WISATA PASCA-PANDEMI
Akhir pekan. Saatnya memikirkan wisata.
Sejak awal pandemi, otoritas Norwegia yang mengelola pariwisata gencar berpromosi. Melalui akun-akun medsos-nya, terutama twitter dan Instagram, mereka memamerkan pesona berbagai daerah wisata di negeri itu. Satu per satu, hari per hari, beragam daya tarik wisata diulas di sana, lengkap dengan foto dan video yang apik. Semua itu memberikan alasan kuat bagi siapa saja yang melihatnya untuk berwisata ke sana.
Di antara materi-materi "standar" itu, mereka menyelipkan pula tautan yang membawa kita ke tayangan "slow television" alias tontonan maha-panjang yang menampilkan liputan apa adanya. Misalnya, tayangan berdurasi 7 jam yang menggambarkan perjalanan berkereta dari Bergen ke Oslo. Menyaksikan tayangan itu, penontonnya berkesempatan mengenal lebih dekat dan detil banyak hal yang ada di sepanjang perjalanan.
Tentu saja, kampanye itu bukan untuk menarik wisatawan datang ke tempat-tempat wisata itu di tengah pandemi. Slogan yang mengiringi kampaye itu kira-kira berbunyi: "Sukai sekarang, kunjungi kelak". Maka, kampanye itu bukan saja membuat orang jatuh cinta, tetapi pesan lugas seperti itu kuat menanamkan memori kepada penerimanya. Ia seperti sedang menawarkan jawaban terbaik atas pertanyaan: Apa hal pertama yang ingin Anda lakukan jika pandemi ini berakhir?
Kampanye dan promosi itu memanfaatkan dengan jeli celah peluang yang terbuka manakala pandemi memaksa orang untuk diam di rumah dan mengurangi aktivitasnya. Materi promosi dan tayangan-tayangan itu memberikan kesempatan kepada para pembaca dan penontonnya, entah orang asing ataupun warga Norwegia sendiri, untuk bukan saja mengenali daya tarik tempat-tempat wisata yang belum pernah dikunjungi, tetapi juga memberikan kesempatan untuk merencanakan perjalanannya.
Bagi sebagian besar kita warga Indonesia, kampanye wisata mereka memang tidak akan efektif. Realistis saja. Selain ongkos ke sana tidak murah, biaya-biaya di sana pun mahal. Di masa old normal pun hanya sedikit wisatawan kita yang bepergian hingga ke negeri nun jauh di utara itu. Tapi setidaknya melalui kampanye seperti itu semakin banyak orang yang dapat mengenal lebih dalam negeri, alam, dan budaya Norwegia.
Sebelum menulis ini, saya menyempatkan diri untuk menengok akun-akun medsos kemenparekraf kita. Syukurlah, baik di facebook, twitter, maupun Instagram-nya, akun-akun resmi kemenparekraf itu tetap aktif di masa pandemi ini. Namun, di dalamnya saya sama sekali tidak menemukan promosi dan kampanye pariwisata pasca-pandemi.
Satu-dua akun medsos lain (lama) yang pernah saya ketahui sebagai akun promosi wisata Indonesia juga saya sempatkan lihat. Tidak ada pemutakhiran isi di sana. Pembaharuan terakhir dilakukan beberapa tahun lalu.
Beberapa kali, Presiden Joko Widodo menyatakan sektor pariwisata akan menjadi andalan pertumbuhan ekonomi begitu pandemi berakhir. "Saya meyakini ini hanya sampai akhir tahun. Tahun depan booming di pariwisata," kata Jokowi, seperti dikutip Kompas (16/4/2020).
Saya tidak tahu apakah harapan Jokowi itu akan benar-benar terwujud sebagaimana diyakininya. Sebagai warga yang ingin negara ini berjaya, saya tentu berharap booming pariwisata itu dapat kita nikmati. Tetapi sebagai salah satu pelaku 'di rumah aja', saya tentu saja juga sangat ingin berwisata ketika wabah sialan ini berlalu. Entahlah ke mana. Selain karena keterbatasan pengetahuan saya tentang tempat-tempat wisata, kondisi kantong pun lebih terbatas lagi.
Jadi, paling-paling pilihan wisatanya sama seperti dulu-dulu: ngadem ke mal terdekat. Setidaknya, bisa merasakan udara dingin sambil lihat-lihat barang keren di etalase.
Yah, mungkin mirip-miriplah dengan jalan-jalan di Norwegia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar