Jumat, 22 Mei 2015

Blok Politik Kesejahteraan sebagai Alternatif Demokratisasi

Catatan: Naskah ini adalah Bab 17 dari buku berjudul Berebut Kontrol atas Kesejahteraan: Kasus-kasus Politisasi Demokrasi di Tingkat Lokal (Paskarina, dkk., 2015)


Pendahuluan
Bab-bab terdahulu telah memberikan gambaran tentang sebagian situasi demokrasi dan demokratisasi di berbagai daerah. Ada sejumlah masalah, tetapi ada juga peluang sekaligus pilihan yang tersedia untuk mengatasi masalah-masalah itu. Bab terakhir ini secara khusus akan menelaah masalah dan peluang yang dihadapi para aktor pro-demokrasi di Indonesia, khususnya mereka yang bergiat di tingkat lokal.

Tugas penelaahan itu akan dilakukan dengan menggunakan data tentang kapasitas politik para aktor pro-demokrasi. Asumsinya, perkembangan demokrasi berkaitan erat dengan kemampuan (atau ketidakmampuan) para aktor mengaktualisasikan kapasitas politik mereka dalam rangka melakukan transformasi politik. Data-data mengenai kapasitas politik para aktor pro-demokrasi itu diambil dari sebagian hasil survei PWD UGM-UiO 2013.

Tujuan dari bab ini adalah merefleksikan situasi dan pengalaman para aktor pro-demokrasi di lapangan, lalu mentransformasikan hasil-hasilnya menjadi rancangan aksi politik untuk mendukung proses pembangunan demokrasi selanjutnya, terutama menyangkut perbaikan kualitas representasi dan partisipasi publik. Karena itu, bagian terakhir dari bab ini akan mengulas pembentukan Blok Politik Kesejahteraan sebagai alternatif strategi demokrasi yang mungkin dapat ditempuh para aktor pro-demokrasi di tingkat lokal.

Demokrasi sebagai Politik Transformatif
Demokrasi pada umumnya dipahami awam sebagai sebuah kondisi politik yang memberikan tempat kepada rakyat untuk berkuasa. Demokratisasi, karena itu, sering diartikan sebagai proses untuk mencapai kondisi itu. Cara pemaknaan seperti itu sesungguhnya terlalu menyederhanakan persoalan dan menghilangkan banyak dimensi penting yang terkandung di dalam kedua konsep itu. Demokrasi dan demokratisasi memiliki dinamika dan mengandung kompleksitas yang rumit daripada sekadar penjelasan sesederhana itu. Demokrasi adalah “proses menjadi” yang dinamis, tak pernah berhenti, dan senantiasa membutuhkan campur-tangan para aktor yang terlibat di dalamnya (Samadhi, 2015: 10, Cf. Rustow, 1970 dalam Priyono & Hamid, 2014: xv). Karena itu demokratisasi adalah sebuah proses yang keberlangsungannya amat bergantung pada imajinasi (kepentingan dan ideologi) para aktor tentang demokrasi.

Tim riset PWD UGM-UiO menggunakan definisi terbuka mengenai demokrasi sebagai basis pijakan untuk melakukan assessment demokrasi. Dengan meminjam pemikiran Beetham (1999), demokrasi didefinisikan sebagai kontrol popular (orang banyak) terhadap urusan-urusan publik atas dasar kesetaraan warga negara. Penggunaan definisi yang terbuka seperti itu telah menolong kita untuk tidak senantiasa terjebak dalam dikotomi deskriptif sederhana yang seolah-olah hanya melihat demokrasi sebagai sebuah rezim seragam yang berbeda dari rezim otoritarian yang seragam pula.

Berdasarkan definisi itu, demokrasi dapat dibayangkan sebagai sebuah keadaan yang memungkinkan setiap warga negara bukan saja memiliki hak untuk melakukan kontrol terhadap urusan-urusan yang disepakati sebagai urusan bersama, tetapi sekaligus mampu mengaktualisasikan kapasitas politiknya dalam menggunakan hak-haknya dengan cara-cara yang disepakati bersama. Di samping itu, demokrasi juga berkaitan dengan siapa yang merumuskan urusan publik, apa yang dimaksud dengan kontrol popular, serta siapa saja dan bagaimana kontrol popular dijalankan.

Sejalan dengan hal itu, demokratisasi adalah proses implementasi prinsip-prinsip dasar demokrasi untuk memperoleh capaian demi capaian situasi demokratik tertentu, yang ditandai oleh karakteristik situasi yang berbeda dibandingkan situasi sebelumnya. Ia tidak sekadar sebuah proses pergeseran dari rezim otoritarian menjadi rezim demokrasi. Demokratisasi juga menyangkut tentang proses bagaimana serangkaian regulasi politik tentang, misalnya hak-hak kewarganegaraan, diterima dan diaplikasikan untuk menggantikan praktik sebelumnya yang lebih menerapkan aturan-aturan berdasarkan tradisi, kekerasan, wangsit, titah, atau petunjuk orang-orang pintar dan orang-orang yang dianggap pemimpin, dan sebagainya. Demokratisasi juga adalah proses tentang bagaimana regulasi politik menjamin perluasan hak berpartisipasi bagi orang atau kelompok-kelompok yang sebelumnya dianggap tidak memiliki hak, juga tentang proses bagaimana proses politik mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelompok yang lebih luas daripada yang telah berlaku sebelumnya, atau juga tentang proses bagaimana regulasi politik mengatur dan menjamin siapa saja orang atau pihak yang memiliki hak dan wewenang untuk berpartisipasi di dalam lembaga-lembaga negara (Cf. O’Donnell and Schmitter, 1986: 8; Törnquist, 2013: 1).

Singkatnya, capaian demokrasi pada dasarnya tidak dapat digeneralisasi menjadi sebuah kesimpulan yang menyatakan demokrasi A lebih buruk dibandingkan demokrasi B, atau demokrasi dalam konteks saat ini lebih baik dibandingkan konteks sebelumnya. Demikian pula, demokratisasi tidak dapat dilihat sebagai sebuah proses linear yang berlangsung di atas sebuah spektrum yang membentang antara ekstrem otoritarian dan ekstrem demokrasi.

Dengan menggunakan kerangka pemahaman demokrasi dan demokratisasi seperti itu, maka upaya untuk memahami perkembangan demokrasi pertama-tama adalah memahami masalah-masalah yang muncul di tengah-tengah proses demokratisasi, serta pilihan-pilihan yang tersedia untuk mengatasi masalah itu. Kedua, lebih penting lagi, adalah mencermati bagaimana para aktor mentransformasikan kapasitas politik mereka untuk menjalankan strategi-strategi yang mereka susun sendiri berdasarkan masalah dan pilihan-pilihan itu. Karena itu, perhatian terhadap kapasitas politik para aktor menjadi elemen penting yang tak dapat ditinggalkan setiap kali kita mendiskusikan perkembangan demokrasi. Itulah yang dimaksud sebagai kajian tentang demokratisasi dalam kerangka politik transformatif.

Politik Transformatif dalam Demokratisasi di Indonesia
Kerangka politik transformatif memberikan perhatian yang luas dan mendalam terhadap aktor dan kapasitas politiknya dalam upaya mereka mengatasi masalah-masalah dan memanfaatkan peluang yang tersedia untuk meningkatkan kualitas representasi dan partisipasi publik. Hal itulah yang menjadikan kajian politik transformatif bersifat dinamis, berbeda dari kebanyakan studi lain yang cenderung menitikberatkan pada penilaian statis tentang kondisi aspek-aspek institusional dan prosedur demokrasi.

Pemahaman atas dinamika proses demokratisasi pada gilirannya memungkinkan pula untuk melihat demokrasi bukan semata-mata sebagai tujuan, tetapi juga cara (means). Hal yang disebut terakhir itu penting karena upaya pemajuan demokrasi sudah seharusnya dilakukan dengan menggunakan institusi-institusi yang demokratik. Kapasitas politik aktor, khususnya aktor pro-demokrasi, dalam meningkatkan kualitas representasi dan pemajuan demokrasi merupakan aspek yang jarang diperhatikan oleh studi lainnya. Kebanyakan studi tentang demokratisasi lebih memusatkan perhatian kepada peningkatan kinerja berbagai lembaga (baca: organisasi) demokrasi, semacam DPR dan DPRD, DPD, dan badan-badan penyelenggara pemilihan umum, serta perbaikan prosedur dan sistem elektoral. Bahkan, bukan sebatas studi, langkah-langkah advokasi demokrasi pun kebanyakan mengarahkan kecenderungan arah aksi pada aspek kompetisi perebutan kekuasaan melalui sistem elektoral.

Aktor demokrasi berhadapan dengan masalah-masalah yang sifatnya konteks yang spesifik. Setelah Orde Baru jatuh dan reformasi bergulir, keterbukaan dan kebebasan politik memang meningkat pesat. Organisasi-organisasi masyarakat sipil dan serikat-serikat buruh sekonyong-konyong aktif bergerak di ranah politik. Gerakan go politics seolah menjadi trend baru di kalangan masyarakat sipil setelah selama puluhan tahun sebelumnya menjauhkan diri dari kegiatan-kegiatan politik formal. Sebagian dari mereka masuk ke dalam partai politik, sebagian ada yang mendirikan partai politik, sebagian ada pula yang menggerakkan partisipasi langsung melalui inisiasi penganggaran dan perencanaan partisipatoris meniru pola serupa yang sukses di Brasil dan Kerala. Sebegitu jauh, inisiatif-inisiatif seperti itu belum terlalu membantu perbaikan situasi representasi popular. Gerakan-gerakan politik itu cenderung berlangsung sektoral, sporadis, atau individual (Priyono & Nur, 2009).

Dalam telaah demokrasi yang relatif makro tersebut di atas, democracy assessment UGM-UiO menggali kapasitas politik para aktor melalui lima aspek, yaitu (1) kapasitas untuk mengatasi eksklusi dan inklusi, (2) kemampuan untuk mentransformasikan sumber-sumber kekuatan ekonomi, sosial, budaya dan kekerasan menjadi otoritas, alias kekuasaan politik, (3) kapasitas untuk mengubah isu-isu privat menjadi agenda politik di tingkat publik, (4) kapasitas untuk melakukan mobilisasi dan pengorganisasian untuk mendukung tuntutan-tuntutan dan perubahan kebijakan, dan (5) kapasitas untuk menggunakan dan memajukan mekanisme yang tersedia bagi partisipasi dan representasi.

Kelima aspek kapasitas politik yang disebutkan di atas berkaitan dengan lima kelompok pendekatan teoretikal besar yang biasa digunakan untuk mengkaji bagaimana relasi-kuasa dan kapasitas organisasi politik berpengaruh terhadap kemampuan aktor untuk menggunakan dan memajukan instrumen-instrumen demokrasi. Aspek pertama dimaksudkan untuk memotret (capturing) intisari teori-teori yang memberi penekanan pada eksklusi politik baik langsung maupun tak langung. Pada dasarnya argumen ini berkaitan dengan teori-teori tentang ketidaksetaraan warga negara (unequal citizenship), politik identitas dan peng-sub-ordinasi-an warga negara melalui berbagai metoda yang dilakukan pemerintahan pasca-kolonial (e.g. Mamdani, 1996, Chatterjee, 2004). Secara khusus, yang menjadi fokus dalam studi ini adalah teori-teori tentang marginalisasi yang terjadi di dalam proses pembangunan demokrasi elitis terhadap gerakan popular, organisasi kepentingan seperti serikat buruh, kelompok isu sektoral, dan beragam asosiasi kewargaan dari kegiatan-kegiatan politik terorganisasi. (e.g. Harriss et.al., 2004 dan Törnquist et.al., 2009).

Aspek kapasitas politik yang kedua berkaitan dengan kapasitas mentransformasikan basis-basis kekuatan menjadi kekuasaan yang absah dan otoritatif. Aktor harus memiliki kemampuan memanfaatkan potensi-potensi kekuatan yang dimilikinya untuk berkuasa dan memperoleh legitimasi. Hal inilah yang disebut Pierre Bourdieu sebagai modal simbolik dan kekuasaan politik (Stokke, 2002, Stokke & Selboe, 2009). Kerangka analisis Bourdieu tentang kekuasaan terutama bermanfaat dalam konteks pembangunan yang berlapis dan tak lazim (di mana berbagai sumber kekuasaan harus dikombinasikan dan ditransformasikan) serta dalam kajian-kajian mengenai proses pembentukan demos dan urusan publik.

Aspek yang ketiga berkaitan dengan kemampuan aktor melakukan politisasi dan agenda setting. Para aktor harus memiliki kemampuan untuk menggulirkan isu-isu non-privat hingga menjadi isu politik-publik, atau dengan kata lain memasukkannya menjadi agenda politik. Variabel ini terkait misalnya dengan gagasan tentang public sphere yang dikemukakan Habermas, gagasan tentang hegemoni yang dikembangkan Gramsci, serta konsep Bourdieu tentang ‘habitus’ (norma-norma, pola dan pemahaman yang terinternalisasi) serta makna penting dari kebudayaan.

Aspek keempat adalah tentang kapasitas melakukan mobilisasi dukungan publik. Aspek ini digali dari teori-teori politik dan gerakan sosial yang berhubungan dengan demokrasi, misalnya seperti yang disampaikan oleh Mouzelis (1986) dan Tarrow (1994). Yang ingin dipetakan dengan variabel ini adalah bagaimana para aktor melakukan mobilisasi dukungan, misalnya populisme, clientelism, dan mobilisasi yang terintegrasi melalui organisasi akar rumput. Aspek ini penting untuk melihat apakah upaya untuk memperoleh dukungan politik dilakukan dengan cara-cara inkorporatif ataukah integratif, atau juga justru berakibat pada pengeksklusian secara tidak langsung. Beberapa ilmuwan, seperti Houtzager (2005), Houtzager et.al. (2005 dan 2007), dan Harriss (2006), mengingatkan bahwa kerja berjejaring yang biasa dilakukan para aktor masyarakat sipil sering menghadapi dilema inklusi versus eksklusi semacam itu, sehingga para aktor membutuhkan lebih daripada sekadar kapasitas mobilisasi untuk menggalang dukungan.

Aspek yang terakhir adalah kapasitas untuk menggunakan dan mengembangkan metoda partisipasi dan representasi yang tersedia. Menyangkut aspek ini, kerangka studi yang dikembangkan oleh Demos-UGM-UiO mengakomodasi sekaligus tiga kerangka kerja dan teori-teori besar mengenai representasi, yaitu jenis-jenis representasi Pitkin (1967), pendekatan matarantai kedaulatan rakyat, dan pendekatan demokrasi langsung.

Demokratisasi dan Kapasitas Politik Aktor
Para aktor yang memperjuangkan demokrasi penting untuk mengevaluasi kinerjanya sendiri. Indikator yang biasa digunakan untuk mengevaluasi kinerja para aktivis pro-demokrasi adalah penguasaan terhadap pos-pos jabatan politik di lembaga-lembaga publik maupun partai. Dalam proses itu, banyak kegagalan yang dialami oleh para aktivis pro-demokrasi, terutama mereka yang berlatar belakang aktivis di berbagai organisasi masyarakat sipil, karena mereka tidak memiliki kecakapan dan kapasitas politik yang cukup. Oleh karena itulah perhatian terhadap kapasitas politik para aktor pro-demokrasi menjadi penting, agar penentuan strategi aksi pemajuan demokrasi dapat didasarkan sesuai dengan karakteristik kapasitas politik yang dimiliki.

Telaah tentang kapasitas politik aktor perlu dilakukan, terlebih dalam studi yang berorientasi pada aksi. Demokrasi substansial, atau demokrasi yang bekerja, sangat bergantung pada kemampuan publik melakukan kontrol terhadap proses-proses politik demokratik. Karena itu pada dasarnya setiap anggota masyarakat perlu memiliki sejumlah kapasitas dasar, setidaknya untuk menggunakan hak-hak dan institusi-institusi demokrasi. Sebagian di antara mereka, disebut sebagai “aktor utama” dalam studi ini, yang menjadi pelopor-pelopor paling depan dalam gerakan demokrasi, tidak cukup hanya memiliki kemampuan untuk menggunakan hak-hak dan institusi demokrasi, tetapi juga harus mempunyai visi, kepentingan dan kekuatan untuk mencari alternatif-alternatif yang mungkin dan membangun strategi paling efektif untuk mendorong pengembangan hak-hak dan kemajuan institusi-institusi demokrasi (Prasetyo, Priyono, Törnquist, 2003: xiv). Kemampuan untuk menggunakan hak dan institusi demokrasi itulah yang dimaksudkan sebagai kapasitas politik.

Sejauh ini, studi yang khusus mengenali kapasitas politik aktor sebagai basis informasi untuk mendorong demokratisasi belum banyak dilakukan. Studi-studi tentang aktor biasanya langsung memotret upaya-upaya aktual yang telah atau sedang dilakukan para aktivis gerakan demokrasi (e.g. Törnquist & Budiman, 2001; Prasetyo, Priyono, Törnquist, 2003; Nur, 2009; Priyono & Nur, 2009; dan Törnquist, 2009). Dari studi seperti itu kita memang dapat memperoleh informasi dan pengetahuan mengenai berbagai pilihan strategi dan aksi yang telah dilakukan, kegagalan dan keberhasilan, serta implikasinya terhadap situasi demokrasi dalam berbagai konteks. Namun, tidak ada penjelasan yang pasti apakah pilihan-pilihan strategi dan aksi itu sesuai atau tidak sesuai dengan kapasitas politik para aktor.

Priyono & Nur (2009) memaparkan data-data menarik mengenai terobosan-terobosan aksi politik yang dilakuan berbagai gerakan sosial di Indonesia. Ada dua temuan penting yang diperoleh melalui studi itu. Temuan pertama mengungkapkan pola-pola perluasan gerakan politik yang dilakukan organisasi masyarakat sipil. Dengan menggunakan dimensi isu, dimensi kepentingan dan dimensi geografis sebagai indikator perluasan gerakan, Priyono dkk mengidentifikasi tiga pola perluasan gerakan, yaitu (1) rekoneksi intra-lokal, (2) rekoneksi lokal-supralokal, dan (3) rekoneksi nasional-lokal. Pola pertama dan kedua bersifat memperluas gerakan melalui perluasan isu dan kepentingan, misalnya dengan membangun koalisi atau aliansi lintas-sektoral namun terbatas pada lingkup geografis tertentu. Pola ketiga, sebaliknya, mencoba meleburkan batas-batas geografis namun dengan pembatasan pada isu-isu atau kepentingan spesifik atau berbasis sektoral, misalnya pembentukan Partai Perserikatan Rakyat (PPR) yang besifat nasional berbasis organisasi tani (Priyono & Nur, 2009: 71-72).

Temuan kedua dari studi yang sama adalah identifikasi atas pilihan-pilihan strategi yang digunakan organisasi masyarakat sipil untuk menerobos masuk ke dalam sistem politik. Ada lima pilihan strategi go politics yang telah dan sedang ditempuh berbagai gerakan sosial di Indonesia, yaitu (1) tetap dalam peranan sebagai kelompok penekan, (2) masuk parlemen, (3) memanfaatkan partai politik, (4) mendirikan partai alternatif, dan (5) menerobos jaring-jaring kekuasaan pemerintahan (Ibid.: 83-95).

Studi lain yang dilakukan Törnquist (2009) juga berhasil mengidentifikasi jalur-jalur politisasi yang sudah dan sedang ditempuh berbagai gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Jalur-jalur politisasi itu adalah (1) politik berbasis kepentingan masyarakat sipil dan kerakyatan (civil society and popular interest politics), (2) politik komunitas kaum tertindas (dissident community politics), (3) partisipasi politik langsung, (4) politik wacana publik, dan (5) kontrak politik. Lima jalur lainnya adalah politisasi melalui sistem kepartaian, yaitu dengan melakukan (6) front dari dalam, (7) membangun partai serikat buruh, (8) partai multisektoral, (9) partai nasional berbasis ideologi, dan (10) partai politik lokal.

Namun, baik Priyono dkk maupun Törnquist tiba pada kesimpulan bahwa, kendati memperlihatkan adanya harapan bagi perbaikan demokrasi, upaya-upaya untuk go politics itu tampaknya tidak terlalu berhasil menciptakan situasi representasi yang baik. Bahkan dari beberapa kasus go politics yang dipelajari lewat kedua studi itu ditemukan indikasi-indikasi terjadinya kompetisi dan konflik horisontal di antara sesama gerakan sosial. Selain itu, upaya-upaya yang lebih integratif, seperti membangun partai, terhalangi oleh peraturan yang mengharuskan partai politik bersifat nasional. Upaya itu tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit dan sangat sulit dipenuhi.

Pelajaran yang dapat dipetik dari kedua studi itu adalah bahwa, tampaknya para aktor pro-demokrasi cenderung reaktif terhadap situasi politik-demokratik yang mereka hadapi, dan kemudian mengantisipasinya dengan menyusun strategi semata-mata untuk merespon perkembangan yang dihadapi. Para aktor pro-demokrasi tidak cukup menyadari pentingnya melihat dan menganalisis potensi kapasitas politik yang dimilikinya, sehingga tidak jarang aksi-aksi dan strategi yang dikembangkan mereka berakhir pada kegagalan.

Desain tentang bentuk dan aksi gerakan demokrasi yang disusun berdasarkan penilaian terhadap kapasitas politik para aktor sebenarnya bukan tak pernah dilakukan sama sekali. Studi Demos-UiO 2007 merekomendasikan pembentukan Blok Politik Demokratik (BPD) dengan mempertimbangkan kecenderungan umum kapasitas politik para aktor sebagaimana yang teridentifikasi dalam studi itu. Rekomendasi pembentukan BPD ditujukan untuk menghimpun berbagai upaya para aktor dan gerakan demokrasi ke dalam sebuah kekuatan, yaitu blok politik, melalui perumusan sebuah common platform yang kemudian menjadi agenda bersama dan diperjuangkan secara bersama-sama. Dengan cara itu para aktor dan gerakan demokrasi melalui BPD memiliki daya-tawar tinggi terhadap organisasi-organisasi politik formal, seperti partai politik dan parlemen.

Pada kenyataannya, gagasan pembentukan BPD tidak dapat direalisasikan sebagaimana yang direncanakan. Satu penjelasan penting yang barangkali perlu digarisbawahi dari berbagai kendala dan kegagalan implementasi BPD adalah bahwa rekomendasi itu didasarkan melulu pada kecenderungan umum. Di balik kecenderungan umum, sangat mungkin ada beberapa karakter kapasitas politik yang berbeda. Dalam situasi seperti itu, ada dua kemungkinan yang perlu dijajaki lebih dalam. Pertama, rekomendasi pembentukan BPD belum tentu sesuai untuk dijalankan seluruh kelompok aktor pro-demokrasi. Atau kedua, aktor-aktor pro-demokrasi perlu berbagi peran yang berbeda dan spesifik dalam pembentukan BPD. Pada titik inilah penelaahan tentang perbedaan (atau persamaan) karakteristik kapasitas politik menjadi penting untuk dilakukan.

Karakteristik Umum Kapasitas Politik Aktor Pro-demokrasi
Data yang diperoleh melalui survei PWD UGM-UiO 2013 memperlihatkan pada umumnya aktor pro-demokrasi cenderung inklusif atau bersikap terbuka dan akomodatif terhadap keterlibatan orang-orang lain di dalam politik. Gejala ini tentu saja mengindikasikan gejala yang positif karena memungkinkan terbukanya peluang partisipasi yang lebih luas. Meskipun demikian, sikap insklusif itu tidak diwujudkan secara aktif dalam bentuk pengorganisasian yang bersifat massa. Setidaknya hal itu tercermin dari tiga cara yang paling kerap dilakukan mereka untuk mengatasi berbagai praktik eksklusif, yaitu penyebarluasan wacana melalui media massa, mobilisasi dalam berbagai aksi demonstrasi, dan aksi-aksi persuasif. Artinya, para aktor cenderung menempatkan diri mereka sebagai patron terhadap orang-orang kebanyakan, utamanya dalam mengedepankan penguasaan wacana. Mereka terbilang jarang membangun dan mengembangkan organisasi berbasis massa sebagai basis kekuatan untuk mengatasi eksklusi. Kecenderungan pilihan cara untuk mengatasi eksklusi seperti itu relatif tampak sama di berbagai konteks lokal. Pada tataran tertentu, langkah ini berimplikasi pada masih adanya praktik pengeksklusian orang-orang kebanyakan dari kegiatan-kegiatan politik formal (organised politics).

Aspek kapasitas politik yang kedua adalah menyangkut jenis-jenis basis kekuatan yang digunakan untuk memperoleh kekuasaan yang absah dan legitimate. Aktor pro-demokrasi cenderung bersandar pada basis sosial, yaitu koneksi antar-tokoh. Temuan ini memperlihatkan pergeseran kecenderungan jika dibandingkan dengan temuan pada survei sebelumnya yang dilakukan Demos-UiO pada 2003-2004 dan 2007. Dari kedua studi sebelumnya, aktor pro-demokrasi pada umumnya cenderung mengandalkan basis kultural, yaitu pengetahuan dan informasi (Samadhi dan Warouw eds., 2007: 123). Namun, ada beberapa variasi di sejumlah konteks lokal. Di Bandung, DI Yogyakarta dan DKI Jakarta, misalnya, basis kultural masih merupakan sumber kekuatan utama aktor pro-demokrasi.

Di beberapa tempat lain, variasinya lebih tajam. Di Batam, misalnya, kelompok aktor pro-demokrasi terlihat sangat menonjol akumulasi basis ekonominya. Sebagian aktor alternatif di sana teridentifikasi memiliki basis kekuatan ekonomi, dan sangat rendah penguasaannya terhadap basis kultural. Basis ekonomi juga terlihat cukup menonjol di beberapa daerah industri, seperti Sidoarjo, Tangerang, Manado, Balikpapan, dan Kerinci. Kendati bukan berlatar belakang pengusaha, aktor pro-demokrasi lokal di daerah-daerah seperti itu tampaknya terdorong untuk mengakumulasi basis ekonomi untuk memberikan respon yang kuat terhadap kehadiran kekuatan modal. Perlu dicatat bahwa basis ekonomi tidak senantiasa berbentuk uang atau modal, tetapi dapat pula terwujud dalam kapasitas melakukan pemogokan atau perlawanan terhadap proses produksi. Hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya ada potensi gerakan serikat buruh cukup besar di sejumlah konteks lokal.

Menyangkut kapasitas untuk membangun agenda setting, survei PWD UGM-UiO menggunakan tiga indikator. Pertama, pilihan isu yang paling sering diangkat. Kedua, dengan frame seperti apa aktor membawa isu ke pembicaraan publik dalam rangka menjadikannya kepedulian publik (public concern). Dan ketiga, melalui medium apa aktor menyampaikan isu-isu ke tengah publik. Data yang diperoleh memperlihatkan ada dua kelompok isu yang paling sering diangkat oleh aktor-aktor pro-demokrasi, yaitu isu-isu tentang kesejahteraan dan isu-isu tentang demokrasi dan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya tentang pluralisme. Kemunculan isu-isu kesejahteraan tampaknya memang menjadi gejala baru yang berkembang pada tahun-tahun belakangan ini, jika dibandingkan kecenderungan di masa sebelumnya yang lebih mengedepankan soal-soal demokratisasi, hak asasi manusia, dan isu-isu good governance, termasuk masalah antikorupsi (Samadhi dan Warouw eds., 2007: 125). Kecenderungan ini sejalan dengan apa yang terjadi di kalangan elit politik.

Perkembangan seperti itu kelihatannya memberikan harapan yang lebih serius tentang masa depan demokrasi Indonesia. Sebab, para aktor mengemas (framing) isu-isu prioritasnya dengan ide-ide besar yang strategis, bukan sebagai respon reaktif dan satu-waktu terhadap kasus-kasus yang muncul di tengah masyarakat. Hal ini berbeda dibandingkan temuan studi sebelumnya yang memperlihatkan kecenderungan aktor alternatif bersikap reaktif dan melompat-lompat dari satu kasus ke kasus lain (Samadhi & Warouw eds., 2007: 125-126). Boleh dibilang, perkembangan belakangan ini memperlihatkan para aktor semakin dipengaruhi kerangka berpikir ideologis, apa pun ideologi yang mempengaruhinya.

Persoalannya, aktor pro-demokrasi masih terbatas kapasitasnya dalam mendesakkan isu-isu yang dikampanyekannya ke dalam saluran-saluran politik. Mereka cenderung mengangkat isu-isu ke tengah publik melalui organisasi-organisasi kepentingan atau menyuarakannya melalui media massa. Media massa yang digunakan pun terbatas ruang-ruang opini di koran atau majalah, sedangkan upaya untuk mempengaruhi ruang publik yang lebih luas melalui televisi atau pun mempengaruhi agenda pemberitaan media massa lebih jarang lagi digunakan. Kemungkinan mereka tidak memiliki sumber daya ekonomi yang cukup untuk melakukannya. Meskipun begitu, ada pula sebagian yang mencoba menyalurkannya melalui partai politik.

Keterbatasan akses aktor pro-demokrasi untuk mempengaruhi agenda politik secara langsung ke dalam lembaga-lembaga politik seharusnya diatasi dengan kemampuan menggalang dukungan publik. Secara umum, para aktor pro-demokrasi memperlihatkan kecenderungan yang besar pada penggunaan metoda populis untuk memperoleh dukungan. Cara-cara “patronase-alternatif” juga menjadi pilihan yang paling utama.

Akan tetapi, masalah yang dapat diamati dari data-data menyangkut aspek kapasitas ini adalah masih kuatnya gejala para aktor pro-demokrasi untuk bekerja secara terpisah-pisah, tidak cukup terlihat tanda-tanda penyatuan gerakan secara terintegrasi dan terorganisasi antar-aktor. Metoda populisme dan patronase-alternatif cenderung bersifat aksi indivual atau sekelompok, daripada metoda kerja berjejaring dan membangun kerja sama antar-organisasi. Metoda-metoda seperti yang disebutkan belakangan itu belum menjadi alternatif utama bagi para aktor pro-demokrasi untuk mendapatkan dukungan publik yang luas.

Dibandingkan dengan survei sebelumnya, situasi saat ini memperlihatkan pergeseran yang signifikan. Pada survei 2007 terungkap bahwa para aktor pro-demokrasi cenderung memiliki kapasitas untuk membangun jaringan dengan tokoh-tokoh independen dalam upaya mereka memobilisasi dukungan (Samadhi & Warouw, 2007: 220). Kecenderungan pada metoda populisme dan patronase alternatif memang cukup besar, akan tetapi tidak terindikasi sebagai kapasitas terpenting, bahkan jika keduanya digabungkan. Pergeseran ini penting untuk diamati karena mengindikasikan semakin kuatnya para aktor untuk melakukan aksi-aksi berbasis individual, meninggalkan cara-cara pengorganisasian. Padahal, bersama-sama dengan kapasitas membangun jaringan, kapasitas untuk memobilisasi dukungan melalui organisasi-organisasi dari bawah, merupakan kekuatan utama para aktor pro-demokrasi, menurut hasil survei 2007.

Kecenderungan untuk menggalang dukungan dengan menggunakan cara-cara populis bahkan tampak merata di hampir semua konteks lokal yang menjadi tempat survei UGM-UiO. Yang menarik, justru di DKI Jakarta para aktor alternatifnya tidak banyak yang memilih metoda populisme sebagai metoda mobilisasi paling utama. Padahal, seperti diketahui, isu populisme sangat kuat mempengaruhi wacana politik di Jakarta sejak pemilihan gubernur 2012. Kemenangan pasangan Jokowi-Ahok pada saat itu pun dipercaya banyak orang karena isu dan gaya populis yang dibawakan mereka.

Studi UGM-UiO mengungkap, setidaknya dari data yang diperoleh mereka, ternyata metoda populisme itu lebih banyak dilakukan oleh, dan menjadi pilihan utama bagi kalangan elit-elit dominan, bukan aktor pro-demokrasi. Aktor alternatif di Jakarta justru mengutamakan cara-cara yang lebih ‘modern’, yaitu mengoordinasi berbagai gerakan dan organisasi, membuka akses kepada tokoh berpengaruh, dan memfasilitasi pembentukan organisasi akar-rumput. Dengan meminjam data-data ini, fenomena kemenangan Jokowi-Ahok memperlihatkan keberhasilan kombinasi kampanye populis para elit dan pengorganisasian masyarakat sipil oleh para aktor pro-demokrasi.

Gejala lain yang juga menarik untuk diamati adalah relatif tingginya penggunaan metoda mobilisasi berdasarkan kepemimpinan karismatik di beberapa konteks lokal. Yang memperlihatkan gejala ini adalah Pekalongan, Ambon, Makassar, dan Lampung Selatan, boleh jadi karena kuatnya pengaruh tokoh-tokoh adat dan agama.

Aspek kapasitas politik kelima atau terakhir terkait langsung dengan upaya pemanfaatan dan pemajuan kualitas partisipasi dan representasi. Dalam hal ini, kita akan melihat kecenderungan para aktor terhadap sejumlah alternatif mekanisme dan institusi penyaluran isu-isu publik ke dalam saluran politik hingga akhirnya menjadi kebijakan demokratik yang berlaku umum dan dapat dikontrol kembali oleh publik.

Aktor pro-demokrasi belakangan ini memiliki kecenderungan untuk memasuki lembaga-lembaga politik formal, baik melalui pemilihan umum kepala daerah dan legislatif, meupun melalui posisi-posisi birokrasi yang dapat diisi melalui pengangkatan. Caranya, ada yang memilih untuk masuk melalui partai politik, ada pula yang memanfaatkan jalur independen. Mereka tak lagi meneruskan peran lama sebagai ‘watch dog’, tetapi memilih untuk melibatkan diri secara langsung di dalam sistem untuk ‘melakukan perubahan dari dalam’. Pada kenyataannya, sebagaimana antara lain diperlihatkan oleh Priyono dkk (2009) dan Törnquist (2009), upaya itu tak cukup berpengaruh bagi perbaikan partisipasi dan representasi. Alih-alih memperbaiki kinerja institusi formal, para aktor pro-demokrasi umumnya terkooptasi oleh sistem yang oligarkis, elitis, dan tertutup. Para aktor tak cukup berdaya mengatasi situasi yang dihadapinya karena langkah-langkah go politics itu cenderung dilakukan secara individual.

Situasi saat ini sedikit mengalami perubahan karena terdapat arena baru yang terbuka dan dapat dimanfaatkan oleh para aktor pro-demokrasi, di luar posisi-posisi formal pemerintahan. Lahirnya berbagai komisi independen seperti Komisi Nasional HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran, Ombudsman, dan lain-lain, telah membuka kesempatan bagi partisipasi aktor-aktor non-negara untuk mempengaruhi proses-proses politik dan kebijakan negara. Peluang itu menarik karena lembaga-lembaga seperti itu relatif independen dari tekanan-tekanan langsung dari kekuatan politik. Selain itu, tentu saja alasan remunerasi yang besar adalah daya tarik yang tak dapat diabaikan.

Gejala seperti itu pula yang dapat ditangkap dari data yang ada tentang kapasitas aktor dalam upaya meningkatkan representasi dan partisipasi. Komisi-komisi independen itu menjadi salah satu lembaga publik yang dituju oleh banyak aktor pro-demokrasi untuk mengadukan persoalan-persoalan publik. Jadi, ketimbang secara langsung membawa persoalan ke pemerintahan dan birokrasi, para aktor pro-demokrasi lebih mempercayakan penyelesaian masalah kepada ‘teman-teman’ mereka yang duduk di berbagai komisi independen, atau lembaga tatakelola kerja sama pemerintah dan pemangku kepentingan. Gejala ini menandakan pergeseran cukup penting dibandingkan situasi sebelumnya yang memperlihatkan para aktor pro-demokrasi cenderung memiliki kapasitas untuk membawa dan menyelesaikan persoalan-persoalan publik ke lembaga eksekutif dan legislatif (Samadhi & Warouw eds., 2007: 225).

Bahkan, lebih dari sekadar menggeser orientasi ke lembaga semi-negara, para aktor saat ini cenderung mengutamakan lembaga tatakelola berbasis komunitas dan masyarakat sipil yang independen untuk menyelesaikan persoalan publik. Jika dikaitkan dengan kecenderungan isu publik yang saat ini menguat dan menjadi isu prioritas pula di kalangan aktor pro-demokrasi, yaitu isu mengenai kesejahteraan, pergeseran ini tentu saja berpotensi menimbulkan problem serius jika berlangsung terus-menerus. Isu kesejahteraan seperti pelayanan kesehatan, penyelenggaraan pendidikan dasar, ketersediaan kebutuhan pangan, adalah isu-isu yang bersifat lintas komunitas dan, lebih mendasar lagi, menyangkut hak yang paling mendasar dari setiap warga negara. Penyelesaian persoalan-persoalan publik yang menyangkut isu kesejahteraan tidak seharusnya dilakukan oleh lembaga tatakelola yang berbasis komunitas. Negara atau lembaga politik demokratik, atau dalam skema tergambar sebagai lembaga eksekutif-politik, yang seharusnya menjadi pengelolanya.

Data tentang kapasitas aktor pro-demokrasi untuk memanfaatkan lembaga saluran perantara tak kalah mengkhawatirkan. Para aktor cenderung memanfaatkan media massa dan organisasi masyarakat sipil sebagai lembaga perantara. Ada dua kemungkinan dalam mengartikan data ini. Pertama, para aktor pro-demokrasi tidak memiliki kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik, seperti partai politik dan parlemen. Atau, kedua, para aktor pro-demokrasi tidak memiliki akses kepada lembaga-lembaga itu. Apa pun yang lebih benar, data ini mengungkapkan bahwa representasi masih menjadi masalah besar dalam proses demokratisasi. Karena itu, perhatian terhadap perbaikan kapasitas politik aktor pro-demokrasi menyangkut aspek pemanfaatan lembaga-lembaga representasi dan partisipasi menjadi penting.

Variasi Karakteristik Kapasitas Politik Aktor Pro-demokrasi
Ulasan di atas memperlihatkan bahwa kapasitas politik para pro-demokrasi cenderung tidak menopang kebutuhan penguatan representasi politik popular. Mereka lebih menaruh perhatian pada mekanisme dan tatakelola berbasis komunitas dan lembaga semi-negara sebagai lembaga-lembaga pengelola urusan publik. Sebagai aktor pro-demokrasi, mereka juga tidak memiliki kecenderungan kuat untuk mengaitkan gagasan-gagasan dan kepentingan mereka melalui saluran masyarakat politik yang tersedia, seperti partai politik dan parlemen, termasuk membangun kontak dengan para politisi. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa para aktor tidak memiliki kapasitas untuk mendorong kemajuan dan pengembangan institusi representasi politik yang demokratik. Lebih lanjut, situasi ini lagi-lagi memperlihatkan bahwa demokratisasi Indonesia memiliki masalah besar dalam persoalan keterwakilan.

Akan tetapi, pengolahan data lanjutan yang penulis lakukan berhasil mengungkap setidaknya ada tiga variasi karakter kapasitas politik aktor pro-demokrasi (Samadhi 2015). Ketiga karakter kapasitas politik itu dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:

1. Karakter pertama: cenderung bersikap sangat inklusif, terbuka pada keterlibatan berbagai pihak termasuk tokoh-tokoh politik berbasis partai, dan karena itu memiliki basis sosial atau koneksi yang kuat. Kekuatan mereka terutama terletak pada kemampuan mereka memengaruhi wacana publik melalui atau ke dalam kelompok-kelompok kepentingan dan partai politik dengan menggunakan isu-isu populis dan mengombinasikannya dengan ketokohan karismatik tertentu. Karena itu, kluster ini dapat disebut mencerminkan karakter populis-karismatik. Kelemahan aktor-aktor yang dengan karakter ini adalah longgarnya relasi mereka dengan basis-basis massa yang terorganisasi. Ketiadaan basis ekonomi yang cukup juga membuat mereka rentan terhadap keseimbangan relasi-kuasa yang mereka bangun dengan tokoh-tokoh dan partai politik. Bagaimanapun, inilah karakteristik kapasitas politik paling umum dari aktor pro-demokrasi pada periode ini.

2. Karakter kedua: mencerminkan karakter populis yang kuat, namun mereka tidak membangunnya lewat partai politik. Mereka relatif memiliki kapasitas untuk membangun relasi dan menggerakkan massa yang terorganisasi dengan melakukan kontak-kontak langsung dengan masyarakat. Basis hubungan yang mereka bangun adalah menawarkan perlindungan-perlindungan tertentu bagi kelompok-kelompok yang bersedia memberikan dukungan. Karena itu aktor-aktor ini memiliki kapasitas besar untuk menggerakkan demonstrasi dan aksi massa. Para pemimpin atau aktor yang selama ini bekerja bersama gerakan buruh adalah salah satu kelompok yang mencerminkan karakter seperti ini.

3. Karakter ketiga: kelompok terkecil, memperlihatkan kapasitas paling menonjol dalam melakukan pengorganisasian kelompok-kelompok basis dan membangun jejaring dengan sesama aktor independen. Para aktor di kluster ini cenderung sering merespon dan menyuarakan isu-isu tunggal, dan mengombinasikannya dengan isu-isu yang bersifat lebih strategis. Tidak sebagaimana karakter pertama dan kedua, aktor-aktor dengan karakter ketiga boleh dibilang tidak memiliki kapasitas untuk melakukan mobilisasi dengan cara-cara populis. Kluster ini sedikit-banyak ditandai pula dengan orientasi yang relatif lebih besar kepada lembaga-lembaga pemerintahan dan birokrasi.

Dari pengidentifikasian itu, kita dapat melihat perbedaan-perbedaan pola karakter di antara ketiga kelompok aktor. Pertama, aktor-aktor yang ada di kelompok pertama cenderung lebih inklusif dibanding mereka yang ada di dua kelompok lainnya. Kedua, aktor di kelompok pertama cenderung mengabaikan kekuatan basis kultural, semata-mata lebih mengutamakan basis kekuatan sosial. Tidak demikian halnya para aktor di kelompok kedua dan ketiga yang masih memiliki kapasitas dalam hal akumulasi basis kultural selain basis sosial. Meskipun begitu, sebagaimana diungkapkan di atas, secara keseluruhan para aktor memperlihatkan pergeseran kapasitas dibandingkan kecenderungan lama, yaitu berpindah dari pengutamaan basis kultural menjadi basis sosial.

Perbedaan ketiga, aktor di kelompok pertama cenderung memiliki kapasitas untuk mempengaruhi dan menciptakan wacana publik melalui aktivitas di partai politik. Para aktor di kelompok ketiga juga memiliki kapasitas melakukan hal yang sama di partai politik, akan tetapi mereka lebih memiliki kapasitas untuk memengaruhi wacana melalui penggunaan media massa. Sedangkan para aktor di kelompok kedua tidak cukup memperlihatkan kapasitas mereka untuk memengaruhi wacana melalui kegiatan di partai, melainkan kombinasi antara pengunaan media dan melakukan demonstrasi atau aksi massa.

Keempat, kecenderungan penggunaan metoda populisme untuk menggalang dukungan tampak sangat dominan di kalangan aktor yang termasuk di kelompok pertama dan kedua, sedangkan mereka yang berada di kelompok ketiga cenderung meraih dukungan berbasis organisasi melalui pengembangan jejaring di antara para aktor sendiri. Pada aspek kapasitas mobilisasi inilah perbedaan yang paling tajam di antara kluster dapat diamati.

Terakhir, meskipun para aktor pro-demokrasi di ketiga kelompok sama-sama cenderung menggunakan institusi-institusi perantara informal, para aktor di kelompok pertama memiliki kapasitas sedikit lebih besar untuk melakukan pendekatan kepada politisi dan partai politik. Sedangkan mereka yang tergolong di dua kelompok lainnya cenderung menggunakan pendekatan kepada organisasi-organisasi kepentingan.

Jika dibandingkan dengan hasil studi Demos-UiO 2007, gambaran tentang karakter kapasitas politik aktor pro-demokrasi memperlihatkan pergeseran yang cukup signifikan. Pada periode yang lalu, karakter kapasitas yang paling menonjol mirip dengan kelompok karakter ketiga. Kecenderungan ke arah populis-karismatik (kelompok pertama) pada saat itu bukannya tidak ada, namun lebih mengemuka sebagai pilihan aksi daripada kapasitas. Banyak aktor yang ketika itu memilih menempuh jalan-pintas populis sebagai cara utama yang dianggap paling strategis untuk mendobrak kebuntuan upaya-upaya membangun demokrasi popular (Kariadi 2007). Barangkali hal itu juga yang menumbuhkan karakter populis-karismatik akhir-akhir ini sehingga menjadi kecenderungan kapasitas politik yang paling umum.

Memanfaatkan Populisme untuk Blok Politik 
Studi PWD UGM-UiO telah mengungkap bahwa gaya politik populisme dan isu kesejahteraan menjadi watak paling menonjol di tengah-tengah proses demokratisasi dalam beberapa tahun terakhir. Penguatan politik populisme terjadi karena politik klientelisme – yang sebelumnya menjadi karakter kuat dalam politik Indonesia (e.g. Samadhi & Warouw, 2007; Klinken, 2009) – tidak lagi dianggap cukup sebagai satu-satunya cara memenangkan pemilihan umum. Para kandidat memerlukan basis dukungan yang lebih luas, dan populisme membuka peluang untuk menjangkau langsung masyarakat umum melalui kampanye tentang isu-isu kesejahteraan.

Munculnya populisme sesungguhnya tidak mengejutkan. Istilah populisme sendiri berasal dari bahasa Latin “populus” yang berarti rakyat (the people), sehingga ia memiliki keterkaitan kuat dengan demokrasi. Sebagaimana dinyatakan Canovan (1999), di mana ada demokrasi, di sana selalu ada populisme. Selain itu, gaya politik populis efektif untuk membebaskan praktik demokrasi dari kooptasi patronase. Dalam situasi demokratik sekalipun, politik patronase cenderung menghalangi keterbukaan ruang partisipasi publik untuk menentukan tatanan ekonomi politik yang adil. Sebaliknya, populisme menawarkan cara berbeda untuk memperluas partisipasi dan dukungan publik melalui kampanye perbaikan layanan publik.

Kemunculan populisme dalam praktik politik demokrasi belakangan ini juga tidak dapat dilepaskan dari lemahnya institusi-institusi sosial dan politik demokratis. Dalam situasi seperti itu, sosok aktor-aktor politik yang kharismatik menjadi alternatif yang menarik di mata publik. Akan tetapi politik populis-karismatik yang mengandalkan figur atau ketokohan seseorang berpotensi menimbulkan masalah baru berupa delegitimasi aturan main. Figur menjadi sentral. Situasi seperti itu sangat mudah mengarahkan tindakan-tindakan tokoh populis untuk sekadar mempertahankan kekuasaannya, justru dengan membatasi kebebasan publik dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang tidak popular.

Oleh karena itu, kebangkitan gaya politik populis perlu diimbangi dan diawasi oleh penguatan kapasitas politik para aktor pro-demokrasi. Melalui data yang dipaparkan di atas, kita mengetahui bahwa gaya politik populis yang dijalankan oleh para elit politik ternyata berpengaruh pula terhadap isu-isu yang dikampanyekan oleh para aktor pro-demokrasi. Kesesuaian ini telah membuka peluang bagi terbentuknya aliansi antara elit politik dan para aktor pro-demokrasi di berbagai daerah. Namun, data-data yang ada tidak memperlihatkan jawaban yang lebih pasti tentang bagaimana aliansi yang terbangun dalam konteks pemilihan umum dapat berlanjut dalam proses pemerintahan dan politik hingga masa pemilihan umum berikutnya. Padahal, periode di antara dua pemilihan umum itu adalah periode yang sangat penting untuk mendesakkan gagasan dan kepentingan popular menjadi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para elit politik yang terpilih dengan memanfaatkan gaya politik populis.

Arti penting dari potret seperti digambarkan di atas adalah bahwa para aktor pro-demokrasi, baik kelompok mayoritas yang populis maupun sebagian aktor yang berkarakter klientelistik, sama-sama meninggalkan proyek penguatan representasi politik demokratik. Alih-alih mendesakkan reformasi pada institusi-institusi representasi politik, mereka melakukan aksi ‘go politics’ untuk tujuan-tujuan langsung memperoleh kekuasan politik. Karakter populis-karismatik, patron-populistik, maupun patronase alternatif menjadi sekadar instrumen jalan-pintas di dalam proses kontestasi kekuasaan melalui berbagai proses elektoral, atau setidak-tidaknya untuk mendukung kandidat atau politisi yang dipercaya akan menjalankan kepemimpinan demokratik.

Gejala elektoralisme tampaknya memang tak terhindarkan sebagai akibat digunakannya dua pendekatan utama, yaitu gagasan demokrasi liberal dan crafting democracy. Gagasan demokrasi liberal mengasumsikan bahwa demokrasi pasti akan bekerja dengan baik segera setelah setiap orang dijamin untuk memiliki dan menggunakan hak-hak dan kebebasan politiknya, setara dengan hak-hak dan kebebasan politik yang dimiliki orang lain. Karena itu, demokrasi pada dasarnya adalah proses kontestasi hak-hak dan kebebasan politik di antara warga negara. Pemilihan umum adalah ajang utama kontestasi itu. Pendekatan crafting melengkapi pendekatan demokrasi liberal itu dengan mengutamakan pembangunan institusi-institusi (rules and regulations) penyokong demokrasi. Asumsinya, penataan kelembagaan demokrasi melalui pembuatan berbagai aturan dan prosedur serta-merta akan mengarahkan perilaku orang menjadi demokratik (Törnquist, 2013: 71).

Faktor lain yang barangkali juga mendorong para aktor pro-demokrasi cenderung mengarahkan kegiatannya di lingkungan pemerintahan dan posisi-posisi politik formal adalah menurunnya dukungan lembaga donor. Sejak 2009 ada trend penurunan dukungan lembaga-lembaga donor kepada organisasi-organisasi masyarakat sipil. Sebagai gantinya, lembaga donor memusatkan perhatian dan bantuan mereka secara langsung ke lembaga-lembaga pemerintahan dan birokrasi dalam rangka mendorong prinsip good governance. Inisiatif ini dipicu oleh diterbitkannya dokumen Jakarta Commitment oleh Pemerintah Indonesia yang mengatur ketentuan tentang mekanisme penyaluran dan pertanggungjawaban bantuan keuangan sesuai dengan siklus anggaran pemerintahan. Dokumen tersebut didukung oleh 22 lembaga donor yang beritikad menjaga relasi yang baik dengan pemerintah Indonesia (Mietzner, 2012: 220).

Selain mengalami pergeseran fokus ke arah pemajuan good governance, model penyaluran dukungan donor seperti itu secara tidak langsung mengubah sebagian struktur kapasitas politik para aktor dan berbagai gerakan demokrasi. Pada dua studi sebelumnya (2003 dan 2007), basis kekuatan aktor-aktor alternatif, misalnya, adalah pengetahuan/kultural. Studi UGM-UiO memperlihatkan para aktor demokrasi mulai meninggalkan basis itu dan beralih pada akumulasi sumber kekuatan politik dalam bentuk koneksi dengan tokoh-tokoh berpengaruh. Akan tetapi tidak ada indikasi yang jelas apakah koneksi antara para aktor pro-demokrasi dan tokoh-tokoh politik itu berlangsung di dalam relasi-kuasa yang setara atau timpang. Jika kondisi seperti ini dibiarkan terus berlangsung, para aktor pro-demokrasi dapat terperangkap pada pola-pola pencarian kekuasaan yang sepenuhnya dikendalikan oleh para elit politik.

Oleh karena itu, langkah yang penting untuk dilanjutkan oleh para aktor pro-demokrasi adalah mencari bentuk aktivitas politik yang tepat untuk memanfaatkan kedekatan-kedekatan personal mereka terhadap para tokoh elit politik, sekaligus mendesakkan gagasan-gagasan demokratik ke dalam kebijakan-kebijakan yang akan diambil oleh para pemimpin politik. Untuk melakukan itulah, para aktor perlu tetap mempertahankan relasi di antara mereka sehingga daya-tawar politik mereka di hadapan elit politik semakin kuat. Membentuk blok politik adalah salah satu cara utama yang dapat dilakukan mereka.

Rekomendasi: Membangun Blok Politik Kesejahteraan
Temuan menyangkut aspek-aspek kapasitas politik gerakan demokrasi Indonesia memperlihatkan pergeseran cukup berarti menyangkut akumulasi basis kekuatan sosial. Para aktor pada umumnya kini telah memperluas jejaring koneksi mereka hingga ke partai dan tokoh-tokoh politik, tak lagi terbatas pada jejaring sesama aktor di wilayah masyarakat sipil sebagaimana yang dulu terjadi. Koneksi dengan para tokoh dan partai politik itu berhasil membawa mereka masuk ke dalam lingkaran politik-kekuasaan di berbagai daerah dan mempengaruhi wacana publik dalam posisi yang lebih kuat. Maka para aktor kini tak lagi berada pada posisi marjinal dan tereksklusi, tetapi relatif telah berhasil menempatkan diri dan mempengaruhi pusat-pusat kekuasaan politik, terutama melalui koneksi dengan para tokoh politik.

Akan tetapi, seperti pada masa lalu, keberadaan mereka di lingkungan politik sifatnya tetap personal (individual), tidak atas dasar dukungan basis-basis organisasional, kendati secara kuantitas proporsinya kini relatif semakin masif. Konkretnya, mereka berhasil melakukan mobilisasi vertikal melalui klaim ketokohan sebagai pemimpin atau perwakilan konstituen tertentu. Di samping itu para aktor pro-demokrasi masih belum dapat meningkatkan kapasitas mereka dalam basis ekonomi.

Persoalan lain yang lebih mendasar adalah mereka tidak memiliki orientasi dan kapasitas untuk meningkatkan kinerja institusi representasi politik. Para aktor pro-demokrasi masih memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan jalur-jalur representasi berbasis kepentingan melalui kontak dengan tokoh-tokoh informal dan organisasi masyarakat sipil. Relasi dengan masyarakat politik relatif terbatas dan digunakan semata-mata hanya sebagai instrumen populisme dan patronase, bukan sebagai medium representasi.

Dengan gambaran situasi seperti itu, adalah penting untuk mempertimbangkan penguatan kapasitas politik para aktor dengan membangun sebuah gerakan yang lebih terorganisasi dan memiliki mandat yang jelas. Upaya seperti itu dapat menghindarkan para aktor pro-demokrasi terfragmentasi berdasarkan kelompok-kelompok politik yang diikutinya, juga agar bentuk-bentuk dukungan para aktor terhadap para tokoh politik tidak mengarah pada praktik pemenuhan kepentingan ekonomi semata-mata.

Gagasan tentang Blok Politik Demokratik (BPD) (lihat Mundayat & Priyono, 2009), sebagaimana direkomendasikan oleh Demos-UiO pada 2007, tampaknya tetap relevan dan dapat dikembangkan sebagai alternatif strategi demokratisasi yang sesuai dengan karakteristik kapasitas politik para aktor pro-demokrasi. Tentu saja ada sejumlah perbaikan dan penyesuaian yang harus dilakukan setelah eksperimen-eksperimen pembentukan blok politik di masa lalu mengalami kesulitan hingga kegagalan.

Penyesuaian pertama yang perlu dilakukan adalah memangkas proses perumusan common platform. Survei UGM-UiO mengungkap bahwa tuntutan terhadap kebijakan berorientasi kesejahteraan – atau “kerinduan terhadap welfare state” – semakin meluas di berbagai level dan kalangan. Tuntutan itu bukan saja disuarakan oleh masyarakat golongan bawah, melainkan juga oleh kalangan kelas menengah perkotaan yang mulai makin terdesak oleh liberalisasi pasar. Kalangan ini sudah semakin peduli terhadap pentingnya jaminan sosial untuk melindungi keluarga dan mengamankan bisnisnya. Tak heran jika inisiatif-inisiatif kebijakan dan regulasi jaminan sosial yang bermunculan di berbagai daerah memperoleh dukungan dari masyarakat setempat. Maka, para aktor kini sesungguhnya sudah memiliki titik-temu yang sama, yaitu konsepsi negara kesejahteraan, dan dapat langsung memanfaatkannya sebagai common platform dan agenda bersama bagi blok politik yang akan dibentuk -- dan karena itu disebut sebagai Blok Politik Kesejahteraan (BPK).

Pembentukan BPK tidak perlu dimulai dari nol atau mengharapkan tokoh-tokoh gerakan dari berbagai sektor dan faksi menghimpun diri ke dalam sebuah kelompok perintis. Dengan memerhatikan karakteristik kapasitas politik para aktor saat ini, BPK dapat dimulai dari kesatuan aksi yang nyata dan sudah memiliki daya tawar politik yang tinggi. Aktor-aktor dengan karakter populis-karismatik, yang belakangan ini bekerja secara populis dan memiliki koneksi kuat dengan partai-partai politik, para politisi, dan kepala daerah, adalah elemen yang dapat ditunjuk sebagai gugus-tugas awal pembentukan BPK di daerahnya masing-masing.

Mengangkat isu kesejahteraan sebagai common platform BPK juga sejalan dengan kecenderungan figure-based politics yang mengandalkan isu-isu populisme. Kenyataan ini akan lebih memudahkan BPK dalam melakukan komunikasi politik dengan para politisi, termasuk menggunakan saluran-saluran representasi politik untuk menghasilkan regulasi-regulasi baru yang berorientasi kesejahteraan. Hal ini sekaligus dapat memperbaiki kinerja institusi representasi politik.

Kedua, dengan keunggulan kapasitas para aktor pro-demokrasi pada aspek pengetahuan dan kultural, untuk keperluan taktis BPK dapat menjadi semacam forum think tank yang memasok formula-formula kebijakan publik di bidang kesejahteraan, sekaligus menandingi dari dalam kekuatan karakter populis yang melekat pada tokoh politik. Untuk kebutuhan ini, sebuah catatan penting yang perlu diperhatikan adalah adanya keharusan bagi BPK untuk merekrut ekonom, ahli ekonomi-politik, penganggaran dan kebijakan publik, sehingga rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan BPK benar-benar berdasarkan hasil perhitungan dan pemikiran yang serius dan bukan sebatas jargon.

Jika dikaitkan dengan temuan tentang tiga karakter kapasitas politik aktor pro-demokrasi, pembentukan BPK perlu dilanjutkan dengan memperhatikan pembagian peran di antara ketiga kelompok yang ada:

1) Kelompok pertama: menjadi think tank yang melekat dan mendampingi kepala daerah dalam menyusun kebijakan yang pro-kesejahteraan rakyat;

2) Kelompok kedua: menjadi kelompok massa penekan dengan mengorganisasikan pelaksanaan aksi-aksi massa yang menyuarakan isu-isu kesejahteraan;

3) Kelompok ketiga: menjadi kelompok lobi di parlemen dan partai-partai politik dengan mengangkat isu-isu kesejahteraan berbasis kelompok-kelompok konstituen.

Untuk mendukung program BPK, penyatuan berbagai isu dan kepentingan harus dilakukan di level organisasi massa yang terbawah, secara berjenjang hingga ke level yang lebih tinggi dan akhirnya diformulasikan menjadi program-program kerja BPK. Dengan cara ini BPK memiliki basis konstituen yang jelas dan terukur sebagai sumber kekuatan non-ekonomi yang dapat menandingi kekuatan organisasi politik yang memiliki basis ekonomi jauh lebih besar. Cara ini sekaligus dapat mengikis kecenderungan praktik money politics, sebagaimana yang belakangan ini semakin banyak digunakan oleh para elit dominan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar