Jumat, 03 Oktober 2014

Pilkada Tanpa Kapasitas Demokratis

Oleh: Willy Purna Samadhi


Pembelaan terhadap pilkada langsung bukan terletak pada pilihan mekanisme mana yang lebih baik, mana yang lebih menjamin kedaulatan rakyat. Pembelaan itu sebaiknya ditempatkan pada konteks situasi demokratik yang nyata, lebih khusus lagi menyangkut situasi kapasitas politik para pelaku (subjek) politik demokrasi. Baik dan buruknya mekanisme apa pun yang dipilih sangat bergantung pada kualifikasi kapasitas politik demokratis para pelakunya.

Tentu ada banyak pihak yang dapat dimasukkan sebagai subjek dan karena itu perlu ditelisik satu per satu kapasitas politiknya. Namun setidaknya ada dua subjek terpenting dan paling relevan untuk dilihat. Keduanya adalah partai dan rakyat pemilih. Menyangkut yang pertama, kita bisa perluas dalam hal ini mencakup DPRD dan anggota2nya. Telisik terhadap kapasitas politik kedua pihak itu -- partai dan pemilih -- menjadi keutamaan karena pilihan terhadap mekanisme pemilihan memiliki keterkaitan langsung dengan kualifikasi kapasitas politik keduanya. Kendati ada faktor-faktor di luar itu yang ikut berpengaruh, kualifikasi kapasitas politik pemilih (yaitu rakyat pemilih atau partai) secara nyata akan berdampak pada kualitas hasil pemilihan.

Demokratisasi kita kini memasuki tahun ke-17. Di sepanjang proses itu, partai dan rakyat pemilih menjalani berbagai proses politik dengan kapasitas politik demokratis mereka masing-masing. Menyangkut kapasitas politik demokratis rakyat, banyak orang meyakini bahwa rakyat belum terlalu siap berdemokrasi. Indikasinya adalah rentannya berbagai proses elektoral terhadap konflik antargolongan, juga terhadap pembelian suara (money politics). Pernyataan seperti itu bukan saja sulit diverifikasi, tetapi sekaligus dilandasi oleh sebuah pemahaman yang sangat kuat bahwa demokrasi semata-mata menyangkut persoalan pemilihan umum belaka. Pemahaman itu bukan saja keliru, tetapi juga mengaburkan esensi demokrasi.

Sejak era reformasi, rakyat telah banyak belajar dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai baru yang demokratis, Keterbukaan dan kebebasan politik, serta jaminan kepastian hukum yang lebih baik, pengakuan yang meluas atas hak-hak social, ekonomi dan budaya, serta kesadaran atas pentingnya pemerintahan yang bersih dan efektif, telah membuka banyak mata rakyat. Tentu saja pada awalnya kita menyaksikan eforia-eforia yang tak jarang berakhir menyedihkan, konflik horizontal di sana-sini, terbitnya berbagai media massa yang kebablasan, aksi-aksi demonstrasi yang tak terkendali. Akan tetapi kini sudah semakin jarang kita menyaksikan dan mendengar kabar-kabar semacam itu. Rakyat telah menunjukkan kedewasaannya dalam menyerap nilai-nilai keterbukaan dan kebebasan, dan semakin memahami bagaimana menyalurkannya.

Di lain sisi, kapasitas politik demokratis partai-partai politik malah diyakini masih diselimuti persoalan-persoalan mendasar. Sebuah survey assessment demokrasi baru-baru ini diselenggarakan oleh UGM bekerja sama dengan Universitas Oslo. Salah satu fokus assessment itu adalah soal kapasitas politik demokratis para aktor yang terlibat di dalam proses demokratisasi. Hasilnya menunjukkan betapa rendahnya kualitas insititusi-institusi demokrasi yang penting dan mendasar untuk menopang aspek representasi atau keterwakilan. Partai politik adalah salah satu di antaranya. Hasil itu konsisten dengan hasil assessment serupa yang dilakukan sebelumnya pada 2003 dan 2007 (Samadhi dan Warouw, 2009). Artinya, di tengah-tengah proses perkembangan yang menggembirakan menyangkut kapasitas politik demokratis warga Negara, partai politik justru terperangkap dalam situasi kemandegan dan tidak berkembang menurut parameter-parameter kapasitas politik demokratis.

Indikasi paling kuat dari kemandegan perkembangan kapasitas politik demokratis partai-partai politik adalah munculnya kecenderungan politik populisme berbasis figur atau personal. Kemunculan tokoh-tokoh semacam Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil dan Tri Risma adalah contohnya. Tokoh-tokoh itu, sekalipun memiliki relasi dengan partainya masing-masing, dapat memenangkan kompetisi politik lebih karena popularitasnya sebagai figur ketimbang karena statusnya sebagai kader partai politik tertentu. Pun pada era ketika tokoh-tokoh populis seperti itu belum muncul, kita juga dapat melihat serangkaian hasil pilkada yang tidak senantiasa merefleksikan konstelasi kekuatan partai di DPRD. Bukan rahasia lagi jika partai-partai lebih mementingkan akumulasi daya ekonomi melalui penjualan “tiket” kandidasi dalam proses pilkada, dan kemudian menyisihkan sebagiannya untuk keperluan mendukung kandidat dalam proses kampanye hingga saat pemilihan, sebagian besar melalui praktik pembelian suara rakyat. Proses kandidasi semacam itulah yang sesungguhnya telah menciptakan politik berbiaya tinggi, money politics, dan pada gilirannya memicu maraknya korupsi di mana-mana.

Serangkaian kenyataan di atas membuktikan bahwa partai-partai tidak memiliki kapasitas politik demokratik yang cukup, bahkan untuk sebatas memenangkan kompetisi politik demokratis. Mereka lebih membiarkan diri untuk terjebak dalam adu kuat perebutan kekuasaan, itu pun dengan mengandalkan basis-basis kekuatan yang dimiliki kandidat yang diusungnya. Partai sama sekali enggan mengembangkan kapasitas politik demokratis mereka, yaitu menyangkut kemampuan mobilisasi massa secara demokratis melalui proses pengkaderan berbasis organisasi. Partai juga malas mengembangkan kemampuan mengakumulasi secara demokratis sumber-sumber kekuatan yang memungkinkan mereka menyusun strategi politik demokratis, Kepentingan-kepentingan pragmatis demi memenangkan proses elektoral juga menyebabkan partai tak punya kepedulian yang cukup untuk mengembangkan kapasitas politik mereka dalam menyusun platform program yang visioner apalagi berbasis ideologi, sehingga mereka lebih memilih untuk larut dan menikmati kemudahan merebut simpati rakyat pemilih dengan mengampanyekan isu-isu populis yang ditawarkan figur-figur kandidat kepala daerah. Singkat kata, ekses-ekses yang muncul dalam proses pilkada langsung selama ini sesungguhnya lebih disebabkan ketidakseriusan partai untuk mengembangkan kapasitas politik demokratik mereka ketimbang karena ketidaksiapan rakyat pemilih untuk berdemokrasi.

Maka, alih-alih menyetujui dan mendukung pendapat bahwa pilkada harus dilakukan oleh DPRD hingga menunggu kesiapan rakyat pemilih, justru partai-partailah yang seharusnya diperpanjang masa belajarnya untuk memperbaiki kualifikasi kapasitas politik demokratisnya. Di sisi lain, kualifikasi kapasitas politik demokratis rakyat pemilih mengalami perkembangan yang terus-menerus. Belakangan ini semakin jarang terdengar konflik antargolongan di dalam proses pilkada langsung. Konflik-konflik yang muncul lebih merupakan silang-sengketa antara kandidat dan penyelenggara pemilu (KPUD) ketimbang antarpendukung kandidat. Penyelesaian perselisihan itu pun, jika ada, terfasilitasi oleh saluran hukum melalui MK.

Pemilihan oleh DPRD bukan hal tabu, tetapi partai dan para kadernya, bukan saja yang duduk di DPRD, harus tunduk dan mau belajar lebih dahulu dari rakyat pemilih tentang bagaimana caranya meningkatkan kualifikasi kapasitas politik demokratis. Menyerahkan proses pilkada kembali ke DPRD yang memiliki kualifikasi kapasitas politik rendah, dan karena itu menyebabkan buruknya situasi representasi demokratis, berarti menyerahkan proses pemilihan kepala daerah ke tangan-tangan kuat yang berlumuran kuasa belaka tanpa kualifikasi demokrasi sama sekali. Aneh dan sama sekali tidak masuk akal, karena itu, jika keputusan DPR untuk menyerahkan proses pilkada ke DPRD dianggap sebagai keputusan demokratis, apalagi keputusan yang mendorong pemajuan demokrasi.

Demokrasi, sekali lagi, memang bukan sekadar pilkada dan mekanisme pemilihan lainnya. Namun pada detik palu sidang diketuk untuk mengalihkan pilkada ke DPRD, pada saat itulah secara resmi pilkada dinyatakan steril dari demokrasi. Persis di situlah argumen tentang hilangnya daulat rakyat berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar