Selasa, 25 April 2017

De-sakralisasi Pemilihan Umum

Kerja demokratisasi tidak lagi bisa dijalankan semata-mata melalui penguatan sistem-dan-kerja elektoral. Dari pemilu ke pemilu, pilpres ke pilpres, pilkada ke pilkada, kita hanya melihat rakyat menjadi bulan-bulanan target para elit berebut suara. Pada tahap awal, sentimen-sentimen etnis dan jargon "putra daerah" menjadi alat pengeruk suara di banyak pilkada. Beruntung, trend itu tidak berlangsung lama, karena kemudian uang yang dianggap lebih efektif menjaring suara.

Ketika jor-joran uang semakin tidak masuk akal dan memaksa penggelontornya berhitung ulang, hadirlah jargon-jargon populis sebagai pelengkap janji. Ada yang menjanjikan pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis, dan bentuk-bentuk jaminan sosial lainnya. Pada titik itu, demokrasi elektoral boleh jadi baru meneteskan sedikit manfaatnya kepada warga.

Tapi bayarannya bukan tak ada. Demokrasi kita menjadi bertumpu pada individu-individu, pada tokoh dan figur. Partai kehilangan perannya. Mungkin sebagian orang melihatnya bukan soal -- misalnya karena menganggap partai sebagai barang busuk dan sarang kotoran -- tetapi surutnya peran partai mau tak mau berimplikasi pada pudarnya semangat politik kolektif dan asosiasional.
Munculnya individu-individu sebagai tokoh sentral politik melahirkan politik kerumunan, bukan politik organisasional. Akibatnya, instrumen-instrumen politik massa yang dibutuhkan untuk membangun 'demos' tercoret pula dari daftar kebutuhan. Yang berlaku adalah koneksi, lobby, transaksi personal.

Benar semuanya itu berlangsung dalam atmosfer demokrasi, tidak terang-terangan melanggar prosedur demokrasi dan tatacara elektoral, akan tetapi tujuannya tidak lebih jelas daripada itu: berdiri di atas politik elektoral. Maka, ketika ukuran-ukuran individual yang harus berkompetisi, memanfaatkan politik-kerumunan adalah suplemen penting yang perlu dikonsumsi.
Apa suplemen yang efektif dan murah? Dulu, ramuan mujarab adalah imaji, citra. Isinya bisa beragam, mulai dari playing victim sampai urusan penampilan. Kemudian ditemukan ramuan baru: komunitas, kawan-ini, teman-itu. Pada pilkada DKI kemarin, ramuannya lebih maut: sentimen agama dan etnis. Efeknya kinclong dalam sekejap, penenggaknya mereguk kemenangan.

Tapi, adakah serangkaian perjalanan demokrasi elektoral itu memberi sumbangan berarti bagi perkembangan demokrasi kita? Setelah hampir 20 tahun kita berdemokrasi, rakyat hanya mengenal menang dan kalah dalam pemilihan. Satu-satunya yang harus disyukuri adalah semakin tidak adanya konflik electoral yang berujung kerusuhan.

Tetapi pencapaian demokrasi tentu bukan diukur dari situ saja. Menang dan kalah pemilihan, serta kesediaan menerima hasilnya, adalah konsekuensi belaka dari mekanisme demokratis. Maka, jika hal itu dianggap prestasi, demokrasi kita sesungguhnya stagnan saja dari tahun ke tahun, dari pemilu ke pemilu. Yang berubah hanyalah siapa yang menang, dan siapa yang kalah.

Ke depan, para penggerak demokrasi harus melihat aspek lain. Tidak boleh terus-menerus terjebak pada isu elektoral. Membangun demos adalah pekerjaan mendesak yang harus dimulai, agar demokrasi kembali ke khittah-nya: demos (rakyat) yang berkuasa. Bukan dengan adu jago kandidat, tetapi dengan adu tuntutan publik kepada para pejabat publik, dan adu kontrol publik terhadap jalannya pengelolaan urusan publik. Publik adalah warga kota, warga provinsi, warga negara. Sebagaimana konsitusi menetapkan dan mengakui prinsip kesetaraan warga negara tanpa diskriminasi, demokrasi pun harus senantiasa bersifat inklusif. Menggunakan sentimen agama dan etnis sebagai suplemen untuk memenangkan suara, betapapun efektifnya, adalah kemunduran serius dalam grafik perkembangan demokrasi.


Kerja baru itu membutuhkan keseriusan dan komitmen untuk mengembalikan elan politik kolektif dan politik organisasional, ketimbang mengelu-elukan politik individualistik. Politik-kerumunan, apalagi gerombolan, harus ditepikan. Demokrasi elektoral harus di-de-sakralisasi. Demokrasi sesungguhnya adalah kerja-kerja politik di antara dua pemilihan umum. Di situlah letak kekuasaan demos.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar