Kerja demokratisasi tidak lagi bisa dijalankan semata-mata
melalui penguatan sistem-dan-kerja elektoral. Dari pemilu ke pemilu, pilpres ke
pilpres, pilkada ke pilkada, kita hanya melihat rakyat menjadi bulan-bulanan
target para elit berebut suara. Pada tahap awal, sentimen-sentimen etnis dan
jargon "putra daerah" menjadi alat pengeruk suara di banyak pilkada.
Beruntung, trend itu tidak berlangsung lama, karena kemudian uang yang dianggap
lebih efektif menjaring suara.
Ketika jor-joran uang semakin tidak masuk akal dan memaksa
penggelontornya berhitung ulang, hadirlah jargon-jargon populis sebagai
pelengkap janji. Ada yang menjanjikan pendidikan gratis, pelayanan kesehatan
gratis, dan bentuk-bentuk jaminan sosial lainnya. Pada titik itu, demokrasi
elektoral boleh jadi baru meneteskan sedikit manfaatnya kepada warga.
Tapi bayarannya bukan tak ada. Demokrasi kita menjadi
bertumpu pada individu-individu, pada tokoh dan figur. Partai kehilangan
perannya. Mungkin sebagian orang melihatnya bukan soal -- misalnya karena
menganggap partai sebagai barang busuk dan sarang kotoran -- tetapi surutnya
peran partai mau tak mau berimplikasi pada pudarnya semangat politik kolektif
dan asosiasional.
Munculnya individu-individu sebagai tokoh sentral politik
melahirkan politik kerumunan, bukan politik organisasional. Akibatnya,
instrumen-instrumen politik massa yang dibutuhkan untuk membangun 'demos'
tercoret pula dari daftar kebutuhan. Yang berlaku adalah koneksi, lobby,
transaksi personal.
Benar semuanya itu berlangsung dalam atmosfer demokrasi,
tidak terang-terangan melanggar prosedur demokrasi dan tatacara elektoral, akan
tetapi tujuannya tidak lebih jelas daripada itu: berdiri di atas politik
elektoral. Maka, ketika ukuran-ukuran individual yang harus berkompetisi,
memanfaatkan politik-kerumunan adalah suplemen penting yang perlu dikonsumsi.
Apa suplemen yang efektif dan murah? Dulu, ramuan mujarab
adalah imaji, citra. Isinya bisa beragam, mulai dari playing victim sampai
urusan penampilan. Kemudian ditemukan ramuan baru: komunitas, kawan-ini,
teman-itu. Pada pilkada DKI kemarin, ramuannya lebih maut: sentimen agama dan
etnis. Efeknya kinclong dalam sekejap, penenggaknya mereguk kemenangan.
Tapi, adakah serangkaian perjalanan demokrasi elektoral itu
memberi sumbangan berarti bagi perkembangan demokrasi kita? Setelah hampir 20
tahun kita berdemokrasi, rakyat hanya mengenal menang dan kalah dalam
pemilihan. Satu-satunya yang harus disyukuri adalah semakin tidak adanya
konflik electoral yang berujung kerusuhan.
Tetapi pencapaian demokrasi tentu bukan diukur dari situ
saja. Menang dan kalah pemilihan, serta kesediaan menerima hasilnya, adalah
konsekuensi belaka dari mekanisme demokratis. Maka, jika hal itu dianggap
prestasi, demokrasi kita sesungguhnya stagnan saja dari tahun ke tahun, dari
pemilu ke pemilu. Yang berubah hanyalah siapa yang menang, dan siapa yang
kalah.
Ke depan, para penggerak demokrasi harus melihat aspek lain.
Tidak boleh terus-menerus terjebak pada isu elektoral. Membangun demos adalah
pekerjaan mendesak yang harus dimulai, agar demokrasi kembali ke khittah-nya:
demos (rakyat) yang berkuasa. Bukan dengan adu jago kandidat, tetapi dengan adu
tuntutan publik kepada para pejabat publik, dan adu kontrol publik terhadap
jalannya pengelolaan urusan publik. Publik adalah warga kota, warga provinsi,
warga negara. Sebagaimana konsitusi menetapkan dan mengakui prinsip kesetaraan
warga negara tanpa diskriminasi, demokrasi pun harus senantiasa bersifat
inklusif. Menggunakan sentimen agama dan etnis sebagai suplemen untuk
memenangkan suara, betapapun efektifnya, adalah kemunduran serius dalam grafik
perkembangan demokrasi.
Kerja baru itu membutuhkan keseriusan dan komitmen untuk
mengembalikan elan politik kolektif dan politik organisasional, ketimbang
mengelu-elukan politik individualistik. Politik-kerumunan, apalagi gerombolan,
harus ditepikan. Demokrasi elektoral harus di-de-sakralisasi. Demokrasi
sesungguhnya adalah kerja-kerja politik di antara dua pemilihan umum. Di
situlah letak kekuasaan demos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar