor yang paling besar peranannya, baik sebagai aktor berpengaruh maupun aktor alternatif. Dari data survei yang terakhir (2007) aktor berlatar belakang pemerintahan dan birokrasi terlihat paling menonjol, yaitu 54 persen (46 dan 8 persen). Sedangkan aktor berlatar belakang politisi dan anggota parlemen menunjukkan kenaikan proporsi yang cukup signifikan.
Data ini menarik. Di satu sisi hal ini menandakan sumber-sumber kekuasaan privat masih terbebas dari politik dan kekuatan negara relatif lemah. Di lain sisi, data ini sekaligus memperlihatkan betapa lajunya pertumbuhan sistem politik dan aktivitas politik yang terorganisir, khususnya di kalangan aktor alternatif. Memang, aktor berlatar belakang aktivis LSM tetap merupakan aktor alternatif yang paling menonjol. Akan tetapi kita bisa melihat munculnya aktor-aktor alternatif baru yang berasal dari kelompok politisi dan tokoh-tokoh informal. Kenyataan lain yang menarik adalah berkurangnya kelompok militer serta tokoh-tokoh kelompok agama dan etnis pada kelompok aktor berpengaruh. Munculnya tokoh-tokoh informal sebagai aktor alternatif boleh jadi disebabkan buruknya kondisi organisasi-organisasi politik.
Penyesuaian Aktor terhadap Demokrasi
Bagaimana kedua kelompok aktor itu membangun relasi terhadap perangkat-perangkat demokrasi yang ada? Pertama, kami mengungkap bahwa kelompok aktor berpengaruh semakin terintegrasi ke dalam sistem politik yang demokratis. Relasi mereka terhadap perangkat-perangkat demokrasi yang tersedia jauh lebih membaik daripada situasi yang kami temukan pada survei yang lalu. Jika dulu hanya sekitar 50 persen (16 dan 33 persen) aktor dominan yang mempromosikan dan/atau menggunakan perangkat-perangkat demokrasi, temuan survei kami yang terakhir memperlihatkan kenaikan yang cukup signifikan. Menurut keterangan informan, secara rata-rata terdapat 36 persen aktor berpengaruh cenderung menggunakan perangkat demokrasi, dan 35 persen lainnya bahkan ikut mempromosikan berbagai perangkat demokrasi – menjadi 71 persen jika keduanya digabungkan.
Pada kelompok lain, aktor alternatif, perkembangan situasinya kurang-lebih serupa, dengan kecenderungan yang lebih tinggi untuk mempromosikan demokrasi. Lebih dari 90 persen (66 dan 27 persen) aktor alternatif yang diidentifikasi oleh para informan kami dianggap memiliki kecenderungan untuk mempromosikan dan/atau menggunakan perangkat demokrasi yang ada. Temuan ini jelas jauh lebih tinggi daripada situasi yang kami dapati berdasarkan hasil survei sebelumnya, yaitu 66 persen.
Tabel 8 berikut ini memperlihatkan perbandingan kecenderungan rata-rata relasi kedua kelompok aktor terhadap perangkat demokrasi.
Tabel 8. Kecenderungan rata-rata relasi kedua kelompok aktor terhadap perangkat demokrasi:
Perbandingan 2005 dan 2008
No
|
AKTOR UTAMA
|
RELASI AKTOR UTAMA TERHADAP PERANGKAT DEMOKRASI
| |||||||
Menggunakan dan mempromosikan
|
Menggunakan
|
Menggunakan dan memanipulasi
|
Mengabaikan perangkat demokrasi dan mencari alternatif
| ||||||
2003/04
|
2007
|
2003/04
|
2007
|
2003/04
|
2007
|
2003/04
|
2007
| ||
(%)
|
(%)
|
(%)
|
(%)
| ||||||
1
|
Aktor dominan/ berpengaruh
|
16
|
35
|
33
|
36
|
36
|
19
|
15
|
10
|
2
|
Aktor pro-demokrasi/ alternatif
|
44
|
66
|
22
|
27
|
20
|
3
|
13
|
4
|
Membaiknya relasi para aktor terhadap perangkat demokrasi semakin mempertegas indikasi bahwa demokrasi sudah semakin diterima sebagai sebuah kerangka kerja politik. Aktor-aktor berpengaruh yang dulu terlihat berperilaku ambivalen, dengan kecenderungan sama kuat untuk menggunakan dan memajukan, di satu sisi, dengan memanipulasi dan mengabaikan perangkat demokrasi, di lain sisi, kini tampak semakin positif relasinya terhadap perangkat-perangkat demokrasi yang tersedia. Kelompok aktor alternatif bahkan bisa dianggap menjadikan perangkat demokrasi sebagai satu-satunya pilihan. Karena itu, mudah pula dipahami mengapa secara umum perangkat-perangkat demokrasi memperlihatkan perbaikan indeks.
Kapasitas Aktor yang Tak Memadai
Lantas, mengapa perbaikan relasi para aktor terhadap demokrasi tidak berhasil memperbaiki kondisi representasi? Sudah diutarakan di atas bahwa formalisasi atas perangkat-perangkat demokrasi ternyata belum sepenuhnya tuntas. Akibatnya, penafsiran terhadap substansi setiap perangkat demokrasi sangat bergantung kepada kekuatan yang paling dominan, di samping pengaruh faktor-faktor informal yang ada. Tingkah laku para aktor lebih didasarkan atas kepentingan dan kesempatan sesuai setting situasi politik yang berkembang ketimbang atas prinsip-prinsip demokrasi seperti kontrol dan memperluas partisipasi publik. Selain itu, relasi yang baik tidak menjamin perangkat-perangkat demokrasi itu dapat dimanfaatkan secara optimal. Data-data lain yang kami peroleh memberi petunjuk yang cukup kuat mengenai ketidakseimbangan antara kapasitas aktor berpengaruh dan aktor alternatif.
Wilayah gerakan
Dibandingkan hasil survei sebelumnya, survei 2007 mengindikasikan adanya pergeseran wilayah aktivitas aktor alternatif. Pada 2003/04 kami menemukan bahwa aktor alternatif cenderung absen di wilayah-wilayah negara, namun kini meningkat cukup signifikan. Mereka bukan saja mulai memasuki dan mempengaruhi wilayah eksekutif dan legislatif, tetapi juga masuk ke partai-partai politik. Di satu sisi, gejala ini bisa dilihat sebagai gambaran perkembangan yang positif. Seperti kami sampaikan pada survei sebelumnya, absennya aktor-aktor alternatif pada wilayah-wilayah itu membuat mereka hanya bisa menjalankan peran politik marjinal dan tidak menentukan. Kini, potensi aktor alternatif untuk mempengaruhi proses-proses politik akan lebih mudah terwujud karena kehadiran mereka di wilayah-wilayah itu meningkat. Namun, di lain sisi, masuknya aktor-aktor alternatif ke wilayah negara dan partai politik ternyata lebih merupakan perpindahan daripada sebuah upaya melebarkan wilayah gerakan mereka. Akibatnya, seiring dengan meningkatknya aktivitas aktor alternatif di wilayah negara dan partai-partai politik, kehadiran mereka di dalam masyarakat sipil menjadi berkurang. Fenomena ini sedikit-banyak mengurangi efek positif kehadiran aktor alternatif di wilayah-wilayah itu, karena kehadiran mereka tidak disertai dengan ikatan tali-mandat yang kuat antara mereka dan basis-basis masyarakat sipil yang sebelumnya mereka bangun.
Pada pihak lain, aktor berpengaruh tidak memperlihatkan perubahan yang cukup signifikan menyangkut pilihan mereka terhadap macam-macam wilayah gerakan. Penilaian para informan kami jelas menunjukkan bahwa aktor berpengaruh masih menguasai wilayah-wilayah negara dan aktivitas politik terorganisir (organised politics). Perbedaan yang cukup menyolok adalah berkurangnya aktivitas dan pengaruh aktor-aktor berpengaruh di dalam kemiliteran dan kepolisian.
Sumber kekuasaan dan cara para aktor memperoleh legitimasi
Para aktor berpengaruh, selain sudah memiliki kekuasaan nyata secara politik, juga ditopang oleh kekuatan ekonomi dan mesin politik yang mapan. Sebaliknya, aktor alternatif masih mengandalkan intelektualitas dengan kekuatan massa yang tidak terorganisir. Akibatnya, kelompok aktor berpengaruh cenderung tidak terpengaruh oleh upaya-upaya mengubah status-quo yang dilakukan aktor alternatif. Dengan sokongan finansial yang tak terbatas, mereka dengan relatif mudah bisa melakukan berbagai kampanye melalui media, melibatkan diri ke dalam sebanyak mungkin isu publik, termasuk isu-isu yang “demokratis”, mengatur berbagai proses pengambilan keputusan, dan pada akhirnya memenangkannya untuk kepentingan sendiri. Maka, monopoli elit-dominan bukan saja menjadi semakin kuat, tetapi dipertahankan dengan sebanyak mungkin cara-cara yang demokratis. Monopoli mereka bukan saja terhadap kekuasaan dan sistem politik, tetapi – celakanya – juga terhadap demokrasi.
Keterangan para informan kami jelas memperlihatkan bahwa para aktor berpengaruh belakangan ini cenderung melakukan cara-cara yang “demokratis” untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Temuan survei terdahulu kami (2003/04) memperlihatkan indikasi adanya cara-cara koersif dan koruptif yang dimanfaatkan aktor berpengaruh untuk memperoleh legitimasi kekuasaan. Kini, cara-cara seperti itu semakin ditinggalkan dan diganti dengan dialog, lobi dengan politisi dan para pejabat, kontak antar-personal, membangun jaringan, dan mengikuti pemilihan umum.
Politisasi isu dan kepentingan
Ada gambaran menarik menyangkut pilihan para aktor utama, baik aktor berpengaruh maupun alternatif, terhadap isu-isu atau kepentingan yang mereka perjuangkan. Data kami memperlihatkan hingga pada tingkat tertentu ada kesamaan antara pilihan isu-isu dan kepentingan yang diperjuangkan oleh aktor berpengaruh dan alternatif. Pertama, aktor berpengaruh kelihatannya mulai mencoba untuk mengangkat isu-isu yang sebelumnya lebih menjadi kepedulian para aktor alternatif, misalnya isu-isu hak asasi manusia, pengembangan demokrasi, termasuk mengenai kebebasan serta hak-hak sipil dan politik. Isu-isu seperti itu masih juga menjadi pilihan di kalangan aktor alternatif. Perbedaannya adalah bahwa aktor berpengaruh cenderung mengangkatnya sebagai wacana-wacana yang umum, sementara aktor alternatif lebih fokus pada isu-isu spesifik. Kedua, seiring dengan membaiknya kondisi perangkat-perangkat demokrasi yang berkaitan dengan manajerial pemerintahan, isu-isu yang relevan dengan hal itu, seperti good givernance dan anti-korupsi juga menjadi isu-isu yang relatif kerap dilontarkan, baik oleh aktor-aktor berpengaruh maupun alternatif. Ketiga, baik aktor berpengaruh maupun alternatif kelihatannya kurang memberikan perhatian pada isu-isu dan kepentingan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar publik, termasuk mengenai pelayanan publik.
Selain itu menarik pula untuk dicatat bahwa isu-isu pembangunan ekonomi yang lebih makro kelihatannya lebih menjadi kepedulian kalangan aktor berpengaruh daripada aktor alternatif. Untuk sebagian, hal ini bisa menjadi indikasi bahwa aktor berpengaruh lebih menyadari adanya keterkaitan antara kepentingan-kepentingan mereka dan pilihan-pilihan kebijakan ekonomi makro. Aktor alternatif sendiri kelihatannya tidak cukup peduli terhadap masalah ini.
Cara pengorganisasian dan mobilisasi dukungan
Lebih lanjut, aktor alternatif justru terjebak pada tujuan-tujuan sempit dan jangka pendek, yaitu menguasai jabatan-jabatan politik. Langkah ini bukannya keliru, akan tetapi menimbulkan persoalan karena ditempuh dengan cara-cara yang non-demokratis. Upaya merebut jabatan politik lebih terlihat sebagai aksi-aksi individual, bukan sebagai aksi kolektif yang didukung oleh mekanisme organisasi yang ketat dan memungkinkan akuntabilitas politik tetap berlangsung. Boleh jadi tindakan ini dilakukan karena dorongan ketidaksabaran, akan tetapi implikasinya malah memperburuk kondisi representasi. Basis organisasi cenderung dibuat untuk kepentingan temporer, sesekali sebagai hasil kesepakatan di antara sejumlah tokoh popular, dan bersamaan dengan itulah aktor-aktor alternatif muncul sebagai tokoh-tokoh “karismatik” yang baru. Mereka pun gagal melakukan de-monopolisasi elit-dominan.
Di pihak lain, aktor berpengaruh kelihatannya justru mulai melebarkan pilihan cara-cara memobilisasi dukungan massa. Pada survei 2003/04, aktor berpengaruh kelihatan sangat mengandalkan benar kekuatan organisasional dan mesin politik yang mereka bangun untuk memobilisasi massa, selain memanfaatkan hubungan patron-klien. Menurut survei terakhir, cara mobilisasi aktor berpengaruh cukup bervariasi. Hubungan patron-klien tetap dijaga sebagai salah satu pilihan mobilisasi yang paling utama, tetapi kini mereka juga melakukan aksi-aksi untuk membangun populisme atau kepemimpinan popular, dan memperkuat jaringan di antara mereka sendiri. Meskipun lebih variatif, baik jika dibandingkan dengan kecenderungan terdahulu maupun dengan pilihan mobilisasi aktor alternatif, hasil survei terakhir ini sedikit-banyak memperlihatkan adanya tendensi aktor berpengaruh untuk meninggalkan cara-cara organisasional dalam memobilisasi dukungan massa. Contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah berkurangnya peranan sejumlah organisasi pemuda – misalnya AMPI, Pemuda Pancasila – yang menjadi onderbouw partai-partai dominan di masa lalu.
Strategi
Penjelasan terhadap gejala menurunnya pemanfaatan organisasi-organisasi sebagai basis mobilisasi dukungan kelihatannya bisa dikaitkan dengan pilihan strategi yang ditempuh oleh para aktor utama, baik aktor berpengaruh maupun alternatif. Ada kecenderungan yang cukup jelas bahwa kedua kelompok aktor lebih memilih dan menempuh cara-cara partisipasi langsung daripada memanfaatkan lembaga-lembaga mediasi, baik politik maupun non-politik. Di kalangan aktor alternatif, pilihan bentuk partisipasi langsung secara rata-rata mencapai angka 29 persen, sementara di kalangan aktor berpengaruh angkanya lebih tinggai lagi, yaitu 35 persen. Artinya, kedua kelompok aktor jelas lebih menyukai cara-cara jalan pintas daripada memanfaatkan berbagai lembaga mediasi yang lebih demokratis.
Gambarannya menjadi lebih memprihatinkan lagi karena di antara lembaga-lembaga media yang tersedia, aktor alternatif lagi-lagi cenderung lebih memanfaatkan kelompok-kelompok lobi dan kontak dengan berbagai pakar daripada memanfaatkan institusi-institusi perantara yang demokratis seperti partai politik. Aktor berpengaruh kurang-lebih juga memperlihatkan gejala yang sama, akan tetapi perhatian mereka terhadap partai politik jelas lebih besar daripada aktor alternatif.
Kendati data-data ini bisa saja merupakan cerminan dari pragmatisme dan strategi jangka pendek kedua kelompok aktor, kita perlu juga mencurigainya sebagai indikasi-indikasi awal keterbatasan kapasitas politik demokratis para aktor. Namun, apapun jawabannya, kedua kemungkinan itu harus dianggap sebagai sinyal yang tidak baik bagi proses demokratisasi selanjutnya.
Kesimpulan
1. Demokratisasi masih terus berlangsung dan belum berhenti. Data yang terkumpul bahkan memperlihatkan ada perbaikan indeks perangkat-perangkat demokrasi. Karena itu anggapan sementara pihak yang menyebutkan bahwa demokrasi di Indonesia sama sekali gagal tidaklah tepat. Namun, perbaikan-perbaikan itu berlangsung di atas dasar yang rapuh.
2. Walaupun indeks perangkat demokrasi memperlihatkan perbaikan, perkembangannya tidaklah merata. Perbaikan yang menonjol terlihat pada aspek manajerial pemerintahan. Akan tetapi, perbaikan ini tidak serta-merta benar-benar memperlihatkan kinerja pemerintahan yang baik. Hak sosial, ekonomi, dan budaya juga memperlihatkan sedikit kemajuan, tetapi juga tak menandakan kondisi yang benar-benar baik. Di lain sisi, fundamental demokrasi berupa representasi, kemandirian negara, dan terutama berbagai kebebasan dasar merupakan perangkat-perangkat yang mengalami kemandegan dan kemerosotan. Aspek-aspek representasi jelas berada dalam situasi yang lebih buruk dibanding sebelumnya.
3. Jadi, selain melakukan pembenahan terhadap aspek manajerial pemerintahan, pemerintah juga dituntut untuk membiarkan ruang kebebasan politik terbuka lebar. Hanya dengan itulah kondisi representasi yang buruk bisa diperbaiki.
4. Para aktor, baik elit-dominan maupun aktor alternatif, tampak semakin akomodatif dan beradaptasi terhadap sistem demokrasi. Sayangnya, kapasitas demokratik mereka masih relatif rendah. Kelompok elit-dominan cenderung memanipulasi keunggulan politik dan ekonomi, sedangkan kelompok pro-demokrasi belum berhasil memperlihatkan diri sebagai kekuatan alternatif demokratis yang bisa menandingi kekuatan aktor berpengaruh. Mereka, kelompok pro-demokrasi, cenderung melakukan potong-kompas untuk merebut kekuasaan politik secara individual dan oportunistik ketimbang melakukan pengorganisasian basis sebagai sumber kekuatan politik yang demokratis. Yang menarik, aktor berpengaruh kelihatannya juga mulai tertarik untuk membangun ketokohan popular daripada membangun organisasi yang kuat untuk memobilisasi dukungan terhadap mereka. Selain itu, baik aktor alternatif maupun aktor berpengaruh sama-sama memiliki kecenderungan untuk menempuh cara pintas melalui lobi, kontak antar-personal atau bahkan melakukan aksi-aksi individual untuk mendapatkan tujuan-tujuan mereka.
5. Singkatnya, ada kemajuan penting menyangkut aspek-aspek manajerial pemerintahan demokratis. Para aktor umumnya pun telah mengikuti berbagai peraturan dan regulasi formal. Tetapi, di lain sisi, harus dicatat pula bahwa kondisi aspek-aspek kebebasan serta hak-hak sipil dan politik tidak lagi sebaik sebelumnya. Partisipasi politik melalui partai semakin terbatas, monopoli elit terhadap aktivitas politik terorganisir masih berlanjut, dan para aktor alternatif masih kurang berdaya. (wps)
* * *
Catatan kaki:
[1] Penjelasan lebih rinci mengenai defisit demokrasi, termasuk hasil lain dari survei terdahulu, dapat disimak dalam AE Priyono, Willy Purna Samadhi, Olle Tornquist, et.al., Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah-masalah dan Pilihan–pilihan di Indonesia, edisi revisi (Jakarta: Demos, 2007).
[2] Kegiatan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Juli-Oktober 2007. Survei ini merupakan kelanjutan dari survei sebelumnya (2003-2004). Survei yang terakhir dimaksudkan untuk menguji kembali hasil-hasil utama dari survei sebelumnya. Selain itu, hasil-hasil survei ini diharapkan bisa menjadi dasar penyusunan rekomendasi aksi bagi aktivis gerakan demokrasi dalam mengantisipasi dinamika demokrasi menjelang Pemilihan Umum 2009.
[3] Survei kami yang terdahulu (2003/04) mengungkap bahwa situasi demokrasi di berbagai wilayah memperlihatkan kemiripan satu sama lain. Hal ini mengindikasikan bahwa pendekatan dan kerangka demokratisasi yang diterapkan secara nasional diterima secara luas di seluruh Indonesia.
[4] Penjelasan lebih gamblang mengenai fenomena ini dapat merujuk Naipospos, Bonar Tigor, et.al., ”Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan” dalam Laporan Kebebasan dan Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2007 (Jakarta: SETARA Institute, 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar