Mahasiswa S2 FISIPOL UGM –Program Studi HAM dan Demokrasi
Pengantar
Kejatuhan rezim Soeharto pada Mei 1998 telah melambungkan harapan akan adanya transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Apa yang terjadi hingga hampir sepuluh tahun setelahnya memang sedikit-banyak memperlihatkan tanda-tanda yang menggembirakan. Pertumbuhan partai-partai politik baru dan beragam, pelaksanaan Pemilu yang bebas dan fair, termasuk pemilihan presiden dan kepala daerah yang dilakukan langsung oleh rakyat, serta kebebasan berekspresi dan media massa adalah sebagian dari tanda-tanda yang menggembirakan itu. Sebagian orang sangat percaya bahwa Indonesia telah melangkah jauh menuju demokrasi. Benarkah?
Tampaknya, demokratisasi di Indonesia pasca-1998 baru berlangsung di tingkat permukaan (Priyono, AE., Willy Purna Samadhi dan Olle Törnquist, 2007). Keterbukaan dan berkembangnya kebebasan-kebebasan menyangkut hak-hak sipil dan politik di satu pihak rupanya tak diiringi dengan kemajuan yang setara pada aspek-aspek keterwakilan kepentingan dan gagasan dalam politik (representasi politik), kepemerintahan yang baik dan bertanggung jawab (good governance), rule of law/ law enforcement, serta taraf hidup warga negara (kondisi hak ekonomi dan sosial). Negara – dan elemen-elemennya – masih saja korup dan tak terjangkau oleh kontrol publik.
Permasalahan
Paper ini akan mengulas dan pada akhirnya menawarkan kesimpulan mengenai situasi demokratisasi di Indonesia sejak 1998 hingga 2007. Ada dua aspek yang akan menjadi fokus di dalam tulisan ini, yaitu implementasi demokrasi prosedural dan respon aktor terhadap demokratisasi.
Arus utama yang memberi wajah pada demokratisasi pasca-1998 di Indonesia adalah demokrasi liberal. Keterbukaan dan kebebasan sipil dan politik menjadi ciri utamanya. Kebebasan berpartai, kebebasan media, dan kebebasan berorganisasi, antara lain, seolah menjadi pertanda utama bagi berlangsungnya proses demokratisasi. Penyempurnaan proses pemilu menjadi perhatian yang utama. Padahal, kendati memang penting dan mutlak adanya, berbagai keterbukaan dan kebebasan sipil dan politik bukanlah satu-satunya prasyarat mewujudkan sistem politik yang demokratis. Demikian pula, penyempurnaan mekanisme-mekanisme politik demokratis tidak serta-merta akan menghasilkan kehidupan politik yang demokratis.
Demokrasi adalah sebuah tatanan politik yang menjamin kesetaraan setiap warga negara untuk berpartisipasi dan melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan publik. Keterbukaan dan kebebasan sipil dan politik tidak selamanya bisa menjamin kesetaraan warga negara. Mekanisme politik yang demokratis belum tentu memberi ruang yang cukup bagi partisipasi dan kontrol warga negara di dalam proses pengambilan keputusan-keputusan publik. Di banyak tempat, termasuk di Indonesia, demokrasi menjadi alat elit untuk memanipulasi mekanisme demokratis sehingga tidak memberi jaminan terhadap kesetaraan warga negara.
Saat ini kita sering mendengar bahwa sistem demokrasi yang sedang berjalan ternyata tidak banyak membawa manfaat buat masyarakat banyak. Semua instrumen demokrasi relatif berjalan baik, dan demikian juga aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Tetapi mengapa kualitas institusi representasi, baik formal maupun informal, justru semakin memburuk?
Sejauh ini, perhatian perbaikan pada tata kelola pemerintahan dan rule of law sungguh tidak mencukupi. Upaya memperbaiki hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya ternyata juga tidak memiliki dampak yang siginifkan terhadap perbaikan representasi. Persoalannya kemudian, belakangan ini muncul pemikiran, pernyataan dan analisa yang mulai menyalahkan demokrasi sebagai biang keladinya. Bahkan ide seperti ini muncul dari para pejabat publik sendiri, dan juga tokoh agama dan akademisi. Masyarakat secara umum masih belum terwakili dalam seluruh proses politik formal, dan karenanya mekanisme demokrasi seperti ini ternyata tidak membawa manfaat bagi masyarakat.
Demokratisasi, karena itu, membutuhkan bukan saja perbaikan prosedur politik yang demokratis, melainkan juga menuntut keinginan dan kecakapan para aktor untuk berdemokrasi. Respon yang negatif dari para aktor terhadap demokrasi bisa berakibat terabaikannya tujuan-tujuan demokrasi. Inilah tantangan terbesar bagi demokratisasi Indonesia pasca-Orde Baru.
Untuk mengulas itu semua, paper ini akan menggunakan data-data dari survei yang dilakukan Demos.[1] Namun sebelum mulai membahas itu, bagian berikut ini akan menguraikan pemikiran mengenai sekuensi demokrasi. Pemikiran ini belakangan banyak berkembang untuk menjawab persoalan-persoalan dalam proses demokratisasi. Uraian mengenai pemikiran ini penting artinya untuk membaca dan menganalisis data-data yang tersedia.
Sekuensi Demokrasi: Benarkah menjadi Jalan Keluar?
Demokrasi kini seolah-olah hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan menyejahterakan masyarakat. Jika hingga suatu taraf tertentu demokrasi ternyata dianggap tidak menguntungkan, maka ia bisa diabaikan, demi tercapainya tujuan yang diinginkan. Jika demikian apa yang dibutuhkan untuk memperbaikinya? Secara teoretis, ada keperluan mempromosikan sekuensi demokrasi (democratic sequencing) (Carothers, 2007). Menurut pandangan ini, merupakan sebuah kesalahan untuk meyakini bahwa demokratisasi, khususnya adanya pemilu terbuka, akan selalu melahirkan hasil yang baik. Jika demokrasi liberal (perwakilan) diadopsi ke negara-negara seperti Indonesia yang seluruh tatanan dan masyakatnya belum siap, maka sudah bisa ditebak hasilnya justru akan buruk. Akan lahir para pemimpin iliberal atau eksterimis duduk dalam kekuasaan, konflik etnis dan sejenisnya, dan bahkan bisa perang antar-wilayah.
Secara teoretis, kita tahu bahwa mereka yang mendukung pilihan seperti ini dikenal sebagai kelompok “preconditionists” yang percaya bahwa demokrasi pada umumnya baru bisa tumbuh dan berkembang melalui sejumlah kondisi dan pengalaman (Berman, 2007: 28-41). Ini artinya, beberapa kondisi yang ada seperti tegaknya rule of law, tingkat pembangunan ekonomi, kesetaraan dan kesejahteraan masyarakat, stabilitas sosial-politik, dan manajemen pemerintahan yang baik harus terbangun dan mapan terlebih dahulu sebelum kemudian demokrasi dipromosikan.
Di Indonesia, pemikiran seperti ini, yang pernah begitu kuat pada era Orde Baru dengan slogannya Pembangunan Ekonomi dan Stabilitas Nasional, tampaknya mulai muncul kembali lagi pada era Reformasi ini sebagaimana yang disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar, Surya Paloh.[2]
“Demokrasi hanyalah cara, alat, atau proses dan bukan tujuan sehingga bisa dinomorduakan.” (Disampaikan oleh Jusuf Kalla dalam pidato politiknya pada penutupan Rapimnas Partai Golkar di Jakarta, 25 November 2007).[3]
”Demokrasi bukan tujuan, melainkan sekedar cara untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Demokrasi tak ada gunanya jika tidak ada kesejahteraan.” (Disampaikan dalam acara ”Silahturahmi Nasional Partai Golkar dan PDI-P” di Medan, 20 Juni 2007).[4]
Untuk kasus Indonesia, pemikiran dan ide seperti ini semakin mendapat tempat karena realitas sosial-politiknya yang dianggap mendukung. Sebut saja misalnya, konflik horizontal antar pendukung kandidat dalam pilkada di berbagai tempat di Indonesia seperti Makasar, Maluku Utara, dan Tuban. Demikian juga dengan perbedaan pendapat, dan bahkan konflik, yang tidak habis-habisnya di parlemen, dan terlalu banyak partai politik yang menyebabkan sukarnya mempromosikan stabilitas. Lain daripada itu, sebagai negara berkembang dan ingin menjadi negara maju membutuhkan efisiensi dalam segala hal, dan demokrasi, khususnya pemilu, sejauh ini memakan biaya yang sangat besar yakni meliputi dana pemerintah, dana yang disiapkan para kandidat, dan dana yang dikeluarkan para pendukungnya. Pernyataan yang belakangan ini lagi-lagi diucapkan oleh Jusuf Kalla.[5] Menurut Depdagri, tahun 2008 ada sekitar 160 pilkada yang akan digelar yakni di 13 propinsi, 112 kabupaten, dan 35 kota, dan diperkirakan biaya kasarnya sampai Rp. 200 triliun.
Pembangunan ekonomi, khususnya pertumbuhan ekonomi, diyakni, menurut para pendukung “preconditionists”, hanya bisa jalan jika ada stabilitas politik. Demokrasi tidak memberikan jawaban atas stabilitas ini. Cina, Vietnam dan Singapura adalah contoh nyata dari pilihan ini dimana pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat bisa dicapai tanpa harus melalui cara-cara demokrasi. Sebaliknya, upaya-upaya untuk segera mempromosikan demokrasi liberal (demokrasi perwakilan) di beberapa negara hanya menghasilkan kekacauan sosial-politik, dan akibatnya pembangunan ekonomi menjadi terhambat. Sebut saja misalnya, Irak pasca-Saddam Hussein, dan demikian juga dengan hasil pemilu di Mesir, Lebanon dan Palestina (Carothers, 2007: 14). Ide ini, meski tidak sepenuhnya sama, mirip tesis ”tertib politik” yang dikembangkan pada tahun 1960-an oleh Samuel P. Hungtinton.[6] Tesis ini pernah diadopsi oleh pemerintah Orde Baru dengan slogannya Trilogi Pembangunan: Stabilitas, Pertumbuhan dan Pemerataan. Menariknya, ide Trilogi Pembangunan ini kembali disinggung Jusuf Kalla sebagai ide yang masih diperlukan Indonesia saat ini.
Perkembangan yang Mengesankan:
Aspek Manajerial Pemerintahan
Sejak jatuhnya Orde Baru, perkembangan demokratisasi memperlihatkan dengan jelas bahwa perangkat-perangkat perundangan/regulasi formal serta berbagai norma dan pranata informal makin lama makin bersifat suportif. Demokrasi sudah mulai menjadi kelaziman dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bahasa politik kekuasaan tidak banyak lagi mengutip kosakata otoritarian.
Singkatnya, selama satu dasawarsa sejak 1998, demokrasi telah menjadi sistem yang relatif berfungsi sebagai kerangka kerja politik nasional,[7] menggantikan sistem politik otoritarian. Saat ini kita berada pada situasi point of no return. Dalam skenario yang optimis, kita bisa mengatakan setelah hak-hak sipil dan politik mengalami perbaikan dramatis pada tahun-tahun pertama demokratisasi, sekarang kita mencatat beberapa pencapaian lain: perangkat-perangkat demokrasi yang bertalian dengan aspek manajerial pemerintahan kini memperlihatkan perkembangan yang mengesankan.
Data yang diolah Demos memperlihatkan gambaran yang positif dalam perkembangan demokrasi sejak 2003/04 hingga 2007. Berdasarkan angka rata-ratanya, indeks perangkat demokrasi membaik dari 37 menjadi 46, atau sekitar 25 persen (lihat Tabel 1). Pada beberapa instrumen, kenaikan nilai indeks terlihat sangat tajam. Kepatuhan pejabat pemerintah dan pejabat publik terhadap hukum (rule of law) naik dari skor 16 menjadi 45. Kesetaraan di hadapan hukum juga naik tajam dari 18 menjadi 44. Kenaikan yang juga signifikan terlihat pada perangkat demokrasi yang berkaitan dengan independensi pemerintah dari kelompok kepentingan yang kuat, kapasitas untuk menghapuskan korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan. Kendati tak setajam yang di atas, perbaikan indeks juga terlihat pada beberapa perangkat lainnya.
Tabel 1. Indeks perangkat demokrasi: Perbandingan hasil survei 2003/04 dan 2007
NO
|
PERANGKAT-PERANGKAT DEMOKRASI
|
2003/04
|
2007
|
TREND 2003/04 – 2007
| ||
INDEKS
|
PERINGKAT
|
INDEKS
|
PERINGKAT
| |||
Perangkat Legal dan Hak-hak
| ||||||
1
|
Kesetaraan warga negara (Kesetaraan warga negara, hak-hak kelompok minoritas, migran, dan pengungsi; Rekonsiliasi konflik horisontal)
|
32
|
15
|
42
|
21
|
31%
|
2
|
Dukungan pemerintah terhadap hukum internasional menyangkut hak asasi manusia
|
27
|
17
|
46
|
12
|
70%
|
3
|
Kepatuhan pejabat pemerintah dan pejabat publik terhadap hukum (rule of law)
|
16
|
32
|
45
|
15
|
181%
|
4
|
Kesetaraan di hadapan hukum (Akses yang setara dan aman terhadap keadilan; Integritas dan independensi lembaga peradilan)
|
18
|
30
|
44
|
16
|
144%
|
5
|
Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut terhadapnya
|
28
|
16
|
47
|
10
|
68%
|
6
|
Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi
|
74
|
2
|
60
|
3
|
-19%
|
7
|
Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-serikat pekerja
|
57
|
8
|
51
|
8
|
-11%
|
8
|
Kebebasan beragama dan berkeyakinan; Menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan
|
74
|
1
|
66
|
1
|
-11%
|
9
|
Kesetaraan dan emansipasi gender
|
47
|
9
|
46
|
13
|
-2%
|
10
|
Perlindungan terhadap hak-hak anak
|
27
|
18
|
53
|
7
|
96%
|
11
|
Hak untuk mendapatkan pekerjaan, memperoleh jaminan sosial, dan kebutuhan dasar lainnya
|
22
|
26
|
45
|
14
|
105%
|
12
|
Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar, termasuk tentang hak-hak dan kewajiban warga negara
|
37
|
13
|
59
|
4
|
59%
|
13
|
Tatakelola perusahaan yang baik (good corporate governance)
|
21
|
27
|
40
|
23
|
90%
|
Representasi Politik
| ||||||
14
|
Pemilu yang bebas dan adil di tingkat pusat, regional, dan lokal; Pemilihan kepala daerah
|
63
|
4
|
64
|
2
|
2%
|
15
|
Kebebasan mendirikan partai di tingkal lokal dan nasional (termasuk peluang bagi para calon independen), merekrut anggota, dan berkampanye untuk menduduki jabatan-jabatan pemerintahan
|
71
|
3
|
40
|
22
|
-44%
|
16
|
Kemampuan partai politik dan atau para kandidat untuk memperjuangkan isu-isu vital dan kepentingan publik
|
24
|
22
|
36
|
31
|
50%
|
17
|
Pencegahan penyalahgunaan sentimen, simbol dan doktrin etnis dan agama oleh partai politik dan atau para kandidat
|
38
|
12
|
44
|
17
|
16%
|
18
|
Independensi partai politik dan para kandidat dalam pemilu dari politik uang dan kepentingan yang terselubung
|
20
|
29
|
40
|
24
|
100%
|
19
|
Adanya mekanisme kontrol anggota terhadap partai serta respon dan tanggungjawab partai dan para kandidat kepada konstituennya
|
23
|
25
|
38
|
29
|
65%
|
20
|
Kemampuan partai dan para kandidat untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan
|
24
|
21
|
38
|
27
|
58%
|
Pemerintahan yang Demokratik dan Akuntabel
| ||||||
21
|
Desentralisasi pemerintahan secara demokratis menyangkut segala hal tanpa campur tangan pemerintah pusat
|
33
|
14
|
43
|
20
|
30%
|
22
|
Transparansi dan akuntabilitas pemerintah hasil pemilihan dan birokrasi pada semua tingkatan
|
23
|
24
|
43
|
18
|
87%
|
23
|
Transparansi dan pertanggungjawaban militer dan polisi terhadap pemerintah terpilih dan terhadap publik
|
23
|
23
|
35
|
32
|
52%
|
24
|
Kapasitas pemerintah untuk memberantas kelompok-kelompok paramiliter, preman, dan kejahatan yang terorganisir
|
20
|
28
|
39
|
26
|
95%
|
25
|
Independensi pemerintah dari pihak asing (kecuali berkenaan dengan pemberlakuan konvensi PBB dan hukum internasional lainnya)
|
24
|
20
|
36
|
30
|
50%
|
26
|
Independensi pemerintah dari kelompok kepentingan yang kuat dan adanya kapasitas untuk menghapuskan korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan
|
18
|
31
|
43
|
19
|
139%
|
Keterlibatan dan Partisipasi Warga Negara
| ||||||
27
|
Kebebasan pers, dunia seni, dan dunia akademis
|
60
|
6
|
59
|
5
|
-2%
|
28
|
Akses publik terhadap berbagai pandangan dalam media, seni, dan dunia akademis, serta kemampuan media, seni, dan dunia akademis untuk merefleksikannya
|
57
|
7
|
47
|
11
|
-18%
|
29
|
Partisipasi warga negara di dalam organisasi masyarakat yang independen
|
62
|
5
|
54
|
6
|
-13%
|
30
|
Adanya organisasi-organisasi masyarakat yang transparan, akuntabel, dan demokratis
|
42
|
11
|
48
|
9
|
14%
|
31
|
Akses dan partisipasi yang luas dari semua kelompok sosial – termasuk kelompok-kelompok marjinal – terhadap kegiatan publik
|
46
|
10
|
38
|
28
|
-17%
|
32
|
Partisipasi langsung (Akses dan kontak langsung masyarakat terhadap layanan publik; Konsultasi pemerintah terhadap publik, serta jika mungkin pemberian fasilitas pada partisipasi langsung dalam pembuatan dan penerapan kebijakan publik)
|
25
|
19
|
40
|
25
|
60%
|
INDEKS RATA-RATA
|
37
|
46
|
24%
|
Sumber: Samadhi, W.P. and Nicolaas Warouw (2008).
Jika dihitung secara rata-rata, ketujuh perangkat yang berkaitan dengan manajerial pemerintahan mengalami peningkatan indeks hampir 100% (dari 22 menjadi 41; lihat Tabel 2). Boleh jadi perbaikan pada aspek manajerial pemerintahan ini disebabkan oleh, antara lain, agenda pemerintahan SBY-JK saat ini yang menekankan pembenahan pada aspek-aspek tersebut, yang memang sebelumnya berada dalam kondisi yang buruk. Kemungkinan lain, perbaikan itu bisa jadi menggambarkan situasi aktual di tingkat lokal setelah penerapan otonomi daerah.
Jika dihitung secara rata-rata, ketujuh perangkat yang berkaitan dengan manajerial pemerintahan mengalami peningkatan indeks hampir 100% (dari 22 menjadi 41; lihat Tabel 2). Boleh jadi perbaikan pada aspek manajerial pemerintahan ini disebabkan oleh, antara lain, agenda pemerintahan SBY-JK saat ini yang menekankan pembenahan pada aspek-aspek tersebut, yang memang sebelumnya berada dalam kondisi yang buruk. Kemungkinan lain, perbaikan itu bisa jadi menggambarkan situasi aktual di tingkat lokal setelah penerapan otonomi daerah.
Tabel 2. Indeks perangkat demokrasi yang berkaitan dengan manajerial pemerintahan:
Perbandingan 2003/04 dan 2007
NO
|
NO PERANGKAT
|
PERANGKAT DEMOKRASI
|
INDEKS DAN PERINGKAT(1)
|
KENAIKAN INDEKS
(%)
| |
2003/04
|
2007
| ||||
1
|
3
|
Kepatuhan pejabat pemerintah dan pejabat publik terhadap hukum (rule of law)
|
16 (32)
|
45 (15)
|
181
|
2
|
4
|
Kesetaraan di hadapan hukum (Akses yang setara dan aman terhadap keadilan; Integritas dan inpendensi lembaga peradilan)
|
18 (30)
|
44 (16)
|
144
|
3
|
21
|
Desentralisasi pemerintahan secara demokratis menyangkut segala hal tanpa campur tangan pemerintah pusat
|
33 (14)
|
43 (20)
|
30
|
4
|
22
|
Transparansi dan akuntabilitas pemerintah hasil pemilihan dan birokrasi pada semua tingkatan
|
23 (24)
|
43 (18)
|
87
|
5
|
23
|
Transparansi dan pertanggungjawaban militer dan polisi terhadap pemerintah terpilih dan terhadap publik
|
23 (23)
|
35 (32)
|
52
|
6
|
24
|
Kapasitas pemerintah untuk memberantas kelompok-kelompok paramiliter, preman, dan kejahatan yang terorganisir
|
20 (28)
|
39 (26)
|
95
|
7
|
25
|
Independensi pemerintah dari pihak asing (kecuali berkenaan dengan pemberlakuan konvensi PBB dan hukum internasional lainnya)
|
24 (20)
|
36 (30)
|
50
|
8
|
26
|
Independensi pemerintah dari kelompok kepentingan yang kuat, kapasitas untuk menghapuskan korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan
|
18 (31)
|
43 (19)
|
139
|
INDEKS RATA-RATA
|
22
|
41
|
97
|
(1) Angka dalam kurung menunjukkan peringkat
Sumber: Samadhi, W.P. and Nicolaas Warouw (2008).Tentu saja, kita tetap perlu menulis catatan kritis di sini. Pertama, semakin banyaknya kasus korupsi yang terungkap bukan saja memperlihatkan kesungguhan pemerintah melawan korupsi, tetapi juga menjadi penanda tegas bahwa praktek korupsi masih terus berlangsung. Kedua, perbaikan indeks itu tidak serta-merta menandakan pemerintahan telah menghasilkan kinerja yang baik. Dari Tabel 2 kita bisa melihat perangkat-perangkat yang berkaitan dengan aspek manajerial pemerintahan memiliki nilai indeks yang masih kecil.
Ancaman Terhadap Fundamental Demokrasi
1. Kebebasan mulai pudar
Seperti halnya pada survei sebelumnya, berbagai perangkat demokrasi yang berkaitan dengan kebebasan-kebebasan dan hak-hak sipil dan politik relatif baik kondisinya jika dibandingkan dengan perangkat-perangkat demokrasi lainnya. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya, hasil survei 2007 mengindikasikan situasi yang memburuk pada perangkat-perangkat ini.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan, menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan, yang dahulu terungkap sebagai perangkat demokrasi yang terbaik, kini masih berada di peringkat teratas. Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi juga masih tergolong yang terbaik, kendati peringkatnya turun dari peringkat kedua menjadi yang ketiga. Perangkat demokrasi yang berkaitan dengan pemilihan umum yang bebas dan adil bahkan mengalami perbaikan peringkat dari peringkat ke-4 menjadi yang ke-2. Selain itu, kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut juga mengalami perbaikan posisi dari peringkat ke-16 menjadi ke-10.
Nilai indeks dari perangkat-perangkat kebebasan serta hak sipil dan politik juga relatif masih baik jika dibandingkan dengan indeks perangkat lainnya. Seperti diperlihatkan oleh Tabel 3, enam dari 11 perangkat-perangkat demokrasi yang memiliki indeks di atas angka indeks rata-rata keseluruhan (> 46) merupakan perangkat yang berkaitan dengan kebebasan dan hak-hak sipil dan politik.
Meskipun masih terdata sebagai kelompok yang terbaik, sebagian besar perangkat yang merupakan aspek fundamental demokrasi – yaitu kebebasan-kebebasan serta hak sipil dan politik – sesungguhnya mengalami kemunduran, atau setidaknya stagnasi. Kebebasan beragama dan berkeyakinan, menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan, dulu berada di urutan teratas dengan skor indeks 74, kini indeksnya menjadi 66. Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi, yang dulu indeksnya 74, sekarang menjadi 60. Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja juga mengalami penurunan indeks dari 57 menjadi 51.
Sumber: Samadhi, W.P. and Nicolaas Warouw (2008).
Gambaran mengenai memudarnya kebebasan dan melemahnya hak-hak sipil dan politik antara lain bisa dilihat dari pelarangan terhadap aktivitas Jamaat Ahmadiyah Indonesia, juga terhadap kelompok-kelompok muslim lain yang dianggap sesat. Beberapa kali kita juga masih menyaksikan perusakan terhadap gereja-gereja tanpa sanksi hukum berarti. Majelis Ulama Indonesia bahkan mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial yang melarang ajaran pluralisme, liberalisme, dan toleransi. Tampak bahwa politik keagamaan yang diterapkan pemerintahan SBY-JK terlalu memberi ruang bagi kelompok-kelompok Islam-politik fundamentalis. Gejala ini boleh jadi karena pemerintah merasa takut terhadap tekanan, atau sekadar ingin terkesan ’populis’ dalam rangka mendulang suara mereka dalam Pemilu 2009. Alhasil, di tengah-tengah kinerja manajerial pemerintahan yang makin demokratis, masih ada banyak problem di mana pemerintah tidak berada di pihak yang membela kebebasan sipil-politik, termasuk kebebasan beragama.[8]
Selain itu, kendati secara umum demokrasi telah cukup berhasil difungsikan sebagai kerangka kerja politik nasional, namun keberhasilan ini sesungguhnya masih mengandung berbagai cacat kronis di tingkat praktek. Memang, pada tingkat pranata konstitusional-legal, berbagai jaminan mengenai hak-hak sipil dan politik terus mengalami perbaikan. Selain amandemen UUD 1945 di atas kertas telah membuat sistem politik semakin berorientasi HAM – juga terdapat pula berbagai perbaikan misalnya yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan dicabutnya pasal-pasal hatzaai peninggalan sistem hukum kolonial yang masih terdapat di dalam KUHP – namun kita juga masih menyaksikan bahwa pemerintah melakukan pembiaran terhadap praktek-praktek intoleransi terhadap kebebasan beragama di kalangan minoritas. Dalam konteks inilah barangkali kita bisa lebih memahami mengapa hak-hak sipil dan politik mengalami kemerosotan.
2. Representasi paling parah, dan partisipasi melorot tajam
Ancaman terhadap aspek fundamental demokrasi tak hanya terlihat dari merosotnya kondisi hak-hak sipil dan politik. Aspek fundamental lainnya, yaitu aspek representasi politik dan kemandirian negara, yang dahulu berada dalam situasi yang buruk, saat ini masih memperlihatkan stagnasi. Perangkat demokrasi yang berkenaan dengan kebebasan mendirikan partai di tingkal lokal dan nasional bahkan melorot tajam indeksnya dari 71 menjadi 40, melemparkannya dari peringkat ketiga ke urutan ke-22 dari 32 perangkat demokrasi yang ada.
Sebagaimana terlihat pada Tabel 4 berikut ini, perangkat-perangkat dalam aspek representasi politik tidak mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Secara rata-rata nilai indeks kelompok aspek representasi ini tidak terlalu tinggi (43), hanya naik sekitar 18 persen dari nilai indeks 2003/04 yaitu 36. Selain itu kita bisa melihat enam dari delapan perangkat itu mengalami penurunan peringkat, menandakan terabaikannya aspek representasi politik ini dari upaya-upaya perbaikan demokrasi.
Ada dua hal yang patut diberi perhatian di sini. Pertama, perangkat yang berkaitan dengan pemilihan umum yang bebas dan adil merupakan satu-satunya di antara delapan perangkat yang berkaitan dengan aspek representasi yang memiliki nilai indeks relatif tinggi dan konsisten. Baik menurut hasil survei 2003/04 maupun 2007, angka indeks untuk perangkat ini berada di atas angka indeks rata-rata seluruh perangkat. Hal ini mengindikasikan adanya kecenderungan untuk menempatkan institusionalisasi pemilihan umum yang bebas dan adil sebagai mekanisme utama bagi perbaikan kondisi representasi. Padahal, sebagaimana diperlihatkan oleh data tadi, perbaikan perangkat pemilihan umum tidak serta-merta mendatangkan perbaikan representasi politik. Jika kita tidak menyertakan perangkat pemilihan umum, angka indeks rata-rata untuk perangkat lainnya hanyalah 39.
Kedua, buruknya kondisi representasi ini ditandai dengan jelas oleh merosotnya indeks perangkat yang berkaitan dengan kebebasan mendirikan partai dan ikut serta dalam pemilihan umum, yaitu dari 71 menjadi 40. Data ini jelas mengindikasikan bahwa proses demokratisasi yang tengah berlangsung hampir-hampir tidak memberi ruang yang cukup bagi perluasan partisipasi untuk memperbaiki kondisi representasi. Gugurnya puluhan partai-partai baru dalam proses verifikasi Departemen Hukum dan HAM merupakan indikasi yang sangat jelas. Dari 115 partai baru yang mendaftar ke Departemen Hukum dan HAM, hanya 24 partai yang dinyatakan lolos verfikasi atau pengesahan sebagai partai politik berdasarkan UU No. 2/2008, itu pun tidak seluruhnya lolos ke Pemilu 2009.
Parahnya kondisi representasi juga bisa kita lihat dari kenyataan bahwa tujuh perangkat demokrasi yang berkaitan dengan aspek representasi memiliki nilai indeks lebih kecil atau sama dengan nilai indeks rata-rata dari 32 perangkat.
3. Kemerosotan lainnya
Seperti telah disebutkan di atas, selain representasi politik, fundamental demokrasi lainnya yang juga masih bermasalah adalah aspek kemandirian negara dari segala kepentingan pihak asing. Data Demos memang mengindikasikan hal itu. Seperti halnya temuan survei terdahulu, independensi pemerintah dari pengaruh dan kepentingan pihak asing masih buruk. Memang, berdasarkan survei terakhir, indeksnya meningkat cukup tajam. Akan tetapi, karena indeks terdahulu terbilang sangat kecil (24), saat ini indeksnya pun masih rendah, yaitu 36. Bahkan, kalau dulu perangkat ini berada dalam urutan ke-22, saat ini ia jatuh ke peringkat 31.
Aspek lain yang menjadi fundamental demokrasi adalah hak-hak ekonomi dan budaya. Perangkat-perangkat yang termasuk dalam aspek ini adalah hak memperoleh pendidikan dasar, perlindungan hak anak, dan hak memperoleh pekerjaan dan jaminan sosial, serta good corporate governance. Angka indeks untuk kelompok perangkat hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya memperlihatkan peningkatan. Data ini mungkin saja mengejutkan, setidaknya bagi orang-orang di Jakarta yang tidak cukup memiliki informasi memadai mengenai perkembangan di berbagai daerah di Indonesia. Akan tetapi kita bisa menyangka bahwa situasinya masih pincang, terutama karena persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di daerah-daerah Indonesia bagian timur, termasuk juga karena rendahnya kapasitas untuk memperjuangkan hak-hak dasar yang universal di Indonesia. Bagaimanapun, kita harus juga mencatat bahwa penilaian para informan dilakukan tahun lalu, sebelum kasus-kasus kelaparan ramai diberitakan.
Kendati begitu, angka indeks rata-rata untuk aspek hak ekonomi, sosial, dan budaya masih tergolong rendah, yaitu 46. Dibandingkan indeks sebelumnya (37), kenaikannya juga tidak cukup mengesankan, hanya berkisar 20-an persen. Seperti yang mudah diamati secara kasat mata maupun melalui berbagai liputan di media massa, kita memang mengetahui bahwa kondisi sosial-ekonomi masyarakat umumnya masih memprihatinkan. Banyak orang yang tak lagi sanggup memenuhi kebutuhan mereka, bukan saja lantaran kenaikan harga yang terus-menerus tetapi juga sering terjadi kelangkaan beberapa jenis barang kebutuhan pokok di mana-mana. Kenaikan harga BBM yang sangat drastis juga telah memukul kebanyakan pengusaha kecil.
Hingga di sini, ada empat kesimpulan sementara yang bisa ditarik. Pertama, secara umum kita melihat ada perbaikan pada perangkat-perangkat demokrasi. Kedua, celah defisit pada perangkat-perangkat demokrasi memang kelihatannya semakin menyempit. Ketiga, bagaimanapun, penyempitan itu tidak semata-mata menunjukkan adanya perbaikan semua perangkat. Perangkat-perangkat yang berkaitan dengan kebebasan dasar dan partisipasi politik kepartaian yang dulu memiliki angka indeks yang baik, sekarang menurun. Perbaikan-perbaikan dalam aspek manajerial pemerintahan tampaknya harus ”ber-ongkos” pada memudarnya berbagai kebebasan. Keempat, seiring dengan mandegnya perkembangan berbagai kebebasan dasar dan hak-hak sipil dan politik, aspek lain yang menjadi fundamental demokrasi, yaitu representasi politik dan kemandirian negara, tak kunjung mengalami perbaikan.
Akan tetapi, selain menyangkut pemilihan umum, perangkat-perangkat yang diperlukan untuk mendorong partisipasi politik juga bukanlah perangkat-perangkat yang tergolong paling buruk. Terakhir, kondisi hak sosial, ekonomi, dan budaya, kelihatannya telah membaik di sebagian daerah, tetapi jelas situasinya masih pincang. Berbagai kabar terakhir yang kita dengar juga menandakan adanya kecenderungan yang memburuk, misalnya tragedi kematian seorang ibu dan anak yang kelaparan di Makassar. Kombinasi dari kesimpulan-kesimpulan itu memperlihatkan gambaran yang mencengangkan: di tengah-tengah perbaikan defisit, aspek-aspek fundamental demokrasi diam-diam tengah terancam.
Integrasi Aktor ke dalam Demokrasi
Dari paparan di atas, kita mengetahui ada dinamika menyangkut berbagai perangkat demokrasi. Masuk akal jika sekarang kita melihat bagaimana relasi yang berlangsung antara para aktor dan perangkat-perangkat itu.
Kita bisa membedakan aktor ke dalam dua kelompok besar, yaitu aktor berpengaruh dan aktor alternatif. Aktor berpengaruh adalah aktor-aktor yang memiliki kekuatan politik yang nyata dan menentukan, sementara aktor alternatif merupakan aktor-aktor berpotensi menandingi kekuatan kelompok aktor yang pertama. Tabel 5 dan 6 di bawah ini memperlihatkan komposisi latar belakang lima besar dari kedua kelompok aktor itu.
Kedua tabel di atas mengungkap bahwa para aktor yang berlatar belakang pemerintahan dan birokrasi serta para politisi merupakan kelompok aktor yang paling besar peranannya, baik sebagai aktor berpengaruh maupun aktor alternatif. Dari data survei yang terakhir (2007) aktor berlatar belakang pemerintahan dan birokrasi terlihat paling menonjol, yaitu 54 persen (46 dan 8 persen). Sedangkan aktor berlatar belakang politisi dan anggota parlemen menunjukkan kenaikan proporsi yang cukup signifikan.
Data ini menarik. Di satu sisi hal ini menandakan sumber-sumber kekuasaan privat masih terbebas dari politik dan kekuatan negara relatif lemah. Di lain sisi, data ini sekaligus memperlihatkan betapa lajunya pertumbuhan sistem politik dan aktivitas politik yang terorganisir, khususnya di kalangan aktor alternatif. Memang, aktor berlatar belakang aktivis LSM tetap merupakan aktor alternatif yang paling menonjol. Akan tetapi kita bisa melihat munculnya aktor-aktor alternatif baru yang berasal dari kelompok politisi dan tokoh-tokoh informal. Kenyataan lain yang menarik adalah berkurangnya kelompok militer serta tokoh-tokoh kelompok agama dan etnis pada kelompok aktor berpengaruh. Munculnya tokoh-tokoh informal sebagai aktor alternatif boleh jadi disebabkan buruknya kondisi organisasi-organisasi politik.
Penyesuaian Aktor terhadap Demokrasi
Bagaimana kedua kelompok aktor itu membangun relasi terhadap perangkat-perangkat demokrasi yang ada? Pertama, kelompok aktor berpengaruh semakin terintegrasi ke dalam sistem politik yang demokratis. Relasi mereka terhadap perangkat-perangkat demokrasi semakin membaik. Temuan survei Demos 2007 memperlihatkan kenaikan yang cukup signifikan. Menurut keterangan informan, secara rata-rata terdapat 36 persen aktor berpengaruh cenderung menggunakan perangkat demokrasi, dan 35 persen lainnya bahkan ikut mempromosikan berbagai perangkat demokrasi – menjadi 71 persen jika keduanya digabungkan.
Pada kelompok lain, aktor alternatif, perkembangan situasinya kurang-lebih serupa, dengan kecenderungan yang lebih tinggi untuk mempromosikan demokrasi. Lebih dari 90 persen (66 dan 27 persen) aktor alternatif yang diidentifikasi oleh para informan survei itu memiliki kecenderungan untuk mempromosikan dan/atau menggunakan perangkat demokrasi yang ada. Temuan ini jelas jauh lebih tinggi daripada hasil survei sebelumnya, yaitu 66 persen.
Tabel 7 berikut ini memperlihatkan perbandingan kecenderungan rata-rata relasi kedua kelompok aktor terhadap perangkat demokrasi.
Semua angka menunjukkan persentase berbasis jumlah aktor pada setiap kelompok.
1. Kebebasan mulai pudar
Seperti halnya pada survei sebelumnya, berbagai perangkat demokrasi yang berkaitan dengan kebebasan-kebebasan dan hak-hak sipil dan politik relatif baik kondisinya jika dibandingkan dengan perangkat-perangkat demokrasi lainnya. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya, hasil survei 2007 mengindikasikan situasi yang memburuk pada perangkat-perangkat ini.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan, menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan, yang dahulu terungkap sebagai perangkat demokrasi yang terbaik, kini masih berada di peringkat teratas. Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi juga masih tergolong yang terbaik, kendati peringkatnya turun dari peringkat kedua menjadi yang ketiga. Perangkat demokrasi yang berkaitan dengan pemilihan umum yang bebas dan adil bahkan mengalami perbaikan peringkat dari peringkat ke-4 menjadi yang ke-2. Selain itu, kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut juga mengalami perbaikan posisi dari peringkat ke-16 menjadi ke-10.
Nilai indeks dari perangkat-perangkat kebebasan serta hak sipil dan politik juga relatif masih baik jika dibandingkan dengan indeks perangkat lainnya. Seperti diperlihatkan oleh Tabel 3, enam dari 11 perangkat-perangkat demokrasi yang memiliki indeks di atas angka indeks rata-rata keseluruhan (> 46) merupakan perangkat yang berkaitan dengan kebebasan dan hak-hak sipil dan politik.
Meskipun masih terdata sebagai kelompok yang terbaik, sebagian besar perangkat yang merupakan aspek fundamental demokrasi – yaitu kebebasan-kebebasan serta hak sipil dan politik – sesungguhnya mengalami kemunduran, atau setidaknya stagnasi. Kebebasan beragama dan berkeyakinan, menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan, dulu berada di urutan teratas dengan skor indeks 74, kini indeksnya menjadi 66. Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi, yang dulu indeksnya 74, sekarang menjadi 60. Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja juga mengalami penurunan indeks dari 57 menjadi 51.
Tabel 3. Perangkat demokrasi dengan indeks di atas angka indeks rata-rata (> 46)
NO
|
NO PERANGKAT
|
PERANGKAT DEMOKRASI(1)
|
INDEKS(2)
|
PERINGKAT(2)
|
1
|
8
|
Kebebasan beragama dan berkeyakinan; Menggunakan bahasa dan melestarikan kebudayaan
|
66 (74)
|
1 (1)
|
2
|
14
|
Pemilu yang bebas dan adil di tingkat pusat, regional, dan lokal; Pemilihan kepala daerah
|
64 (63)
|
2 (4)
|
3
|
6
|
Kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi
|
60 (74)
|
3 (2)
|
4
|
12
|
Hak untuk mendapatkan pendidikan dasar, termasuk tentang hak-hak dan kewajiban warga negara
|
59 (37)
|
4 (13)
|
5
|
27
|
Kebebasan pers, dunia seni, dan dunia akademis
|
59 (60)
|
5 (6)
|
6
|
29
|
Partisipasi warga negara di dalam organisasi masyarakat yang independen
|
54 (62)
|
6 (5)
|
7
|
10
|
Perlindungan terhadap hak-hak anak
|
53 (27)
|
7 (18)
|
8
|
7
|
Kebebasan mendirikan dan menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja
|
51 (57)
|
8 (8)
|
9
|
30
|
Adanya organisasi-organisasi masyarakat yang transparan, akuntabel, dan demokratis
|
48 (42)
|
9 (11)
|
10
|
5
|
Kebebasan dari kekerasan fisik dan rasa takut terhadapnya
|
47 (28)
|
10 (16)
|
11
|
28
|
Akses publik terhadap berbagai pandangan dalam media, seni, dan dunia akademis, serta kemampuan media, seni, dan dunia akademis untuk merefleksikannya
|
47 (57)
|
11 (7)
|
(1) Perangkat yang dicetak miring merupakan perangkat yang berkaitan dengan kebebasan serta hak-hak sipil dan politik
(2) Angka dalam kurung memperlihatkan hasil survei 2003/04.
Gambaran mengenai memudarnya kebebasan dan melemahnya hak-hak sipil dan politik antara lain bisa dilihat dari pelarangan terhadap aktivitas Jamaat Ahmadiyah Indonesia, juga terhadap kelompok-kelompok muslim lain yang dianggap sesat. Beberapa kali kita juga masih menyaksikan perusakan terhadap gereja-gereja tanpa sanksi hukum berarti. Majelis Ulama Indonesia bahkan mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial yang melarang ajaran pluralisme, liberalisme, dan toleransi. Tampak bahwa politik keagamaan yang diterapkan pemerintahan SBY-JK terlalu memberi ruang bagi kelompok-kelompok Islam-politik fundamentalis. Gejala ini boleh jadi karena pemerintah merasa takut terhadap tekanan, atau sekadar ingin terkesan ’populis’ dalam rangka mendulang suara mereka dalam Pemilu 2009. Alhasil, di tengah-tengah kinerja manajerial pemerintahan yang makin demokratis, masih ada banyak problem di mana pemerintah tidak berada di pihak yang membela kebebasan sipil-politik, termasuk kebebasan beragama.[8]
Selain itu, kendati secara umum demokrasi telah cukup berhasil difungsikan sebagai kerangka kerja politik nasional, namun keberhasilan ini sesungguhnya masih mengandung berbagai cacat kronis di tingkat praktek. Memang, pada tingkat pranata konstitusional-legal, berbagai jaminan mengenai hak-hak sipil dan politik terus mengalami perbaikan. Selain amandemen UUD 1945 di atas kertas telah membuat sistem politik semakin berorientasi HAM – juga terdapat pula berbagai perbaikan misalnya yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan dicabutnya pasal-pasal hatzaai peninggalan sistem hukum kolonial yang masih terdapat di dalam KUHP – namun kita juga masih menyaksikan bahwa pemerintah melakukan pembiaran terhadap praktek-praktek intoleransi terhadap kebebasan beragama di kalangan minoritas. Dalam konteks inilah barangkali kita bisa lebih memahami mengapa hak-hak sipil dan politik mengalami kemerosotan.
2. Representasi paling parah, dan partisipasi melorot tajam
Ancaman terhadap aspek fundamental demokrasi tak hanya terlihat dari merosotnya kondisi hak-hak sipil dan politik. Aspek fundamental lainnya, yaitu aspek representasi politik dan kemandirian negara, yang dahulu berada dalam situasi yang buruk, saat ini masih memperlihatkan stagnasi. Perangkat demokrasi yang berkenaan dengan kebebasan mendirikan partai di tingkal lokal dan nasional bahkan melorot tajam indeksnya dari 71 menjadi 40, melemparkannya dari peringkat ketiga ke urutan ke-22 dari 32 perangkat demokrasi yang ada.
Sebagaimana terlihat pada Tabel 4 berikut ini, perangkat-perangkat dalam aspek representasi politik tidak mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Secara rata-rata nilai indeks kelompok aspek representasi ini tidak terlalu tinggi (43), hanya naik sekitar 18 persen dari nilai indeks 2003/04 yaitu 36. Selain itu kita bisa melihat enam dari delapan perangkat itu mengalami penurunan peringkat, menandakan terabaikannya aspek representasi politik ini dari upaya-upaya perbaikan demokrasi.
Tabel 4. Indeks dan peringkat perangkat demokrasi yang berkenaan dengan representasi politik
NO
|
NO PERANGKAT
|
PERANGKAT DEMOKRASI YANG BERKENAAN DENGAN REPRESENTASI POLITIK
|
INDEKS(1)
|
PERINGKAT(1)
|
1
|
14
|
Pemilu yang bebas dan adil di tingkat pusat, regional, dan lokal; Pemilihan kepala daerah
|
64 (63)
|
2 (4)
|
2
|
15
|
Kebebasan mendirikan partai di tingkal lokal dan nasional (termasuk peluang bagi para calon independen), merekrut anggota, dan berkampanye untuk menduduki jabatan-jabatan pemerintahan
|
40 (71)
|
22 (3)
|
3
|
16
|
Kemampuan partai politik dan atau para kandidat untuk memperjuangkan isu-isu vital dan kepentingan publik
|
36 (24)
|
31 (22)
|
4
|
17
|
Pencegahan penyalahgunaan sentimen, simbol dan doktrin etnis dan agama oleh partai politik dan atau para kandidat
|
44 (38)
|
17 (12)
|
5
|
18
|
Independensi partai politik dan para kandidat dalam pemilu dari politik uang dan kepentingan yang terselubung
|
40 (20)
|
24 (29)
|
6
|
19
|
Adanya mekanisme kontrol anggota terhadap partai serta respon dan tanggungjawab partai dan para kandidat kepada konstituennya
|
38 (23)
|
29 (25)
|
7
|
20
|
Kemampuan partai dan para kandidat untuk membentuk dan menjalankan pemerintahan
|
38 (24)
|
27 (21)
|
8
|
32
|
Partisipasi langsung (Akses dan kontak langsung masyarakat terhadap layanan publik; Konsultasi pemerintah terhadap publik, serta jika mungkin pemberian fasilitas pada partisipasi langsung dalam pembuatan dan penerapan kebijakan publik)
|
40 (25)
|
25 (19)
|
INDEKS RATA-RATA
|
43 (36)
|
(1) Angka dalam kurung memperlihatkan hasil survei 2003/04.
Sumber: Samadhi, W.P. and Nicolaas Warouw (2008).Ada dua hal yang patut diberi perhatian di sini. Pertama, perangkat yang berkaitan dengan pemilihan umum yang bebas dan adil merupakan satu-satunya di antara delapan perangkat yang berkaitan dengan aspek representasi yang memiliki nilai indeks relatif tinggi dan konsisten. Baik menurut hasil survei 2003/04 maupun 2007, angka indeks untuk perangkat ini berada di atas angka indeks rata-rata seluruh perangkat. Hal ini mengindikasikan adanya kecenderungan untuk menempatkan institusionalisasi pemilihan umum yang bebas dan adil sebagai mekanisme utama bagi perbaikan kondisi representasi. Padahal, sebagaimana diperlihatkan oleh data tadi, perbaikan perangkat pemilihan umum tidak serta-merta mendatangkan perbaikan representasi politik. Jika kita tidak menyertakan perangkat pemilihan umum, angka indeks rata-rata untuk perangkat lainnya hanyalah 39.
Kedua, buruknya kondisi representasi ini ditandai dengan jelas oleh merosotnya indeks perangkat yang berkaitan dengan kebebasan mendirikan partai dan ikut serta dalam pemilihan umum, yaitu dari 71 menjadi 40. Data ini jelas mengindikasikan bahwa proses demokratisasi yang tengah berlangsung hampir-hampir tidak memberi ruang yang cukup bagi perluasan partisipasi untuk memperbaiki kondisi representasi. Gugurnya puluhan partai-partai baru dalam proses verifikasi Departemen Hukum dan HAM merupakan indikasi yang sangat jelas. Dari 115 partai baru yang mendaftar ke Departemen Hukum dan HAM, hanya 24 partai yang dinyatakan lolos verfikasi atau pengesahan sebagai partai politik berdasarkan UU No. 2/2008, itu pun tidak seluruhnya lolos ke Pemilu 2009.
Parahnya kondisi representasi juga bisa kita lihat dari kenyataan bahwa tujuh perangkat demokrasi yang berkaitan dengan aspek representasi memiliki nilai indeks lebih kecil atau sama dengan nilai indeks rata-rata dari 32 perangkat.
3. Kemerosotan lainnya
Seperti telah disebutkan di atas, selain representasi politik, fundamental demokrasi lainnya yang juga masih bermasalah adalah aspek kemandirian negara dari segala kepentingan pihak asing. Data Demos memang mengindikasikan hal itu. Seperti halnya temuan survei terdahulu, independensi pemerintah dari pengaruh dan kepentingan pihak asing masih buruk. Memang, berdasarkan survei terakhir, indeksnya meningkat cukup tajam. Akan tetapi, karena indeks terdahulu terbilang sangat kecil (24), saat ini indeksnya pun masih rendah, yaitu 36. Bahkan, kalau dulu perangkat ini berada dalam urutan ke-22, saat ini ia jatuh ke peringkat 31.
Aspek lain yang menjadi fundamental demokrasi adalah hak-hak ekonomi dan budaya. Perangkat-perangkat yang termasuk dalam aspek ini adalah hak memperoleh pendidikan dasar, perlindungan hak anak, dan hak memperoleh pekerjaan dan jaminan sosial, serta good corporate governance. Angka indeks untuk kelompok perangkat hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya memperlihatkan peningkatan. Data ini mungkin saja mengejutkan, setidaknya bagi orang-orang di Jakarta yang tidak cukup memiliki informasi memadai mengenai perkembangan di berbagai daerah di Indonesia. Akan tetapi kita bisa menyangka bahwa situasinya masih pincang, terutama karena persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di daerah-daerah Indonesia bagian timur, termasuk juga karena rendahnya kapasitas untuk memperjuangkan hak-hak dasar yang universal di Indonesia. Bagaimanapun, kita harus juga mencatat bahwa penilaian para informan dilakukan tahun lalu, sebelum kasus-kasus kelaparan ramai diberitakan.
Kendati begitu, angka indeks rata-rata untuk aspek hak ekonomi, sosial, dan budaya masih tergolong rendah, yaitu 46. Dibandingkan indeks sebelumnya (37), kenaikannya juga tidak cukup mengesankan, hanya berkisar 20-an persen. Seperti yang mudah diamati secara kasat mata maupun melalui berbagai liputan di media massa, kita memang mengetahui bahwa kondisi sosial-ekonomi masyarakat umumnya masih memprihatinkan. Banyak orang yang tak lagi sanggup memenuhi kebutuhan mereka, bukan saja lantaran kenaikan harga yang terus-menerus tetapi juga sering terjadi kelangkaan beberapa jenis barang kebutuhan pokok di mana-mana. Kenaikan harga BBM yang sangat drastis juga telah memukul kebanyakan pengusaha kecil.
Hingga di sini, ada empat kesimpulan sementara yang bisa ditarik. Pertama, secara umum kita melihat ada perbaikan pada perangkat-perangkat demokrasi. Kedua, celah defisit pada perangkat-perangkat demokrasi memang kelihatannya semakin menyempit. Ketiga, bagaimanapun, penyempitan itu tidak semata-mata menunjukkan adanya perbaikan semua perangkat. Perangkat-perangkat yang berkaitan dengan kebebasan dasar dan partisipasi politik kepartaian yang dulu memiliki angka indeks yang baik, sekarang menurun. Perbaikan-perbaikan dalam aspek manajerial pemerintahan tampaknya harus ”ber-ongkos” pada memudarnya berbagai kebebasan. Keempat, seiring dengan mandegnya perkembangan berbagai kebebasan dasar dan hak-hak sipil dan politik, aspek lain yang menjadi fundamental demokrasi, yaitu representasi politik dan kemandirian negara, tak kunjung mengalami perbaikan.
Akan tetapi, selain menyangkut pemilihan umum, perangkat-perangkat yang diperlukan untuk mendorong partisipasi politik juga bukanlah perangkat-perangkat yang tergolong paling buruk. Terakhir, kondisi hak sosial, ekonomi, dan budaya, kelihatannya telah membaik di sebagian daerah, tetapi jelas situasinya masih pincang. Berbagai kabar terakhir yang kita dengar juga menandakan adanya kecenderungan yang memburuk, misalnya tragedi kematian seorang ibu dan anak yang kelaparan di Makassar. Kombinasi dari kesimpulan-kesimpulan itu memperlihatkan gambaran yang mencengangkan: di tengah-tengah perbaikan defisit, aspek-aspek fundamental demokrasi diam-diam tengah terancam.
Integrasi Aktor ke dalam Demokrasi
Dari paparan di atas, kita mengetahui ada dinamika menyangkut berbagai perangkat demokrasi. Masuk akal jika sekarang kita melihat bagaimana relasi yang berlangsung antara para aktor dan perangkat-perangkat itu.
Kita bisa membedakan aktor ke dalam dua kelompok besar, yaitu aktor berpengaruh dan aktor alternatif. Aktor berpengaruh adalah aktor-aktor yang memiliki kekuatan politik yang nyata dan menentukan, sementara aktor alternatif merupakan aktor-aktor berpotensi menandingi kekuatan kelompok aktor yang pertama. Tabel 5 dan 6 di bawah ini memperlihatkan komposisi latar belakang lima besar dari kedua kelompok aktor itu.
Tabel 5. Komposisi lima kelompok aktor berpengaruh paling utama menurut latar belakang mereka berdasarkan hasil survei 2007 dan perbandingan komposisinya menurut hasil survei 2003/04
NO
|
KELOMPOK AKTOR BERPENGARUH
|
AKTOR BERPENGARUH/ DOMINAN
| |
2003/04
(N=1.795)
|
2007
(N=1.890)
| ||
(%)
| |||
1
|
Pemerintah/Birokrasi
|
40
|
46
|
2
|
Partai politik dan anggota parlemen (pusat+lokal)
|
17
|
23
|
3
|
Kelompok agama dan etnis, kelompok adat, tokoh informal
|
12
|
9
|
4
|
Polisi, militer
|
16
|
7
|
5
|
Pengusaha, Bisnis
|
12
|
6
|
Semua angka menunjukkan persentase berbasis jumlah aktor pada setiap survei.
Sumber: Samadhi, W.P. and Nicolaas Warouw (2008).
Tabel 6. Komposisi lima kelompok aktor alternatif paling utama menurut latar belakang mereka berdasarkan hasil survei 2008 dan perbandingan komposisinya menurut hasil survei 2003/04
NO
|
KELOMPOK AKTOR ALTERNATIF
|
AKTOR ALTERNATIF/
PRO-DEMOKRASI
| |
2003/04
(N=798)
|
2007
(N=1.590)
| ||
(%)
| |||
1
|
LSM dan organisasi
|
41
|
31
|
2
|
Kelompok profesional (akademisi, pengacara, media)
|
30
|
18
|
3
|
Partai politik dan anggota parlemen (pusat+lokal)
|
8
|
20
|
4
|
Kelompok agama dan etnis, kelompok adat, tokoh informal
|
2
|
16
|
5
|
Pemerintah/Birokrasi
|
4
|
8
|
Semua angka menunjukkan persentase berbasis jumlah aktor pada setiap survei.
Sumber: Samadhi, W.P. and Nicolaas Warouw (2008). Kedua tabel di atas mengungkap bahwa para aktor yang berlatar belakang pemerintahan dan birokrasi serta para politisi merupakan kelompok aktor yang paling besar peranannya, baik sebagai aktor berpengaruh maupun aktor alternatif. Dari data survei yang terakhir (2007) aktor berlatar belakang pemerintahan dan birokrasi terlihat paling menonjol, yaitu 54 persen (46 dan 8 persen). Sedangkan aktor berlatar belakang politisi dan anggota parlemen menunjukkan kenaikan proporsi yang cukup signifikan.
Data ini menarik. Di satu sisi hal ini menandakan sumber-sumber kekuasaan privat masih terbebas dari politik dan kekuatan negara relatif lemah. Di lain sisi, data ini sekaligus memperlihatkan betapa lajunya pertumbuhan sistem politik dan aktivitas politik yang terorganisir, khususnya di kalangan aktor alternatif. Memang, aktor berlatar belakang aktivis LSM tetap merupakan aktor alternatif yang paling menonjol. Akan tetapi kita bisa melihat munculnya aktor-aktor alternatif baru yang berasal dari kelompok politisi dan tokoh-tokoh informal. Kenyataan lain yang menarik adalah berkurangnya kelompok militer serta tokoh-tokoh kelompok agama dan etnis pada kelompok aktor berpengaruh. Munculnya tokoh-tokoh informal sebagai aktor alternatif boleh jadi disebabkan buruknya kondisi organisasi-organisasi politik.
Penyesuaian Aktor terhadap Demokrasi
Bagaimana kedua kelompok aktor itu membangun relasi terhadap perangkat-perangkat demokrasi yang ada? Pertama, kelompok aktor berpengaruh semakin terintegrasi ke dalam sistem politik yang demokratis. Relasi mereka terhadap perangkat-perangkat demokrasi semakin membaik. Temuan survei Demos 2007 memperlihatkan kenaikan yang cukup signifikan. Menurut keterangan informan, secara rata-rata terdapat 36 persen aktor berpengaruh cenderung menggunakan perangkat demokrasi, dan 35 persen lainnya bahkan ikut mempromosikan berbagai perangkat demokrasi – menjadi 71 persen jika keduanya digabungkan.
Pada kelompok lain, aktor alternatif, perkembangan situasinya kurang-lebih serupa, dengan kecenderungan yang lebih tinggi untuk mempromosikan demokrasi. Lebih dari 90 persen (66 dan 27 persen) aktor alternatif yang diidentifikasi oleh para informan survei itu memiliki kecenderungan untuk mempromosikan dan/atau menggunakan perangkat demokrasi yang ada. Temuan ini jelas jauh lebih tinggi daripada hasil survei sebelumnya, yaitu 66 persen.
Tabel 7 berikut ini memperlihatkan perbandingan kecenderungan rata-rata relasi kedua kelompok aktor terhadap perangkat demokrasi.
Tabel 7. Kecenderungan rata-rata relasi kedua kelompok aktor terhadap perangkat demokrasi:
Perbandingan 2005 dan 2008
No
|
AKTOR UTAMA
|
RELASI AKTOR UTAMA TERHADAP PERANGKAT DEMOKRASI
| |||||||
Menggunakan dan mempromosikan
|
Menggunakan
|
Menggunakan dan memanipulasi
|
Mengabaikan perangkat demokrasi dan mencari alternatif
| ||||||
2003/04
|
2007
|
2003/04
|
2007
|
2003/04
|
2007
|
2003/04
|
2007
| ||
(%)
|
(%)
|
(%)
|
(%)
| ||||||
1
|
Aktor dominan/ berpengaruh
|
16
|
35
|
33
|
36
|
36
|
19
|
15
|
10
|
2
|
Aktor pro-demokrasi/ alternatif
|
44
|
66
|
22
|
27
|
20
|
3
|
13
|
4
|
Sumber: Samadhi, W.P. and Nicolaas Warouw (2008).
Membaiknya relasi para aktor terhadap perangkat demokrasi semakin mempertegas indikasi bahwa demokrasi sudah semakin diterima sebagai sebuah kerangka kerja politik. Aktor-aktor berpengaruh yang dulu terlihat berperilaku ambivalen, dengan kecenderungan sama kuat untuk menggunakan dan memajukan, di satu sisi, dengan memanipulasi dan mengabaikan perangkat demokrasi, di lain sisi, kini tampak semakin positif relasinya terhadap perangkat-perangkat demokrasi yang tersedia. Kelompok aktor alternatif bahkan bisa dianggap menjadikan perangkat demokrasi sebagai satu-satunya pilihan. Karena itu, mudah pula dipahami mengapa secara umum perangkat-perangkat demokrasi memperlihatkan perbaikan indeks.
Kapasitas Aktor yang Tak Memadai
Lantas, mengapa perbaikan relasi para aktor terhadap demokrasi tidak berhasil memperbaiki kondisi representasi? Sudah diutarakan di atas bahwa formalisasi atas perangkat-perangkat demokrasi ternyata belum sepenuhnya tuntas. Akibatnya, penafsiran terhadap substansi setiap perangkat demokrasi sangat bergantung kepada kekuatan yang paling dominan, di samping pengaruh faktor-faktor informal yang ada. Tingkah laku para aktor lebih didasarkan atas kepentingan dan kesempatan sesuai setting situasi politik yang berkembang ketimbang atas prinsip-prinsip demokrasi seperti kontrol dan memperluas partisipasi publik. Selain itu, relasi yang baik tidak menjamin perangkat-perangkat demokrasi itu dapat dimanfaatkan secara optimal. Data-data lain juga memberi petunjuk yang cukup kuat mengenai ketidakseimbangan antara kapasitas aktor berpengaruh dan aktor alternatif.
Wilayah gerakan
Dibandingkan hasil survei sebelumnya, survei Demos 2007 mengindikasikan adanya pergeseran wilayah aktivitas aktor alternatif. Survei Demos 2003/04 menemukan bahwa aktor alternatif cenderung absen di wilayah-wilayah negara, namun kini meningkat cukup signifikan. Mereka bukan saja mulai memasuki dan mempengaruhi wilayah eksekutif dan legislatif, tetapi juga masuk ke partai-partai politik. Di satu sisi, gejala ini bisa dilihat sebagai gambaran perkembangan yang positif. Absennya aktor-aktor alternatif pada wilayah-wilayah itu membuat mereka hanya bisa menjalankan peran politik marjinal dan tidak menentukan. Kini, potensi aktor alternatif untuk mempengaruhi proses-proses politik akan lebih mudah terwujud karena kehadiran mereka di wilayah-wilayah itu meningkat. Namun, di lain sisi, masuknya aktor-aktor alternatif ke wilayah negara dan partai politik ternyata lebih merupakan perpindahan daripada sebuah upaya melebarkan wilayah gerakan mereka. Akibatnya, seiring dengan meningkatknya aktivitas aktor alternatif di wilayah negara dan partai-partai politik, kehadiran mereka di dalam masyarakat sipil menjadi berkurang. Fenomena ini sedikit-banyak mengurangi efek positif kehadiran aktor alternatif di wilayah-wilayah itu, karena kehadiran mereka tidak disertai dengan ikatan tali-mandat yang kuat antara mereka dan basis-basis masyarakat sipil yang sebelumnya mereka bangun.
Pada pihak lain, aktor berpengaruh tidak memperlihatkan perubahan yang cukup signifikan menyangkut pilihan mereka terhadap macam-macam wilayah gerakan. Sebaliknya, aktor berpengaruh masih menguasai wilayah-wilayah negara dan aktivitas politik terorganisir (organised politics). Perbedaan yang cukup menyolok adalah berkurangnya aktivitas dan pengaruh aktor-aktor berpengaruh di dalam kemiliteran dan kepolisian.
Sumber kekuasaan dan cara para aktor memperoleh legitimasi
Para aktor berpengaruh, selain sudah memiliki kekuasaan nyata secara politik, juga ditopang oleh kekuatan ekonomi dan mesin politik yang mapan. Sebaliknya, aktor alternatif masih mengandalkan intelektualitas dengan kekuatan massa yang tidak terorganisir. Akibatnya, kelompok aktor berpengaruh cenderung tidak terpengaruh oleh upaya-upaya mengubah status-quo yang dilakukan aktor alternatif. Dengan sokongan finansial yang tak terbatas, mereka dengan relatif mudah bisa melakukan berbagai kampanye melalui media, melibatkan diri ke dalam sebanyak mungkin isu publik, termasuk isu-isu yang “demokratis”, mengatur berbagai proses pengambilan keputusan, dan pada akhirnya memenangkannya untuk kepentingan sendiri. Maka, monopoli elit-dominan bukan saja menjadi semakin kuat, tetapi dipertahankan dengan sebanyak mungkin cara-cara yang demokratis. Monopoli mereka bukan saja terhadap kekuasaan dan sistem politik, tetapi – celakanya – juga terhadap demokrasi.
Data dari Demos jelas memperlihatkan bahwa para aktor berpengaruh belakangan ini cenderung melakukan cara-cara yang “demokratis” untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Pada survei 2003/04 terlihat indikasi adanya cara-cara koersif dan koruptif yang dimanfaatkan aktor berpengaruh untuk memperoleh legitimasi kekuasaan. Kini, cara-cara seperti itu semakin ditinggalkan dan diganti dengan dialog, lobi dengan politisi dan para pejabat, kontak antar-personal, membangun jaringan, dan mengikuti pemilihan umum.
Politisasi isu dan kepentingan
Ada gambaran menarik menyangkut pilihan para aktor utama, baik aktor berpengaruh maupun alternatif, terhadap isu-isu atau kepentingan yang mereka perjuangkan. Data memperlihatkan hingga pada tingkat tertentu ada kesamaan antara pilihan isu-isu dan kepentingan yang diperjuangkan oleh aktor berpengaruh dan alternatif. Pertama, aktor berpengaruh kelihatannya mulai mencoba untuk mengangkat isu-isu yang sebelumnya lebih menjadi kepedulian para aktor alternatif, misalnya isu-isu hak asasi manusia, pengembangan demokrasi, termasuk mengenai kebebasan serta hak-hak sipil dan politik. Isu-isu seperti itu masih juga menjadi pilihan di kalangan aktor alternatif. Perbedaannya adalah bahwa aktor berpengaruh cenderung mengangkatnya sebagai wacana-wacana yang umum, sementara aktor alternatif lebih fokus pada isu-isu spesifik. Kedua, seiring dengan membaiknya kondisi perangkat-perangkat demokrasi yang berkaitan dengan manajerial pemerintahan, isu-isu yang relevan dengan hal itu, seperti good givernance dan anti-korupsi juga menjadi isu-isu yang relatif kerap dilontarkan, baik oleh aktor-aktor berpengaruh maupun alternatif. Ketiga, baik aktor berpengaruh maupun alternatif kelihatannya kurang memberikan perhatian pada isu-isu dan kepentingan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar publik, termasuk mengenai pelayanan publik.
Selain itu menarik pula untuk dicatat bahwa isu-isu pembangunan ekonomi yang lebih makro kelihatannya lebih menjadi kepedulian kalangan aktor berpengaruh daripada aktor alternatif. Untuk sebagian, hal ini bisa menjadi indikasi bahwa aktor berpengaruh lebih menyadari adanya keterkaitan antara kepentingan-kepentingan mereka dan pilihan-pilihan kebijakan ekonomi makro. Aktor alternatif sendiri kelihatannya tidak cukup peduli terhadap masalah ini.
Cara pengorganisasian dan mobilisasi dukungan
Lebih lanjut, aktor alternatif justru terjebak pada tujuan-tujuan sempit dan jangka pendek, yaitu menguasai jabatan-jabatan politik. Langkah ini bukannya keliru, akan tetapi menimbulkan persoalan karena ditempuh dengan cara-cara yang non-demokratis. Upaya merebut jabatan politik lebih terlihat sebagai aksi-aksi individual, bukan sebagai aksi kolektif yang didukung oleh mekanisme organisasi yang ketat dan memungkinkan akuntabilitas politik tetap berlangsung. Boleh jadi tindakan ini dilakukan karena dorongan ketidaksabaran, akan tetapi implikasinya malah memperburuk kondisi representasi. Basis organisasi cenderung dibuat untuk kepentingan temporer, sesekali sebagai hasil kesepakatan di antara sejumlah tokoh popular, dan bersamaan dengan itulah aktor-aktor alternatif muncul sebagai tokoh-tokoh “karismatik” yang baru. Mereka pun gagal melakukan de-monopolisasi elit-dominan.
Di pihak lain, aktor berpengaruh kelihatannya justru mulai melebarkan pilihan cara-cara memobilisasi dukungan massa. Pada survei 2003/04, aktor berpengaruh kelihatan sangat mengandalkan benar kekuatan organisasional dan mesin politik yang mereka bangun untuk memobilisasi massa, selain memanfaatkan hubungan patron-klien. Menurut survei terakhir, cara mobilisasi aktor berpengaruh cukup bervariasi. Hubungan patron-klien tetap dijaga sebagai salah satu pilihan mobilisasi yang paling utama, tetapi kini mereka juga melakukan aksi-aksi untuk membangun populisme atau kepemimpinan popular, dan memperkuat jaringan di antara mereka sendiri. Meskipun lebih variatif, baik jika dibandingkan dengan kecenderungan terdahulu maupun dengan pilihan mobilisasi aktor alternatif, hasil survei terakhir ini sedikit-banyak memperlihatkan adanya tendensi aktor berpengaruh untuk meninggalkan cara-cara organisasional dalam memobilisasi dukungan massa. Contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah berkurangnya peranan sejumlah organisasi pemuda – misalnya AMPI, Pemuda Pancasila – yang menjadi onderbouw partai-partai dominan di masa lalu.
Strategi
Penjelasan terhadap gejala menurunnya pemanfaatan organisasi-organisasi sebagai basis mobilisasi dukungan kelihatannya bisa dikaitkan dengan pilihan strategi yang ditempuh oleh para aktor utama, baik aktor berpengaruh maupun alternatif. Ada kecenderungan yang cukup jelas bahwa kedua kelompok aktor lebih memilih dan menempuh cara-cara partisipasi langsung daripada memanfaatkan lembaga-lembaga mediasi, baik politik maupun non-politik. Di kalangan aktor alternatif, pilihan bentuk partisipasi langsung secara rata-rata mencapai angka 29 persen, sementara di kalangan aktor berpengaruh angkanya lebih tinggai lagi, yaitu 35 persen. Artinya, kedua kelompok aktor jelas lebih menyukai cara-cara jalan pintas daripada memanfaatkan berbagai lembaga mediasi yang lebih demokratis.
Gambarannya menjadi lebih memprihatinkan lagi karena di antara lembaga-lembaga media yang tersedia, aktor alternatif lagi-lagi cenderung lebih memanfaatkan kelompok-kelompok lobi dan kontak dengan berbagai pakar daripada memanfaatkan institusi-institusi perantara yang demokratis seperti partai politik. Aktor berpengaruh kurang-lebih juga memperlihatkan gejala yang sama, akan tetapi perhatian mereka terhadap partai politik jelas lebih besar daripada aktor alternatif.
Kendati data-data ini bisa saja merupakan cerminan dari pragmatisme dan strategi jangka pendek kedua kelompok aktor, kita perlu juga mencurigainya sebagai indikasi-indikasi awal keterbatasan kapasitas politik demokratis para aktor. Namun, apapun jawabannya, kedua kemungkinan itu harus dianggap sebagai sinyal yang tidak baik bagi proses demokratisasi selanjutnya.
Kesimpulan
Demokratisasi masih terus berlangsung dan belum berhenti. Kendati lambat, ada kemajuan dalam proses demokratisasi. Anggapan bahwa demokrasi di Indonesia sama sekali gagal tidak sepenuhnya benar. Namun, perbaikan-perbaikan itu berlangsung di atas dasar yang rapuh.
Walaupun indeks perangkat demokrasi memperlihatkan perbaikan, perkembangannya tidaklah merata. Perbaikan yang menonjol terlihat pada aspek manajerial pemerintahan. Akan tetapi, perbaikan ini tidak serta-merta benar-benar memperlihatkan kinerja pemerintahan yang baik. Hak sosial, ekonomi, dan budaya juga memperlihatkan sedikit kemajuan, tetapi juga tak menandakan kondisi yang benar-benar baik. Di lain sisi, fundamental demokrasi berupa representasi, kemandirian negara, dan terutama berbagai kebebasan dasar merupakan perangkat-perangkat yang mengalami kemandegan dan kemerosotan. Aspek-aspek representasi jelas berada dalam situasi yang lebih buruk dibanding sebelumnya.
Jadi, selain melakukan pembenahan terhadap aspek manajerial pemerintahan, pemerintah juga dituntut untuk membiarkan ruang kebebasan politik terbuka lebar. Hanya dengan itulah kondisi representasi yang buruk bisa diperbaiki.
Para aktor, baik elit-dominan maupun aktor alternatif, tampak semakin akomodatif dan beradaptasi terhadap sistem demokrasi. Sayangnya, kapasitas demokratik mereka masih relatif rendah. Kelompok elit-dominan cenderung memanipulasi keunggulan politik dan ekonomi, sedangkan kelompok pro-demokrasi belum berhasil memperlihatkan diri sebagai kekuatan alternatif demokratis yang bisa menandingi kekuatan aktor berpengaruh. Kelompok pro-demokrasi cenderung menempuh jalan pintas untuk merebut kekuasaan politik secara individual dan oportunistik ketimbang melakukan pengorganisasian basis sebagai sumber kekuatan politik yang demokratis.
Yang menarik, aktor berpengaruh kelihatannya juga mulai tertarik untuk membangun ketokohan popular daripada membangun organisasi yang kuat untuk memobilisasi dukungan terhadap mereka. Selain itu, baik aktor alternatif maupun aktor berpengaruh sama-sama memiliki kecenderungan untuk menempuh cara pintas melalui lobi, kontak antar-personal atau bahkan melakukan aksi-aksi individual untuk mendapatkan tujuan-tujuan mereka.
Memang ada juga kemajuan pada aspek-aspek manajerial pemerintahan demokratis. Para aktor umumnya pun telah mengikuti berbagai peraturan dan regulasi formal. Tetapi, di lain sisi, harus dicatat pula bahwa kondisi aspek-aspek kebebasan serta hak-hak sipil dan politik tidak lagi sebaik sebelumnya. Partisipasi politik melalui partai semakin terbatas, monopoli elit terhadap aktivitas politik terorganisir masih berlanjut, dan para aktor alternatif masih kurang berdaya.
Catatan kaki:
Membaiknya relasi para aktor terhadap perangkat demokrasi semakin mempertegas indikasi bahwa demokrasi sudah semakin diterima sebagai sebuah kerangka kerja politik. Aktor-aktor berpengaruh yang dulu terlihat berperilaku ambivalen, dengan kecenderungan sama kuat untuk menggunakan dan memajukan, di satu sisi, dengan memanipulasi dan mengabaikan perangkat demokrasi, di lain sisi, kini tampak semakin positif relasinya terhadap perangkat-perangkat demokrasi yang tersedia. Kelompok aktor alternatif bahkan bisa dianggap menjadikan perangkat demokrasi sebagai satu-satunya pilihan. Karena itu, mudah pula dipahami mengapa secara umum perangkat-perangkat demokrasi memperlihatkan perbaikan indeks.
Kapasitas Aktor yang Tak Memadai
Lantas, mengapa perbaikan relasi para aktor terhadap demokrasi tidak berhasil memperbaiki kondisi representasi? Sudah diutarakan di atas bahwa formalisasi atas perangkat-perangkat demokrasi ternyata belum sepenuhnya tuntas. Akibatnya, penafsiran terhadap substansi setiap perangkat demokrasi sangat bergantung kepada kekuatan yang paling dominan, di samping pengaruh faktor-faktor informal yang ada. Tingkah laku para aktor lebih didasarkan atas kepentingan dan kesempatan sesuai setting situasi politik yang berkembang ketimbang atas prinsip-prinsip demokrasi seperti kontrol dan memperluas partisipasi publik. Selain itu, relasi yang baik tidak menjamin perangkat-perangkat demokrasi itu dapat dimanfaatkan secara optimal. Data-data lain juga memberi petunjuk yang cukup kuat mengenai ketidakseimbangan antara kapasitas aktor berpengaruh dan aktor alternatif.
Wilayah gerakan
Dibandingkan hasil survei sebelumnya, survei Demos 2007 mengindikasikan adanya pergeseran wilayah aktivitas aktor alternatif. Survei Demos 2003/04 menemukan bahwa aktor alternatif cenderung absen di wilayah-wilayah negara, namun kini meningkat cukup signifikan. Mereka bukan saja mulai memasuki dan mempengaruhi wilayah eksekutif dan legislatif, tetapi juga masuk ke partai-partai politik. Di satu sisi, gejala ini bisa dilihat sebagai gambaran perkembangan yang positif. Absennya aktor-aktor alternatif pada wilayah-wilayah itu membuat mereka hanya bisa menjalankan peran politik marjinal dan tidak menentukan. Kini, potensi aktor alternatif untuk mempengaruhi proses-proses politik akan lebih mudah terwujud karena kehadiran mereka di wilayah-wilayah itu meningkat. Namun, di lain sisi, masuknya aktor-aktor alternatif ke wilayah negara dan partai politik ternyata lebih merupakan perpindahan daripada sebuah upaya melebarkan wilayah gerakan mereka. Akibatnya, seiring dengan meningkatknya aktivitas aktor alternatif di wilayah negara dan partai-partai politik, kehadiran mereka di dalam masyarakat sipil menjadi berkurang. Fenomena ini sedikit-banyak mengurangi efek positif kehadiran aktor alternatif di wilayah-wilayah itu, karena kehadiran mereka tidak disertai dengan ikatan tali-mandat yang kuat antara mereka dan basis-basis masyarakat sipil yang sebelumnya mereka bangun.
Pada pihak lain, aktor berpengaruh tidak memperlihatkan perubahan yang cukup signifikan menyangkut pilihan mereka terhadap macam-macam wilayah gerakan. Sebaliknya, aktor berpengaruh masih menguasai wilayah-wilayah negara dan aktivitas politik terorganisir (organised politics). Perbedaan yang cukup menyolok adalah berkurangnya aktivitas dan pengaruh aktor-aktor berpengaruh di dalam kemiliteran dan kepolisian.
Sumber kekuasaan dan cara para aktor memperoleh legitimasi
Para aktor berpengaruh, selain sudah memiliki kekuasaan nyata secara politik, juga ditopang oleh kekuatan ekonomi dan mesin politik yang mapan. Sebaliknya, aktor alternatif masih mengandalkan intelektualitas dengan kekuatan massa yang tidak terorganisir. Akibatnya, kelompok aktor berpengaruh cenderung tidak terpengaruh oleh upaya-upaya mengubah status-quo yang dilakukan aktor alternatif. Dengan sokongan finansial yang tak terbatas, mereka dengan relatif mudah bisa melakukan berbagai kampanye melalui media, melibatkan diri ke dalam sebanyak mungkin isu publik, termasuk isu-isu yang “demokratis”, mengatur berbagai proses pengambilan keputusan, dan pada akhirnya memenangkannya untuk kepentingan sendiri. Maka, monopoli elit-dominan bukan saja menjadi semakin kuat, tetapi dipertahankan dengan sebanyak mungkin cara-cara yang demokratis. Monopoli mereka bukan saja terhadap kekuasaan dan sistem politik, tetapi – celakanya – juga terhadap demokrasi.
Data dari Demos jelas memperlihatkan bahwa para aktor berpengaruh belakangan ini cenderung melakukan cara-cara yang “demokratis” untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Pada survei 2003/04 terlihat indikasi adanya cara-cara koersif dan koruptif yang dimanfaatkan aktor berpengaruh untuk memperoleh legitimasi kekuasaan. Kini, cara-cara seperti itu semakin ditinggalkan dan diganti dengan dialog, lobi dengan politisi dan para pejabat, kontak antar-personal, membangun jaringan, dan mengikuti pemilihan umum.
Politisasi isu dan kepentingan
Ada gambaran menarik menyangkut pilihan para aktor utama, baik aktor berpengaruh maupun alternatif, terhadap isu-isu atau kepentingan yang mereka perjuangkan. Data memperlihatkan hingga pada tingkat tertentu ada kesamaan antara pilihan isu-isu dan kepentingan yang diperjuangkan oleh aktor berpengaruh dan alternatif. Pertama, aktor berpengaruh kelihatannya mulai mencoba untuk mengangkat isu-isu yang sebelumnya lebih menjadi kepedulian para aktor alternatif, misalnya isu-isu hak asasi manusia, pengembangan demokrasi, termasuk mengenai kebebasan serta hak-hak sipil dan politik. Isu-isu seperti itu masih juga menjadi pilihan di kalangan aktor alternatif. Perbedaannya adalah bahwa aktor berpengaruh cenderung mengangkatnya sebagai wacana-wacana yang umum, sementara aktor alternatif lebih fokus pada isu-isu spesifik. Kedua, seiring dengan membaiknya kondisi perangkat-perangkat demokrasi yang berkaitan dengan manajerial pemerintahan, isu-isu yang relevan dengan hal itu, seperti good givernance dan anti-korupsi juga menjadi isu-isu yang relatif kerap dilontarkan, baik oleh aktor-aktor berpengaruh maupun alternatif. Ketiga, baik aktor berpengaruh maupun alternatif kelihatannya kurang memberikan perhatian pada isu-isu dan kepentingan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar publik, termasuk mengenai pelayanan publik.
Selain itu menarik pula untuk dicatat bahwa isu-isu pembangunan ekonomi yang lebih makro kelihatannya lebih menjadi kepedulian kalangan aktor berpengaruh daripada aktor alternatif. Untuk sebagian, hal ini bisa menjadi indikasi bahwa aktor berpengaruh lebih menyadari adanya keterkaitan antara kepentingan-kepentingan mereka dan pilihan-pilihan kebijakan ekonomi makro. Aktor alternatif sendiri kelihatannya tidak cukup peduli terhadap masalah ini.
Cara pengorganisasian dan mobilisasi dukungan
Lebih lanjut, aktor alternatif justru terjebak pada tujuan-tujuan sempit dan jangka pendek, yaitu menguasai jabatan-jabatan politik. Langkah ini bukannya keliru, akan tetapi menimbulkan persoalan karena ditempuh dengan cara-cara yang non-demokratis. Upaya merebut jabatan politik lebih terlihat sebagai aksi-aksi individual, bukan sebagai aksi kolektif yang didukung oleh mekanisme organisasi yang ketat dan memungkinkan akuntabilitas politik tetap berlangsung. Boleh jadi tindakan ini dilakukan karena dorongan ketidaksabaran, akan tetapi implikasinya malah memperburuk kondisi representasi. Basis organisasi cenderung dibuat untuk kepentingan temporer, sesekali sebagai hasil kesepakatan di antara sejumlah tokoh popular, dan bersamaan dengan itulah aktor-aktor alternatif muncul sebagai tokoh-tokoh “karismatik” yang baru. Mereka pun gagal melakukan de-monopolisasi elit-dominan.
Di pihak lain, aktor berpengaruh kelihatannya justru mulai melebarkan pilihan cara-cara memobilisasi dukungan massa. Pada survei 2003/04, aktor berpengaruh kelihatan sangat mengandalkan benar kekuatan organisasional dan mesin politik yang mereka bangun untuk memobilisasi massa, selain memanfaatkan hubungan patron-klien. Menurut survei terakhir, cara mobilisasi aktor berpengaruh cukup bervariasi. Hubungan patron-klien tetap dijaga sebagai salah satu pilihan mobilisasi yang paling utama, tetapi kini mereka juga melakukan aksi-aksi untuk membangun populisme atau kepemimpinan popular, dan memperkuat jaringan di antara mereka sendiri. Meskipun lebih variatif, baik jika dibandingkan dengan kecenderungan terdahulu maupun dengan pilihan mobilisasi aktor alternatif, hasil survei terakhir ini sedikit-banyak memperlihatkan adanya tendensi aktor berpengaruh untuk meninggalkan cara-cara organisasional dalam memobilisasi dukungan massa. Contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah berkurangnya peranan sejumlah organisasi pemuda – misalnya AMPI, Pemuda Pancasila – yang menjadi onderbouw partai-partai dominan di masa lalu.
Strategi
Penjelasan terhadap gejala menurunnya pemanfaatan organisasi-organisasi sebagai basis mobilisasi dukungan kelihatannya bisa dikaitkan dengan pilihan strategi yang ditempuh oleh para aktor utama, baik aktor berpengaruh maupun alternatif. Ada kecenderungan yang cukup jelas bahwa kedua kelompok aktor lebih memilih dan menempuh cara-cara partisipasi langsung daripada memanfaatkan lembaga-lembaga mediasi, baik politik maupun non-politik. Di kalangan aktor alternatif, pilihan bentuk partisipasi langsung secara rata-rata mencapai angka 29 persen, sementara di kalangan aktor berpengaruh angkanya lebih tinggai lagi, yaitu 35 persen. Artinya, kedua kelompok aktor jelas lebih menyukai cara-cara jalan pintas daripada memanfaatkan berbagai lembaga mediasi yang lebih demokratis.
Gambarannya menjadi lebih memprihatinkan lagi karena di antara lembaga-lembaga media yang tersedia, aktor alternatif lagi-lagi cenderung lebih memanfaatkan kelompok-kelompok lobi dan kontak dengan berbagai pakar daripada memanfaatkan institusi-institusi perantara yang demokratis seperti partai politik. Aktor berpengaruh kurang-lebih juga memperlihatkan gejala yang sama, akan tetapi perhatian mereka terhadap partai politik jelas lebih besar daripada aktor alternatif.
Kendati data-data ini bisa saja merupakan cerminan dari pragmatisme dan strategi jangka pendek kedua kelompok aktor, kita perlu juga mencurigainya sebagai indikasi-indikasi awal keterbatasan kapasitas politik demokratis para aktor. Namun, apapun jawabannya, kedua kemungkinan itu harus dianggap sebagai sinyal yang tidak baik bagi proses demokratisasi selanjutnya.
Kesimpulan
Demokratisasi masih terus berlangsung dan belum berhenti. Kendati lambat, ada kemajuan dalam proses demokratisasi. Anggapan bahwa demokrasi di Indonesia sama sekali gagal tidak sepenuhnya benar. Namun, perbaikan-perbaikan itu berlangsung di atas dasar yang rapuh.
Walaupun indeks perangkat demokrasi memperlihatkan perbaikan, perkembangannya tidaklah merata. Perbaikan yang menonjol terlihat pada aspek manajerial pemerintahan. Akan tetapi, perbaikan ini tidak serta-merta benar-benar memperlihatkan kinerja pemerintahan yang baik. Hak sosial, ekonomi, dan budaya juga memperlihatkan sedikit kemajuan, tetapi juga tak menandakan kondisi yang benar-benar baik. Di lain sisi, fundamental demokrasi berupa representasi, kemandirian negara, dan terutama berbagai kebebasan dasar merupakan perangkat-perangkat yang mengalami kemandegan dan kemerosotan. Aspek-aspek representasi jelas berada dalam situasi yang lebih buruk dibanding sebelumnya.
Jadi, selain melakukan pembenahan terhadap aspek manajerial pemerintahan, pemerintah juga dituntut untuk membiarkan ruang kebebasan politik terbuka lebar. Hanya dengan itulah kondisi representasi yang buruk bisa diperbaiki.
Para aktor, baik elit-dominan maupun aktor alternatif, tampak semakin akomodatif dan beradaptasi terhadap sistem demokrasi. Sayangnya, kapasitas demokratik mereka masih relatif rendah. Kelompok elit-dominan cenderung memanipulasi keunggulan politik dan ekonomi, sedangkan kelompok pro-demokrasi belum berhasil memperlihatkan diri sebagai kekuatan alternatif demokratis yang bisa menandingi kekuatan aktor berpengaruh. Kelompok pro-demokrasi cenderung menempuh jalan pintas untuk merebut kekuasaan politik secara individual dan oportunistik ketimbang melakukan pengorganisasian basis sebagai sumber kekuatan politik yang demokratis.
Yang menarik, aktor berpengaruh kelihatannya juga mulai tertarik untuk membangun ketokohan popular daripada membangun organisasi yang kuat untuk memobilisasi dukungan terhadap mereka. Selain itu, baik aktor alternatif maupun aktor berpengaruh sama-sama memiliki kecenderungan untuk menempuh cara pintas melalui lobi, kontak antar-personal atau bahkan melakukan aksi-aksi individual untuk mendapatkan tujuan-tujuan mereka.
Memang ada juga kemajuan pada aspek-aspek manajerial pemerintahan demokratis. Para aktor umumnya pun telah mengikuti berbagai peraturan dan regulasi formal. Tetapi, di lain sisi, harus dicatat pula bahwa kondisi aspek-aspek kebebasan serta hak-hak sipil dan politik tidak lagi sebaik sebelumnya. Partisipasi politik melalui partai semakin terbatas, monopoli elit terhadap aktivitas politik terorganisir masih berlanjut, dan para aktor alternatif masih kurang berdaya.
* * *
[1] Demos adalah lembaga kajian demokrasi dan hak asasi manusia, berkedudukan di Jakarta. Demos melakukan survei mengenai masalah dan pilihan demokrasi pada tahun 2003-2004 dan 2007.
[2] Menariknya, atau mungkin ironisnya, pemikiran yang mulai mengutuk demokrasi seperti ini juga mendapat dukungan dari kalangan akademisi dan intelektual. Sebut saja misalnya, Dr. Amir Santoso (Pelita, 16 Desember 2007), dan Radhar Panca Dahana (Seputar Indonesia, 19 Desember 2007).
[3] Kompas, 26 November 2007.
[4] Kompas, 21 Juni 2007.
[5] “Lakukan Efisiensi Jika Mau Maju: Gabungkan Pemilu dan Pilkada”, Kompas, 21 Januari 2008. Menariknya, ide ini didukung oleh KH Hasym Muzadi, Ketua PB NU, dengan mengusulkan ide yang lebih jauh lagi dengan menghapuskan Pilkada sehingga Gubernur, Walikota, dan Bupati hanya dipilih oleh DPRD I dan II saja. Lihat ”NU: Hapus Pilkada”, Kompas, 26 Januari 2008.
[6]Lihat Samuel P. Hungtinton (1968), Political Order in Changing Societies (Yale University).
[7] Survei Demos 2003/04 mengungkap bahwa situasi demokrasi di berbagai wilayah memperlihatkan kemiripan satu sama lain. Hal ini mengindikasikan bahwa pendekatan dan kerangka demokratisasi yang diterapkan secara nasional diterima secara luas di seluruh Indonesia.
[8] Penjelasan lebih gamblang mengenai fenomena ini dapat merujuk Naipospos, Bonar Tigor, et.al., ”Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan” dalam Laporan Kebebasan dan Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2007 (Jakarta: SETARA Institute, 2007).
[2] Menariknya, atau mungkin ironisnya, pemikiran yang mulai mengutuk demokrasi seperti ini juga mendapat dukungan dari kalangan akademisi dan intelektual. Sebut saja misalnya, Dr. Amir Santoso (Pelita, 16 Desember 2007), dan Radhar Panca Dahana (Seputar Indonesia, 19 Desember 2007).
[3] Kompas, 26 November 2007.
[4] Kompas, 21 Juni 2007.
[5] “Lakukan Efisiensi Jika Mau Maju: Gabungkan Pemilu dan Pilkada”, Kompas, 21 Januari 2008. Menariknya, ide ini didukung oleh KH Hasym Muzadi, Ketua PB NU, dengan mengusulkan ide yang lebih jauh lagi dengan menghapuskan Pilkada sehingga Gubernur, Walikota, dan Bupati hanya dipilih oleh DPRD I dan II saja. Lihat ”NU: Hapus Pilkada”, Kompas, 26 Januari 2008.
[6]Lihat Samuel P. Hungtinton (1968), Political Order in Changing Societies (Yale University).
[7] Survei Demos 2003/04 mengungkap bahwa situasi demokrasi di berbagai wilayah memperlihatkan kemiripan satu sama lain. Hal ini mengindikasikan bahwa pendekatan dan kerangka demokratisasi yang diterapkan secara nasional diterima secara luas di seluruh Indonesia.
[8] Penjelasan lebih gamblang mengenai fenomena ini dapat merujuk Naipospos, Bonar Tigor, et.al., ”Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas Persekusi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan” dalam Laporan Kebebasan dan Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2007 (Jakarta: SETARA Institute, 2007).
Daftar Bacaan
Buku, Jurnal
Berman, Sheri (2007). “Lessons from Europe”, Journal of Democarcy, Volume 18, No.1, January.
Carothers, Thomas (2007). “The ‘Sequencing Fallacy’”, Journal of Democarcy, Volume 18,
Buku, Jurnal
Berman, Sheri (2007). “Lessons from Europe”, Journal of Democarcy, Volume 18, No.1, January.
Carothers, Thomas (2007). “The ‘Sequencing Fallacy’”, Journal of Democarcy, Volume 18,
No.1, January.
Hungtinton, Samuel P. (1968). Political Order in Changing Societies (Yale University).
Naipospos, Bonar Tigor, et.al. (2007). ”Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas
Hungtinton, Samuel P. (1968). Political Order in Changing Societies (Yale University).
Naipospos, Bonar Tigor, et.al. (2007). ”Tunduk pada Penghakiman Massa: Pembenaran Negara atas
Persekusi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan” dalam Laporan Kebebasan dan
Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2007 (Jakarta: SETARA Institute).
Priyono, AE., Willy Purna Samadhi dan Olle Tornquist (2007). Menjadikan Demokrasi Bermakna:
Masalah dan Pilihan di Indonesia. Jakarta-Yogyakarta: Demos dan PCD Press.
Samadhi, Willy Purna and Nicolaas Warouw (2008). Building-Democracy on The Sand: Advances and
Samadhi, Willy Purna and Nicolaas Warouw (2008). Building-Democracy on The Sand: Advances and
Setbacks in Indonesia. Yogyakarta-Jakarta: PCD Press-Demos.
Koran
Kompas, 21 Juni 2007, 26 November 2007, 26 Januari 2008.
Pelita, 16 Desember 2007.
Seputar Indonesia, 19 Desember 2007.
Koran
Kompas, 21 Juni 2007, 26 November 2007, 26 Januari 2008.
Pelita, 16 Desember 2007.
Seputar Indonesia, 19 Desember 2007.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar