Tulisan ini memaparkan perkembangan situasi hak
asasi manusia (HAM) di Indonesia pasca-Orde Baru. Manfaat yang ingin diperoleh
adalah mengetahui pengaruh demokratisasi terhadap kinerja penegakan HAM.
Paparan yang dikemukakan di sini bukanlah tinjauan
dari sudut ilmu hukum – perspektif yang dahulu lebih umum digunakan dalam
kajian tentang HAM. Situasi HAM akan dilihat sebagai sebuah capaian (outcome) dari proses politik demokrasi.
Cara pandang seperti ini antara lain dipopulerkan oleh David Beetham (2. Tesis
utamanya adalah bahwa kemajuan atau kemunduran HAM menjadi penanda penting
capaian demokrasi karena demokrasi mempersyaratkan adanya hak dan kebebasan
manusia (warga negara) untuk dapat menjalankan kontrol terhadap pengelolaan
kepentingan bersama. Karena itu, Beetham membangun kerangka democracy assessment yang mencakup
penilaian terhadap institusi-institusi yang berkaitan dengan HAM.[1]
Tulisan ini menyandarkan diri pada hasil-hasil tiga
democracy assessment yang dilakukan
oleh Demos dan Universitas Oslo (Demos-UiO) pada 2003/2004 dan 2007, serta oleh
Universitas Gadjah Mada dan UiO (UGM-UiO) pada 2013. Ketiga assessment itu menggunakan kerangka yang
dikembangkan Beetham dan membuat sejumlah penyesuaian dalam sebagian
instrumennya (Priyono dkk. eds. 2007; Samadhi dan Warouw, eds. 2009, pp. 55-59).
Sebagai pemandu perbandingan hasil-hasil dari
ketiga assessment, bagian awal tulisan
ini akan memaparkan garis besar metoda assessment
yang digunakan, khususnya untuk menilai perkembangan situasi HAM.
1. HAM dalam kerangka assessment Demos-UGM-UiO
Secara garis besar, ketiga assessment menggunakan kerangka kerja yang sama untuk menilai
situasi institusi-institusi demokrasi, termasuk institusi penegakan HAM. Ada
tiga aspek yang menjadi sasaran penilaian, yaitu (1) situasi aktual institusi
demokrasi yang berkaitan dengan HAM, (2) kecenderungan perubahan situasi institusi
demokrasi dari waktu ke waktu, dan (3) pengaruh aktor terhadap situasi aktual
dan kecenderungan perubahan itu.[2]
Penilaian terhadap situasi aktual institusi
dilakukan berdasarkan pencermatan atas dua aspek, yaitu kinerja[3] institusi
dan cakupannya. Penilaian atas kinerja institusi didasarkan atas kualitas dukungan
berbagai perangkat aturan
dan regulasi formal yang berlaku terhadap
prinsip-prinsip HAM. Misalnya, seberapa kuat perangkat-perangkat aturan dan regulasi formal yang
berlaku dapat mendorong pemajuan HAM. Semakin kuat dukungannya, semakin baik
kinerja institusi HAM.
Mengenai
cakupan, ada dua dimensi yang dinilai. Pertama, dimensi sebaran geografis,
yaitu penilaian atas keluasan wilayah keberlakuan perangkat aturan dan regulasi
formal yang berkaitan dengan institusi HAM. Kedua, dimensi kedalaman substansi HAM
dalam berbagai aturan dan regulasi formal. Misalnya, seberapa komprehensif
prinsip-prinsip HAM diakomodasi di dalam berbagai perangkat aturan dan regulasi
formal yang ada. Semakin luas sebaran wilayah keberlakuannya dan semakin dalam
muatan substansinya, semakin baik cakupan institusi HAM.
Situasi
aktual institusi HAM, karena itu, adalah akumulasi kecenderungan penilaian
terhadap kinerja dan cakupan aturan dan regulasi formal dalam mendukung
prinsip-prinsip HAM. Semakin baik kinerja dan cakupan institusi-institusi yang
berkaitan dengan aspek-aspek HAM, semakin baik pula situasi aktual institusi
HAM.
Kedua,
penilaian atas kecederungan perubahan situasi institusi. Aspek penilaian ini
tentu saja didasarkan atas pencermatan kualitatif terhadap perkembangan
kecenderungan situasi institusi HAM dalam periode lima tahun terakhir hingga
saat assessment dilakukan. Perubahan
itu dapat mengarah pada situasi yang membaik, memburuk, atau tidak berubah
signifikan (stagnan).
Ketiga, penilaian tentang bagaimana para aktor mempengaruhi
institusi HAM. Apakah para
aktor cenderung menggunakan sekaligus mempromosikan aturan-aturan dan regulasi
yang mendukung prinsip HAM, atau sebatas menggunakannya untuk
kepentingan-kepentingan tertentu, atau mungkin pula cenderung memanipulasi dan mengabaikan
institusi HAM? Aspek ini penting untuk melihat kapasitas para aktor untuk
memanfaatkan struktur kesempatan politik yang ada dalam upaya mempengaruhi
situasi aktual institusi HAM.
Perlu dicatat di sini bahwa pada assessment
Demos-UiO 2003/2004 dan 2007, penilaian atas institusi HAM disebar melalui
penilaian reflektif terhadap empat aspek yang tergolong dalam kualifikasi Hak Sipil
dan Politik, serta empat aspek Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Terakhir, ketika
assessment dilakukan oleh UGM-UiO
pada 2013, penilaiannya dilakukan secara agregatif, yaitu terhadap Prinsip HAM
Universal.
Meskipun kerangka kerja yang digunakan tetap sama,
masing-masing assessment dilakukan
dengan instrumen yang berbeda. Perbedaan itu lebih merupakan sebagian implikasi
dari upaya pengembangan instrumen daripada perombakan total. Karena itu,
perbedaan-perbedaan instrumentasi tidak akan terlalu berpengaruh terhadap
pemaparan hasil-hasil ketiga assessment
yang akan diperbandingkan.
Sekalipun berbeda instrumen, secara kualitatif
sesungguhnya tidak ada perbedaan. Para informan yang melakukan assessment pada 2013 tetap diminta
melakukan evaluasi dan refleksi menyangkut aspek-aspek HAM sebagaimana ada di
dalam instrumen sebelumnya. Dengan mempertimbangkan kecenderungan-kecenderungan
akumulatif, hasil-hasil assessment
2003 dan 2007 dapat diletakkan bersisian dengan hasil assessment UGM-UiO 2013.
2. Situasi HAM 1998-2003
Periode ini adalah tahun-tahun pertama reformasi.
Gejala-gejala yang tampak di permukaan adalah menonjolnya praktik-praktik dan
ekspresi kebebasan di berbagai sektor. Partai politik mendadak berkembang
jumlahnya, meningkat sangat drastis jika dibandingkan dengan tiga partai hasil
rekayasa fusi partai pada awal 1970-an. Pemilihan umum 1999 diikuti oleh 48
partai politik. Para pekerja bebas mendirikan organisasi dan serikat buruh.
Media massa juga tumbuh pesat, dengan corak dan isi yang beragam, mulai dari
informasi bernilai berita, gosip, hingga konten menjurus pornografi. Seiring
dengan perkembangan teknologi, industri media juga tumbuh tidak lagi hanya
dalam bentuk media cetak, TV dan radio, tetapi juga online media yang menghadirkan karakter media interaktif yang tak
terbatas. Aksi-aksi demonstrasi, baik yang luas di jalanan maupun yang
terbatas, misalnya aksi mogok makan, berlangsung nyaris setiap saat di berbagai
tempat. Singkatnya, periode ini sangat ditandai oleh berbagai letupan ekspresi
kebebasan yang sangat kontras dibandingkan suasana ketertutupan dan penuh
kekangan yang menjadi ciri selama puluhan tahun kekuasaan otoritarian.
Tetapi, dalam konteks demokratisasi, apakah semua
gejala kebebasan dan keterbukaan itu sekaligus menjadi indikasi pesatnya
capaian kemajuan situasi HAM di Indonesia?
Situasi aktual hak sipil dan politik
Hanya sekitar 60 persen informan yang meyakini
aturan-aturan dan regulasi formal yang berlaku saat itu menjamin penegakan dan
penghormatan atas hak-hak sipil dan politik. Di bidang hak ekonomi, sosial dan
budaya, situasinya lebih buruk. Secara rata-rata, hanya 33 persen informan yang
menilai institusi demokrasi yang ada pada saat itu menjamin hak-hak ekonomi, sosial
dan budaya. Jika dibuat rata-rata, situasi HAM saat itu cenderung dianggap baik
oleh hanya 45 persen informan.
Benar bahwa institusi formal demokrasi cenderung
menjamin “kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi”, dan “kebebasan beragama
dan berkeyakinan serta kebebasan menggunakan
bahasa dan melestarikan kebudayaan”, akan tetapi hasil penilaian reflektif para
informan menyimpulkan jaminan atas kebebasan-kebebasan itu tidak cukup
terdistribusi secara merata di berbagai tempat dan belum mencakup semua
prinsip-prinsip yang seharusnya ada. Kebebasan untuk “mendirikan
dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja” juga kelihatannya baru sebatas ekspresi
spontan, belum secara formal memperoleh jaminan sebagai bagian institusi
demokrasi yang integral. Yang paling mengejutkan, hanya sebagian kecil informan
(26 persen) yang menyatakan bahwa perangkat-perangkat aturan dan regulasi
demokrasi yang ada telah menjamin “kebebasan dari kekerasan
fisik dan rasa takut”, itu pun dengan cakupan yang terbatas. Alhasil,
aspek kebebasan yang disebutkan terakhir itu memperlihatkan situasi yang lebih
buruk dibandingkan situasi rata-rata hak sipil dan politik. Lihat Tabel 1.
Tabel 1. Penilaian terhadap situasi hak sipil dan politik (2003/2004)
NO
|
ATURAN DAN
REGULASI FORMAL
|
Kinerja baik
|
Cakupan luas
|
Penilaian
umum
|
1
|
Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut
|
26%
|
31%
|
29%
|
2
|
Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi
|
81%
|
67%
|
74%
|
3
|
Kebebasan mendirikan
dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja
|
66%
|
47%
|
57%
|
4
|
Kebebasan beragama dan berkeyakinan; Kebebasan menggunakan bahasa dan melestarikan
kebudayaan
|
81%
|
67%
|
74%
|
Institusi hak sipil dan politik
|
64%
|
53%
|
58%
|
Sumber: “Appendix: Data Supplement” dalam Priyono et.al. (2007); data diolah.
Situasi aktual hak ekonomi, sosial dan budaya
Di
antara aspek-aspek dalam hak ekonomi, sosial dan budaya, aspek kesetaraan
gender dan emansipasi memperlihatkan situasi yang terbaik. Namun, secara umum
kecenderungan penilaian baik itu hanya direfleksikan melalui penilaian 47
persen informan. Jaminan atas “hak memperoleh pekerjaan, jaminan sosial dan
kebutuhan dasar” dan “hak-hak anak” tampaknya menjadi aspek yang paling
terabaikan dalam pembangunan institusi demokrasi. Secara rata-rata, situasi
pada kedua aspek itu dianggap baik oleh hanya 26 persen dan 22 persen informan.
Lihat Tabel 2.
Tabel 2. Penilaian terhadap situasi hak ekonomi, sosial dan budaya
(2003/2004)
NO
|
ATURAN DAN
REGULASI FORMAL
|
Kinerja baik
|
Cakupan luas
|
Penilaian
umum
|
1
|
Kesetaraan gender dan emansipasi
|
54
|
39
|
47
|
2
|
Hak-hak anak
|
24
|
28
|
26
|
3
|
Hak untuk memperoleh pekerjaan, jaminan
sosial dan kebutuhan dasar
|
18
|
26
|
22
|
4
|
Hak untuk memperoleh pendidikan dasar,
termasuk pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban warga negara
|
36
|
39
|
38
|
Institusi hak ekonomi, sosial dan budaya
|
33
|
33
|
33
|
Sumber: “Appendix: Data Supplement” dalam Priyono et.al. (2007); data diolah.
Perkembangan
institusi demokrasi yang berkaitan dengan HAM
Kecenderungan
penilaian yang menyatakan situasi HAM tidak begitu mengesankan konsisten dengan
data lain tentang penilaian atas perkembangan HAM selama lima tahun hingga assessment
itu dilakukan. Secara rata-rata, hanya 50-an persen informan yang menilai
situasi hak sipil dan politik mengalami kemajuan signifikan, dan sekitar 30 persen
yang menilai situasi hak ekonomi, sosial dan budaya berkembang maju.
Perkembangan
paling mengesankan tampaknya terjadi pada aspek “kebebasan
berbicara, berkumpul dan berorganisasi”. Terdata 72 persen informan yang dalam
refleksinya menyimpulkan kinerja dan cakupan institusi demokrasi sudah semakin
baik mengatur aspek ini. Sebaliknya, perkembangan institusi demokrasi dalam
periode lima tahun pertama reformasi dianggap masih belum memberikan jaminan
yang cukup atas “hak memperoleh pekerjaan, jaminan sosial dan kebutuhan dasar”.
Secara rata-rata hanya 15 persen informan yang menyatakan aspek ini berkembang
baik. Kemandegan situasi juga relatif terlihat pada institusi demokrasi yang
berhubungan dengan “hak untuk memperoleh pendidikan dasar, termasuk pendidikan
tentang hak-hak dan kewajiban warga negara”, “kebebasan
dari kekerasan fisik dan rasa takut”, serta “hak-hak anak”. Lihat Tabel 3.
Tabel 3. Penilaian terhadap perkembangan hak sipil dan politik
(2003/2004)
NO
|
ATURAN DAN
REGULASI FORMAL
|
Kinerja membaik
|
Cakupan meluas
|
Perkembangan
membaik
|
A
|
Institusi hak sipil dan politik
|
56
|
51
|
53
|
1
|
Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut
|
27
|
26
|
27
|
2
|
Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi
|
75
|
69
|
72
|
3
|
Kebebasan mendirikan
dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja
|
58
|
54
|
56
|
4
|
Kebebasan beragama dan berkeyakinan; Kebebasan menggunakan bahasa dan melestarikan
kebudayaan
|
62
|
56
|
59
|
B
|
Institusi
hak ekonomi, sosial dan budaya
|
31
|
31
|
31
|
5
|
Kesetaraan gender dan emansipasi
|
59
|
55
|
57
|
6
|
Hak-hak anak
|
22
|
24
|
23
|
7
|
Hak untuk memperoleh pekerjaan, jaminan
sosial dan kebutuhan dasar
|
14
|
16
|
15
|
8
|
Hak untuk memperoleh pendidikan dasar,
termasuk pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban warga negara
|
28
|
27
|
28
|
Sumber: “Appendix: Data Supplement” dalam Priyono et.al. (2007); data diolah.
Sikap
aktor terhadap institusi demokrasi yang berkaitan dengan HAM
Menarik
untuk diamati, kecenderungan penilaian tentang situasi dan perkembangan HAM
seperti itu relatif setara dengan kecenderungan sikap para aktor pro-demokrasi
terhadap aspek-aspek HAM yang dinilai. Sebanyak 70 persen aktor pro-demokrasi
dianggap memiliki perhatian dan sikap mendukung terhadap aspek “kebebasan
berbicara, berkumpul dan berorganisasi”. Proporsi itu adalah yang tertinggi dibandingkan
proporsi dukungan yang diberikan kepada aspek-aspek HAM lainnya. Di sisi lain, aspek-aspek
HAM tentang jaminan atas “hak-hak anak” dan “hak untuk memperoleh pekerjaan,
jaminan sosial dan kebutuhan dasar” serta kebebasan
untuk “mendirikan
dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja” tidak cukup memperoleh dukungan dari para
aktor pro-demokrasi. Aspek-aspek itu hanya didukung perkembangannya oleh
masing-masing sekitar 45 persen aktor pro-demokrasi. Boleh jadi, kurangnya
dukungan para aktor pro-demokrasi menyebabkan aspek-aspek itu berada dalam
situasi yang tidak terlalu baik dan kurang mengalami perkembangan. Lihat Tabel
4.
Tabel 4. Kecenderungan aktor pro-demokrasi untuk mendukung institusi HAM
(2003/2004)
NO
|
ATURAN DAN
REGULASI FORMAL
|
Proporsi
|
A
|
Institusi hak sipil dan politik
|
53
|
1
|
Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut
|
46
|
2
|
Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi
|
70
|
3
|
Kebebasan mendirikan
dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja
|
45
|
4
|
Kebebasan beragama dan berkeyakinan; Kebebasan menggunakan bahasa dan melestarikan
kebudayaan
|
50
|
B
|
Institusi
hak ekonomi, sosial dan budaya
|
49
|
5
|
Kesetaraan gender dan emansipasi
|
57
|
6
|
Hak-hak anak
|
45
|
7
|
Hak untuk memperoleh pekerjaan, jaminan
sosial dan kebutuhan dasar
|
45
|
8
|
Hak untuk memperoleh pendidikan dasar,
termasuk pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban warga negara
|
47
|
Sumber: “Appendix: Data Supplement” dalam Priyono et.al. (2007); data diolah.
3. Situasi HAM 2003-2007
Sebagian besar periode penilaian ini termasuk masa
pemerintahan SBY-JK yang dimulai pada 2004. Periode pemerintahan ini ditandai
oleh pendekatan yang menekankan perbaikan kinerja pemerintahan, seperti good governance, akuntabilitas
pemerintahan, dan semangat antikorupsi.
Periode ini ditandai juga oleh menguatnya wacana
tentang efisiensi demokrasi, misalnya tentang kebutuhan atas sistem kepartaian
yang lebih sederhana. Gagasan efisiensi terjadi karena secara makro demokrasi
telah kian berkembang semata-mata menjadi sebuah wahana kontestasi elektoral
yang panas. Di dalamnya para elit bertarung satu sama lain memperebutkan
kekuasaan dan menarik keuntungan. Dalam situasi seperti itu, demokrasi dianggap
sebagai biang keladi munculnya konflik dan politik-biaya-tinggi melalui praktik-praktik
politik uang.
Kedua karakter itu pada gilirannya melahirkan
kecenderungan gaya politik baru, yaitu politik pencitraan dan politik yang
mengutamakan keteraturan (politics of
order). Politik pencitraan dibutuhkan bukan saja untuk ‘memoles’ secara cepat
wajah good governance, tetapi juga
menjadi alat baru bagi kalangan politisi dan aparat pemerintahan untuk merebut
dukungan. Di dalam proses kontestasi para elit yang sama kuat sumber
ekonominya, uang tidak lagi dianggap cukup. Citra populis mulai berkembang
menjadi alternatif baru.
Situasi makro itu kelihatannya sedikit-banyak
berpengaruh terhadap kinerja institusi demokrasi tentang HAM, khususnya yang
berkaitan dengan pengaturan atas hak-hak sipil dan kebebasan politik.
Situasi aktual hak sipil dan politik
Situasi
hak-hak sipil dan kebebasan politik pada periode ini relatif baik. Jika
dirata-rata, sekitar 62 persen informan yang terlibat dalam assessment cenderung memberikan
penilaian baik terhadap empat aspek kebebasan sipil dan politik. Situasi ini
relatif sama, atau meningkat sedikit, dibandingkan hasil assessment sebelumnya
(58 persen, Tabel 1).
Aspek “kebebasan
beragama dan berkeyakinan serta kebebasan menggunakan
bahasa dan melestarikan kebudayaan” masih menjadi aspek hak sipil dan politik
yang paling baik dalam pembangunan institusi demokrasi. Indikasinya terlihat
dari 72 persen informan – proporsi tertinggi – yang memberikan penilaian baik
terhadap aspek itu. Hasil ini sekaligus mengindikasikan kecenderungan yang sama
dibandingkan hasil assessment sebelumnya (74 persen, Tabel 1).
Perkembangan yang relatif signifikan terjadi pada
aspek ”kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut”. Dalam hal kualitas/kinerja-nya, aspek ini
dianggap baik oleh 82 persen informan – bandingkan dengan hanya 26 persen
informan yang menganggapnya baik pada 2003/2004. Proporsi informan yang menilai
aspek ini sudah tercakup luas pun bertambah, dari 31 persen menjadi sekitar 42
persen. Secara umum, 55 persen informan menilai institusi demokrasi yang
berkaitan dengan”kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut” berada dalam situasi umum yang baik.
Akan tetapi, dengan cara pandang yang berbeda, kita
dapat melihat bahwa kemajuan hak sipil dan politik itu lebih didorong oleh
kualitas institusinya, bukan dari segi keluasan penerapan dan substansi
kandungannya. Secara rata-rata, hanya 55 persen informan yang menyatakan regulasi
tentang kebebasan sipil dan politik telah diterapkan secara luas, dan hanya 48
persen yang menilai aturan dan regulasi demokrasi mengakomodasi nilai-nilai
prinsip kebebasan sipil dan politik. Jika dihitung secara rata-rata, aspek
cakupan geografis dan substansi hak sipil dan politik hanya dianggap baik oleh
52 persen informan – relatif sama dengan hasil assessment sebelumnya (Tabel 1). Artinya, hak sipil dan politik
hanya mengalami perkembangan formalistik demi citra positif, bukan dalam
penerapannya.
Situasi
formalistik itulah yang barangkali bisa menjelaskan mengapa di tengah-tengah
proses institusionalisasi hak sipil dan politik, justru masih berkembang pelarangan
dan serangan terhadap aktivitas Jamaat Ahmadiyah Indonesia, juga terhadap
kelompok-kelompok lain yang dianggap sesat (misalnya Jamaah Salamullah pimpinan
Lia Aminuddin dan Al-Qiyadah Al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mushadek). Tambahan
lagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada periode itu kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan
yang konservatif, hingga menerbitkan fatwa yang melarang ajaran pluralisme,
liberalisme, dan toleransi (Samadhi dan Warouw, eds. 2007, p. 68).
Tabel 5 di bawah ini menggambarkan secara ringkas
penilaian terhadap situasi hak sipil dan politik.
Tabel 5. Penilaian terhadap aspek-aspek hak sipil dan politik (2007)
NO
|
ATURAN DAN
REGULASI FORMAL
|
Kinerja baik
|
Diterapkan
luas
|
Substansi baik
|
Penilaian
umum
|
1
|
Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut
|
82
|
43
|
40
|
55
|
2
|
Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi
|
84
|
60
|
51
|
65
|
3
|
Kebebasan mendirikan
dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja
|
80
|
48
|
40
|
56
|
4
|
Kebebasan beragama dan berkeyakinan; Kebebasan menggunakan bahasa dan melestarikan
kebudayaan
|
87
|
69
|
61
|
72
|
Institusi hak sipil dan politik
|
83
|
55
|
48
|
62
|
Sumber: “Tabulasi Data” dalam Samadhi dan Warouw eds. (2009); data diolah.
Situasi aktual hak ekonomi, sosial dan budaya
Penilaian informan terhadap kinerja hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya, secara umum tidak terlalu berbeda dibanding terhadap
kelompok hak sipil dan politik. Terhadap keempat aspek yang dinilai, rata-rata
sebanyak 84 persen informan memberikan penilaian baik. Akan tetapi, secara
rata-rata hanya sekitar 40-an persen informan yang menyatakan regulasi
demokrasi yang berkaitan dengan hak ekonomi, sosial, budaya, diterapkan secara
meluas dan mencakup substansi yang komprehensif. Penilaian seperti itu
mengindikasikan bahwa aturan dan regulasi yang berkenaan dengan hak ekonomi,
sosial, budaya, masih sebatas formalistik, tidak merata di semua wilayah, dan
dangkal substansinya. Secara keseluruhan, hanya 56 persen informan yang cenderung
memberikan penilaian baik terhadap situasi umum hak-hak sosial, ekonomi dan
budaya.
“Hak untuk memperoleh pekerjaan, jaminan sosial dan
kebutuhan dasar” masih merupakan aspek terburuk di antara aspek-aspek lainya.
Dibandingkan aspek-aspek lainnya yang dianggap baik oleh lebih dari 80 persen
informan, aspek ini hanya dinilai berkinerja baik oleh 78 persen informan.
Lebih dari itu, aspek ini juga cenderung dinilai hanya berlaku secara terbatas
dan tidak cukup komprehensif substansinya. Secara rata-rata, hanya 51 persen
informan yang menyatakan situasi institusi ini baik.
Situasi institusi yang paling baik dan mengalami
perkembangan signifikan adalah “hak untuk memperoleh pendidikan dasar, termasuk
pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban warga negara”. Meskipun bukan yang
dianggap paling bagus kualitasnya, akan tetapi aspek ini dinilai memiliki
cakupan penerapan yang luas dan mengatur hal-hal yang substantif. Secara
rata-rata, institusi demokrasi yang berkenaan dengan aspek ini dianggap baik
oleh 64 persen informan. Kecenderungan ini meningkat dibandingkan assessment
sebelumnya (38 persen, Tabel 2).
Macetnya perkembangan situasi institusi demokrasi
yang berkenaan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan hal yang
cukup mengkhawatirkan dalam proses pembangunan demokrasi. Kondisi itu telah
menimbulkan pandangan bahwa demokrasi tidak berhasil menciptakan kesejahteraan.
Masyarakat merasakan kehidupan ekonomi menjadi semakin sulit akibat mahalnya
harga-harga kebutuhan pokok. Di sisi lain, kebebasan dan keterbukaan politik
dianggap hanya menimbulkan konflik, kerusuhan, dan aksi-aksi demonstrasi yang
menyusahkan masyarakat. Tak heran jika pada periode itu mulai bermunculan
ungkapan-ungkapan keputus-asaan terhadap demokrasi. Sebagian kelompok
masyarakat menyatakan kerinduan pada stabilitas keamanan sebagaimana masa Orde
Baru.
Tabel 6 di bawah ini menggambarkan secara ringkas
penilaian terhadap situasi hak ekonomi, sosial dan budaya, hasil assessment
Demos-UiO 2007.
Tabel 6. Penilaian terhadap aspek-aspek hak ekonomi, sosial dan budaya
(2007)
NO
|
ATURAN DAN
REGULASI FORMAL
|
Kinerja baik
|
Diterapkan
luas
|
Substansi
baik
|
Penilaian
umum
|
1
|
Kesetaraan gender dan emansipasi
|
84
|
41
|
34
|
53
|
2
|
Hak-hak anak
|
88
|
40
|
42
|
57
|
3
|
Hak untuk memperoleh pekerjaan, jaminan
sosial dan kebutuhan dasar
|
78
|
40
|
35
|
51
|
4
|
Hak untuk memperoleh pendidikan dasar,
termasuk pendidikan tentang hak-hak dan kewajiban warga negara
|
86
|
57
|
48
|
64
|
Institusi hak ekonomi, sosial dan budaya
|
84
|
45
|
40
|
56
|
Sumber: “Tabulasi Data” dalam Samadhi dan Warouw eds. (2009); data diolah.
Sikap
aktor terhadap institusi demokrasi yang berkaitan dengan HAM
Dengan instrumen baru yang lebih lengkap, assessment Demos-UiO 2007 tidak hanya
melihat sikap aktor pro-demokrasi, tetapi mengungkap pula bagaimana sikap aktor-aktor
dominan (yang tidak selalu pro-demokrasi) terhadap perkembangan institusi
demokrasi. Hasilnya, rata-rata hanya 38 persen aktor dominan yang dianggap
memiliki sikap positif terhadap kemajuan institusi HAM, sedangkan di kalangan
aktor pro-demokrasi proporsinya mencapai rata-rata 70 persen. Meskipun tidak
cukup berimbang, data ini cukup menjadi pertanda awal yang penting dan
optimistik, yaitu bahwa para aktor yang berpengaruh terhadap jalannya demokrasi
setidaknya sama-sama memiliki perhatian terhadap aspek HAM.
Dibandingkan data sebelumnya, kecenderungan aktor
pro-demokrasi untuk mendukung HAM melalui institusi demokrasi meningkat. Secara
rata-rata 70 persen aktor pro-demokrasi dianggap cenderung mendukung institusi
demokrasi yang berkaitan dengan prinsip HAM. Aspek hak sipil dan politik
terlihat masih tetap menjadi prioritas (72 persen), tetapi proporsi aktor
pro-demokrasi yang mendukung hak ekonomi, sosial dan budaya meningkat dari 49
persen menjadi 68 persen.
Tabel 7. Kecenderungan aktor untuk mendukung institusi HAM (2007)
NO
|
INSTITUSI HAM
|
Aktor dominan
|
Aktor alternatif
|
1
|
Hak sipil dan politik
|
39
|
72
|
2
|
Hak ekonomi, sosial dan budaya
|
36
|
68
|
Institusi HAM
|
38
|
70
|
Sumber: “Tabulasi Data” dalam Samadhi dan Warouw eds. (2009); data diolah.
4. Situasi HAM 2007-2013
Instrumen yang digunakan UGM-UiO pada assessment
2013 sayangnya tidak sedetil yang digunakan pada dua assessment sebelumnya. Aspek-aspek
kebebasan dan hak-hak sipil dan politik serta hak-hak sosial, ekonomi dan
budaya dikompilasi ke dalam satu indikator saja, yaitu prinsip-prinsip
universal HAM. Karena itu, tidak ada gambaran yang diperoleh tentang kinerja
HAM dalam aspek-aspek yang lebih terperinci. Rangkuman hasilnya disajikan pada
Tabel 8.
Jika dibandingkan dengan kecenderungan umum yang
ditemukan sebelumnya, assessment ini secara
sepintas memperlihatkan bahwa situasi HAM terus mengalami perbaikan dalam
isntitusionalisasi demokrasi. Kinerja institusi demokrasi yang berkaitan dengan
pemajuan HAM dianggap cenderung positif oleh 78 persen informan, relatif jauh
di atas kecenderungan penilaian pada periode sebelumnya. Meskipun dianggap baik
oleh lebih banyak informan, situasinya boleh jadi tidak sepositif itu. Sebab,
hanya 36 persen informan yang meyakini situasi aktual institusi demokrasi yang
berkaitan dengan HAM mengalami kemajuan. Artinya, ada lebih banyak informan
yang cenderung berpendapat sebaliknya.
Memang, assessment
UGM-UiO 2013 memperlihatkan ada sedikit trend menurun dalam hal dukungan aktor
pro-demokrasi terhadap institusi demokrasi yang berkaitan dengan HAM. Menurut
penilaian informan, hanya 65 persen aktor pro-demokrasi yang memperlihatkan
dukungan terhadap HAM. Di sisi lain, ada kecenderungan peningkatan proporsi
aktor dominan yang bersikap mendukung aspek HAM dalam institusi demokrasi.
Analisis seperti ini mengantarkan pertanyaan:
apakah keterlibatan aktor dominan yang cenderung meningkat memiliki korelasi
dengan ketidakyakinan atas kemajuan aspek HAM? Sayangnya, instrumen UGM-UiO
tidak menyediakan data yang cukup untuk menjawab itu. Secara spekulatif, bisa
saja disimpulkan bahwa yang terjadi lagi-lagi adalah perkembangan formalistik
belaka ketimbang perbaikan substansial.
Tabel 8. Hasil assessment 2013 mengenai institusi HAM
NO
|
INDIKATOR ASSESSMENT
|
Proporsi
|
1
|
Situasi institusi HAM cenderung baik
|
78
|
2
|
Institusi HAM cenderung berkembang
|
36
|
3
|
Aktor dominan cenderung mendukung institusi
HAM
|
46
|
4
|
Aktor alternatif cenderung medukung
institusi HAM
|
65
|
5. Kesimpulan
Dari paparan ketiga hasil assessment di atas, kita
dapat melihat bahwa situasi HAM di Indonesia secara umum bergerak dinamis ke
arah yang positif. Menarik pula untuk diamati bahwa kinerja institusi HAM sangat
ditentukan oleh dinamika politik demokrasi. Pada periode 1998-2003, di saat
proses demokratisasi baru dimulai, institusi-institusi demokrasi yang berkaitan
dengan HAM, lebih khusus lagi hak sipil dan politik memperlihatkan situasi yang
menggembirakan. Situasinya menjadi berbeda pada periode 2003-2007 yang ditandai
oleh mengerasnya upaya pemerintah untuk melakukan pencitraan politik dan
politik keamanan. Pada saat itu, situasi HAM berkembang secara formalistik
belaka.
Melalui uraian di atas, kita juga mengetahui bahwa sikap
aktor ikut berpengaruh terhadap kinerja institusi-institusi HAM. Semakin banyak
aktor pro-demokrasi yang memberikan dukungan terhadap kemajuan HAM dalam
berbagai aturan dan regulasi demokrasi, situasi aktual institusi HAM cenderung
mengalami perbaikan. Akan tetapi, paparan di atas memperlihatkan bahwa ada
perbedaan yang jelas antara pengakuan formalistik, di satu sisi, dan aspek
pemerataan keberlakuan dan kandungan substansial, di sisi lain. Dukungan para
aktor perlu diberikan terhadap kedua dimensi itu agar kemajuan upaya penegakan
HAM melalui pembangunan institusi demokrasi tidak semata-mata berlangsung pada
tataran formalistik.
Penjelasan seperti itu sekaligus menjadi pembantah
tesis yang diajukan kalangan transisional dan kelompok liberal bahwa institusi
yang baik akan menghasilkan demokrasi yang baik. Pada kenyataannya, tulisan ini
memperlihatkan bahwa institusi perlu ditangani oleh aktor-aktor yang memiliki
kapasitas untuk menjadikannya baik. Jika demikian, belajar dari pengalaman
perkembangan HAM hingga kini, prospek kemajuan HAM akan sangat bergantung pada
kapasitas politik para aktor demokrasi, khususnya mereka yang bergiat dan
menaruh perhatian pada pemajuan HAM. Termasuk di dalam kapasitas politik itu
adalah memanfaatkan saluran representasi politik demokratik. Tanpa itu, kinerja
institusi demokrasi yang berkaitan dengan HAM sulit diharapkan berkembang maju.
<wps
Referensi
Beetham, D. 1999. Democracy and Human Rights. Oxford :
Polity Press.
Beetham, David, S. Bracking, I. Kearton, and S.
Weir. 2002. International IDEA Handbook and Democracy Assessment. The
Hague, London, New York: Kluwer Law International.
Beetham, David, Carvalho, Edzia, Landman, Todd,
Weir, Stuart. 2008. Assessing the Quality
of Democracy: A Practical Guide. Stockholm :
International IDEA.
Priyono, AE., Willy Purna Samadhi and Olle Törnquist (eds.). 2007. Making Democracy Meaningful: Problems and
Options in Indonesia. Jakarta: Demos.
Samadhi, Willy P., Nicolaas Warouw (eds.). 2009. Demokrasi di Atas Pasir. Jakarta-Yogyakarta: Demos-PCD Press.
Savirani, Amalinda, dkk. 2013. “Laporan Eksekutif Democracy Baseline
Survey”. Proyek kerja sama riset UGM-UiO tentang Power, Welfare and Democracy
(PWD). Yogyakarta.
[1] Kerangka pertama diperkenalkan David
Beetham (1999) melalui proyek Democracy
Audit yang dijalankan oleh sebuah kelompok riset di Pusat Hak Asasi Manusia
di Universitas Essex. Kerangka assessment
itu digunakan untuk menilai situasi 80 institusi demokrasi berbasis HAM.
Pendekatan ini, kemudian, dikembangkan sebagai standar penilaian demokrasi oleh
IDEA Internasional (Beetham, dkk. 2002, 2008).
[2]
Yang dimaksud dengan institusi demokrasi adalah segala perangkat aturan dan
regulasi yang berlaku dalam praktik politik demokrasi. Institusi itu dapat
bersifat formal dalam berbagai bentuk aturan perundang-undangan (mulai dari
tingkat nasional hingga ke tingkat lokal terkecil), tetapi dapat pula bersifat
informal berupa nilai-nilai, kebiasaan, tradisi, yang secara umum diterima,
berlaku, dan sudah dianggap sebagai bagian yang wajar dalam konteks
sosial-politik di mana nilai-nilai, kebiasaan, dan tradisi itu ada. Dalam
tulisan ini, hanya penilaian atas institusi formal yang akan dibahas.
[3]
Pada assessment Demos-UiO 2003 istilah yang digunakan adalah kualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar